Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Hutan pegunungan di Indonesia umumnya merupakan hutan tropis dengan luas sekitar
109 juta hektar yang membentang dari pulau Sumatera hingga Papua (WWF, 2003). Pada
umumnya, hutan tropis memiliki banyak sungai yang mengalir dengan berbagai variasi kondisi
fisik yang dipengaruhi oleh aktivitas dari lingkungan sekitarnya. Tolak ukur dari variasi kondisi
fisik ini diantaranya: suhu, salinitas, pH dan konduktivitas. Keempat elemen tersebut sangat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup di sekitarnya. Diketahui
beberapa jenis spesies anura menghabiskan seluruh hidupnya di dalam atau sekitar wilayah
perairan. Oleh karena kebutuhan yang sangat tinggi terhadap sumber air, keberlangsungan
hidup jenis anura tersebut sangat bergantung terhadap kondisi fisik perairan. Hal tersebut
dikarenakan anura lebih sensitif terhadap perubahan kondisi fisik perairan dibanding jenis lain
karena beberapa karakter anatomi yang dimilikinya. (Eskew, Price, & Dorcas, 2012 dalam
Dhany, 2014).

Berdasarkan perilaku anura terhadap makrohabitat yang dihuninya, maka jenis-jenis


kodok dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1) Jenis hutan, yaitu jenis-jenis kodok yang tidak
toleran terhadap perubahan habitat hutan menjadi habitat hasil modifikasi manusia, seperti
hutan sekunder, ladang dan pemukiman manusia; (2) Jenis non-hutan, yaitu jenis-jenis kodok
yang berasosiasi dengan kehidupan manusia. Habitat hasil modifikasi manusia merupakan
habitat yang mereka suka, seperti sawah, ladang dan kolam; (3) Jenis generalis, yaitu jenis-
jenis kodok yang bertoleransi besar terhadap perubahan habitat; mereka dapat hidup di hutan
primer atau terganggu sampai kepada habitat buatan manusia, seperti sawah, ladang dan kolam
yang dekat dengan hutan; tetapi mereka tetap tidak bisa hidup jauh dari hutan. (Inger &
Stuebing, 1989 dalam Helen, 2010).

Leptophryne borbonica atau kodok jam pasir, merupakan salah satu jenis anura yang
habitatnya masuk dalam kategori jenis hutan. Kodok jam pasir diketahui menghabiskan seluruh
hidupnya di sekitar wilayah perairan, serta seringkali ditemukan di sekitar aliran sungai yang
jernih dan berarus lambat. Sebagian kodok ini dapat ditemukan menempel pada dedaunan
herba yang pendek di sekitar sungai, sebagian lainnya ditemukan di permukaan tanah atau
bebatuan di sekitar aliran air, dan beberapa bahkan ditemukan berada di dalam aliran air
(Iskandar, 1998 dalam Dhany, 2014). Persebaran kodok jam pasir hanya ditemukan di daerah
hutan primer, salah satunya hutan pegunungan tropis di Bodogol. Oleh karena itu, perlu
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan ekologi sungai terhadap adaptasi kodok jam
pasir di sepanjang aliran sungai.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang dapat dirumuskan “Apakah terdapat pengaruh kondisi lingkungan
terhadap adaptasi dari kodok jam pasir (Leptophryne borbonica) di PPKAB’

C. Tujuan Penelitian
- Mengetahui interaksi kodok dengan lingkungannya
- Mengetahui cara adaptasi kodok dengan lingkungannya
- Mengetahui bagaimana perilaku kodok dengan lingkungannya
- Mengetahui populasi kodok jam pasir dalam suatu lingkungan bodogol
D. Manfaat Penelitian
 Memberikan informasi kepeneliti berikutnya bahwa lingkungan dapat mempengaruhi
perilaku spesies dari kodok jam pasir
 Memberikan edukasi dan menambah informasi bagi para pembaca tentang kodok jam
pasir dan lingkungannya
 Menambah data terkait kodok ja pasir di ppkab
E. Hipotesis

Terdapat hubungan antara kondisi fisik dengan keberadaan kodok jam pasir
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Kawasan hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah
satu taman nasional tertua di Indonesia yang dijadikan sebagai kawasan Cagar Biosfer.
Letaknya di tiga Kabupaten yaitu Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Luas TNGGP berdasarkan
SK Menhut No 174/Kpt.s-II/tanggal 10 Juni 2003 keseluruhannya menjadi ± 21.975 ha yang
awalnya ± 15.196 ha. Perluasan kawasan berasal dari areal Perum Perhutani yang berada pada
bagian pinggiran kawasan TNGGP berbatasan dengan lahan masyarakat. Di wilayah kerja
resort Bodogol areal perluasannya telah ditanami beberapa jenis tumbuhan produksi penghasil
kayu oleh Perum Perhutani diantaranya jenis rasamala (Altingia excelsa) dari suku
Hammamelidaceae (Petugas TNGGP).
Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol (PPKAB) merupakan wilayah konservasi
yang terletak di kaki gunung bagian selatan gunung gede pangrango. wilayah ini memiliki luas
lebih dari 300 ha dan ketinggiannya berkisar antara 700-800 meter di atas permukaan laut.
PPKAB didirikan pada tahun 1998, melalui konsorsium yang diprakarsai oleh Conservation
International Indonesia, Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Yayasan Alam
Mitra Indonesia. Kawasan ini merupakan salah satu zona pemanfaatan kawasan Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang diupayakan dapat berperan serta dalam
konservasi keanekaragaman hayati dan memperkenalkan kekayaan alam hutan hujan tropis
kepada masyarakat umum dan masyarakat sekitar kawasan TNGGP (Ario, et al., 2011).
Wilayah PPKAB memiliki luas 300ha dan berada pada koordinat 6o31’788” LS dan
106o49’727”BT (Arrijani, 2008). Ketinggian berkisar antara 700-1.500 m dpl dan memiliki
topografi berupa perbukitan yang berjajar memanjang dari Timur ke Barat. Di studi area
Bodogol, curah hujan rata-rata setiap bulan yaitu berkisar 312,2 mm dengan curah hujan
tertinggi pada bulan Desember yaitu 733 mm dengan suhu minimum rata-rata 18oC dan suhu
maksimum rata-rata 32oC (Ario, et al., 2011).

PPKA memiliki beberapa jalur penelitian yang mencakup hampir seluruh tipe habitat
di kawasan tersebut. Tujuan pembuatan jalur-jalur ini adalah sebagai sarana untuk
memudahkan kegiatan penelitian, meskipun beberapa jalur lebih difokuskan untuk jalur studi
wisata. Adapun jalar-jalur penelitian tersebut antara lain: Cipadaranteun, Afrika, Cikaweni,
Rasamala, Tangkil, Cipanyairan I dan Cipanyairan II. Walaupun jalur-jalur tersebut memang
difungsikan untuk kegiatan penelitian, namun ada beberapa jalur yang jarang dilalui yaitu
Tangkil, Cipanyairan I dan Cipanyairan II. Ketiga jalur ini jarang digunakan untuk penelitian
karena jaraknya yang jauh dan kondisi jalur yang terjal, tertutup oleh herba dan perdu sehingga
sulit untuk dilalui (Ario, et al., 2011).

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango merupakan habitat dari satwa liar. Tercatat
109 jenis mamalia, 260 jenis burung diantaranya yang termasuk langka dan endemic, 11 jenis
reptilia dan 10 jenis amphibi. di kawasan TnGP terdapat lima jenis primata dan satwa liar
lainnya antara lain Anjing hutan (Cuon alpinus javanicus), Babi hutan (Sus scrofa), Kijang
(Muntiacus muntjak), kucing hutan (Prionailurus bengalensis), macan tutul (Panthera pardus)
dan kodok jam pasir (Leptophryne borbonica).
Leptophryne borbonica berukuran kecil ramping, mempunyai sepasang kelenjar tiroid kecil
yang terkadang tidak jelas. Bagian atas kepala tidak mempunyai alur bertulang, moncong
meruncing, gendang telinga kecil dan tidak jelas. Ujung jari tangan dan kaki agak
membengkak, jari kaki ketiga dan kelima membentuk jaringan sampai ke benjolan subarikuler.
Bagian kulit punggung berbintik-bintik kecil, sedangkan bagian perut halus dengan sedikit
bintik-bintik kecil dan berbentuk bulat telur (Iskandar, 1998).

Leptophryne borbonica atau kodok jam pasir, meskipun bukan merupakan kodok akuatik
sejati, namun sebagian besar kodok ini diketahui menghabiskan seluruh hidupnya di sekitar
wilayah perairan (Dhany, 2014). Leptophryne borbonica yang merupakan kelas Bufonidae
yang berhabitat utama di daerah terestrial dengan habitat minor pada fossorial, arboreal dan
riparian (Suherman, 2013). Kodok ini seringkali ditemukan di sekitar aliran sungai yang jernih
dan berarus lambat. Sebagian kodok ini seringkali ditemukan menempel pada dedaunan herba
yang pendek di sekitar sungai, sebagian lainnya ditemukan di permukaan tanah atau bebatuan
di sekitar aliran air, dan beberapa bahkan ditemukan berada di dalam aliran air (Iskandar,1998
dalam Dhany, 2014).

Amfibi, khususnya bangsa Anura dapat bertahan hidup dengan suhu air berkisar 2°C sampai
dengan 35°C. Kisaran suhu tersebut, sesuai dengan habitatnya mulai dari pegunungan yang
dingin hingga pantai yang panas (Susanto 1992: 29 dalam Suherman, 2013). Amfibi memiliki
asosiasi dengan beberapa tempat atau mikrohabitat yang tidak biasa seperti gua, bebatuan
besar, celah batu, dan tumbuhan bromeliad (Wells 2007: 42 dalam Suherman, 2013).

Menurut Suherman, 2013 Kehadiran individu Leptophryne borbonica berpengaruh nyata


positif sangat kuat oleh suhu udara, kenaikan suhu udara akan meningkatkan kehadiran
individu dan penurunan suhu udara akan menurunkan kehadiran individu Leptophryne
borbonica, sedangkan suhu air dan suhu udara tidak berpengaruh nyata dengan kehadiran
individu Leptophryne borbonica.

Autekologi adalah cabang ekologi yang mempelajari tentang sifat dan kelakuan individu
spesies atau populasi yang berhubungan dengan tempat hidup mereka. Penekanan autekologi
adalah masalah siklus hidup, distribusi individu spesies pada kondisi alaminya, adaptasi,
perbedaan populasi dan lain-lain. Kajian autekologi penting untuk menjelaskan struktur dan
dinamika suatu komunitas. Berhubung karena kajian autekologi merupakan suatu yang
kompleks, maka pemahaman terhadap spesies pada suatu komunitas adalah penting, sebab
dapat digunakan sebagai dasar untuk memahami masalah vegetasi secara keseluruhan

Subbagian autekologi termasuk demekologi (spesiasi), ekologi populasi dan demografi


(aturan ukuran populasi), ekologi fisiologi (ekofisologi), dan genekologi (genetik).
Autekologiawan mencoba untuk menjelaskan mengapa terjadi distribusi spesies tertentu.
Bagaimana sifat fenologis, fisiologis, morfologis, prilaku, atau sifat genetis yang tampak
pada habitat tertentu. Mereka mencoba untuk menggambarkan pengaruh lingkungan pada
level populasi, organismik, dan suborganismik. Selanjutnya autekologiawan mencoba untuk
meringkas semua itu sebagai suatu pola adaptasi spesies agar tetap hidup (survive).
Autekologi dapat bergerak dengan mudah ke dalam spesialisasi lain di luar bidang ekologi,
seperti fisiologi, genetika, evolusi, dan biosistematik.

Hubungan timbal balik atau yang dikenal dalam pengetahuan ekologi sebagai interaksi antara
organisme dengan lingkungannya. Lingkungan tersebut merupakan gabungan 10 komponen
fisik maupun hayati yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme yang ada di
dalamnya.Autekologi adalah cabang ekologi yang mempelajari hubungan timbal balik suatu
spesies terhadap lingkungannya (Zoer’aini, 1991).
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada tanggal 16-19 agustus 2018 di PPKAB, jawa barat

B. Metode

Metode yang digunakan adalah purposive sampling

1. Alat dan Bahan

Alat dan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah salinometer, pH meter, soil tester,
hygrometer, thermometer, caliper, dan tallysheet

2. Prosedur Penelitian
 Peneliti mengikuti jalur dan sepanjang sungai untuk menemukan kodok jam pasir
 Peneliti mencatat jumlah dari kodok jam pasir
 Mencatat kondisi fisik seperti ph air, salinitas air, kelembapan udara, suhu udara, dan ph
tanah
 Selain itu peneliti juga mencatat anura jenis lain di sekitar habitat kodok jam pasir
C. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Daftar pustaka

Ario, A. 2011.Panduan Lapangan Mengenal Satwa Taman Nasional Gunung Gede


Pangrango. Conservation International Indonesia: Jakarta

Dhany A, Arini K, Talita A, Dien A, dan Mohamad I N. (2014). Kelimpahan Kodok Jam Pasir
Leptophryne Borbonica Di Sepanjang Aliran Sungai Cisuren, Bodogol, Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango. Jakarta: Biologi UNJ Press

Djufri. 2012. Autekologi Akasia (Acacia nilotica) di Taman Nasional Baluran Jawa Timur. Universitas
Syiah Kuala. Aceh

Iskandar, D. T. (1998). The amphibians of Java and Bali. Research and Development Centre
for Biology Lipi.

Ramadhan, M. Fajri. Dkk. 2013. Autekologi Nepenthes pitopangii di kawasan Taman Nasional Lore
Lindu Sulawesi Tengah. Universitas Tadulako. Palu

Suherman, Muhammad. (2013). Dinamika populasiamfibi pada tiga sungai di kawasan


Gunung Payung, Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Depok: Departemen Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.

Zoer’aini Djamal Irwan. 1991. Prinsip prinsip Ekologi EKOSISTEM.Fakultas Arsitektur Lansekap
Universitas Trisakti. Jakarta.

https://www.conservation.org/global/indonesia/media/Documents/Publikasi/2011/CI_Indonesia_2
011_OWA_JAWA_Anton_Ario.pdf

Anda mungkin juga menyukai