Anda di halaman 1dari 27

PROPOSAL STUDI EKSKURSI

Observasi Flora dan Fauna di Taman Nasional Meru Betiri

Disusun oleh
Mahasiswa Biologi E 2013

PROGRAM STUDI BIOLOGI


JURUSAN PENDIDDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2016
IDENTIFIKASI PLANKTON DI EKOSISTEM MANGROVE TAMAN NASIONAL
MERU BETIRI

A. Latar belakang
Taman Nasional Meru Betiri (TNMMB) merupakan kawasan konservasi
sumber daya alam hayati beserta ekosistem yang ada didalamnya. TNMB memiliki
tiga ekosistem berbeda yakni mangrove, hutan rawa dan hutan hujan dataran rendah.
Ekosistem Mangrove TNMB berada di sebelah timur pantai Bandealit berupa muara
sungai yang luas menyerupai danau dengan didominasi Pedada (Sonneratia
caseolaris). Dengan kondisi pada musim kemarau berair dan menggenang menjadi
danau dan saat musim penghujan volum air pada muara berkurang. Dengan kondisi
muara yang seperti itu mengakibatkan tumbuhnya jenis plankton tertentu sehingga
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui keanekaragaman plankton
yang ada pada ekosistem mangrove.
Menurut Goldman dan Home (1994) Plankton adalah jenis makanan ikan
berupa organisme yang hidup melayang-layang di air tanpa memiliki kemampuan
untuk melawan gerakan air. Plankton dapat berupa fitoplankton dan zooplankton.
Kehidupan plankton ditentukan oleh suhu, pH, kecepatan arus, intensitas cahaya,
keadaan fisik, kimia serta biologi suatu perairan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang muncul dapat
dirumuskansebagaiberikut:
1. Apa saja jenis plankton yang ada yang ada di dalam ekosistem mangrove TNMB
tersebut?
2. Bagaimana perbandingan antara fitoplankton dengan zooplankton yang ada di
ekosistem mangrove TNMB?

C. Tujuan
Tujuan dari penelitian yang akan kami lakukan pada Studi Ekskursi terkait plankton
ini adalah:
1. Mengetahui jenis-jenis plankton yang ada di dalam Ekosistem Mangrove Taman
Nasional Meru Betiri.
2. Mengetahui perbandingan antara fitoplankton dengan zooplankton yang ada di
Taman Nasional Meru Betiri.

D. Batasan Masalah
Penelitian ini terbatas pada identifikasi jenis plankton di kawasan ekosistem
mangrove tanpa menghitung kepadatan maupun persebaran.
E. Metode Penelitian
a. Alat dan Bahan
1. Botol sampel fitoplankton
2. Fitoplankton net
3. Tali
4. Formalin 40%
5. Mikroskop
6. GPS
7. Pipet
8. Aquades

b. Cara Kerja
Untuk mendapatkan data fitoplankton yang akurat maka pengambilan contoh
fitoplankton perlu memperhatikan kondisi pasangsurut air laut dan tingat
kerapatan mangrove; dan dalam pelaksanaannya pengambilan contoh fitoplakton
dipilih di lokasi dengan tingkat kerapatan mangrove sedang serta kondisi perairan
dalam keadaan pasang untuk mempermudah pengambilan contoh. Jika kondisi
kerapatan mangrove tinggi maka pengambilan contoh fitoplankton dapat
dilakukan di sekitar sisi luar pantai yang dekat dengan ekosistem mangrove.
Pengambilan contoh fitoplankton dilakukan dengan menggunakan
fitoplankton net berbentuk kerucut yang mempunyai diameter bagian mulut 31
cm, panjang 100 cm dan ukuran mata jaring 0.08 mm (80 μm). Sebelum
pengambilan contoh perlu dipersiapkan alat dan bahan yang dipakai, meliputi
fitoplankton net , botol sampel, formalin 40 % dan tali 10 m. Fitoplankton net
diikat dengan tali sepanjang 10 m. Pengambilan contoh fitoplankton dilakukan
dengan menarik fitoplankton net secara horizontal. Setelah penyaringan kemudian
dibilas supaya fitoplankton yang menempel pada saringan dan net dapat terlepas
dan masuk ke dalam wadah fitoplankton. Contoh fitoplankton kemudian
dipindahkan ke dalam botol sampel dan diawetkan dengan larutan formalin ±4%
sebanyak 16 cc agar fitoplankton tidak rusak.

F. Tabulasi Data

No Jenis Ordo Lokasi


Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun...
1
2
3
4
5

G. Tekin Analisis
Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan analisis deskriptif.
PENGAMATAN AKTIVITAS HARIAN BANTENG (Bos javanicus d‟alton) DI
TAMAN NASIONAL MERU BETIRI

A. Pokok Bahasan
Banteng (Bos javanicus d‟alton) Di Taman Nasional Meru Betiri
B. Latar Belakang
Banteng (Bos javanicus d‟Alton 1832) merupakan salah satu jenis satwa liar
berkuku genap dan termasuk mamalia dalam golongan ruminantia besar. Pada masa
lampau banteng tersebar di hampir seluruh hutan Pulau Jawa (Hoogerwerf 1970).
Akan tetapi, satwa ini sangat terbatas penyebarannya yaitu hanya terdapat di Taman
Nasional Ujung Kulon, Cagar Alam Cimapag, Cagar Alam Leuweung Sancang,
Suaka Margasatwa Cikepuh, Cagar Alam Bojong Larang Jayanti, Cagar Alam
Penanjung Pangandaran, Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Baluran, dan
Cagar Alam Blambangan Purwo (Alikodra 1983).
Populasi banteng di pulau Jawa diperkirakan ± 1000 ekor, di antaranya hidup
di Taman Nasional Ujung Kulon dan Baluran yang jumlahnya kurang dari 500 ekor
(Hoogerwerf 1970). Setiap tahun satwa ini populasinya mengalami penurunan yang
sangat pesat karena semakin sempitnya habitatnya karena konversi lahan dan juga
karena perburuan ilegal yang marak terjadi.
Banteng adalah salah satu jenis satwa yang langka dan termasuk
dalamkatagori perlindungan binatang liar tahun 1931 No. 266 yang tertuang dalam
SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972. Selain itu dalam Red Data Book
IUCN (1972) banteng termasuk dalam kategori “vurnerable” yang artinya
populasinya sedang mengalami penurunan secara cepat dan tahun 2008 berubah
menjadi endangered terancam punah, contohnya di Taman Nasional Baluran yang
populasi bantengnya pada tahun 1992 sebanyak 331 sedangkan pada tahun 2007 turun
drastis menjadi 20 ekor saja (Anonim 1992 & 2007).
Perilaku merupakan ilmu dasar yang perlu dipelajari untuk usaha pelestarian
satwa liar, terutama banteng. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang
perilaku banteng ini untuk mendapatkan data terbaru mengenai perilaku banteng (Bos
javanicus d‟Alton) sehingga dapat mencegah terjadinya kepunahan terhadap satwa
ini.
C. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui dan mempelajari habitat, populasi serta beberapa
pola perilaku banteng (Bos javanicus d‟alton) di Taman Nasional Meru Betiri.

D. Alat dan Bahan


Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Binokuler : Digunakan untuk mengamati objek penelitian (banteng) dari
jarak jauh.
b. Kamera : Digunakan untuk dokumentasi hasil hasil penelitian.
c. Stop watch : Digunakan untuk mengetahui lama satwa berperilaku.
d. Tally sheet : Digunakan untuk mencatat semua data yang didapat dilapangan.
e. Senter : Digunakan untuk mengetahui perilaku banteng pada malam hari.
f. Alat tulis : Digunakan untuk mencatat data.
g. Obyek yang diamati adalah banteng.

E. Cara Kerja
1. Mempersiapkan alat yang dibutuhkan
2. Menentukan lokasi pengamatan dengan memperhatikan keberadaan populasi
Banteng (Bos javanicus d‟alton)
3. Mengamati, mengukur dan mencatat karakteristik habitat atau lokasi pengamatan
Banteng (Bos javanicus d‟alton)
4. Mengamati aktivitas Banteng (Bos javanicus d‟alton) meliputi aktivitas makan
dan minum, berpindah, istirahat dan membersihkan diri. Pengamatan dilakukan
dengan interval pengamatan 15 menit lalu istirahat 5 menit dan seterusnya sampai
waktu pengamatan usai
5. Pengamatan sebanyak dua periode dengan masing-masing periode selama tiga
jam, yakni pagi (08.00-12.00) dan sore (14.00-17.00)
6. Menghitung persentase aktivitas dengan cara membandingan antara jumlah suatu
jenis aktivitas harian yang dilakukan dibagi jumlah total perilaku harian dikalikan
100 persen.
Perilaku Bertelur Penyu di Kawasan Pantai Sukamade Taman Nasional Meru Betiri

A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, banyak terjadi perubahan pada berbagai ekosistem di Indonesia.
Beberapa perubahan tersebut disebabkan oleh kejadian yang alami, misalnya akibat
bencana alam seperti gunung meletus, dsb. Beberapa perubahan ekosistem lainnya
terjadi akibat kegiatan manusia, seperti penebangan pohon, pembukaan hutan untuk
pembuatan ladang, pencurian spesies-spesies dilindungi, dsb. Berkurangnya
keanekaragaman hayati, berubahnya struktur suatu komunitas, perubahan fungsi –
fungsi ekologi, hingga hilangnya beberapa spesies akibat dominansi spesies lain serta
berbagai permasalahan lingkungan merupakan contoh dampak perubahan ekosistem.
Berbagai usaha mulai dilakukan guna menanggulangi akibat perubahan-perubahan
yang terjadi pada ekosistem tersebut, salah satunya dengan penetapan berbagai lokasi
tertentu sebagai kawasan taman nasional dan hutan lindung. Menurut UU no. 5 tahun
1990, tentang konservasi sumber daya alam dan hayati dan ekosistemnya, taman
nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem
asli, dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman
nasional merupakan bentuk pengelolaan dalam menjalankan peran konservasi sebagai
pendukung usaha pelestarian lingkungan.
Taman Nasional Meru Betiri adalah salah satu taman nasional yang ada di
Indonesia. Taman nasional ini dikenal sebagai hutan tropis dataran rendah di Propinsi
Jawa Timur bagian Selatan, memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.
Keanekaragaman hayati tersebut meliputi kekayaan flora dengan berbagai jenis
tumbuhan yang bermanfaat sebagai obat, habitat fauna serta sebagai obyek dan daya
tarik wisata alam. Adapun Pantai Sukamade yang berada di kawasan TNMB yang
memiliki kekayaan hayati di dalamnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-V/2007
tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional,
Taman Nasional Meru Betiri mempunyai tugas pokok melaksanakan pengelolaan
ekosistem kawasan TNMB dalam rangka konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berbagai
nilai yang terdapat dalam taman nasional seperti perkonservasian fungsi hidrologi,
potensi flora fauna, dan potensi obyek dan daya tarik wisata alam, sangat besar
manfaatnya bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, taman nasional
dengan besarnya keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya menjalankan
berbagai fungsi ekologis, antara lain adalah sebagai penyimpanan cadangan karbon
dalam bentuk biomassa.
Area Pantai Sukamade pada taman nasional ini merupakan tempat berbagai
spesies penyu mendarat untuk bertelur. Hingga saat ini, pantai Sukamade di Desa
Sarongan, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi tersebut merupakan satu-
satunya pantai di Jawa Timur yang menjadi tempat bertelurnya empat dari tujuh jenis
penyu yang ada di dunia. Berdasarkan fakta kondisi populasi penyu yang semakin
berkurang, lokasi bertelur yang semakin terbuka dan tidak aman, serta jumlah
produksi telur yang semakin menurun, upaya-upaya penyelamatan perlu
dilakukan. Upaya tersebut  antara lain dengan melindungi  telur penyu di alam dan
melepaskan  tukik kembali  ke   laut. Upaya  penyelamatan  ini  harus  berkelanjutan
meskipun biaya yang disediakan dalam kegiatan  ini  cukup besar.  Hal-hal tersebut
menyebabkan kawasan Meru Betiri turut menjalankan peran dan fungsi dalam usaha
pengkonservasian penyu. Upaya – upaya yang dilakukan dalam program konservasi
tersebut dengan mengamankan telur-telur penyu dari pencurian dan meningkatkan
peluang hidup tukik pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan populasi penyu –
penyu tersebut di alam.
Begitu banyak dan penting peranan yang dimiliki oleh Taman Nasional Meru
Betiri dengan berbagai ekosistem terintegrasi. Atas dasar hal – hal tersebut, penulis
mengadakan penelitian terkait “Perilaku Bertelur Penyu di Kawasan Pantai Sukamade
Taman Nasional Meru Betiri”

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja jenis penyu yang bertelur di pantai Sukamade?
2. Bagaimana perilaku bertelur setiap jenis penyu yang ada di pantai Sukamade?
3. Berapakah jumlah induk dan telur yang dikeluarkan oleh penyu?
4. Apakah ada perbedaan jejak dan ukuran sarang pada setiap penyu?
C. TUJUAN
1. Mengetahui jenis penyu yang bertelur di pantai Sukamade.
2. Mengetahui perilaku bertelur setiap jenis penyu yang terdapat di pantai
Sukamade.
3. Mengetahui jumlah induk dan telur yang dikeluarkan oleh penyu.
4. Mengetahui perbedaan jejak dan ukuran sarang pada setiap penyu.

D. BATASAN MASALAH
Batasan masalah dari penelitian ini yaitu pada perilaku bertelur dari setiap jenis penyu
yang ada di Pantai Sukamade tanpa membahas habitat penyu.
MANAJEMEN KONSERVASI PENYU DI PANTAI SUKAMADE
TAMAN NASIONAL MERUBETIRI

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kekayaan akan
keanekaragaman flora dan fauna. Salah satu dari seluruh kekayaan fauna tersebut
adalah spesies penyu laut. Dari tujuh penyu laut. yang ada di dunia, enam diantaranya
ditemukan di peraian Indonesia dan bertelur di beberapa pantai di negeri ini. Jenis-
jenis penyu tersebut adalah: Penyu hijau (Chelonia mydas), Penyu Sisik
(Eretmochelys imbricita), Penyu Tempayan (Caretta caretta), Penyu Sisik Semu
(Lepidochelys olivacea), Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea), dan Penyu Pipih
(Natator depresus). Dari keenam jenis penyu tersebut yang paling banyak dijumpai
dan terdistribusi luas di perairan Indonesia adalah Penyu hijau (Chelonia mydas)dan
Penyu Sisik Semu (Lepidochelys olivacea).
Semua spesies penyu yang ada di dunia ini oleh Convention on International
Trade in Endenagred Species of Wild Flora and Fauna (CITES) dimasukan ke dalam
Apendix 1 sebagai hewan yang terancam punah dan dilindungi serta tidak
diperkenankan diperdagangkan dan diperjual belikan. Di Indonesia sendiri, semua
spesies penyu laut dilindungi oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan dipertegas
dengan Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis- Jenis
Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Penurunan populasi penyu yang semakin lama semakin berkurang dapat
disebabkan oleh berbagai hal, yaitu faktor alam dan faktor anthropogenic. Faktor
alami yaitu perubahan lingkungan yang terjadi secara alamiah seperti: abrasi,
perubahan suhu, penyakit, dan predator alami.Sedangkan faktor anthropogenic adalah
ancaman yang berhubungan dengan adanya aktifitas manusia, baik pemanfaatan
terhadap pantai habitat peneluran maupun pemanfaatan terhadap spesies penyu,
misalnya: pemanfaatan penyu dan telur penyu serta interaksi terhadap aktivitas
perikanan. Diantara jenis-jenis penyu tersebut yang paling banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat di Indonesia adalah penyu hijau. Akibat pemanfaatan yang tidak bijaksana
menyebabkan tidak terjadinya regenerasi dan penurunan populasi.
Berdasarkan hal tersebut, untuk mencegah adanya penurunan populasi penyu
hijau maka perlu adanya pengelolaan yang maksimal di semua habitat dimana siklus
reproduksinya berlangsung. Siklus reproduksi penyu hijau meliputi lima habitat yang
berbeda, salah satunya habitat peneluran. Habitat ini berperan untuk kelangsungan
siklus reproduksi, salah satunya adalah memproduksi tukik (anak penyu) dalam
jumlah yang maksimal. Untuk mengetahui produksi tukik di suatu pantai maka perlu
adanya tinjauan mengenai karakteristik reproduksi penyu di tempat tersebut.
Karakteristik reproduksi penyu merupakan ciri-ciri tertentu dari proses
perkembangbiakan penyu dalam usaha untuk menghasilkan generasi baru.
Salah satu habitat peneluran penyu yang ada di Indonesia adalah Pantai
Sukamade yang terletak di Dusun Sukamade, Desa Sarongan, Kecamatan
Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur yang merupakan bagian
dari kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Berbagai penelitian mengenai
karakteristik reproduksi penyu khususnya penyu hijau telah dilaksanakan di Pantai
Sukamade, namun penelitian yang lebih komprehensif mengenai beberapa
karakteristik reproduksi penyu hijau yang meliputi satu masa pengamatan belum
dilakukan. Data yang diperoleh dari penelitian ini, diharapkan dapat menjadi acuan
dalam usaha untuk meningkatkan manajemen pengelolaan di habitat peneluran Penyu
hijau khususnya di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Potensi apa saja yang dimuat dan dimiliki oleh Pantai Sukamade?
2. Mengapa penyu yang ada di Pantai Sukamade populasinya berkurang,
khususnya penyu hijau?
3. Apa saja usaha yang telah dilakukan untuk menjaga kelestarian Pantai
Sukamade, khususnya pada penyu hijau?
4. Dampak apa saja yang akan terjadi jika Pantai Sukamade dirusak?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan penelitian ini
adalah mendeskripsikan hal-hal sebagai berikut:
1. Mengetahui potensi-potensi yang dimiliki Pantai Sukamade.
2. Mengetahui sebab penyu – penyu yang ada di Pantai Sukamade populasinya
semakin berkurang, khususnya penyu hijau.
3. Melihat usaha-usaha apa saja yang telah dilakukan untuk menjaga kelestarian
Pantai Sukamade, khususnya penyu hijau.
4. Mengetahui dampak apa yang akan terjadi jika Pantai Sukamade dirusak.
D. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi Pemerintah kabupaten Banyuwangi, penelitian ini dapat digunakan
sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan konservasi penyu hijau di
Sukamade, khususnya di Taman Nasional Meru Betiri.
2. Bagi masyarakat Banyuwangi, penelitian ini dapat digunakan sebagai contoh
konservasi penyu hijau dan diharapkan mendapatkan tindak lanjut dari
pemerintah kabupaten Banyuwangi, khususnya Dinas Pariwisata.
3. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian dapat digunakan sebagai
pengetahuan dan masukan tentang pengembangan potensi wisata yang
selanjutnya dapat digunakan sebagai penelitian serupa pada bentuk penelitian
lain dan terhadap objek berbeda.
E. Definisi Operasional
Definisi operasional bertujuan untuk memberikan batasan pengertian terhadap istilah-
istilah yang digunakan dalam penelitian agar tidak menimbulkan persepsi lain. Istilah-
istilah yang didefinisikan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Banyuwangi adalah salah satu kabupaten yang terletak di Jawa Timur bagian
utara adalah Kabupaten Situbondo, sebelah timur adalah selat Bali, sebelah
selatan adalah samudera Indonesia dan sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Jember dan Bondowos. Terletak 1130 53’-1140 38’ BT dan 7043’ -
80 46’ LS dengan luas 2.948,87 km2 (banyuwangiikad.go.id)
2. Pantai Sukamade adalah salah satu objek wisata yang terdapat di zona
pemanfaatan intensif TNMB (Taman Nasional Meru Betiri) yang sangat
potensial untuk kegiatan ekowisata. Atraksi yang bisa dilakukan adalah
pengamatan penyu bertelur, pelepasan tukik, bird watching, camping,
pengamatan rafflesia, dan berkano. Pantai Sukamade merupakan habitat penyu
bertelur (sukamade.com).
3. Potensi alam adalah sumber daya alam yang terdapat di suatu daerah dan
dapat dikembangkan menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat jika dikelola
dengan baik tetapi tidak merusak alam yang ada.
4. Taman Nasional Meru Betiri adalah salah satu kawasan pelestarian alam
yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, dapat menjadi tujuan
wisata alam yang sangat potensial di wilayah propinsi Jawa Timur. Secara
geografis, kawasan Taman Nasional Meru Betiri terletak pada 13 038’38” –
113058’30” BT dan 8020’48” – 8033’48” LS. Adapun batas-batas wilayah
kawasannya meliputi:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan kawasan PT. Perkebunan Nusantara
XII Kebun Malangsari dan kawasan hutan Perum PERHUTANI.
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kali Sanen, kawasan PT.
Perkebunan Nusantara XII Kebun Sumberjambe, PT. Perkebunan
Treblasala dan Desa Sarongan.
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia.
d. Sebelah Barat berbatasan dengan kawasan hutan Perum PERHUTANI,
PT. Perkebunan Nusantara XII Kebun Kalisanen, Kebun Kota Blater,
Desa Sanenrejo, Desa Andongrejo dan Desa Curahnongko
(merubetiri.com).
ANALISIS VEGETASI TANAMAN OBAT DI HUTAN HUJAN TROPIKA DI
TAMAN NASIONAL MERUBETIRI

A. LATAR BELAKANG
Kawasan Taman Nasional Meru Betiri merupakan hutan hujan tropis dengan
formasi hutan bervariasi yang terbagi ke dalam 5 tipe vegetasi yaitu vegetasi hutan
pantai, vegetasi hutan mangrove, vegetasi hutan rawa, vegetasi hutan rheophyte dan
vegetasi hutan hujan dataran rendah. 
Hutan Hujan Tropika Dataran Rendah merupakan hutan campuran antara hutan
hujan dataran rendah dengan hutan hujan tropis pegunungan. Aneka flora hutan hujan
tropis dataran rendah menutupi hampir semua permukaan daratan Taman Nasional Meru
Betiri yang memiliki iklim panas dan curah hujan cukup banyak, serta terbagi merata.
Hutan hujan tropis pegunungan di atas ketinggian 600 - 1.300 m dpl. Sebagian besar
kawasan hutan Taman Nasional Meru Betiri merupakan tipe vegetasi hutan hujan tropika
dataran rendah. Pada tipe vegetasi ini juga tumbuh banyak jenis epifit, seperti anggrek
dan paku-pakuan serta liana. Jenis tumbuhan yang banyak dijumpai diantaranya jenis
walangan (Pterospermum diversifolium), winong (Tetrameles nudiflora), gondang
(Ficus variegata), budengan (Diospyros cauliflora), pancal kidang (Aglaia variegata),
rau (Dracontomelon mangiferum), glintungan (Bischoffia javanica), ledoyo (Dysoxylum
amoroides), randu agung (Gossampinus heptaphylla), nyampuh (Litsea sp), bayur
(Pterospermum javanicum), bungur (Lagerstromia speciosa), segawe (Adenanthera
microsperma), aren (Arenga pinnata), langsat (Lansium domesticum), bendo
(Artocarpus elasticus), suren (Toona sureni), dan durian (Durio zibethinus). Terdapat
pula vegetasi bambu seperti : bambu bubat (Bambusa sp), bambu wuluh
(Schizastychyum blumei), dan bambu lamper (Schizastychyum branchyladium). Di dalam
kawasan juga terdapat beberapa jenis rotan, diantaranya : rotan manis (Daemonorops
melanocaetes), rotan slatung (Plectomocomia longistigma), rotan warak (Plectomocomia
elongata) dan lain-lain.
Hingga saat ini di kawasan Taman Nasional Meru Betiri telah teridentifikasi flora
sebanyak 518 jenis, terdiri 15 jenis yang dilindungi dan 503 jenis yang tidak dilindungi.
Contoh jenis yang dilindungi yaitu Balanopora (Balanophora fungosa) yaitu tumbuhan
parasit yang hidup pada jenis pohonFicus spp. dan Padmosari/Rafflesia (Rafflesia
zollingeriana) yang hidupnya tergantung pada tumbuhan inang Tetrastigma sp. Selain itu
terdapat pula jenis flora sebagai bahan baku obat/jamu tradisional, dimana berdasarkan
hasil uji petik di lapangan telah teridentifikasi sebanyak 239 jenis yang dapat
dikelompokkan dalam 7 habitus, yaitu bambu, memanjat, herba, liana, perdu, semak dan
pohon.
Jenis-jenis tumbuhan obat di Taman Nasional Meru Betiri berdasarkan bagian
yang digunakannya dibagi ke dalam 19 bagian, yaitu air batang, akar, batang/kayu, biji,
buah, bunga, cabang/ranting, daun, getah, kulit batang, pucuk daun, rimpang, semua
bagian, umbi, zat pati/zat pahit, nira, abu kayu, air kelapa dan herba bagian atas.
Beberapa jenis tumbuhan obat unggulan yang menjadi prioritas untuk dikembangkan
adalah Cabe Jawa (Piper retrofractum), Kemukus (Piper cubeba), Kedawung (Parkia
roxburghii), kluwek/pakem (Pangium edule), kemiri (Aleuritus moluccana), pule pandak
(Rauwolfia serpentina), kemaitan (Lunasia amara), anyang-anyang (Elaeocarpus
grandiflora), sintok (Cinnamomum sintok), dan kemuning (Murray paniculata).
Tumbuhan obat memiliki beberapa kelebihan antara lain efek sampingnya
relative rendah, dalam suatu ramuan dengan komposisi yang berbeda memiliki efek yang
saling mendukung, pada satu tanaman memiliki lebih dari satu efek farmakologi serta
lebih sesuai untuk penyakit –penyakit metabolik dan degeneratife. Efek samping
tumbuhan obat relatife kecil bila digunakan secara benar dan tepat. Tumbuhan obat akan
bermanfaat dan aman jika digunakan dengan tepat, baik takaran, waktu dan cara
penggunaan, pemilihan bahan serta penyesuaian dengan indikasi tertentu. 

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diidentifikasi beberapa permasalah sebagai
berikut :
1) Belum adanya informasi mengenai persebaran dan frekuensi keberadaan jenis-jenis
tanaman obat di hutan hujan dataran rendah TNMB.
C. Pembatasan Masalah
Tumbuhan berkhasiat obat merupakan jenis tumbuhan yang telah diketahui dan
dimanfaatkan oleh masyarakat disekitar hutan TNMB.
D. Rumusan Masalah
1. Apa saja jenis tanaman obat yang ada di hutan hujan dataran rendah TNMB?
2. Bagaimana sebaran jenis tanaman obat di hutan hujan dataran rendah TNMB?
E. Tujuan
1. Mengetahui jenis tanaman obat yang ada di hutan hujan dataran rendah TNMB.
2. Mengetahui Bagaimana sebaran jenis tanaman obat di hutan hujan dataran rendah
TNMB.
F. Manfaat
Manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Bagi Peneliti
1) Dapat menambah pengetahuan tentang tingkat keanekaragaman hayati tumbuhan
obat.
2) Dapat menambah wawasan ilmu inventarisasi tumbuhan obat.
b. Bagi Masyarakat
1) Dapat menambah informasi bagi masyarakat tentang pemanfaatan tumbuhan obat
yang masih dapat ditemukan di hutan hujan dataran rendah TNMB.
2) Dapat menambah informasi bagi masyarakat untuk menjaga dan melestarikan
hutan.
c. Instansi pemerintah dan pengelola TNMB
1) Sebagai referensi bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang
keanekaragaman jenis tumbuhan berkhasiat obat.
2) Informasi penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak pengelola kawasan
konservasi dan masyarakat sebagai acuhan dalam menyusun kebijakan terkait
upaya perlindungan dan pelestarian potensi tumbuhan obat dan pemanfaatannya
sebagai bentuk pengetahuan lokal yang perlu dijaga.
G. METODE PENELITIAN

1. Tempat dan Waktu penelitian


Tempat penelitian di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) sebagian ikut
wilayah pemerintahan daerah Jember dan sebagiannya lagi ikut wilayah
pemerintahan daerah Bnyuwangi. Lokasi pengambilan data dikonsentrasikan
pada habitat hutan hujan tropika dataran rendah. Waktu penelitian sekitar akhir
november 2016.
2. Alat dan Objek Penelitian
 Alat :
1. Patok
2. Tali (plastic terpilin lebih baik) (3 ball raksasa)
3. Meteran panjang (roll meter) (30 meter)
4. Pisau tajam (1 buah)
5. Kantong plastic tipis (1 kg) (100 biji)
6. Steples kecil dengan isinya (1 buah)
7. Kertas label (100 lembar)
8. Spidol permanen kecil (1 buah)
9. Kamera ( 1 buah)
10. Buku kunci determinasi tumbuhan obat
11. Kompas
12. GPS
13. Termometer
 Objek penelitian
Objek penelitian adalah tumbuhan obat yang berada di hutan hujan tropika dataran
rendah TNMB.
3. Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan dalam penelitian ini terdiri atas 3 tahap yaitu sebagai berikut :
a. Tahap persiapan
Tahap persiapan pada penelitian ini meliputi kegiatan pembuatan peta untuk
menentukan titik sampel yang akan dilakukan untuk pengambilan data. Untuk
pengambilan data. Untuk pengambilan data metode yang digunakan dalam
mengambil data vegetasi adalah dengan analisis vegetasi menggunakan metode garis
berpetak. Pada petak ukur persegi data yang diambil adalah tegakan pada tingkatan
pohon dalam petak 20 m x 20 m, pada tingkat tiang dalam petak 10 m x10 m,
pancang dalam petak 5 m x 5 m dan permudaan atau semai, perdu, liana ataupun
semak dengan ukuran petak 2 m x 2 m.

Penempatan petak contoh dilakukan dengan metode garis berpetak yang


peletakannya disusun secara sistematik dengan awal purpossive sampling yaitu
berdasarkan keberadaan tanaman obat yang sudah diketahui oleh masyarakat di
Taman Hutan Raya Tongkoh. Jarak antargaris rintis 200 m dan jarak antarplot di
dalam garis rintis adalah 100 m. Jarak antargaris rintis dan jarak antar petak
ditentukan berdasarkan jarak antar peta kontur. Metode ini digunakan karena efektif
untuk kondisi topografi, kemudahan teknis, dan keterwakilan tumbuhan obat di
Taman Nasional Meru Betiri (TNMB).
b. Tahap Pelaksanaan
Tahapan pelaksanaan pada penelitian ini meliputi kegiatan pengambilan data baik
data primer dan data sekunder. Data Primer merupakan data yang diambil langsung
di lapangan. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode inventarisasi berupa
pohon, tumbuhan bawah, perdu, liana, dan semak yang berkhasiat obat yang ada di
dalam petak contoh. Ukuran tiap petak contoh disesuaikan dengan tingkat
pertumbuhan yaitu 20 m × 20 m fase pohon, 10 m × 10 m fase tiang, 5 m × 5 m fase
pancang, dan 2 m × 2 m fase semai. Hal ini dilakukan untuk menghitung kerapatan,
dan frekuensi.
Data Sekunder merupakan data yang sifatnya mendukung data primer yang diperoleh
melalui studi literatur, keadaan umum lokasi penelitian, antara lain: letak, keadaan
fisik lingkungan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat yang bersumber dari data
yang sudah ada di aparat desa maupun pemerintah setempat, serta data tentang
khasiat berbagai jenis tumbuhan obat.
c. Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan mentabulasi data tersebut yang diperoleh
langsung di lapangan. Analisis data pada penelitian ini yaitu dengan analisis vegetasi.
Parameter analisis vegetasi yang diukur adalah sebagai berikut (Indriyanto, 2006).
1. Kerapatan
Jumlah individu untuk jenis ke−i
K=
luas keseluruhan petak contoh
2. Frekuensi
jumlah petak contoh ditemukannya suatu jenis ke−i
F=
jumlah seluruh petak contoh
Data hasil perhitungan tersebut disajikan dalam bentuk tabel dan histogram. Data
yang disajikan dalam bentuk tabel berupa data nama lokal, nama latin, famili serta
kegunaan setiap jenis tumbuhan obat. Data dalam bentuk histogram berupa data
jumlah jenis tumbuhan obat setiap habitus yang ditemukan di Taman Nasional Meru
Betiri (TNMB).

H. DAFTAR PUSTAKA

Ruslan, M. 1986. Studi Perkembangan Kelembagaan Dalam Pengelolaan Kawasan Daerah


Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan UNLAM Mandailing Kalsel. Depdikbud. hlm.
57-60.

Soerianegara, I dan A, Indrawan, 1978, Ekologi Hutan Indonesia, Lembaga Kerjasama


Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Taman Nasional Meru Betiri. 2016. Flora. Diakses melalui


http://merubetiri.com/detail_statis/id/18/potensi_flora.html pada tanggal 5 Oktober
2016 pukul 23.00 WIB.
STUDI POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE DI TAMAN NASIONAL MERU
BETIRI

A. Latar belakang
Studi zonasi di perairan pantai berbatu telah banyak dilakukan, sebaliknya studi
zonasi di perairan pantai bersubstrat lunak (pasir dan lumpur) masih sangat kurang.
Demikian pula informasi mengenai zonasi di perairan pantai di daerah subtropis lebih
mudah diperoleh dibandingkan dengan di daerah tropis (Morton, 1990). Hal ini
disebabkan karena penelitian mengenai zonasi di perairan pantai daerah tropis masih
belum banyak dilakukan, tidak terkecuali di Indonesia.

Ekosistem hutan mangrove sering disebut juga hutan payau karena terdapat di
daerah payau (estuarin), yaitu daerah dengan kadar garam atau salinitas antara 0,5% dan
30%. Ekosistem mangrove berperan dalam melindungi garis pantai dari erosi, gelombang
laut dan angin topan, serta berperan juga sebagai buffer (perisai alam) dan menstabilkan
tanah dengan menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air
sungai dan yang kemudian terbawa ke tengah laut oleh arus.

Secara alami, hutan mangrove tersebar luas dan tumbuh rapat di sebagian besar
wilayah pesisir pantai Indonesia salah satunya di TN Meru Betiri. Namun di TN Meru
Betiri belum ada data/informasi yang spesifik mengenai zonasi mangrove TN Meru Betiri
sehingga perlu adanya penelitian untuk mengetahui zonasi mangrove tersebut. Zonasi
mangrove ini dapat diketahui dengan dasar perakaran.

Jumlah perakaran mangrove merupakan salah satu karakteristik perakaran yang


dapat menjadi indikator dari kesesuaian mangrove terhadap habitatnya. Kesesuaian
tersebut berkorelasi positif dengan kemampuan perakaran mangrove dalam menghasilkan
fungsi perlindungan sebagai pengakumulasi substrat lumpur dan pengurang kecepatan
arus. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian mengenai perbedaan jumlah perakaran,
ketebalan substrat lumpur, dan pengurangan kecepatan arus pada berbagai lokasi. Dengan
adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi terkait dengan pengelolaan
kawasan mangrove yang lebih baik lagi kedepannya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut
1. Apa karakteristik perakaran jenis tumbuhan penyusun utama mangrove di Taman
Nasional Meru Betiri?
2. Bagaimana pola zonasi jenis tumbuhan penyusun utama mangrove Taman Nasional
Meru Betiri berdasarkan karakteristik perakarannya?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan penelitian ini yaitu:
1. Mengetahui karakteristik perakaran jenis tumbuhan penyusun utama mangrove di
Taman Nasional Meru Betiri.
2. Mengetahui zonasi jenis tumbuhan penyusun utama mangrove Taman Nasional Meru
Betiri berdasarkan karakteristik perakarannya.

D. Manfaat
Penelitian ini memiliki beberapa manfaat di antaranya yaitu:
1. Memberikan informasi ilmiah mengenai zonasi mangrove di Taman Nasional Meru
Betiri
2. Rekomendasi konservasi mangrove di Taman Nasional Meru Betiri untuk
mengoptimalkan fungsi ekologisnya.
3. Bahan referensi bagi penelitian selanjutnya tentang zonasi mangrove.

E. Studi Literatur
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi
oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang
surut air berlumpur (Nybakken,1998 dalam Amran,2014). Menurut Hutcing dan Saenger
(1987), flora mangrove terdiri atas pohon, epifit, liana, alga, bakteri, dan fungi. Flora
mangrove dunia terdiri dari 20 familia, 30 genus, dan lebih kurang 80 spesies. Sementara
jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove Indonesia sekitar 89 jenis yang
terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2
jenis parasit (Soemodihardjo, et al., 1993).

1. Zonasi Mangrove
Zonasi adalah kumpulan vegetasi yang saling berdekatan, mempunyai sifat
atau tidak sama sekali jenis yang sama,walaupun tumbuh dalam lingkungan yang
sama dimana dapat terjadi perubahan lingkungan yang dapat mengakibatkan
perubahan nyata diantaranya kumpulan vegetasi. Perubahan vegetasi tersebut terjadi
pada batas yang jelas, tidak jelas atau bisa terjadi bersama-sama (Anwar, et al., 1984).
Menurut Aksornkoae (1993), berdasarkan sifat-sifat serta lokasi ditemukannya
mangrove, maka definisi dari mangrove yang umum diterima adalah vegetasi holopit
yang tumbuh didaerah pasang surut sepanjang areal pantai dan satu-satunya sistem
makrofit laut yang memiliki areal biomassa yang terhampar mulai dari daerah tropis
sampai daerah subtropis. Bengen (2002) menyatakan bahwa hutan mangrove tumbuh
dengan membentuk zonasi ke arah darat. Salah satu tipe zonasi di Indonesia diketahui
terdiri atas Avicennia spp pada daerah yang paling luar dengan substrat agak berpasir
dan Avicenniaspp biasanya berasosiasi dengan Sonneratia spp. Zona berikutnya
adalah Rhizophora spp, Bruguiera spp,dan pada zona transisi hutan darat dan laut
banyak ditumbuhi oleh Nypa fruticans.
Watson (1928) dalam Kusmana (1995) berpendapat bahwa hutan mangrove
dapat dibagi menjadi lima bagian berdasarkan frekuensi air pasang, yaitu; zonasi yang
terdekat dengan laut, akan didominasi oleh Avicennia spp dan Sonneratia spp, tumbuh
pada lumpur lunak dengan kandungan organik yang tinggi. Avicennia spp tumbuh
pada substrat yang agak keras, sedangkan Avicennia alba tumbuh pada substrat yang
agak lunak; zonasi yang tumbuh pada tanah kuat dan cukup keras serta dicapai oleh
beberapa air pasang. Zonasi ini sedikit lebih tinggi dan biasanya didominasi oleh
Bruguiera cylindrica; ke arah daratan lagi, zonasi yang didominasi oleh Rhyzophora
mucronata dan Rhyzophora apiculata. Jenis Rhyzophora mucronata lebih banyak
dijumpai pada kondisi yang agak basah dan lumpur yang agak dalam. Pohon-pohon
yang dapat tumbuh setinggi 35-40 m. Pohon lain yang juga terdapat pada hutan ini
mencakup Bruguiera parviflora dan Xylocarpus granatum; hutan yang didominasi
oleh Bruguiera parviflora kadang-kadang dijumpai tanpa jenis pohon lainnya; hutan
mangrove di belakang didominasi oleh Bruguiera gymnorrhiza.
Gambar Pola Zonasi Mangrove (Bengen, 2004)

Menurut Bengen dan Dutton (2004) dalam Northcote dan Hartman (2004)
zonasi mangrove dipengaruhi oleh salinitas, toleransi terhadap ombak dan angin,
toleransi terhadap lumpur (keadaan tanah), frekuensi tergenang oleh air laut. Zonasi
yang menggambarkan tahapan suksesi yang sejalan dengan perubahan tempat
tumbuh. Perubahan tempat tumbuh sangat bersifat dinamis yang disebabkan oleh laju
pengendapan atau pengikisan. Daya adaptasi tiap jenis akan menentukan komposisi
jenis tiap zonasi.
2. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove
Menurut Anwar, et al (1984), ungsi dan manfaat hutan mangrove dibagi
menjadi tiga golongan besar.
a. Secara fisik dapat menjaga kestabilan garis pantai, mempercepat perluasan
lahan,melindungi pantai dari tebing sungai, dan mengolah bahan limbah
b. Secara biologis merupakan tempat pemijahan dan pembesaran benih-benih ikan,
udang, dan kerang-kerangan, tempat bersarang dan mencari makan burung-
burung, serta habitat alami bagi banyak biota
c. Secara ekonomi merupakan salah satu daerah pesisir yang cocok untuk tambak,
tempat pembuatan garam, rekreasi, dan produksi kayu

F. Metode
1. Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada November 2016 di Taman Nasional Meru Betiri
(TNMB) Pantai Bandealit Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Jember dan
Banyuwangi, Jawa Timur, Indonesia.
2. Alat

a. termometer air raksa i. kompas


b. refraktometer j. kantung plastik
c. pH meter k. label
d. GPS l. alat-alat tulis
e. Roll meter m. data sheet
f. transek quadrat (1 m )2
n. skop
g. tali raffia gunting o. buku identifikasi mangrove
h. kamera

3. Langkah Kerja
a. Penentuan Stasiun Penelitian
Penentuan stasiun penelitian pada bagian ekosistem yang banyak terdapat
populasi mangrove. Stasiun pengamatan ditetapkan pada area sepanjang transek
garis yang dibentangkan mulai dari batas daratan tumbuhnya mangrove sampai
batas laut dimana mangrove masih tumbuh. Transek dimulai dari arah laut
menuju ke daratan dan tegak lurus garis pantai. Masing-masing plot transek
memiliki jarak sekitar 150 meter, sedangkan jarak antar stasiun sekitar 500 meter.

Gambar skematik penempatan transek pengukuran vegetasi mangrove di lokasi


pengamtan

i. Pengambilan Data Vegetasi


Data vegetasi berupa data deskripsi kualitatif dan kuantitatif. Data
kualitatif adalah data karakteristik morfologi dan jenis tanaman mangrove
yang disesuaikan dengan buku identifikasi tanaman mangrove. Data
kuantitatif berupa data jumlah populasi di setiap plot dan jumlah individu
dalam populasi.
ii. Pengambilan Data Parameter Fisika-Kimia
Tabel parameter lingkungan mangrove dan metode atau alat pengukurannya.
iii. Analisis Data
Analisa data yang dilakukan menggunakan analisa Bengen (2004)
mencangkup nilai kerapatan jenis, kerapatan relatif, frekuensi jenis, dan
frekuensi relatif.
a) Kerapatan jenis dan kerapatan relatif
Kerapatan Jenis (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area
Keterangan:
Di : Kerapatan jenis ke-i
ni : Jumlah total tegakan ke-i
A : Luas area total pengambilan contoh

Kerapatan relatif (RDi) adalah perbandingan antara jumlah tegakan


jenis i dan jumlah total tegakan seluruh jenis (Σn)
Keterangan:
RDi : Kerapatan relatif jenis ke-i
ni : Jumlah total tegakan dari jenis ke-i
Σn : Jumlah total tegakan seluruh jenis

b) Frekuensi jenis dan frekuensi relatif


Frekuensi (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam plot yang
diamati
Keterangan:
Fi : Frekuensi jenis ke-i
Pi : Junlah plot ditemukannya jenis ke-i
ΣP : Jumlah plot pengamatan

Frekuensi relative (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i


(Fi) dengan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (ΣF)
Keterangan:
RFi : Frekuensi relative jenis i
Fi : Frekuensi jenis ke-i
ΣF : Jumlah frekuensi untuk seluruh jenis

G. Daftar Pustaka
Arman, Saru. 2014. Potensi Ekologis dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Wilayah
Pesisir. Bogor: IPB Press.
Bengen, D. G. 2004. Pedoman Teknis: Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
PKSPL-IPB. Bogor.
Kusmana, C. 1995. Manajemen Hutan Mangrove Indonesia. Lab Ekologi Hutan. Jurusan
Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.
Morton, J. 1990. The shore ecology of the tropical Pacific. Unesco Regional Office for
Science and Technology for South-East Asia. Jakarta. 282 pp.
Talib, Muhammad Firly. 2008. Struktur dan Pola Zonasi (Sebaran) Mangrove serta
Makroobenthos yang Berkoeksistensi, di Desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil
Kabupaten Kupang. IPB. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai