Anda di halaman 1dari 11

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

PLTU Lontar Tangerang, Banten merupakan salah satu pembangkit listrik yang dikelola
oleh PT Indonesia Power dan telah berdiri sejak tahun 2019. PLTU 3 Banten memiliki
komitmen terhadap pengelolaan bisnis yang berbasis transparansi dan akuntabilitas dalam
mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainability Development Goals
(SDG’s) guna menunjang masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan. Ketentuan mengenai
Pengelolaan Lingkungan diatur dalam Keputusan Direksi Nomor 41.K/010/IP/2012 tentang
Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta Lingkungan di PT Indonesia Power. Pada
tingkat internasional, Indonesia Power menerapkan Sistem Manajemen Lingkungan yang
mengacu kepada ISO 14001:2015 yang diintegrasi ke dalam Integrated Management System
(IMS) secara berkelanjutan. Salah satu strategi pengelolaan lingkungan yang dilakukan adalah
program keanekaragaman hayati.
Kegiatan survei monitoring atau pemantauan bertujuan untuk melihat dinamika
perkembangan kondisi biodiversitas di Makam Keramat Solear. Data flora dan fauna di Makam
Keramat Solear merupakan informasi dasar (baseline information) dalam mengelola
keanekaragaman hayati. Kajian keanekaragaman hati ini merupakan bentuk komitmen nyata
PLTU 3 Banten untuk berkontribusi dalam pencapaian SDG melalui pengelolaan
keanekaragaman hayati yang berkelanjutan.
Makam Keramat Solear merupakan kawasan cakupan kerja PLTU Lontar Tangerang
dalam mengelola keanekaragaman hayati. Berdasarkan kajian keanekaragaman hayati yang
pernah dilakukan, Wisata Makam Keramat Solear memiliki biodiversitas yang cukup beragam
dengan fungsi ekologis yang tinggi sebagai ruang hidup satwa liar tersisa dikawasan
pemukiman. Terdapat jenis flora fauna yang memiliki status konservasi secara internasional
(IUCN) dan dilindungi oleh peraturan nasional (Permen KLHK 106/2018). Makam keramat
Solear juga menjadi tempat hidup bagi + 200 ekor monyet ekor panjang (Macaca fascicularis),
yang merupakan jenis dengan tingkat kepadatan tertinggi. Jumlahnya yang melebihi tingkat
daya dukung makam keramat Solear menimbulkan permasalahan tidak hanya ekologis, namun
juga secara sosial, karena telah dianggap sebagai gangguan. Berdasarkan hal tersebut, penting
untuk terus memantau dan mengumpulkan informasi mengenai dinamika keberadaan jenis
keanekaragaman hayati yang ada sebagai bentuk pengelolaan makam keramat Solear.

1.1. Maksud dan Tujuan


Tujuan kegiatan monitoring keanekaragaman hayati adalah untuk mendapatkan gambaran
kondisi terkini biodiversity di area makam keramat Solear terutama untuk flora dan fauna
terrestrial. Secara rinci tujuan kegiatan pemantauan keanekaragaman hayati adalah untuk:
1. Menyajikan informasi kondisi keanekaragaman hayati terkini di area Makam Keramat
Solear berdasarkan perbedaan musim (hujan dan kemarau)
2. Mengidentifikasi secara khusus keberadaan jenis target seperti Kucing hutan
(Prionailurus bengalensis) dan Celepuk reban (Otus lempiji)
3. Melakukan analisis ekologis singkat terkait keberadaan jenis target seperti Kucing hutan
(Prionailurus bengalensis) dan Celepuk reban (Otus lempiji)

1.2. Output Kegiatan


Berdasarkan hasil monitoring maka output kegiatan ini berupa laporan hasil kegiatan
monitoring keanekaragaman hayati flora dan fauna, yang dapat diperbandingkan dengan
informasi dasar (base line) sebelumnya untuk dapat dijadikan pertimbangan dan rujukan
dalam pengelolaan areal makam keramat Solear.
1.4. Ruang Lingkup Kegiatan
1. Melakukan survey vegetasi (flora) dan fauna pada musim hujan dan kemarau di area
makam keramat Solear menggunakan metode yang sesuai dengan karakteristik lokasi
2. Mengamati dan mengidentifikasi kondisi dan keberadaan jenis-jenis flora & fauna di
dalam area pengamatan termasuk jumlah individu & jenis
3. Menghitung indeks keragaman, keanekaragaman dan nilai penting bagi flora dan fauna
yang ditemukan
4. Mendokumentasikan secara audio, visual atau audio visual setiap flora & fauna yang
dijumpai bila memungkinkan.
5. Memetakan keberadaan jenis-jenis flora & fauna yang teramati atau dijumpai pada area
pengamatan terutama dengan status konservasi lokal, nasional maupun global.
6. Mencatat dan mendokumentasikan kegiatan manusia, baik yang berhubungan dengan
operasional perusahaan maupun yang dilakukan masyarakat sekitar, yang dijumpai pada
area pengamatan dan dapat berpengaruh terhadap perubahan kondisi keanekaragaman
hayati di area tersebut.
7. Membuat laporan status kecenderungan keanekaragaman hayati dengan format dan
template laporan untuk keperluan yang mendukung penilaian proper hijau.
2. Metode Pemantauan

2.1. Pemantauan Keanekaragaman Hayati Satwa


Pemantauan satwa ialah kegiatan pengumpulan dan analisis data hasil observasi terhadap
satwa secara berulang untuk mengetahui perubahan kondisi (struktur, komposisi, dan
keanekaragaman) satwa yang dibandingkan dengan kondisi sebelumnya (baseline) atau kondisi
yang diharapkan.
Data satwa termasuk sebagai hal yang sulit didapatkan di lapangan, apalagi jika waktu yang
tersedia sangat terbatas. Hal ini dikarenakan satwa bersifat mobile atau selalu berpindah
dan beberapa satwa sangat sensitif dengan kehadiran manusia sehingga akan menjauh sebelum
orang yang melakukan pemantauan atau evaluasi datang. Untuk mendapatkan data satwa yang
akurat, pengamat harus mengerahkan segala sumber daya, mengumpulkan informasi dari
berbagai sumber, termasuk hasil-hasil penelitian terbaru, literatur, dan informasi dari
masyarakat setempat atau petugas yang telah lama berdomisili di sekitar lokasi yang akan
disurvei.

2.1.1. Sasaran objek yang dipantau


Sasaran yang menjadi objek pemantauan yaitu satwa
bertulang belakang (vertebrata) yang terdiri atas kelas mamalia, aves, dan herpetofauna.
Pemantauan khusus juga dilakukan pada jenis-jenis satwa unggulan yang menjadi target
konservasi.

2.1.2. Indikator yang dipantau


Indikator yang dipantau dari kondisi satwa, yaitu struktur, komposisi, dan keanekaragaman.
Struktur meliputi kelimpahan relatif dan sebaran jenis dalam komunitas (indeks kemerataan
jenis). Komposisi meliputi jumlah jenis dan proporsinya menurut
berbagai kategori atau klasifikasi. Sementara itu, indikator keanekaragaman diukur dari nilai
indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wienner (Magurran, 1988).

2.1.3. Metode pengumpulan data


Metode pengumpulan data satwa untuk mendapatkan nilai indikator-indikator dari takson
mamalia, aves, dan herpetofauna dilakukan dengan metode transek atau jalur (Sutherland,
2001). Dalam metode ini, pengamat berjalan pada suatu jalur penjelajahan dengan arah
konsistenyang memotong wilayah studi secara sistematis sehingga dapat mewakili dan
mencakup semua kondisi habitat yang ada. Transek juga dapat dibuat mengikuti track yang
sudah ada, seperti sungai atau jalan setapak.
Setiap satwa yang dijumpai dicatat jenis, jumlah dan frekuensi perjumpaannya. Hal penting
lain yang juga perlu dicatat yaitu aktivitas satwa pada saat dijumpai dan tempat spesifik yang
digunakan (misalnya jenis pohon tertentu sebagai tempat tidur). Untuk mengenali suatu jenis
satwa, beberapa cara dapat dilakukan antara lain melalui jejak, feses, suara, sarang, bau, dan
tanda-tanda lain yang ditinggalkan (van Lavieren, 1982; Alikodra, 1990). Wawancara dengan
petugas lapangan dan masyarakat juga dilakukan untuk melengkapi data yang tidak tercakup
pada waktu pengamatan.

A. Burung
Kegiatan pemantauan jenis-jenis burung (aves) dapat dilakukan dengan metode observasi
burung yang umum seperti metode IPA (Indices Ponctuels d’Abundance) dengan interval
waktu 20 menit dan radiusobservasi 50 m (van Lavieren, 1982). Identifikasi jenis bisa
menggunakan buku panduan pengenalan burung yang sudah dibuat untuk seluruh wilayah
biogeografi Indonesia dan telah banyak beredar, seperti ”Panduan Lapangan Pengenalan
Burung-Burung di Jawa dan Bali” (MacKinnon, 1991), ”Panduan Lapangan Burung-
Burung Asia Tenggara” (King, 1975), ”, dan ”Panduan Lapangan Burung-Burung di
Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan” (MacKinnon et al., 1992).
Pada pengamatan burung-burung dengan habitat yang luas, metode garis transek (line
transect) dapat digunakan (Sutherland, 2004). Garis transek juga dapat diganti dengan
jalan (track) yang sudah ada atau sungai. Pengamatan dilakukan sepanjang kiri dan kanan
jalan atau sungai. Masing- masing selebar 20 m sehingga bila panjang jalan atau sungai 500
m, luas areal yang diamati sama dengan 1 ha (Pomeroy, 1992). Cara tersebut sering disebut
road-side census atau river-side census.
Observasi burung sebaiknya dilakukan pada pagi hari ketika burung-burung memulai
aktivitas atau menjelang petang ketika burung-burung kembali ke sarang. Misalnya, waktu
pengamatan dilakukan pada pukul 05.00–10.00 dan pukul 16.00–18.00 waktu setempat.
Setelah hujan berhenti di tengah hari, burung-burung juga sering mudah ditemukan. Data
yang dicatat dari pengamatan burung meliputi jenis, jumlah total individu [dari setiap jenis
yang ditemukan, frekuensi perjumpaan, dan habitat tempat ditemukan. Informasi lain juga
dapat ditambahkan, seperti strata tajuk vegetasi ketika ditemukan, aktivitas yang sedang
dilakukan, jenis makanan, dan waktu saat ditemukan.
 Observasi Otus lempiji
Celepuk reban (Otus lempiji) merupakan burung yang termasuk dalam keluarga Tytonidae atau
burung hantu yang termasuk hewan nokturnal. Umumnya hewan nokturnal akan aktif pada
malam hari mulai dari terbenamnya matahari hingga terbitnya matahari yaitu pukul 18.00 –
05.00. Pengamatan terkait ekologi celepuk reban yaitu populasi, penggunaan habitat, dan
perilaku, dilakukan dengan menggunakan metode kombinasi transect dan concentration
observation.
Transect digunakan untuk mengestimasi populasi burung yaitu dengan menyusuri lokasi
pengamatan sesuai dengan jalur yang sudah ditentukan, burung yang tercatat akan dihitung
jumlah, aktivitas, penggunaan habitat, dan keterangan. Concentration observation digunakan
untuk mengetahui penggunaan habitat dan perilaku, yaitu dengan menentukan titik pengamatan
burung yang diduga sebagai tempat bertengger dan beraktivitas. Untuk menarik celepuk reban
untuk datang, alat pemutar audio suara calling celepuk reban akan diputar berulang hingga
burung mendekat dan dapat teramati.

B. Mamalia
Pengambilan data mamalia dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, yaitu:

 Transek garis (line transect)

Pengamatan dilakukan secara eksplorasi pada transek garis 2 km, yang dilakukan pada pukul
05.30 - 11.00 WIB di pagi hari dan pukul 18.00 – 22.00 WIB dimalam hari. Metode ini
digunakan untuk mengetahui jenis-jenis mamalia yang terdapat di lokasi pengamatan. Data
yang diambil berupa jenis jumlah, aktivitas, suara, bekas cakar atau jejak, dan sarang. Untuk
setiap transek pengamatandilakukan pengulangan sebanyak 3 kali.
Gambar 1. Desain metode transek garis

 Perangkap (Life Trap)


Penggunaan metode ini bertujuan untuk mendapatkan data jenis mamalia kecil, terutama tikus,
tupai, dan bajing. Perangkap yang digunakan adalah perangkap kasmin dengan ukuran 13 x 26
x 13 cm dan umpan yang digunakan adalah kelapa bakar, selai kacang dan ikan asin. Sistem
pemasangan umpan, yaitu sistem berseling antara kelapa bakar, selai kacang dan ikan asin.
Perangkap dipasang selama 3-4 hari dengan jumlah 10 perangkap untuk setiap transek. Jarak
antar perangkap sekitar 20-40 m. Perangkap dipasang pada jalur transek garis dan diletakkan di
bawah pohon, lubang tempat bersarang mamalia kecil atau jalur yang diduga akan dilewati oleh
mamalia kecil. Pengecekan dan penggantian umpan dilakukan setiap hari setelah perangkap
dipasang selama 12-24 jam.

Trap Mamalia
kecil

Selai kacang& Selai kacang&


Ikan asin Kelapa bakar

Jarak: 20-40 m
T T
o
Line Transek :2
km

Gambar 1. Desain metode pemasangan perangkap pada transek garis


Mamalia yang tertangkap dalam perangkap kemudian dimasukkan dalam kantong kain untuk
diidentifikasi dan diukur karakter morfologinya. Beberapa karakter morfologi yang diukur
antara lain: Head-Body: Panjang tubuh total (HB), Tail: panjang Ekor (T), Ear: diameter
Telinga(E) dan Hindfoot: Panjang kaki (HF).

 Recce Walk
Pengamatan dilakukan secara eksplorasi bebas pada jalur yang berada diluar transek, seperti
jalan setapak, jalur penduduk lokal untuk mencari kayu ataupun jalan bekas logging. Waktu
pengamatan dimulai pada pagi hari (05.00-11.00) dan dilanjutkan sore hari (16.00-22.00).
Metode ini bertujuan untuk mendata jenis mamalia yang berada diluar transek. Data yang
diambil sama dengan metode pengamatan transek garis.

Gambar 2. Desain metode recce walk (eksplorasi diluar jalur transek)

 Camera Trap

Metode kamera trap digunakan untuk melihat aktivitas dan memberikan hasil secara visual dari
satwa target dalam kegiatan adalah kucing hutan. Pada kegiatan survey sebelumnya, kucing
hutan teramati berada di sekitar sungai di jalan menuju makam sisi barat. Penempatan kamera
mengikuti lokasi ditemukannya kucing hutan sebelumnya. Kamera trap akan dipasang pada
batang pohon di sekitar tempat ditemukannya kucing hutan dengan tinggi sekitar 1m dari
permukaan tanah.

Gambar 4. Kamera trap yang terpasang di batang pohon (sumber: darmasakti.com)

Kamera trap yang telah terpasang selanjutnya akan diekstrak dan dicek secara berkala data dan
batere setiap bulannya. Data yang telah diekstrak kemudian akan disimpan akan di folderisasi
terlebih dahulu sebelum dibackup kedalam Gdrive. Folderisasi menggunakan format folder
jenis hewan – waktu teramati hewan tersebut.

C. Herpetofauna
Metode yang digunakan untuk mengkoleksi data herpetofauna adalah Visual Encounter Survey
(VES). VES adalah suatu metode dimana pengamat berjalan melewati area yang telah
dirancang untuk penelitian dan dalam periode waktu tertentu pengamat secara sistematik
mencari hewan target (Heyer et al., 1994). VES dilakukan pada dua waktu, yaitu siang hari dan
malam hari. Beberapa jenis yang ditemukan pada saat VES dan merupakan jenis yang menarik
atau belum diketahui identitasnya, ditangkap dengan menggunakan tangan atau dengan bantuan
sumpit (blow gun). Selanjutnya hewan - hewan tersebut diawetkan untuk keperluan identifikasi
di laboratorium. Selain itu, dilakukan juga pengkoleksian data ekologi untuk setiap transek (tipe
hutan, suhu, dan kelembaban) dan data mikrohabitat (substrat, tinggi dari permukaan tanah dan
jarak dari air, dsb) untuk setiap spesimen yang ditemukan.
Semua hewan diidentifikasi di lapangan dengan menggunakan buku Amfibi Jawa dan Bali
(Iskandar, 1998), The Frogs of Borneo (Inger and Stuebing, 2005) dan The Amphibia of Indo-
Australian Archipelago (Van Kampen, 1923), sedangkan untuk identifikasi jenis reptil
dilakukan dengan menggunakan buku A Photographic Guide to Snakes & Other Reptiles of
Borneo (Das, 2006), A Field Guide to The Snakes of Borneo (Stuebing and Inger, 1999) dan
The Reptiles of Indo-Australian Archipelago (De Rooij, 1915).

Gambar 4. Desain metode VES (Visual Encounter Survey)

2.1.4. Peralatan dan Bahan yang digunakan


Peralatan yang digunakan dalam pemantauan satwa antara lain teropong (binocular atau
monocular), Geographic Positional System (GPS), kamera dengan lensa jauh (telelens), jam,
dan alat tulis. Bahan-bahan yang digunakan antara lain peta kerja, buku panduan pengenalan
jenis burung, panduan pengenalan jenis reptilia, panduan pengenalan jenis amfibia, dan buku
panduan pengenalan jejak satwa, serta buku catatan atau tally sheet pengamatan.

2.2. Pemantauan Keanekaragaman Hayati Flora


Mengamati perkembangan komunitas flora di areal makam keramat Solear sangat penting
karena tumbuhan merupakan komponen pokok dari suatu ekosistem. Hal ini karena tumbuhan
merupakan produsen utama dalam ekosistem yang dikonsumsi oleh konsumen pertama yaitu
satwa- satwa herbivora. Selanjutnya, satwa herbivora dimakan oleh satwa karnivora pertama,
dan satwa karnivora pertama dimakan oleh karnivora kedua atau karnivora puncak yang
kemudian mati dan diuraikan oleh organisme pengurai (detritus) atau dimakan oleh pemakan
bangkai (scavenger). Pada akhirnya, scavenger mati diuraikan oleh detritus dan menghasilkan
unsur hara yang dikonsumsi kembali oleh tumbuh-tumbuhan. Demikian seterusnya, siklus
rantai makanan (food chain) terjadi dalam suatu ekosistem.
Mengetahui status komunitas tumbuhan atau vegetasi di suatu ekosistem dapat menjadi prediksi
bagi kondisi satwa-satwa yang menjadi konsumen tumbuhan, misalnya satwa pemakan daun,
buah, biji, pucuk, nektar, dan umbi. Terdapat interaksi dan keterkaitan atau saling
ketergantungan antara unsur tumbuhan dan satwa liar. Oleh karena itu, memonitor satwa liar
berarti juga memonitor habitatnya. Dalam hal ini, tumbuhan merupakan bagian utama dari
habitat satwa liar tersebut.

2.2.1. Sasaran Objek yang dimonitor


Sasaran yang menjadi objek pemantauan yaitu tumbuhan di seluruh areal makam keramat
Solear. Terdapat dua kelompok sasaran monitoring flora pohon, yaitu jenis tumbuhan yang
digunakan sebagai tanaman pengkayaan serta tumbuhan jenis asli yang ada.

2.2.2. Indikator yang dimonitor


Indikator yang dimonitor dari kelompok flora:
- Pencatatan jenis penting
- Diameter setinggi dada (dbh)

2.2.3. Metode Pengumpulan Data


Pemantauan terhadap flora di areal makam keramat Solear dilakukan secara sampling.
Sampling diharapkan dapat mewakili kondisi populasi pohon dari jenis yang sama pada
umumnya. Metode pengukuran dilakukan dengan menggunakan metode plot kuadran.
Metode yang digunakan adalah metode garis berpetak yaitu dengan membuat petak-petak
contoh di sepanjang jalur pengamatan. Ukuran lingkaran pengukuran pohon menggunakan
ukuran 20x20m untuk ukuran pohon, 10x10m untuk ukuran tiang, 5x5m untuk ukuran pancang,
dan 2x2m untuk semai. Data yang dikumpulkan untuk tingkat pertumbuhan pohon dan tiang
adalah jenis pohon dan diameter setinggi dada. Serta melakukan pencatatan pada status
perlindungan atau konservasinya secara nasional maupun internasional.

U
500 m 1500m

Kelas B Kelas A

20 m Kelas C
10 m

Kelas Pohon:
125 m Kelas A  Pohon : DBH > 30 cm
Kelas B  Tiang : 15 - 30 cm
Kelas C  Pancang : 5 - 15 cm

Gambar 3. Bentuk plot pengukuran flora

2.3. Analisis Data


o Spesies dengan Signifikansi Konservasi
Semua data yang dikumpulkan akan ditabulasi dan diurutkan berdasarkan signifikansi konservasinya.
Status konservasi spesies ini berdasarkan IUCN Red List of Threatened Species, CITES dan Undang-
undang Indonesia untuk Spesies yang Dilindungi (Permen LHK NO 106/2018). Laporan terbaru akan
digunakan untuk memeriksa silang spesies yang diamati dengan daftar spesies yang tersedia dengan
signifikansi konservasi. Perbandingan antara jenis pada baseline, monitoring sebelumnya dengan hasil
monitoring terbaru akan memperlihatkan penambahan jumlah jenis yang ada selama operasional
perusahaan berlangsung. Berdasarkan data dan iinformasi yang dihasilkan dari kegiatan monitoring ini
akan menghasilkan rekomendasi pengelolaan pada jenis satwa yang memiliki nilai signifikasi
berdasarkan keberadaannya secara status perlindungan serta perannya di alam. Rekomendasi
pengelolaan (biodiversity offset dan biodiversity action plan) akan digunakan sebagai acuan dalam
upaya konservasi yang dilakukan perusahaan untuk mengembalikan biodiversitas yang terdampak
operasional. Rencana pengelolaan yang dibuat akan memuat detail kegiatan yang menunjang
peningkatan jumlah jenis serta pengkayaan habitat melalui pendekatan nilai karbon yang terdapat
didalamnya. Upaya mempertahankan nilai karbon sejalan dengan upaya peningkatan jenis flora dan
fauna yang ada melalui peningkatan kualitas habitat fauna.

o Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener


Untuk menentukan keanekaragaman jenis satwa vertebrata pada setiap transek dilakukan analisis dengan
menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (Krebs 1989). Indeks Shannon-Wiener atau
dikenal sebagai indeks Shannon digunakan untuk mengukur keanekaragaman dan merupakan indeks
pendugaan keanekaragaman yang paling banyak digunakan. Nilai indeks Shannon biasanya ada diantara
1,5 – 3,5 dan jarang sekali lebih dari 4,5 atau lebih dari 5 (Ludwig & Reynolds, 1988 dan Magurran,
1988). Indeks keanekaragaman Shannon-wienner, dapat dilihat pada persamaan sebagai berikut :
n
H ' =−∑ pi ln pi
i=1

dimana,
H’ = nilai indeks keanekaragaman Shannon – Wienner
Pi = Probabilitas spesies (kepadatan relative)
n = jumlah jenis

o Pielou’s Evenness index / Shannon Evenness (E)


Indeks kemerataan Pielou’s Evenness memiliki nilai antara 0 hingga 1, menunjukkan tingkat
keseimbangan persebaran jenis pada komunitas atau ekosistem. Jika nilainya semakin mendekati 1 maka
mendekati keseimbangan atau tidak ada dominansi (Krebs 1989). Untuk mengestimasi kemerataan
spesies satwa vertebrata digunakan indeks kemerataan Pielou’s, dengan persamaan sebagai berikut:
H'
J '=
H ' max
'
H max=ln S
Dimana:
J’ = Nilai indeks kemerataan Pielou’s
H’ = Nilai indeks keanekaragaman Shannon – Wienner
S = Jumlah spesies

o Kekayaan Spesies

Kekayaan spesies adalah jumlah spesies dalam komunitas. Indeks kekayaan didasarkan pada hubungan
antara S dan jumlah total individu yang diamati, N, yang meningkat dengan meningkatnya ukuran
sampel (Ludwig & Reynold 1988). Persamaan untuk indeks kekayaan digunakan Indeks Margalef
(Clifford & Stephenson 1975):

Dimana:
N = jumlah total individu dalam sampel dan
S = jumlah spesies yang tercatat
o Analisis Vegetasi

Kerapatan (batang/ha) = Jumlah individu suatu jenis


Luas seluruh petak

Kerapatan Relatif (%) = Kerapatan suatu jenis x 100 %


Kerapatan seluruh jenis

Dominansi (m2/ha) = Luas bidang dasar suatu jenis


Luas seluruh petak

Dominansi Relatif (%) = Dominansi suatu jenis x 100 %


Dominansi seluruh jenis

Frekuensi = Jumlah petak terisi suatu jenis


Jumlah seluruh petak

Frekuensi Relatif (%) = Frekuensi suatu jenis x 100 %


Frekuensi seluruh jenis
Indeks Nilai Penting = KR + FR +DR
Indeks Nilai Penting = KR + FR (Tumbuhan bawah)
1. RENCANA PELAKSANAAN KEGIATAN
3.1. Tata Waktu Pelaksanaan Kegiatan
No Jenis Kegiatan Mei Juni Juli
I II III IV I II III IV I II III IV
1 Persiapan dan Perencanaan
Lapangan
2 Survey monitoring musim kemarau
3 Pengolahan dan analisa data
hasil monitoring
4 Penyusunan laporan
5 Penyerahan draf Laporan
6 Perbaikan laporan
7 Penyerahan laporan final

No Jenis Kegiatan September Oktober November


I II III IV I II III IV I II III IV
1 Persiapan dan Perencanaan
Lapangan
2 Survey monitoring musim hujan
3 Pengolahan dan analisa data
hasil monitoring
4 Penyusunan laporan
5 Penyerahan draf Laporan
6 Perbaikan laporan
7 Penyerahan laporan final

3.2. Susunan Tim


Tim Flora 1 orang surveyor flora
Tim Fauna 1 orang surveyor fauna (Mamalia)
1 orang surveyor fauna (Burung)
1 orang surveyor fauna (Herpetofauna)

3.3. Anggaran kegiatan

Anda mungkin juga menyukai