LATAR BELAKANG
PLTU Lontar Tangerang, Banten merupakan salah satu pembangkit listrik yang dikelola
oleh PT Indonesia Power dan telah berdiri sejak tahun 2019. PLTU 3 Banten memiliki
komitmen terhadap pengelolaan bisnis yang berbasis transparansi dan akuntabilitas dalam
mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainability Development Goals
(SDG’s) guna menunjang masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan. Ketentuan mengenai
Pengelolaan Lingkungan diatur dalam Keputusan Direksi Nomor 41.K/010/IP/2012 tentang
Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta Lingkungan di PT Indonesia Power. Pada
tingkat internasional, Indonesia Power menerapkan Sistem Manajemen Lingkungan yang
mengacu kepada ISO 14001:2015 yang diintegrasi ke dalam Integrated Management System
(IMS) secara berkelanjutan. Salah satu strategi pengelolaan lingkungan yang dilakukan adalah
program keanekaragaman hayati.
Kegiatan survei monitoring atau pemantauan bertujuan untuk melihat dinamika
perkembangan kondisi biodiversitas di Makam Keramat Solear. Data flora dan fauna di Makam
Keramat Solear merupakan informasi dasar (baseline information) dalam mengelola
keanekaragaman hayati. Kajian keanekaragaman hati ini merupakan bentuk komitmen nyata
PLTU 3 Banten untuk berkontribusi dalam pencapaian SDG melalui pengelolaan
keanekaragaman hayati yang berkelanjutan.
Makam Keramat Solear merupakan kawasan cakupan kerja PLTU Lontar Tangerang
dalam mengelola keanekaragaman hayati. Berdasarkan kajian keanekaragaman hayati yang
pernah dilakukan, Wisata Makam Keramat Solear memiliki biodiversitas yang cukup beragam
dengan fungsi ekologis yang tinggi sebagai ruang hidup satwa liar tersisa dikawasan
pemukiman. Terdapat jenis flora fauna yang memiliki status konservasi secara internasional
(IUCN) dan dilindungi oleh peraturan nasional (Permen KLHK 106/2018). Makam keramat
Solear juga menjadi tempat hidup bagi + 200 ekor monyet ekor panjang (Macaca fascicularis),
yang merupakan jenis dengan tingkat kepadatan tertinggi. Jumlahnya yang melebihi tingkat
daya dukung makam keramat Solear menimbulkan permasalahan tidak hanya ekologis, namun
juga secara sosial, karena telah dianggap sebagai gangguan. Berdasarkan hal tersebut, penting
untuk terus memantau dan mengumpulkan informasi mengenai dinamika keberadaan jenis
keanekaragaman hayati yang ada sebagai bentuk pengelolaan makam keramat Solear.
A. Burung
Kegiatan pemantauan jenis-jenis burung (aves) dapat dilakukan dengan metode observasi
burung yang umum seperti metode IPA (Indices Ponctuels d’Abundance) dengan interval
waktu 20 menit dan radiusobservasi 50 m (van Lavieren, 1982). Identifikasi jenis bisa
menggunakan buku panduan pengenalan burung yang sudah dibuat untuk seluruh wilayah
biogeografi Indonesia dan telah banyak beredar, seperti ”Panduan Lapangan Pengenalan
Burung-Burung di Jawa dan Bali” (MacKinnon, 1991), ”Panduan Lapangan Burung-
Burung Asia Tenggara” (King, 1975), ”, dan ”Panduan Lapangan Burung-Burung di
Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan” (MacKinnon et al., 1992).
Pada pengamatan burung-burung dengan habitat yang luas, metode garis transek (line
transect) dapat digunakan (Sutherland, 2004). Garis transek juga dapat diganti dengan
jalan (track) yang sudah ada atau sungai. Pengamatan dilakukan sepanjang kiri dan kanan
jalan atau sungai. Masing- masing selebar 20 m sehingga bila panjang jalan atau sungai 500
m, luas areal yang diamati sama dengan 1 ha (Pomeroy, 1992). Cara tersebut sering disebut
road-side census atau river-side census.
Observasi burung sebaiknya dilakukan pada pagi hari ketika burung-burung memulai
aktivitas atau menjelang petang ketika burung-burung kembali ke sarang. Misalnya, waktu
pengamatan dilakukan pada pukul 05.00–10.00 dan pukul 16.00–18.00 waktu setempat.
Setelah hujan berhenti di tengah hari, burung-burung juga sering mudah ditemukan. Data
yang dicatat dari pengamatan burung meliputi jenis, jumlah total individu [dari setiap jenis
yang ditemukan, frekuensi perjumpaan, dan habitat tempat ditemukan. Informasi lain juga
dapat ditambahkan, seperti strata tajuk vegetasi ketika ditemukan, aktivitas yang sedang
dilakukan, jenis makanan, dan waktu saat ditemukan.
Observasi Otus lempiji
Celepuk reban (Otus lempiji) merupakan burung yang termasuk dalam keluarga Tytonidae atau
burung hantu yang termasuk hewan nokturnal. Umumnya hewan nokturnal akan aktif pada
malam hari mulai dari terbenamnya matahari hingga terbitnya matahari yaitu pukul 18.00 –
05.00. Pengamatan terkait ekologi celepuk reban yaitu populasi, penggunaan habitat, dan
perilaku, dilakukan dengan menggunakan metode kombinasi transect dan concentration
observation.
Transect digunakan untuk mengestimasi populasi burung yaitu dengan menyusuri lokasi
pengamatan sesuai dengan jalur yang sudah ditentukan, burung yang tercatat akan dihitung
jumlah, aktivitas, penggunaan habitat, dan keterangan. Concentration observation digunakan
untuk mengetahui penggunaan habitat dan perilaku, yaitu dengan menentukan titik pengamatan
burung yang diduga sebagai tempat bertengger dan beraktivitas. Untuk menarik celepuk reban
untuk datang, alat pemutar audio suara calling celepuk reban akan diputar berulang hingga
burung mendekat dan dapat teramati.
B. Mamalia
Pengambilan data mamalia dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, yaitu:
Pengamatan dilakukan secara eksplorasi pada transek garis 2 km, yang dilakukan pada pukul
05.30 - 11.00 WIB di pagi hari dan pukul 18.00 – 22.00 WIB dimalam hari. Metode ini
digunakan untuk mengetahui jenis-jenis mamalia yang terdapat di lokasi pengamatan. Data
yang diambil berupa jenis jumlah, aktivitas, suara, bekas cakar atau jejak, dan sarang. Untuk
setiap transek pengamatandilakukan pengulangan sebanyak 3 kali.
Gambar 1. Desain metode transek garis
Trap Mamalia
kecil
Jarak: 20-40 m
T T
o
Line Transek :2
km
Recce Walk
Pengamatan dilakukan secara eksplorasi bebas pada jalur yang berada diluar transek, seperti
jalan setapak, jalur penduduk lokal untuk mencari kayu ataupun jalan bekas logging. Waktu
pengamatan dimulai pada pagi hari (05.00-11.00) dan dilanjutkan sore hari (16.00-22.00).
Metode ini bertujuan untuk mendata jenis mamalia yang berada diluar transek. Data yang
diambil sama dengan metode pengamatan transek garis.
Camera Trap
Metode kamera trap digunakan untuk melihat aktivitas dan memberikan hasil secara visual dari
satwa target dalam kegiatan adalah kucing hutan. Pada kegiatan survey sebelumnya, kucing
hutan teramati berada di sekitar sungai di jalan menuju makam sisi barat. Penempatan kamera
mengikuti lokasi ditemukannya kucing hutan sebelumnya. Kamera trap akan dipasang pada
batang pohon di sekitar tempat ditemukannya kucing hutan dengan tinggi sekitar 1m dari
permukaan tanah.
Kamera trap yang telah terpasang selanjutnya akan diekstrak dan dicek secara berkala data dan
batere setiap bulannya. Data yang telah diekstrak kemudian akan disimpan akan di folderisasi
terlebih dahulu sebelum dibackup kedalam Gdrive. Folderisasi menggunakan format folder
jenis hewan – waktu teramati hewan tersebut.
C. Herpetofauna
Metode yang digunakan untuk mengkoleksi data herpetofauna adalah Visual Encounter Survey
(VES). VES adalah suatu metode dimana pengamat berjalan melewati area yang telah
dirancang untuk penelitian dan dalam periode waktu tertentu pengamat secara sistematik
mencari hewan target (Heyer et al., 1994). VES dilakukan pada dua waktu, yaitu siang hari dan
malam hari. Beberapa jenis yang ditemukan pada saat VES dan merupakan jenis yang menarik
atau belum diketahui identitasnya, ditangkap dengan menggunakan tangan atau dengan bantuan
sumpit (blow gun). Selanjutnya hewan - hewan tersebut diawetkan untuk keperluan identifikasi
di laboratorium. Selain itu, dilakukan juga pengkoleksian data ekologi untuk setiap transek (tipe
hutan, suhu, dan kelembaban) dan data mikrohabitat (substrat, tinggi dari permukaan tanah dan
jarak dari air, dsb) untuk setiap spesimen yang ditemukan.
Semua hewan diidentifikasi di lapangan dengan menggunakan buku Amfibi Jawa dan Bali
(Iskandar, 1998), The Frogs of Borneo (Inger and Stuebing, 2005) dan The Amphibia of Indo-
Australian Archipelago (Van Kampen, 1923), sedangkan untuk identifikasi jenis reptil
dilakukan dengan menggunakan buku A Photographic Guide to Snakes & Other Reptiles of
Borneo (Das, 2006), A Field Guide to The Snakes of Borneo (Stuebing and Inger, 1999) dan
The Reptiles of Indo-Australian Archipelago (De Rooij, 1915).
U
500 m 1500m
Kelas B Kelas A
20 m Kelas C
10 m
Kelas Pohon:
125 m Kelas A Pohon : DBH > 30 cm
Kelas B Tiang : 15 - 30 cm
Kelas C Pancang : 5 - 15 cm
dimana,
H’ = nilai indeks keanekaragaman Shannon – Wienner
Pi = Probabilitas spesies (kepadatan relative)
n = jumlah jenis
o Kekayaan Spesies
Kekayaan spesies adalah jumlah spesies dalam komunitas. Indeks kekayaan didasarkan pada hubungan
antara S dan jumlah total individu yang diamati, N, yang meningkat dengan meningkatnya ukuran
sampel (Ludwig & Reynold 1988). Persamaan untuk indeks kekayaan digunakan Indeks Margalef
(Clifford & Stephenson 1975):
Dimana:
N = jumlah total individu dalam sampel dan
S = jumlah spesies yang tercatat
o Analisis Vegetasi