Penginderaan jarak jauh atau yang sering disingkat sebagai inderaja (remote
sensing) telah berkembang pesat di Indonesia. Secara umum inderaja
didefinisikan sebagai suatu metode atau teknik pengamatan/pengukuran suatu
objek atau fenomena, dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung dengan
objek atau fenomena yang diamati. Inderaja kelautan terbukti membantu berbagai
penelitian kelautan dan dinamika sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya.
Pada dasarnya aplikasi inderaja untuk kelautan dapat dibedakan atas tiga yaitu
untuk: oseanografi fisika, sumberdaya alam laut dan pengamatan perlindungan
wilayah pesisir.
Menurut Lillesand dan Kiefer (1979), Penginderaan Jauh adalah ilmu dan
seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan
menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak
langsung
terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji. Salah satu upaya untuk
memperoleh informasi tentang potensi sumberdaya wilayah pesisir dan lautan
dalam rangka untuk mengoptimalkan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan
adalah penggunaan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis
(SIG). Informasi mengenai obyek yang terdapat pada suatu lokasi di permukaan
bumi diambil dengan menggunakan sensor satelit, kemudian sesuai dengan tujuan
kegiatan yang akan dilakukan, informasi mengenai obyek tersebut diolah,
dianalisa, diinterpretasikan dan disajikan dalam bentuk informasi spasial dan peta
tematik tata ruang dengan menggunakan SIG.
Pemanfaatan data penginderaan jauh dan SIG telah banyak dilakukan dalam
kaitannya dengan wilayah pesisir dan lautan khususnya sektor perikanan dan
pengelolaan wilayah pesisir dan lautan, seperti: aplikasi penginderaan jauh untuk
memberikan informasi Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI), kesesuaian lahan
perairan untuk usaha budidaya laut dan pariwisata bahari, identifikasi potensi
wilayah pesisir (seperti hutan bakau, terumbu karang, padang lamun dan pasir),
zonasi Kawasan konservasi laut, analisa potensi ekonomi wilayah pesisir pulau-
pulau kecil, pengamatan perubahan garis pantai, analisa pencemaran lingkungan
perairan dan lain sebagainya.
Dimana kronologi perkembangan inderaja di Indonesia dibagi menjadi 3
periode yakni, periode investigasi atau penjajagan pada tahun 1972-1982, periode
percobaan pada 1982-1993, dan periode operasional sejak 1992 hingga sekarang
(Kartasasmita, 2001). Teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi
geografis dapat dimanfaatkan untuk mendukung penyediaan informasi daerah
penangkapan ikan bagi nelayan. Penggunaan sistem informasi geografis (SIG)
merupakan suatu metode berbasis komputer yang digunakan untuk
mengumpulkan, menyimpan, menggabungkan, mengatur, mentransformasi,
memanipulasi, dan menganalisis data-data geografis terkait parameter
oseanografi. Teknologi SIG akan lebih memudahkan pengguna atau pihak-pihak
pengambil keputusan untuk menentukan kebijakan yang akan diambil (Rastuti et
al., 2015).
Beberapa keuntungan penggunaan teknologi penginderaan jauh, antara lain yaitu:
1. Jumah data yang dapat diambil dalam waktu sekali pengambilan data sangat
banyak yang tidak akan tertandingi oleh metode lain.
2. Citra menggambarkan obyek, daerah dan gejala di permukaan bumi dengan
wujud dan letak obyek yang mirip dengan wujud dan letaknya di
permukaan bumi, relative lengkap, permanen dan meliputi daerah yang
sangat luas
3. Pengambilan data di wilayah yang sama dapat dilakukan berulang-ulang
sehingga analisis data dapat dilakukan tidak saja berdasarkan variasi
spasial tetapi juga berdasarkan variasi temporal
Adapun kelemahan teknologi penginderaan jauh yaitu:
1. Tidak semua parameter kelautan dan wilayah pesisir dapat dideteksi dengan
teknologi penginderaan jauh. Hal ini disebabkan karena gelombang
elektromagnetik mempunyai keterbatasan dalam membedakan benda yang
satu dengan benda yang lain, tidak dapat menembus benda padat yang
tidak transparan, daya tembus terhadap air yang terbatas.
2. Akurasi data lebih rendah dibandingkan dengan metode pendataan
lapangan (survey in situ) yang disebabkan karena keterbatasan sifat
gelombang elektromagnetik dan jarak yang jauh antara sensor dengan
benda yang diamati.
Referensi:
Kartasasmita, M., 2001. Prospek Dan Peluang Industri Penginderaan Jauh di
Indonesia, Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia,
Jakarta, 100p.
Lillesand and Kiefer, (1979), Remote Sensing and Image Interpretation, John
Wiley and Sons, New York.
Rastuti, Abdillah, L.A & Agustini, E.P. (2015). Sistem Informasi Geografis
Potensi Wilayah Kabupaten Banyuasin Berbasis Web. Student
Colloquium Sistem Informasi & Teknik Informatika (SCSITI), 53 - 58.
1. Fish Finder
Fish finder merupakan teknologi suatu teknologi pendeteksian bawah air
dengan menggunakan perangkat akustik (acoustic instrument). Teknologi ini
menggunakansuara atau bunyi untuk melakukan pendeteksian. Fish finder
merupakan alat berbentuk monitor yang digunakan untuk mencari lokasi ikan.
Fish finder ini terdiri dari transducer yang berfungsi sebagai sensor dan monitor
yang berguna untuk menampilkan hasil gambar. Transducer ini terletak dibawah
kapal, baik ditengah-tengah maupun dibelakang, dan berfungsi untuk
mengirimkan sinyal-sinyal sensor ke bawah laut.
Fish finder adalah teknologi untuk mendeteksi objek bawah air yang bekerja
berdasarkan prinsip suara (akustik). Fish finder ini mampu memberikan informasi
yang cukup detail yaitu tentang kelimpahan (kepadatan), sebaran, ukuran dan
posisi
kedalaman renang ikan. Selain itu kelebihan dari alat ini adalah mampu
menjadikan data yang bersifat real time, harga relative terjangkau dan friendly
bagi ekosistem.
2. Echousounder
Echosounder atau Perum Gema adalah Alat navigasi elektronik yang
bekerja dengan menggunakan sistem gema yang dipasang pada dasar laut yang
berfungsi untuk mengukur kedalaman perairan, mengetahui bentuk dasar suatu
perairan dan untuk mengetahui gerombolan ikan yang berada di bawah kapal
secara vertikal. Adapun kegunaan dasar dari echosounder yaitu menentukan
kedalaman suatu perairan dengan mengirimkan tekanan gelombang dari
permukaan ke dasar air dan dicatat waktunya sampai echo kembali dri dasar air.
Data tampilan juga dapat dikombinasikan dng koordinat global berdasarkan sinyal
dari satelit GPS yang ada dengan memasang antena GPS (jika fitur GPS pada
echosounder ada).
Echosounder menghitung kedalaman air laut dengan memancarkan getaran
akustik melalui transducer dan memantulkan gema. Kedalaman air dihitung pada
waktu tempuh dua arah dari kecepatan suara dalam air. Pada saat kapal bergerak,
sebuah SBES (Single Beam Echo Sounder) terus mendeting pada permukaan air
laut dengan suara yang bergetar dan menghasilkan cetakan dari kedalaman bawah
kapal.
3. Penginderaan Jauh
Penggunaan teknologi pengindraan jauh (remote sensin) pada sektor
kelautan dan perikanan terutama untuk pemanfaatan sumber daya perikanan
adalah solusi cerdas untuk menyediakan data dan informasi dalam rangka
membangun sistem informasi perikanan tangkap (capture fisheries information
syste) yang tangguh , akurat , dan dapat diandalkan . Dalam rangka pemanfaatan
sumber daya perikanan secara berkelanjutan , aplikasi teknologi teknologi
hidroakustik (acoustical remote sensing) dan pengindraan jauh berbasis satelit
(satellite remote sensing) sebagai alat bantu penangkapan ikan sangat
direkomendasikan. Pada sisi lain, dinamika kondisi oseanografi di perairan
dipantau dengan menggunakan satelit oseanografi untuk mencari habitat optimum
sehingga dapat diprediksi zona potensial penangkapan ikan berdasarkan ruang
(spatial) dan waktu (temporal).