Anda di halaman 1dari 13

EVALUASI UNIT TAMBAK UDANG WINDU (Penaeus monodon) DI KOTA

TARAKAN YANG BERKELANJUTAN


DI SUSUN OLEH

NAMA : Muhammad Agung

NRP : 55194112699

KELAS : TAK A

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Provinsi Kalimantan Utara adalah sebuah provinsi di Indonesia yang


terletak di bagian utara Pulau Kalimantan. Provinsi ini berbatasan langsung
dengan negara tetangga, yaitu negara Bagian Sabah dan Serawak dan Malaysia
Timur. Kalimantan Utara merupakan pemekaran dari salah satu Provinsi di Pulau
Kalimantan yaitu Provinsi Kalimantan Timur. Provinsi Kalimantan Utara dengan

luas wilayah sekitar 72.567.49 km2 terdiri dari beberapa pulau dan garis pantai
yang cukup panjang. Provinsi Kalimantan Utara yang berbatasan langsung dengan
Selat Malaka di sebelah utara menciptakan kondisi wilayah yang memiliki potensi
sumber daya perikanan laut.

Petani tambak yang ada di provinsi Kalimantan Utara pada


umumnya mengupayakan dan membudidayakan udang windu dan ikan
bandeng karena tambak yang ada di provinsi tersebut merupakan tambak
tradisional. Udang windu dan ikan bandeng memiliki hubungan yang saling
menguntungkan karena ikan bandeng dapat memberikan siklus oksigen atau
sebagai kincir alami didalam kolam. Selain itu, komoditi udang windu dan ikan
bandeng tersebut memiliki nilai yang tinggi pertama di pasaran

Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP, 2016) mencatat bahwa
produksi udang windu Kalimantan Utara dalam lima tahun terakhir berkisar
7.000–10.000 ton per tahun. Dari jumlah tersebut, hampir 70% di antaranya
diekspor ke Jepang dan sisanya ke Eropa, Amerika dan negara-negara Asia
(Taiwan, Hongkong, Cina, dan Korea). Diperkirakan kebutuhan udang windu
negara-negara tersebut akan semakin meningkat seiring dengan naiknya tren
konsumsi produk seafood di dunia.

Kondisi komoditi udang dan bandeng sebagai salah satu komoditi yang
dibudidayakan di kebanyakan wilayah Kabupaten Tarakan Kalimantan Utara
memiliki potensi yang sangat besar untuk ditingkatkan. Prospek harga maupun
pasar yang cukup luas baik di wilayah Pulau Kalimantan maupun di Indonesia
pada umumnya.

Secara teknis, tambak dapat didirikan di hampir semua jenis lahan


apabila supply air payau cukup tersedia, tetapi dari segi ekonomi perlu
diperhitungkan secara cermat agar biaya pembangunan dan operasional tambak
dapat tertutupi oleh hasil penjualannya. Menurut Mujiman dan Suyanto dalam
Agustina (2006) daerah tambak yang baik adalah suatu daerah yang terjangkau
oleh pasang surut air laut, dengan kata lain usaha tambak sebaiknya pada areal
sekitar atau dekat pantai.

B. Udang Windu ( Panaeus Monodon)

Udang yang diprioritaskan untuk dibudidayakan dalam tambak adalah


udang windu (Penaeus monodon) oleh karena itu dalam program Intam, udang
yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi sebagai komoditas ekspor dan dapat
tumbuh besar hingga mencapai 20 cm ini dianjurkan untuk dipilih. Habitat udang
windu (Penaeus monodon) usia muda adalah air payau, seperti muara sungai dan
pantai. Semakin dewasa uang jenis ini semakin suka hidup dilaut. Udang-udang
yang sudah dewasa akan berbondong-bondong ke laut yang dalam. Mereka
biasanya berkelompok dan melakukan perkawinan, setelah udang betina berganti
cangkang (Agustina, 2010).

Udang yang dibudidayakan dalam tambak adalah udang laut yang


umumnya seluruh tubuhnya terbungkus kulit yang keras dari bahan chitin, disebut
exoskeleton, kecuali sambungan antar ruas sehingga udang tetap mudah bergerak
dan membungkuk. Udang jenis ini merupakan udang laut yang populer sebagai
udang windu loreng. Udang ini bisa mencapai ukuran besar, sehingga dalam
pasaran ekspor udang ini lebih dikenal dengan nama tiger prawn. Berikut gambar
serta klasifikasi udang windu (Penaeus monodon) (khairul amri, 2003) :

Gambar 1. Udang windu Peneaus monodon

Phylum : Arthropoda
Classis : Crustacea
Ordo : Decapoda
Famili :Penaidaee
Genus : Penaeus
Spesies : Penaeus monodon

Udang ini memiliki kulit badan keras, berwarna hijau kebiru-biruan dan
berloreng-loreng besar. Namun anehnya udang yang mengalami dewasa usia
dilaut memiliki warna kulit merah muda kekunig-kuningan, dengan ujung kaki
renang berwarna merah. Adapun yang masih muda memiliki kulit dengan ciri khas
totol-totol hijau. Kerucut kepala bagian atas memiliki 7 buah gerigi dan bagian
bawah 3 buah gerigi (Agustina, 2010).
Penaeus monodon yang hidup di laut, panjang tubuhnya bisa mencapai 35
cm dengan berat sekitar 260 gram. Sedangkan yang dipelihara dalam tambak
panjang tubuhnya hanya bisa mencapai 20 cm dengan berat sekitar 140 gram.
Meski demikian udang ini cukup ekonomis dan potensial untuk dipelihara dalam
tambak, terutama karena udang jenis ini memiliki daya tahan yang tinggi untuk
hidup di dalam air payau yang berkadar keasinan 3-35 promil. Udang windu
(Penaeus monodon) biasa hidup di perairan pantai yang berlumpur atau berpasir.
Penyebaran habitatnya sampai di perairan laut Jepang, dan antara Pakistan barat,
Australia bagian barat dan Afrika Selatan (Agustina, 2010).
Sampai saat ini udang windu masih menjadi komoditas perikanan yang
memiliki peluang usaha cukup baik karena sangat digemari konsumen lokal
(domestik) dan konsumen luar negeri. Hal ini disebabkan oleh daging udang
windu yang enak dan gurih serta kandungan gizinya yang sangat tinggi. Daging
udang windu diperkirakan mengandung 90% protein (Agustina, 2010).
Udang windu merupakan komoditas ekspor andalan pemerintah untuk
menggaet devisa negara sehingga perkembangan ekspornya menjadi perhatian
utama. Hal ini terbukti dengan dicanangkannya PROTEKAN 2003 dengan target
nilai ekspor sebesar 7.6 milyar dollar Amerika yang sekitar 6.78 milyar dollar
Amerika (70%) berasal dari penjualan udang (Khairul amri, 2003).

C. Daya Dukung Dan Linkungan Tambak


Pesisir timur Kalimantan dikenal sebagai salah satu sentra produksi udang
windu nasional karena sejak dekade 90-an secara bertahap sebagian besar
mangrove di kawasan ini dikonversi menjadi kawasan tambak udang tradisional
terluas di Indonesia.
Tingginya laju konversi hutan mangrove ini dalam jangka panjang telah
menimbulkan permasalahan tersendiri. Hal ini tercermin dari rata-rata produksi
udangnya yang hanya berkisar sekitar 20 Kg/hektar/siklus, jauh lebih rendah
dibandingkan dengan produktivitas tambak tradisional udang windu di Jawa
yang mencapai 250 Kg/ha/siklus. Selain akibat menurunya daya dukung
lingkungan, rendahnya penguasaan teknologi budidaya udang yang baik dan
benar menjadi penyebab utama rendahnya produktivitas tambak di kawasan ini.
Menghadapi persoalan tersebut, Wetlands Internasional Indonesia (WII)
bekerjasama dengan Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP),
Anggana Farmers Association (AFA) dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP)
Kota Tarakan telah menginisiasi pembuatan percontohan tambak udang ramah
lingkungan sesuai dengan standar ASC yang berlokasi di Kota Tarakan
Kalimantan Utara dan Kawasan Delta Mahakam Kalimantan Timur.
ASC ini merupakan salah satu standar produksi udang yang mendorong
upaya restorasi dan perlindungan mangrove. Penerapan standar ini diharapkan
mampu mendorong produksi udang secara berkelanjutan.

D. Menejemen Tanah Tambak Dan Kualitas Air


Kalimantan utara adalah daerah beriklim tropisme yang mempunyai musim
yang hampir sama dengan wilayah Indonesia pada umumnya, yaitu musim
penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan biasanya terjadi pada bulan
Oktober sampai dengan bulan April sedangkan musim kemarau terjadi pada
bulan April sampai dengan bulan Oktober. Keadaan ini terus berlangsung setiap
tahun yang diselingi dengan musim peralihan pada bulan-bulan tertentu.
Namun dalam tahun-tahun terakhir ini, keadaan musim di Kalimantan
Utara terkadang tidak menentu. Pada bulan-bulan yang seharusnya turun hujan
dalam kenyataannya tidak turun hujan samasekali, begitu juga sebaliknya.
Suhu udara pada suatu tempat ditentukan oleh tinggi rendahnya tempat
tersebut terhadap permukaan laut dan jaraknya dari pantai. Secara umum
Kecamatan Sesayap Hilir beriklim dengan suhu udara berkisar 20°- 30° C .
Antara musim penghujan dan musim kemarau tidak menunjukkan perbedaan
indikasi yang jelas. Selain itu, sebagai daerah beriklim tropis, Kalimantan Utara
mempunyai curah hujan dengan rata-rata volumenya 12 ml.
Curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan penurunan salinitas air, serta
dapat menyebabkan sumber air menjadi keruh. Dikarenakan, air yang dialirkan
kedalam tambak bukan hanya untuk mengisi tambak tetapi juga di harapkan
dapat mengencerkan nutrien didalam tambak.
Suhu air juga dipengaruhi oleh udara dan musim. Ikan atau udang adalah
jenis hewan yang berdarah dingin sehingga suhu tubuh mengikuti suhu air.
Apabila suhu air rendah maka metabolisme menjadi rendah dan nafsu makan
menjadi rendah. Sedangkan apabila suhu air semakin tinggi maka metabolisme
menjadi cepat dan pada suhu yang ekstrim dapat menyebabkan kematian ikan
atau udang.
Pada daerah Perairan kalimantan utara dengan iklim yang tidak menentu
dan suhu yang seringkali berubah menyebabkan manajemen tanah tambak dan
kualitas air nya terlihat kurang baik dan efektif.
Gambar 2
.model tambak
E. Kualitas Benur
Dari data Dinas Perikanan Kota Tarakan, kebutuhan benur di Kaltara
mencapai Rp4,5 miliar hingga Rp5 miliar lebih secara riil. Namun,
kenyataannya untuk jumlah benur yang dibutuhkan, bisa lebih dari data yang
ada. dengan adanya BBU di Tarakan maka petambak bisa mendapatkan benih
udang dengan harga yang terjangkau. “Kualitas dan harga juga menjadi
prioritas. Karena ada balai benih di Tarakan berarti biaya transportasi lebih
murah dan petambak tidak perlu jauh-jauh mendatangkan dari luar Kaltara,
Udang yang dibudidayakan berjenis udang windu. di Kaltara ada 150 ribu
hektare yang membutuhkan miliaran ribu ekor benih udang. Namun, potensi
untuk memenuhi kebutuhan tersebut baru mencapai 20 persen saja. Sisanya
didatangkan dari luar Kaltara. di Indonesia terdapat 670 balai benih, dengan
diresmikannya balai benih di Tarakan menjadi yang ke-671. Namun, dari
jumlah tersebut, tidak semuanya berproduksi sesuai harapan. 30 persen di
antaranya memiliki hasil yang tidak memuaskan, bahkan ada daerah yang
meminta agar pengelolaannya dikembalikan ke pusat.
Mengingat belum ada pengakuan para petani tambak akan keberadaan
benih udang windu yang dibudidayakan di Tarakan, sehingga menjadi
pekerjaan rumah bagi pemerintah, untuk menggenalkan produk tersebut agar
dapat diakui masyarakat. “Kebiasaannya, petambak kita mendatangkan dari
Jawa karena menganggap di sana lebih baik. Jadi harus berusaha meyakinkan,
bahwa bibit lokal lebih unggul daripada bibit luar.
Dalam satu tahun kebutuhan benur di Tarakan dan Kaltara bisa mencapai
ratusan juta ekor. Sementara BBU yang ada belum mampu memenuhi
permintaan sehingga banyak petambak yang terpaksa mengambil dari luar kota.
Meskipun memiliki banyak risiko seperti tingkat kematian yang tinggi selama
proses pengiriman, terpaksa dilakukan karena ketidaksediaan benur di Kaltara
dan itu harus ditanggung oleh petambak. Belum lagi biaya angkutnya, sehingga
operasional akan lebih tinggi. Selain itu, soal ukuran juga kadang menjadi
kendala. Saat pemesanan minta Post Larva (PL) atau ukuran benur misalnya PL
12 namun yang datang terkadang hanya PL 8 sehingga menyebabkan angka
kematian cukup tinggi. Karena belum siap bertarung di alam bebas. Kalau
produksi di BBU betul-betul dijaga kualitasnya minimal PL 12 baru dipanen
namun BBU di kota tarakan belum mampu menenuh jumlah kebutuhan benur
di kota tarakan untuk pembudidaya uadang windu baru bisa produksi 2-3 bak,
namun terus di tingkatkan hingga 6 bak.
Permasalahan yang sering dihadapi oleh petani tambak dalam budidaya
udang adalah tingginya kematian benih udang sewaktu penebaran di tambak.
Hal ini terjadi karena benih yang ditebar ukurannya terlalu kecil (PL 12-15)
dimana benih dari hatchery langsung ditebar ke tambak. Disamping itu pula
lokasi hatchery yang cukup jauh dari areal pertambakan, sehingga benih udang
tidak tahan atau tingkat aklimatisasinya rendah terhadap perubahan lingkungan
yang mendadak seperti perubahan kualitas air, diantaranya suhu, salinitas dan
parameter kualitas air lainnya. Salah satu cara untuk menekan tingkat kematian
benih udang yang tinggi sebelum ditebar ke tambak adalah dengan teknik
pendederan sementara yaitu mendederkan benih udang selama periode tertentu
(sekitar 10 hari) pada petakan tambak dengan kondisi kualitas air yang
terkontrol. Penggunaan tongkolan udang windu dalam budidaya udang
menyebabkan meningkatnya modal awal karena harganya yang relative lebih
mahal jika dibandingkan dengan benur biasa. Jika harga benur PL 12-15 di
hatchery local Tarakan sekitar Rp 20-25 per ekor maka harga gelondongan
benur yang berukuran PL 20–30. sekitar Rp 70 per ekor. Tingginya harga
gelondongan benur dipengaruhi oleh biaya pakan selama pemeliharaan dan
tingginya mortalitas selama pemeliharaan. Tingginya pakan disebabkan selama
usaha budidaya tongkolan para pembudidaya hanya menggunakan pakan
buatan komersial dan tingginya mortalitas diduga karena tingkat kepadatan
yang tinggi sehingga memunculkan sifat kanibal pada benur. Potensi yang ada
di Tarakan sesungguhnya membuka peluang untuk menggunakan pakan alami
sebagai pakan alternative sehingga biaya pakan dapat di kurangi. Berdasarkan
biologi benur sangat memungkinkan jika benur diberikan pakan alami yang
segar untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhannya. Untuk
menekan biaya pakan yang mahal dan kelangsungan hidup yang rendah maka
perlu dilakukan penelitian tentang kombinasi pakan buatan dan pakan alami
yang murah dan tingkat kepadatan yang berbeda agar bisa meningkatkan
tingkat kelangsungan hidup benur udang windu selama pentongkolan.

Gambar 3. Proses pemilihan indukan udang windu


Gambar 4. Proses pemanenan larva udang windu

F. Hama Dan Penyakit Yang Sering Menyerang Udang Windu


Produksi udang windu dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Walaupun benih udang windu yang digunakan sudah terbebas dari virus (dari hasil
PCR), namun menjelang umur pemeliharaan 2 bulan udang sudah menampakkan
adanya gejala stres. Rendahnya kandungan oksigen mempengaruhi fungsi biologis
yang dapat mempengaruhi pertumbuhan udang bahkan mengakibatkan kematian
udang di tambak. Fungsi oksigen di tambak selain digunakan untuk respirasi bagi
organisme juga dimanfaatkan mikroorganisme terutama bakteri dalam proses
degradasi bahan organik.
Dari hasil identifikasi bakteri pada udang windu (Penaeus monodon) di
tambak Kota Tarakan yang sering menyerang petambak Tarakan menunjukkan
adanya infeksi bakteri Vibrio sp. perlu dikaji secara intensif dan spesifik tentang
jenis-jenis bakteri Vibrio sp. Yang sering menyerang tambak budidaya, pola
hidupnya dan pengaruh bakteri tersebut terhadap pertumbuhan udang windu di
Kota Tarakan, sehingga nantinya dapat ditemukan penanganan yang tepat dalam
pengelolaan tambak tradisional di Kota Tarakan. Dari tambak yang diukur kualitas
airnya untuk dijadikan sebagai data penunjang parameter kualitas air dalam
budidaya udang windu (Penaeus monodon) di tambak Kota Tarakan. Dari hasil
pengukuran parameter kualitas air yang diukur suhu, pH, Salinitas, DO dan
Amoniak masih ada kisaran yang baik. Hal ini berdasarkan hasil wawancara awal
dengan beberapa praktisi tambak bahwa produksi tambak mereka terutama udang
windu mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Penurunan ini disebabkan oleh
berbagai macam faktor diantaranya adalah penurunan daya dukung lingkungan,
penyakit dan manajemen budidaya.
Ukuran berat udang bervariasi antara 10-24 g/ekor, baik pada tambak yang
direklamasi maupun yang tidak direklamasi, sementara sintasan udang pada
tambak yang direklamasi mencapai 28,5% dan yang tidak direklamasi mencapai
21,6%. Rendahnya sintasan ini selain disebabkan oleh kondisi lingkungan juga
disebabkan oleh udang yang terserang penyakit WSSV sebelum dipanen. Gejala
serangan penyakit tampak terlihat pada saat udang mencapai umur 60 hari
pemeliharaan dan dipanen pada umur 70 hari. Diduga kondisi lingkungan seperti
tambak TSM yang rendah kualitas tanahnya dan seringnya hujan menyebabkan
udang tidak dapat hidup optimal, mudah stress, dan gerakannya kurang lincah,
biasanya udang berada dalam tingkat yang kritis, karena kemampuan tubuh udang
untuk memproduksi antibodi melawan patogen sangat rendah yang akhirnya
mempengaruhi kerja enzim dan menghambat pertumbuhan udang.

G. Pengolan Air Buangan Tambak


Limbah budidaya udang dihasilkan dari pakan udang yang tidak
termanfaatkan. Limbah tersebut berupa limbah organik dalam bentuk hasil
metabolisme dan sisa pakan udang. Limbah hasil budidaya udang merupakan
limbah organik terutama dari pakan, feses dan bahan terlarut yang jika dibuang ke
perairan akan menganggu ekosistem di perairan tersebut. Pakan udang
menyediakan nitrogen 92%,, fosfor 51% dan bahan organik lainnya 40%. Limbah
tambak udang mengandung bahan organik yang terdiri dari protein, karbohidrat
dan bahan anorganik lain seperti nitrogen, fosfor dan ammonia. Protein berasal
dari sisa pakan udang. Dimas Wahyu Meidi Vanto (2016) menyatakan bahwa
limbah tambak udang bersifat basa dengan kisaran pH 7-9. Pencemaran di sungai
disebabkan oleh adanya pencemar organik dan pencemar anorganik.
Pencemar organik dapat meningkatkan BOD dalam sungai yang mengindikasi
penurunan kualitas air. Sumber pencemar berasal dari pencemaran secara alamiah
(dari alam) dan pencemaran antropogenik (kegiatan manusia). Terjadinya
peningkatan buangan air limbah serta sampah yang tidak terkendali akan
menyebabkan bertambahnya beban pencemar yang masuk ke sungai, yang pada
gilirannya akan mengakibatkan penurunan kualitas air sungai. Di kalimantan
Utara, mayoritas tambak yang beroperasi adalah tambak tradisional yang tidak
memanfaatkan pakan buatan sebagai makanan udang, petambak di daerah sini
hanya memanfaatkan pakan alami yang tersedia di tambak tradisional. sehingga
kandungan limbah tambak udang hanya berupa kandungan feses serta bahan
terlarut lain yang ada pada perairan tambak udang. selain itu, limbah pada tambak
trasidisional tidak diolah dengan menggunakan instalasi pengelolaan limbah air
sebelum dibuang pada perairan sungai. Limbah air pada tambak udang langsung
dialirkan ke sungai tanpa adanya prilaku intensif untuk limbah yang sangat
berakibat besar pada ekosistem perairan serta kelangsungan hidup biota lain pada
perairan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai