Anda di halaman 1dari 63

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Amfibi merupakan satwa yang menyukai dan tinggal di daerah
berhutan lembab dan bahkan beberapa spesies seluruh hidupnya tidak bisa
lepas dari air (Mistar 2003). Amfibi umumnya didefinisikan sebagai hewan
bertulang belakang (vertebrata) yang hidup di dua alam, yakni di air dan di
darat. Amfibi adalah salah satu satwa yang kurang mendapat perhatian dalam
penelitian di Indonesia sebagai salah satu komponen ekosistem, padahal
amfibi sendiri merupakan salah satu fauna komponen penyusun ekosistem
yang memiliki peranan penting bagi kelangsungan proses ekologi dan
merupakan bagian keanekaragaman hayati yang menghuni habitat perairan,
daratan atau terestrial hingga arboreal. Ancaman kelestarian amfibi dapat
berupa satu atau kombinasi dari berbagai penyebab seperti pengurangan
habitat, pencemaran, introduksi spesies eksotik, penyakit dan parasit, serta
penangkapan lebih (Stuart et al., 2004).
Sebagian besar jenis amfibi di Indonesia termasuk ordo ketiga, yaitu
Anura (katak dan kodok) yang merupakan ordo yang paling dikenal oleh
masyarakat luas dan ditemukan di hampir seluruh belahan dunia (Iskandar,
1998). Ordo Anura merupakan salah satu ordo dalam kelas amfibi yang terdiri
atas katak dan kodok yang memiliki jumlah ordo yang cukup banyak, dengan
jumlah spesies 5.208 spesies (Stuarte dkk., 2008: 2). Ordo Anura merupakan
ordo yang paling mudah ditemukan di Indonesia, yaitu mencapai sekitar 450
jenis atau 11% dari seluruh jenis Anura di dunia. Penyebaran Ordo Anura
(katak) terdapat di seluruh Indonesia dari Sumatera, Kalimantan, Jawa sampai
Papua, jumlahnya mencapai sekitar 450 jenis (Iskandar, 1998: 29-30). Habitat
utama anura adalah hutan primer, hutan rawa, sungai besar, sungai sedang,
anak sungai, kolam, dan danau (Mistar, 2003).
Anura merupakan fauna yang peka terhadap perubahan kondisi
lingkungan seperti pencemaran air, perusakan habitat asli, introduksi spesies
eksotik, penyakit dan parasit (Kusrini et. al., 2008). Anura merupakan bagian
2

dari komponen ekosistem yang memiliki peranan penting bagi stabilitas


lingkungan. Anura yang dalam beberapa spesiesnya dapat menjadi
bioindikator dari kualitas lingkungan seperti hutan dan perairan karena anura
sangat sensitif terhadap ekologi dan perubahan iklim. Anura juga memegang
peranan penting pada rantai makanan dan memiliki berbagai kegunaan bagi
manusia baik secara ekologi maupun ekonomi karena membantu manusia
menanggulangi hama serangga, sebagaimana pakan utama hampir seluruh
jenis Anura adalah serangga.
Salah satu lokasi penyebaran Amfibi di Jawa Barat adalah Ranca Upas
Ciwidey, Jawa Barat. Sesuai dengan namanya, kawasan ini merupakan areal
hutan lindung dengan beragam ekosistem dari hutan dataran rendah sampai
pegunungan dengan ketinggian mencapai 1.700 mdpl. Penelitian Amfibi di
kawasan Ranca Upas Ciwidey, Jawa Barat belum banyak dilakukan sehingga
informasi yang tersedia pun masih terbatas. Adapun penelitian Amfibi yang
telah dilakukan mengenai Karakteristik Habitat dan Populasi Katak Pohon
Jawa (Rhacophorus margaritifer) Dalam Upaya Pelestarian (Taufik, 2018).
Habitat Amfibi di Kawasan Ranca Upas Ciwidey, Jawa Barat telah
dimanfaatkan juga sebagai wana wisata diantaranya adalah smart camp,
penangkaran rusa, pemandian air panas, kids playground, dan masih banyak
lagi. Objek wisata tersebut banyak diminati oleh masyarakat, yang ditandai
dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan. Peningkatan jumlah
wisatawan akan berpengaruh terhadap kondisi fisik lingkungan (Lucyanti et
al. 2014) yang pada akhirnya akan berpengaruh juga terhadap
keanekaragaman amfibi di Ranca Upas Ciwidey, Jawa Barat. Akan tetapi,
informasi keanekaragaman Amfibi di areal ini belum tersedia, padahal begitu
banyak manfaat amfibi bagi manusia.
Ordo anura merupakan salah satu fauna yang diharapkan dilakukan
pelestarian supaya keberadaannya terhindar dari kepunahan. Salah satu tempat
yang diperkirakan menjadi habitat ordo anura ini adalah wilayah di kawasan
Ranca Upas Ciwidey. Wilayah kawasan Ranca Upas Ciwidey merupakan
salah satu wilayah yang umum digunakan untuk wisata, namun belum adanya
penelitian lebih lanjut mengenai keanekaragaman ordo anura dalam upaya
3

pelestarian di kawasan Ranca Upas Ciwidey, Jawa Barat menjadi alasan


penelitian ini dilakukan, serta diharapkan dapat dijadikan referensi bagi
peneliti selanjutnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, telah dilakukan
penelitian mengenai studi keanekaragaman amfibi (ordo anura) di kawasan
Ranca Upas Ciwidey, Jawa Barat dalam upaya mengetahui keanekaragaman
dan bisa menjadi acuan untuk pelestarian di masa depan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka
rumusan masalah yang didapat sebagai berikut: Bagaimana keanekaragaman
amfibi (ordo anura) di kawasan Ranca Upas Ciwidey, Jawa Barat ?

1.3 Pertanyaan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah di atas beberapa pertanyaan penelitian
yang diajukan ialah:
1. Bagaimana karakteristik habitat yang ditempati oleh ordo anura di
kawasan Ranca Upas?
2. Bagaimana keragaman ordo anura yang terdapat di kawasan Ranca Upas?
3. Bagaimana kelimpahan tiap spesies di kawasan Ranca Upas?

1.4 Batasan Masalah


Agar permasalahan dalam penelitian ini terfokus pada hal yang
diharapkan, maka ruang lingkup batasan masalah meliputi:
1. Populasi ordo anura yang dihitung merupakan estimasi kelimpahan.
2. Jenis amfibi yang diamati adalah dari ordo Anura muda hingga dewasa
baik itu jantan maupun betina yang masuk pada wilayah pengamatan.
3. Karakteristik habitat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data
abiotik dan jenis vegetasi.

1.5 Tujuan Penelitian


4

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui keanekaragaman amfibi


(ordo anura) dalam upaya pelestarian di kawasan Ranca Upas Ciwidey, Jawa
Barat.

1.6 Manfaat Penelitian


Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memberikan informasi mengenai keanekaragaman amfibi (ordo anura)
dalam upaya pelestarian di kawasan Ranca Upas.
2. Memberikan informasi mengenai keanekaragaman amfibi (ordo anura)
sebagai upaya konservasi dan manajemen habitat yang lebih baik.
3. Melengkapi database dan memperbarui kekayaan hayati di kawasan
Ranca Upas.
4. Sebagai usaha untuk meningkatkan perhatian masyarakat umum terhadap
keberadaan amfibi terutama ordo anura di alam.

1.7 Struktur Organisasi Penelitian


Di dalam penelitian ini dapat dijelaskan urutan penulisan setiap bab dan
bagian bab yang ada dalam skripsi. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi
latar belakang penelitian, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, batasan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi skripsi.
Bab II merupakan kajian pustaka atau landasan teori dan hipotesis penelitian
yang merupakan bagian penting dalam skripsi, yaitu sebagai landasan teoritik
terhadap topik atau permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Di dalam bab
ini pula dipaparkan tentang kenakeragaman, kondisi wilayah penelitian, gambaran
wilayah studi.
Bab III menjelaskan metode penelitian yang berisikan desain penelitian,
populasi dan sampel penelitian, waktu dan lokasi penelitian, prosedur penelitian
dan analisis data yang digunakan pada saat penelitian.
Bab IV memaparkan mengenai hasil temuan dan pembahasan yang terdiri
dari dua hal, yakni pengolahan data temuan, dan pembahasan temuan berdasarkan
hasil yang didapat pada penelitian yang telah dilakukan. Pembahasan temuan pada
bab ini berupa jawaban atas rumusan masalah dan pertanyaan penelitian.
5

Bab V berisi kesimpulan, implikasi dan rekomendasi yang menyajikan


penafsiran dan pemaknaan penelitian terhadap hasil pembahasan temuan
penelitian sekaligus mengajukan hal-hal penting yang dapat dimanfaatkan dari
hasil penelitian tersebut.
Selain berisi sejumlah bab inti yang telah disebutkan, skripsi ini dilengkapi
dengan daftar pustaka dan lampiran. Daftar pustaka berfungsi sebagai sumber
rujukan bagi pembaca mengenai sejumlah kepustakaan yang digunakan dalam
penelitian ini. Pada bagian akhir skripsi ini disajikan pula beberapa lampiran
terkait dengan seluruh proses dan hasil penelitian.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keanekaragaman Hayati


Biodiversitas atau keanekaragaman hayati adalah berbagai macam bentuk
kehidupan, peranan ekologi yang dimilikinya dan keanekaragaman plasma nutfah
yang terkandung di dalamnya (Mackinnon et al., 2000). Keanekaragaman hayati
baik langsung atau tidak, berperan dalam kehidupan manusia baik dalam bentuk
sandang, pangan, papan, obat-obatan, wahana wisata dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Peran tak kalah penting lagi adalah dalam mengatur proses ekologi
sistem penyangga kehidupan termasuk penghasil oksigen, pencegahan
pencemaran udara dan air, mencegah banjir dan longsor, penunjang keseimbangan
hubungan mangsa dan pemangsa dalam bentuk pengendalian hama alami (Utomo,
2006a).
Keanekaragaman hayati merupakan istilah yang berkenan dengan
berbagai kehidupan di bumi. Keanekaragaman hayati adalah kekayaan hidup,
jutaan tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme, genetika yang dikandungnya, dan
ekosistem dimana kehidupannya berlangsung. Setiap tingkatan organisme tersebut
penting bagi manusia karena merupakan sumber daya yang memiliki nilai
ekonomis dan ekologis yang cukup tinggi. Ekosistem hutan sebagai contoh,
keanekaragaman spesies menghasilkan berbagai macam flora dan fauna yang bisa
dimanfaatkan sebagai sumber pangan, tempat bernaung, obat-obatan dan
kebutuhan hidup lainnya (Primack et al., 1998). Indonesia merupakan negara
dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi artinya Indonesia
menjadi salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia yang dikenal sebagai
negara mega-biodiversity.
Keanekaragaman hayati dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: 1)
keanekaragaman spesies, hal ini mencakup semua spesies di bumi, termasuk
bakteri dan Protista, 2) keanekaragaman gen, variasi genetik dalam satu spesies,
3) keanekaragaman komunitas. Komunitas biologi yang berbeda serta asosiasinya
dengan lingkungan fisik (ekosistem) masing-masing.
7

Ketiga tingkatan keanekaragaman hayati itu diperlukan untuk kelanjutan


hidup di bumi dan penting bagi manusia. Keanekaragaman spesies
menggambarkan seluruh cakupan adaptasi ekologi, serta menggambarkan evolusi
spesies terhadap lingkungan tertentu. Keanekaragaman hayati merupakan sumber
daya hayati dan sumber daya alternatif bagi manusia. Semakin menurunnya
keanekaragaman hayati ini telah disadari semua pihak sebagai akibat perubahan
lingkungan yang berasal dari kegiatan manusia, pemukiman, perusakan hutan,
perluasan area pertanian, dll.

2.2 Deskripsi Umum Amfibi


Amfibi merupakan satwa poikilotherm atau ektotermik yang berarti amfibi
tidak dapat menggunakan proses metabolisme di dalam tubuhnya untuk dijadikan
sebagai sumber panas, tetapi amfibi memperoleh sumber panas dari lingkungan
untuk mendapatkan energi, oleh karena itu amfibi mempunyai ketergantungan
yang tinggi terhadap kondisi lingkungan (Mistar, 2003). Satwa poikiloterm
mempunyai metabolisme yang rendah, oleh karena itu mereka mampu tidak
makan dalam waktu yang relatif lama. Namun demikian, beberapa jenis katak
makan setiap hari atau beberapa hari sekali, kecuali pada saat dorman dimana
mereka bisa tidak makan sampai beberapa bulan (Kusrini, 2008). Keadaan
dorman dilakukan pada saat kondisi lingkungan tidak mendukung kehidupan
amfibi (Cogger, 1999).
Amfibi adalah hewan yang umumnya tetrapoda/berkaki empat dan hidup
di dua habitat, yaitu air dan daratan. Kata Amphibia berasal dari bahasa Yunani
yaitu amphi yang artinya rangkap serta bios yang artinya kehidupan. Kondisi
lingkungan tempat tinggal amfibi umumnya lembab, amfibi termasuk hewan yang
bertelur dan telur yang dihasilkan umumnya disembunyikan di perairan. Setelah
telur menetas dan akhirnya menjadi larva (berudu), berudu akan tinggal di
perairan dan bernafas menggunakan insang. Setelah berkembang dan menjadi
katak dewasa maka tempat hidupnya sering berada di darat dan bernafas dengan
menggunakan paru-paru. Namun ada juga spesies yang tidak keluar dari air
semasa dewasa. Amfibi ditemukan pada semua tipe habitat, pada hutan, padang
pasir ataupun padang rumput.
8

Suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi


lingkungan. Suhu dan kelembaban yang sesuai sangat diperlukan bagi kehidupan
amfibi. Anura mempunyai kisaran suhu antara 3-35,7oC yang dapat ditolerir untuk
menunjang kehidupannya. Beberapa jenis amfibi di iklim dingin berjemur untuk
menaikkan suhu tubuh agar tetap stabil (Cogger, 1999). Kebanyakan amfibi
nokturnal dan hanya aktif ketika kondisi lingkungannya cukup lembab untuk
mengurangi dehidrasi pada tubuhnya (Cogger and Zweifel, 2003). Kelembaban
dibutuhkan untuk membuat kulit amfibi tidak kering karena kulit berfungsi
sebagai alat pernafasan. Selain itu kulit katak bersifat permeabel dimana berfungsi
sebagai tempat keluar masuk air dan udara (Cogger, 1999).
Amfibi hidup selalu berasosiasi dengan air (Iskandar, 1998). Air dapat
menjaga perubahan temperatur pada tubuhnya sehingga amfibi selalu berada dekat
dengan air. Jumlah air dalam tubuh kira-kira 70-80 % dari berat tubuh amfibi
(Hofrichter, 2000). Ada beberapa jenis amfibi tinggal di daerah yang jauh dari air,
sehingga mereka mengembangkan berbagai strategi untuk mempertahankan
kandungan air dalam tubuhnya.
Amfibi dewasa bernafas menggunakan paru-paru, sedangkan pada amfibi
muda (saat baru menetas disebut sebagai berudu) umumnya bernafas dengan
insang. Pada saat metamorfosis, terjadi perubahan dari segi morfologis dimana
bentuk serupa ikan pada berudu yang bernafas dengan insang ini berubah menjadi
vertebrata bertungkai yang bernafas dengan paru-paru. Air sangat dibutuhkan oleh
amfibi pada saat fase berudu. Menurut Mistar (2003) fase berudu merupakan
bagian dari proses evolusi amfibi yang paling kompleks, dan apabila gagal dalam
fase ini maka selamanya tidak akan pernah menjadi katak/ kodok.
Amfibi mempertahankan diri dari pemangsa dan penyakit dengan
mempunyai berbagai bentuk mekanisme pertahanan diri. Menurut Kusrini (2009)
mekanisme pertahanan diri tersebut antara lain pewarnaan pada warna kulit
amfibi. Pewarnaan berfungsi sebagai kamuflase atau memperingatkan predator
bahwa amfibi tersebut beracun/ berbahaya. Beberapa jenis amfibi yang tidak
berbahaya kadang-kadang mempunyai warna yang serupa dengan amfibi
berbahaya, hal tersebut digunakan untuk mengelabuhi predator mereka. Bentuk
dan warna amfibi yang menyerupai lingkungan sekitar juga digunakan amfibi
9

untuk menyulitkan predator untuk memangsa, seperti yang dilakukan oleh katak
terestrial yang hidup di lantai hutan biasanya mempunyai bentuk yang mirip
dengan serasah (Duellman and Trueb, 1994). Amfibi mempunyai kulit yang tetap
lembab yang berfungsi untuk mencegah masuknya bakteri atau patogen lainnya.
Beberapa jenis katak mempunyai kelenjar beracun, racun tersebut berwarna susu
atau bening akan dikeluarkan oleh katak jika mengalami gangguan/ ancaman (van
Hoeve, 1992). Amfibi juga mempunyai mekanisme pertahanan diri dengan cara
menggigit.
Amfibi hidup pada daerah yang dekat dengan air. Tetapi ada beberapa
jenis yang hidup pada daerah yang jauh dari air seperti pada amfibi terestrial dan
katak pohon (Iskandar, 1998). Amfibi mempunyai habitat yang bervariasi mulai
dari habitat sawah, rawa dan kolam, sedangkan menurut Iskandar (1998) habitat
amfibi bervariasi mulai di sawah, rawa, sekitar sungai di dataran rendah sampai
tinggi, bahkan di pundak pohon di hutan-hutan pegunungan. Hampir 5.000 jenis
amfibi di dunia tergantung pada hutan sebagai tempat hidupnya. Habitat terestrial
lain tidak begitu disukai oleh amfibi khususnya tempat yang kering, seperti
padang rumput dan gurun (IUCN, 2008).
Beberapa jenis amfibi merupakan jenis-jenis yang mempunyai habitat/
hanya dapat hidup pada daerah yang spesifik (mikrohabitat) yang masih alami
disebut amfibi spesialis. Contoh dari amfibi spesialis ini yaitu kongkang jeram
(Huia massonii) yang hanya hidup pada daerah yang masih alami dimana hidup
didaerah yang beraliran deras dan mempunyai air yang jernih. Beberapa jenis lagi
merupakan amfibi yang dapat hidup dalam tekanan/ dekat lingkungan yang
tercemar/ dekat dengan hunian manusia. Jenis ini merupakan jenis-jenis amfibi
yang semakin banyak seiring dengan meningkatnya populasi manusia dimana
dalam hidupnya jenis-jenis ini mampu bertahan atau bahkan dapat hidup baik
dengan kondisi lingkungan yang sudah tidak alami. Jenis-jenis amibi ini
umumnya merupakan jenis yang umum dijumpai atau disebut sebagai amfibi
generalis. Contoh dari amfibi generalis yaitu kodok buduk (Bufo melanostictus)
dan kongkang kolam (Rana chalconota).
Amfibi secara fisik mengembangkan dua pasang tungkai sebagai alat
gerak, memiliki kulit dengan permukaan lembab, dari yang licin sampai yang
10

kasar dan bergranula. Seluruh ordo Anura kehilangan ekornya pada masa dewasa,
kepalanya langsung bersambung dengan tubuhnya tanpa butuh leher yang bisa
mengerut seperti penyu dan tungkainya suda cukup berkembang dengan kaki
belakang lebih panjang. Menurut Iskandar (1998), katak mudah dikenali dengan
tubuhnya yang tampak seperti berjongkok dengan empat kaki, dengan kaki
belakang untuk melompat berukuran lebih panjang dari pada kaki depan, leher
tidak jelas dan tidak berekor. Matanya berukuran besar dengan pupil mata
horizontal dan vertikal, ada pula yang berbentuk berlian atau segitiga yang khas
untuk jenis-jenis tertentu. Ujung-ujung jari anura tidak berbentuk, silindris atau
berbentuk piringan yang pipih, kadang-kadang juga mempunyai kulit lateral lebar,
dan ada juga kelompok dengan ujung jari berbentuk ganda. Kaki depannya
memiliki empat jari, sedangkan kakinya belakang lima jari. Selaput kulit tumbuh
di antara jari-jari dan keberadaannya bervariasi pada tiap jenis.
Amfibi pada umumnya memiliki perbedaan bentuk morfologi dan corak
warna yang berbeda pada saat muda dan sudah dewasa. Kulit tubuh anura
bervariasi dari yang halus pada beberapa jenis katak, sampai kasar dan tertutup
oleh tonjolan-tonjolan pada jenis kodok. Pada beberapa jenis, ukuran katak
terdapat lipatan dorsolateral, lipatan supratimpanik yang berawal dari belakang
mata yang memanjang di atas pangkal paha, serta lipatan supratimpanik yang
berawal dari belakang mata yang memanjang di atas gendang telinga dan berakhir
didekat pangkal lengan.
Integumen atau biasa disebut sebagai kulit merupakan suatu organ yang
melapisi permukaan tubuh dan berfungsi untuk melindungi lapisan di bawahnya
dari pengaruh luar misalnya dari pathogen. Pada umumnya amfibi memiliki kulit
yang tipis, banyak pembuluh darah dan selalu basah. Kondisi kulit tersebut pada
amfibi berperan sebagai alat respirasi. Bahkan beberapa jenis amfibi paru-parunya
mereduksi sehingga sistem respirasi hanya menggunakan kulit saja atau disebut
respirasi cutaneous (Hutchin et.al, 2003). Selain itu di dalam kulit juga terdapat
reseptor yang dapat mengenali perubahan lingkungan (Junqueira, 1998).
Amfibi dikenal sebagai makhluk dua alam. Amfibi tersebar di semua
benua kecuali benua Antartika, umumnya dijumpai pada malam hari atau pada
musim penghujan seperti di kolam, aliran sungai, pohon-pohon maupun di gua
11

(Simon dan Schuster’s, 1989). Iskandar (1998) menyatakan bahwa amfibi selalu
hidup berasosiasi dengan air sesuai namanya yaitu hidup pada dua alam (di air dan
di darat).
Menurut Alikodra (2002), habitat satwa liar yaitu suatu kesatuan dari
faktor fisik maupun biotik yang digunakan untuk untuk memenuhi semua
kebutuhan hidupnya. Odum (1971) mengartikan habitat suatu individu sebagai
tempat dimana individu tersebut hidup. Berdasarkan habitatnya, katak hidup pada
daerah pemukiman manusia, pepohonan, habitat yang terganggu, daerah
sepanjang aliran sungai atau air yang mengalir, serta pada hutan primer dan
sekunder (Iskandar, 1998). Habitat utama amfibi adalah hutan primer, hutan rawa,
sungai besar, sungai sedang, anak sungai, kolam dan danau (Mistar, 2003).
Mistar (2003) menjelaskan bahwa habitat yang paling disukai oleh amfibi
adalah daerah berhutan karena membutuhkan kelembaban yang stabil, dan ada
juga yang tidak pernah meninggalkan perairan sama sekali. Berdasarkan
kebiasaan hidupnya amfibi dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok,
yakni:
a) Teresterial, spesies-spesies yang sepanjang hidupnya berada di lantai
hutan, jarang sekali berada pada tepian sungai, memanfaatkan genangan
air atau di kolam di lantai hutan serta di antara serasah daun yang tidak
berair tetapi mempunyai kelembaban tinggi dan stabil untuk meletakkan
telur. Contohnya Megophrys aceras, M. nasuta dan Leptobracium sp.
b) Arboreal, spesies-spesies amfibi yang hidup di pohon dan berkembang
biak di genangan air pada lubang-lubang pohon di cekungan lubang
pohon, kolam, danau, sungai yang sering dikunjungi pada saat berbiak.
Beberapa spesies arboreal mengembangkan telur dengan membungkusnya
dengan busa untuk menjaga kelembaban, menempel pada daun atau
ranting yang di bawahnya terdapat air. Contohnya seperti Rhacophorus sp,
Philautus sp dan Pedostibes hosii.
c) Aquatik, spesies-spesies yang sepanjang hidupnya selalu berada pada
badan air, sejak telur sampai dewasa, seluruh hidupnya berada pada
perairan mulai dari makan sampai berbiak. Contohnya antara lain
Occidozyga sumatrana dan Rana siberut.
12

d) Fossorial, spesies yang hidup pada lubang-lubang tanah, spesies ini jarang
dijumpai. Amfibi yang termasuk dalam kelompok ini adalah suku
Microhylidae yaitu Kaloula sp dan semua jenis sesilia (Mistar, 2003).

2.3 Karakteristik Ordo Anura


Anura, suatu ordo amfibia tanpa ekor, yang mencakup kodok dan
bangkong, yang sekaligus merupakan amfibia yang paling berhasil, dengan tidak
kurang dari 250 genus dan sekitar 2.600 spesies. Mereka tersebar luas di semua
kawasan, baik yang beriklim sedang maupun yang beriklim tropis, kecuali
beberapa pulau kecil di Samudera Pasifik. Beberapa spesies hidup di iklim
gersang Patagonia dan yang lain lagi di lingkaran kutub di Eropa.
Amfibi terdiri dari 4 ordo yaitu Ordo Anura, caudata, caecillia, dan juga
Proanura yang telah punah. Anura dapat diartikan sebagai hewan yang tidak
memiliki ekor. Ciri umum dari Ordo Anura ini adalah tidak memiliki ekor, kepala
yang bersatu dengan badan, tidak terdapat leher akan tetapi perkembangan tungkai
sempurna. Adapun tungkai depan ukurannya lebih kecil dari tungkai belakang.
Terdapat membran timpanum dengan ukuran yang besar dan letaknya pada bagian
mata. Mata dari Ordo Anura berukuran besar, fertilisasi dilakukan pada perairan
dangkal serta tenang (Duelman, 1986).
Ordo Anura (katak dan kodok) merupakan kelompok dari kelas amfibia
yang tidak memiliki ekor, umumnya hidup di air dan tempat yang lembab di darat.
Katak dan kodok masuk ke dalam kelompok terbesar dan paling terkenal di antara
tiga kelompok amfibia. Saat dewasa, mereka tidak lagi memiliki ekor, berbeda
dari amfibia lainnya. Ekor katak dan kodok diabsorbsi selama metamorfosis dari
tahap larva ke tahap dewasa. Istilah “kodok” sering digunakan untuk mengacu
hanya terhadap para anggota genus Bufo, tetapi juga digunakan lebih luas untuk
menyebut setiap spesies darat yang bergerak lamban dengan tubuh pendek dan
kulit kasar berbintil, sedangkan istilah “katak” umumnya ditujukan untuk spesies
yang memiliki tekstur kulit lebih halus dan licin, serta bergerak lebih lincah
(David, 2010).
Bangsa Anura paling umum dijumpai di Indonesia, Sumatera sedikitnya
tercatat 110 jenis, 6 famili yaitu; Bufonidae, Dicroglossidae, Megophryidae,
13

Microhylidae, Ranidae, dan Rhacophoridae. Persebaran amfibia ordo Anura


terdapat diseluruh benua, kecuali benua Antartika, dan tidak ada satupun amfibia
yang hidup di lautan (Mistar, 2003). Kebanyakan katak dan kodok bertubuh
pendek dan kaku yang khas, dengan kepala lebar dan besar, punggung pendek,
kaki depan jauh lebih kecil dibanding kaki belakang, serta tanpa ekor.
Kebanyakan spesies memiliki mata lebar menonjol dan gendang telinga (timpani)
mencolok. Mulutnya lebar, banyak spesies memiliki lidah lengket sehingga
mereka dapat menjulurkannya dengan sangat cepat untuk menangkap mangsa.
Betina biasanya lebih besar daripada jantan. Jantan dari banyak spesies memiliki
kaki depan lebih kekar dan berotot. Ini memungkinkan jantan mencengkram
betina dengan kuat saat kawin (posisi ampleksus) (David, 2010).
Kulit Anura umumnya polos dan halus, tanpa sisik atau rambut untuk
melindunginya. Kulit dapat ditembus air. Meskipun ada banyak kelenjar mukosa
yang membantu menjaga kulit tetap lembab, kebanyakan Anura cepat mengalami
kekeringan jika tidak berada di tempat lembab. Kulit katak dan kodok sangat
beragam. Di satu sisi, kulit sebagian kodok sangat keras, dan digunakan sebagai
pengganti kulit keras. Di sisi lain, ada katak yang berkulit sangat tipis sehinggga
organ dalamnya dapat terlihat dari luar. Kodok biasanya memiliki kulit kasar dan
kering yang tertutup bintil serta ada duri kecil di beberapa spesies. Katak biasanya
memiliki kulit yang lembab, halus dan licin.
Tidak semua Anura memiliki kelenjar racun di kulit, kebanyakan
menghasilkan sekresi yang tidak disukai dan beracun bagi predator. Umumnya
kulit Anura mengandung sel pigmen, banyak diantaranya berwarna cerah yang
mencolok. Ciri ini terutama ada pada spesies beracun, di mana pola kulit yang
mecolok berfungsi sebagai peringatan.
Untuk perkembangbiakannya, Anura untuk sebagian besar bergantung
kepada air. Pembuahan biasanya berlangsung di luar tubuhnya dan telurnya
terbungkus dalam suatu kelongsong lendir yang berbentuk gumpalan dan benang
panjang. Perkembangbiakannya lazimnya mencakup tahap berenang bebas yakni
berudu yang bergerak kian-kemari dengan ekor yang jauh lebih panjang daripada
tubuhnya. Ekor ini menghilang dengan proses metamorfosa. Anura pada
umumnya sering menampilkan ciri kelamin yang sifatnya sekunder, sehingga
14

yang jantan dan betina bisa dikenali dari penampilan lahiriah mereka. Biasanya
yang betina lebih besar daripada yang jantan. Yang jantan umumnya memiliki
tungkai depan yang lebih kokoh, dengan penyesuaian khusus untuk merangkul.
Ciri khas bagi Anura, antara lain, ialah adanya gendang telinga pada kedua
sisi kepala, di belakang matanya. Selaput gendang ini sangat peka terhadap
getaran udara dan ada kaitannya dengan kemampuan Anura untuk menghasilkan
suara. Caudata dan Apoda pada umumnya tidak menghasilkan bunyi, dan tidak
memiliki sselaput gendang, akan tetapi bisa menampung getaran dengan rahang
bawah atau dengan tungkai depannya. Suara Anura untuk sebagian juga
merupakan ciri jenis kelamin, karena pada yang jantan suara itu lebih keras dan
lebih baik perkembangannya dan umumnya diperkuat dengan bantuan suatu balon
udara yang besar. Suara Anura berbeda-beda dalam hal tinggi nada, panjang
bunyi, kekuatan suara dan keserasiannya, yang pada setiap spesies memiliki pekik
khas sendiri, yang kadang-kadang pada spesies yang masih berkerabat, sangat
serupa bunyinya. Yang jantan memanfaatkan pekiknya, baik untuk memanggil si
betina pada musim kawin maupun untuk menegaskan batas teritoriumnya.

2.4 Gambaran Wilayah Studi


Kabupaten Bandung merupakan salah satu daerah di Jawa Barat dan
sebagai salah satu daerah tujuan wisata dengan kondisi alam yang indah dan
memiliki destinasi wisata yang menarik. Kondisi alam yang dikelilingi
pegunungan, berada di Kabupaten Bandung adalah kawasan Ranca Upas,
Ciwidey.
Ranca Upas yang terletak di desa Alam Endah, Kecamatan Ciwidey,
Kabupaten Bandung merupakan salah satu objek wanawisata di bawah PERUM
Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Ranca Upas merupakan camping
ground yang dikenal sebagai salah satu tempat rekreasi alam terbuka dengan
fasilitas yang cukup lengkap dan juga terdapat arena outbound, archery,
horseback archery, kolam renang air hangat, jungle track, tenda gantung dan
lainnya. Ranca Upas juga menyediakan berbagai macam keindahan alam seperti
dikelilingi oleh hutan pinus dan memiliki tempat penangkaran rusa. Salah satu
yang menjadi daya tarik dari Ranca Upas adalah penangkaran rusa, yang mungkin
15

tidak dimiliki oleh tempat wisata lain sekitar kawasan Ciwidey, walaupun rusa
bukan binatang asli Indonesia tetapi keberadaannya yang identik dengan iklim
dingin menambah kesan bahwa kondisi alam di Ranca Upas cocok untuk
dijadikan sebagai objek wisata terbuka.
Kawasan Ranca Upas merupakan kawasan bumi perkemahan dan salah
satu kawasan hutan lindung yang dikelola oleh PT. Perhutani (Persero) Bandung
sejak tahun 1991. Terletak di Desa Alam Endah, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat. Berada pada ketinggian 1700 mdpl, memiliki kawasan
keseluruhan seluas 215 ha. Secara geografis terletak antara 7°10’ – 7°15’ LS dan
107°21’2" BT (Disparbud Jabar, 2011).
Ranca Upas memiliki nilai rata-rata curah hujan bulanan sepanjang tahun
(1997-2007) sebesar 24.08 cm. Sementara itu rata-rata hari hujan bulanan pada
tahun 1997-2007 adalah 16 hari/bulan, dengan hari hujan tertinggi pada bulan
Maret yaitu sebesar 26 hari. Kondisi iklim seperti ini termasuk tipe A menurut
klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson dengan 9 bulan basah dan 1 bulan kering
(Ichwan, 2009). Kondisi penutupan lahan di kawasan Ranca Upas terdiri dari
hutan lindung seluas 23.47 Ha (52.98%), kemudian rawa sekitar 6.58 Ha
(14.85%), badan air yang terdiri dari kolam dan danau seluas 1.05 Ha (2.37%),
kandang rusa seluas 4.26 Ha (9.62%), luas kawasan perkerasan seluas 4.64 Ha
(10.50%), dan kawasan untuk berkemah seluas 4.29 Ha (9.68%) (Ichwan, 2009).

Gambar 2.1. Peta Ranca Upas, Ciwidey, Jawa Barat (Sumber: Google
Maps, 2021)
16

Ranca Upas memiliki luas area yang cukup luas yaitu sekitar 215 Hektar.
Kondisi penutupan lahan di kawasan Ranca Upas terdiri dari hutan lindung seluas
23,47 Ha (52,98 %), kemudian rawa 6,58 Ha (14,85 %), badan air yang terdiri
dari kolam dan danau seluas 1,05 Ha (2,37%), kandang rusa seluas 4,26 Ha (9,62
%), luas kawasan perkerasan seluas 4,64 Ha (10,50 %), dan kawasan untuk
berkemah seluas 4,29 Ha (9,68 %).
Kawasan hutan Ranca Upas merupakan salah satu habitat yang digunakan
ordo anura. Kawasan hutan Ranca Upas dialiri oleh aliran sungai yang tidak akan
kering sepanjang tahun. Pada umumnya Amfibi sangat memerlukan air dalam
hidupnya terutama pada saat proses bereproduksi. Katak akan mendatangi sungai,
kolam atau pun kobangan air sebagai lokasi untuk bereproduksi.

A B

C D

Gambar 2.2. Kondisi habitat di lokasi pengamatan: A&B: Aliran sungai;


C: Rawa; D: Kolam. (Dokumentasi pribadi, 2021)

Kondisi sungai masih sangat alami dengan substrat berupa batu, kerikil,
pasir dan lumpur. Berikut hasil dokumentasi kondisi habitat sungai dapat dilihat
pada Gambar 2.2. Sepanjang tepi sungai ditutupi oleh berbagai macam jenis
vegetasi. Beberapa jenis tumbuhan yang sering digunakan saat melakukan
17

aktivitas mencari makan diantaranya adalah Strobilantes sp., Curculigo


capitulata, Cyathea sp., Angiopteris evecta, Cyrtandra picta, Asplenium nidus,
Travesia sp., Passiflora ligularis, Pilea melastomoides, Chromolaena odorata,
Elatostema strigosum. Kecepatan aliran sungai lambat dan memiliki kedalaman
sungai 30 - 55 cm. Pada umumnya jenis substrat kolam yang ada di kawasan
Ranca Upas adalah lumpur dengan lebar rata-rata kolam adalah 6 hingga 3 meter.

2.5 Konservasi
Berdasarkan peraturan perundang-undangan Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa
konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati
yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman dan nilainya. Konservasi adalah upaya yang dilakukan manusia
untuk melestarikan atau melindungi alam dengan segenap proses pengelolaan.
Sumber daya Alam (disingkat SDA) adalah segala sesuatu yang berasal dari alam
yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kegiatan konservasi
selalu berhubungan dengan suatu kawasan, kawasan itu sendiri mempunyai
pengertian yakni wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya (Undang
undang No. 32 Tahun 2009).
Menurut Kehati (2009), secara hukum tujuan konservasi tertuang dalam
Undang-Undang Republik Indonesia No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yaitu bertujuan mengusahakan terwujudnya
kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga
dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia.
Biologi konservasi adalah pengelolaan alam dan keanekaragaman hayati
bumi dengan tujuan melindungi spesies, habitat, dan ekosistem dari tingkat
kepunahan yang berlebihan dan erosi interaksi biotik. Biologi Konservasi adalah
ilmu interdisipliner tentang ilmu alam dan sosial, dan praktik pengelolaan sumber
daya alam (Kala, 2005).
18

Menurut Undang-Undang tentang ketentuan pokok pengelolaan


lingkungan hidup No. 32 tahun 2009, konservasi adalah pengelolaan sumber daya
alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber
daya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaan dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
Kegiatan konservasi meliputi tiga hal yaitu: melindungi keanekaragaman hayati
(biological diversity), mempelajari fungsi dan manfaat keanekaragaman hayati
dan memanfaatkan keanekaragaman hayati untuk kesejahteraan umat manusia.
19

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deksriptif. Penelitian ini bertujuan untuk mengobservasi dan mendeskripsikan
keanekaragaman amfibi (ordo anura) di Kawasan Ranca Upas, Ciwidey. Menurut
Nazir (1998), metode deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status
sekelompok populasi, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran
ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian
deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan
antar fenomena yang diselidiki.

3.2 Metode Pengambilan Data


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Visual Encounter
Survey (VES) yaitu pengambilan jenis satwa berdasarkan perjumpaan langsung
pada jalur baik di daerah terestrial maupun akuatik (Heyer et al., 1994). Metode
ini umumnya digunakan untuk menentukan kekayaan jenis suatu daerah,
mengumpulkan daftar jenis dan memperkirakan kelimpahan relatif spesies (Mirza,
2008). Metode ini biasa dilakukan dalam suatu jalur, plot, sepanjang sisi sungai,
sekitar tepi kolam, dan seterusnya, selama sampel amfibi bisa terlihat (Heyer et
al., 1994). Metode ini dikombinasikan dengan metode line transek-time search
(transek sampling pada waktu yang telah ditentukan) sepanjang jalur sungai
dengan waktu penuh yang telah ditentukan sebelumnya dengan waktu untuk
mencatat satwa tidak dihitung (Heyer et al., 1994).
Estimasi kelimpahan populasi katak dilakukan dengan metode Capture-
Mark-Release-Recapture dengan penandaan menggunakan benang sepatu.
Pengamatan estimasi kelimpahan dan kepadatan populasi dilakukan dengan
membuat transek sepanjang 300 meter dengan lebar 0 – 10 meter dari sumber air
(Kusrini, 2005). Distribusi populasi dilakukan dengan cara membagi transek
setiap 100 m, menandainya menggunakan tali rapia dan penandaan katak setiap
20

transek ditandai menggunakan tali benang sol yang berbeda warna sehingga
distribusi katak yang terdapat di dalam transek dapat diperkirakan. Pengamatan
dilakukan mulai pukul 19.00 - 23.00 WIB yang merupakan jam ordo Anura aktif
mencari makan dan berpindah tempat (Firdaus, 2011). Data habitat dicatat
berdasarkan dua kategori yaitu data fisikokimia (temperatur udara, kelembaban
udara, temperatur air, kekeruhan air dan pH air).

3.3 Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian dilakukan di kawasan hutan Ranca Upas yang terletak pada
posisi geografis 7°10’ – 7°15’ LS dan 107°21’2" BT. Penelitian ini dilakukan
pada bulan Juni 2022 di kawasan Ranca Upas yang secara administratif terletak di
Desa Alam Endah, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Kawasan ini merupakan kawasan hutan lindung yang dikelola oleh PT. Perhutani
(Persero) Bandung. Pengambilan data dilakukan di dalam kawasan hutan Ranca
Upas. Area yang menjadi fokus pengamatan yaitu, di sekitar aliran sungai, danau
atau kolam, serta rawa. Area yang menjadi fokus penelitian yaitu pada ketinggian
1630 – 1670 mdpl atau sepanjang aliran sungai kawasan hutan Ranca Upas yang
berjarak  300m± 200 m. Dalam penelitian untuk mendapatkan data kelimpahan
menggunakan 1 jalur transek berjarak  300 m± 200 m.

Gambar 3.1. Peta Lokasi Penelitian di Dalam Hutan, Ranca Upas,


Ciwidey, Jawa Barat (Sumber: Google Maps, 2021)

3.4 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
21

Tabel 3.1 Rincian Alat


No. Nama Alat Spesifikasi Jumlah
1. Alat tulis – 1 set
2. Termohygrometer TFA 30.5002 1 buah
3.. Termometer – 1 buah
4. pH meter – 1 buah
5. Portable turbidty
TB – 25 A 1 buah
meter Bahan
6. Gabus 10 cm x 10 cm – 1 buah yang
7. Kamera digital Mirrorless
sony alpha
2 buah
6000 & Iphone
7 plus
8. Tali rapia 100m Jaya 1 buah
9. Gunting – 3 buah
10. Plastik spesimen – 1 pack
11. Kantung plastik – 1 pack
12. Meteran – 1 buah
13. Headlamp Eiger 1 buah
14. Baterai headlamp ABC alkaline 20 buah
15. Senter 3 buah
Power lite
LED 5w 360
lumens &
Eiger
16. Baterai senter Krisbow super
20 buah
alkaline
17. Benang sepatu Cap peniti
2 set
(trade mark)
18. Gunting – 3 buah
21. Global Positioning Garmin
System (GPS) GPSMAP 1 buah
76CSx
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 3.2 Rincian Bahan


No. Nama Bahan Spesifikasi Jumlah
1. Air Amidis 2 liter

3.5 Prosedur Penelitian


3.5.1. Persiapan
Persiapan awal adalah studi literatur dan pengumpulan infomasi di daerah
penelitian melalui survei, dengan melakukan pengamatan awal di lapangan untuk
menentukan lokasi pengambilan sampel dan mengenal lokasi penelitan.
22

3.5.2. Penentuan Lokasi Pengamatan


Penelitian ini dimulai dengan menentukan lokasi pengamatan. Lokasi yang
menjadi fokus pengamatan yaitu di sepanjang aliran sungai kawasan hutan Ranca
Upas yang berjarak  300 m± 200 m dengan lebar 0-10 meter dari sumber air.
Kondisi sungai pada 1 jalur transek sepanjak 300 meter memiliki lebar sungai
yang bervariasi mulai dari 1 – 2 m dengan substrat berupa lumpur dan semakin
tinggi ketinggian, lumpur cenderung semakin dangkal.

3.5.3. Pengumpulan spesimen anura


Pengumpulan spesimen anura dengan menggunakan metode Visual
Encounter Survey (VES) dikombinasikan dengan Purposive Sampling disekitar
aliran sungai pada hutan dengan jarak antara 0 – 10 meter dari sumber air (Kusrini
et al., 2005) dilakukan pada malam hari pada pukul 20.00 – 23.00 WIB, yang
merupakan waktu anura melakukan aktivitas makan (Qurniawan et al., 2013).
Pengamatan di sepanjang transek dilakukan dengan bantuan cahaya lampu
kepala dan senter untuk mendeteksi keberadaan katak. Spesimen anura yang
ditangkap langsung dengan tangan untuk kemudian dilakukan penandaan
menggunakan benang sepatu dan dimasukkan ke dalam plastik spesimen.
Dilakukan identifikasi jenis dan karakteristik, posisi koordinat, waktu ditemukan,
tipe substrat, aktivitas ketika ditemukan dan informasi lainnya dicatat. Setelah
individu ordo anura ditandai, kemudian dilepaskan kembali di lokasi tertangkap
dan pada akhir penelitian dilakukan pelepasan tanda pada beberapa katak yang
dijumpai telah tertandai (Anggoro, 2013; Krebs, 2014).

3.5.4. Identifikasi anura


Identifikasi spesimen amfibi dilakukan berdasarkan Pedoman Penelitian dan
Survei Amfibi di Alam (Kusrini, 2008). Karakter yang digunakan untuk
identifikasi jenis meliputi bentuk kepala, karakter pada tubuh, kulit, dan tungkai.

3.6 Analisis Data


3.6.1. Karakteristik Habitat
23

Data karakteristik habitat katak yang dicatat meliputi persentase


ditemukannya katak pada suatu jenis vegetasi (tumbuhan) pada lokasi transek dan
faktor abiotik (temperatur udara, kelembaban udara, temperatur air, kekeruhan air,
dan pH air).

3.6.2 Estimasi Kelimpahan Populasi


Penangkapan dan perhitungan estimasi kelimpahan populasi ordo anura
dihitung menggunakan metode Schnabel. Metode ini berkembang dari metode
Lincoln-Petersen, menjadi rangkaian sampel-sampel, dimana terdapat sampel no
2,3,4, dst. Sampel ordo anura yang didapat selama pengamatan langsung ditandai
menggunakan benang sepatu dan individu-individu tertangkap dalam masing-
masing sampel merupakan individu yang diperiksa penandanya, lalu ditandai dan
dilepaskan. Penanda tipe single digunakan untuk membedakan 2 tipe dari
individu, yaitu: ditandai (ditangkap dalam satu atau lebih sampel utama) dan yang
tidak ditandai (tidak pernah ditangkap sebelumnya) (Krebs, 2014).
Σ t (CtMt )
Estimasi kelimpahan populasi (N) =
Σt Rt
Keterangan:
N = Jumlah total anggota populasi.
Ct = Jumlah individu yang tertangkap pada sampel t.
Rt = Jumlah individu yang sudah ditandai ketika tertangkap dalam
sampel t.
Mt = Jumlah individu yang ditandai untuk pertama kalinya (dirilis
dalam sampel t) (Krebs, 2014).

3.6.3. Kepadatan Populasi


Dalam penelitian ini dilakukan analisis kepadatan populasi menggunakan
rumus sebagai berikut:
¿
Di = A

Keterangan:
Di = Kepadatan jenis ke-i
ni = Jumlah individu ke-i
24

A = Luas area (Krebs, 2014)

3.6.4 Indeks Keanekaragaman


Indeks Keanekaragaman jenis Shannon-Wiener (Odum, 1996) dihitung
dengan rumus:

H’ = Pi∈Pi

Katak spesies ke−i


Pi=
Σ Total Katak

Dimana H’ adalah indeks diversitas Shannon-Wiener, Pi adalah indeks


kelimpahan. Hasil penyebaran ini dikelompokkan menjadi 3 kriteria yaitu:

H’ < 1 = Keanekaragaman rendah.


1 < H’ < 3 = Keanekaragaman sedang.
H’ > 1 = Keanekaragaman tinggi.
25

3.7 Alur Penelitian


Alur penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :

Studi pustaka

Penyusunan
proposal

Penentuan jalur Survey Pengambilan


pendahuluan data sekunder

Kondisi Data
Pengambilan umum curah
data primer lokasi hujan

Karakteristik
Data amfibi
habitat

Koleksi sampel
amfibi

Identifikasi
spesimen amfibi

Bagan Alir 3.1. Alur Penelitian


26

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Habitat


Pengamatan dilakukan di dataran tinggi, yaitu mulai dari 1630 sampai
dengan 1680 mdpl. Lokasi yang menjadi fokus pengamatan yaitu di sepanjang
aliran sungai sejauh 300 meter dengan lebar sungai yang bervariasi ± 0-10 meter
dari sumber air. Di sepanjang aliran sungai tersebut terdapat daratan (tanah)
sekitar sungai, bebatuan badan sungai, dan vegetasi yang menutupi tepian sungai.
Kondisi sungai memiliki substrat berupa batu, kerikil, pasir, dan lumpur.
Individu yang mendiami suatu habitat akan terkonsentrasi di tempat –
tempat dengan kondisi yang paling cocok bagi pemenuhan syarat hidup suatu
individu maupun populasi. Interaksi spesies dengan lingkungannya sangat
berpengaruh terhadap perilaku spesies sebagai bentuk reaksi terhadap perubahan
faktor fisik dan biokimia lingkungan (Tilome, 2014). Habitat amfibi tidak hanya
menyediakan kebutuhan hidup amfibi melainkan mengenai dimana dan
bagaimana amfibi tersebut dapat hidup (Goin & Goin, 1971). Biasanya amfibi
beraktivitas ketika hujan, baik selama maupun setelah hujan deras, tapi pada
umumnya amfibi hanya aktif pada malam hari (Duellman & Trueb, 1994).

Tabel 4.1. Data Abiotik Wilayah Penelitian


Suhu
Suhu air Kelembaba TDS
Area udara pH air Substrat
(oC) n (%) (ppm)
(oC)
1 19,5 – 20,3 5,9 – 6,6 0,06 – 0,14 Kubangan
2 18,4 – 19,8 6,6 – 6,8 0,14 – 0,15 Sungai
14 - 17 91 Aliran
3 20,2 – 21,4 5,9 – 6,2 0,05 – 0,12
Sungai
4 16,1 – 20,3 5,4 – 5,7 0,05 – 0,08 Parit

Berdasarkan tabel 4.1, dapat dilihat bahwa kondisi abiotik di wilayah


penelitian sangat mendukung untuk kehidupan katak, yaitu lembab, banyak
kubangan dan suhu relative rendah. Kisaran rata-rata suhu di kawasan hutan
heterogen Ranca Upas sama seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Hilal
(2013) di Kawasan Ranca Upas Ciwidey, Jawa Barat bahwa ordo anura
menempati daerah dengan rata-rata suhu harian berkisar antara 15 - 25°C.
27

Temperatur air berkisar 16,1 – 20,3oC, temperatur air dapat menjaga perubahan
temperatur pada tubuhnya sehingga amfibi selalu berada dekat dengan air.
Menurut Crump (1994), suhu udara berpengaruh secara nyata terhadap
perkembangan dan pertumbuhan amfibi, serta seringkali mengatur siklus perilaku
dan reproduksi. Amfibi merupakan jenis satwa yang poikiloterm, tidak dapat
mengatur suhu tubuh sendiri sehingga suhu tubuhnya sangat tergantung pada
kondisi lingkungannya. Kulit amfibi merupakan salah satu organ respirasi yang
penting dan berhubungan dengan kondisi eksternal tubuh, sehingga kelembaban
kulit dibutuhkan untuk menjaga fluktuasi tubuh yang akan berpengaruh terhadap
proses-proses tubuh selanjutnya. Menurut Goin et al. (1978), secara umum Ordo
Anura memiliki batas toleransi suhu pada kisaran 3 – 27 °C.
Jumlah air dalam tubuh kira-kira 70 – 80 % dari berat tubuh amfibi
(Hofrichter, 2000). Kelembaban relatif berkisar 91% yang terbilang cukup tinggi.
Kelembaban sangat dibutuhkan untuk membuat kulit amfibi tidak kering karena
kulit berfungsi sebagai alat pernafasan (Cogger, 1999; Duellman & Trueb, 1994).
Menurut Wati (2016) menjelaskan bahwa nilai kelembaban pada sebagian besar
jenis ordo anura berkisar 75%-85%, hal ini bertujuan untuk melindungi diri dari
kekeringan. Selain itu kulit katak bersifat permeabel dimana berfungsi sebagai
tempat keluar masuk air dan udara (Cogger & Zweifel, 2003). Menurut Inger &
Stuebing (2005), kelembaban udara yang tinggi berkisar antara 85-95% dan suhu
udara berkisar antara 15-22oC, serta banyaknya ketersediaan sumber daya
makanan, maka Anura akan tersebar luas dan sering ditemukan di sekitar areal
tersebut.
Ordo Anura di kawasan hutan heterogen Ranca Upas dapat dijumpai pada
aliran air sungai yang memiliki substrat lumpur dengan kecepatan arus berkisar
4,79 – 5,04 m/s yang terbilang bergerak lambat. Kisaran umum kondisi PH yang
dapat ditolerir oleh biota air, yaitu sekitar PH netral 6.0-7.0 (Mattison, 1993).
Nilai pH air di lokasi penelitian yaitu 5,4 – 6,8 hal ini menyerupai dengan
penelitian yang telah dilakukan oleh Reza (2014) di Kawasan Ranca Upas
Ciwidey, Jawa Barat menunjukan bahwa ordo anura berada pada daerah air yang
memiliki pH berkisar sekitar 6 – 7. Kondisi tersebut masih layak untuk
perkembangbiakan amfibi (ordo anura) karena sesuai dengan pernyataan kisaran
28

PH perairan untuk biota air tawar menurut kriteria (EPA, 1993) adalah 6.5-9.0.
Karakteristik fisik dan kimia seperti suhu, kelembaban dan pH di lokasi penelitian
menunjukkan kesesuaian bagi kehidupan amfibi secara umum.
Kusrini et al., (2005) mengemukakan bahwa ordo Anura selalu hidup
berasosiasi dengan tumbuhan yang tidak jauh dari sumber air. Wilayah jelajah
dari ordo Anura pada umumnya di tajuk hutan. Wilayah jelajah merupakan
wilayah yang digunakan oleh individu suatu spesies hewan untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan menjamin kelestariannya dalam jangka panjang seperti
makan, minum, berbiak, bersuara, bersosial, tempat berlindung dari pemangsa,
bersarang dan beristirahat (Boughey, 1973).
Ordo Anura yang teramati memulai aktivitasnya pada malam hari, terlihat
posisi katak pada malam hari cenderung berada di ruang terbuka. Siang hari katak
yang ditemukan pada umumnya sedang tertidur di bawah tajuk pohon, terkadang
ditemukan di lipatan daun atau di ketiak daun. Selama penelitian ini berlangsung
terdapat beberapa tumbuhan yang sering dijadikan sebagai habitat ordo Anura di
kawasan hutan Ranca Upas diantaranya Strobilantes sp., Curculigo capitulata,
Cyathea sp., Angiopteris evecta, Cyrtandra picta, Asplenium nidus, Travesia sp.,
Passiflora ligularis, Pilea melastomoides, Chromolaena odorata, Elatostema
strigosum, Begonia areolata, Musa paradisiaca, Antidesma sp., Brugmansia
suaviolens dan Scleria ciliari.
Keberadaan katak yang beristirahat atau berada pada substrat daun diduga
karena substrat tersebut lebih lembab, karena sepanjang pengamatan baik daun
tumbuhan Strobilantes sp., Curculigo capitulata dan Cyathea sp. cenderung basah
sepanjang malam hingga pagi menjelang siang. Dalam suatu pengamatan pernah
ditemukan kasus empat katak ordo Anura yang terletak tepat di dalam air pada
saat siang hari, penyebab terjadinya hal ini adalah saat siang hari katak ditemukan
tepat di dalam air karena cuaca saat sedang panas dan ordo Anura sama seperti
amfibi lainnya bersifat ektotermik yang suhu tubuhnya mempunyai
ketergantungan terhadap kondisi lingkungan (Mistar, 2003) sehingga ketika cuaca
panas atau suhu tubuhnya berlebihan ordo Anura masuk tepat ke dalam air untuk
menjaga suhu tubuhnya.
29

4.2. Kelimpahan Populasi


4.2.1. Deskripsi Populasi
4.2.1.1. Spesies Amfibi (Ordo Anura) di Kawasan Ranca Upas Ciwidey
Penelitian dilakukan pada saat malam hari di Ranca Upas Ciwidey pada
bulan Juni 2022, karena amfibi merupakan salah satu dari hewan yang aktif di
malam hari atau nokturnal. Penelitian ini menggunakan metode Visual Encounter
Survey (VES) yang dikombinasikan dengan metode line transek - time search,
sedangkan untuk estimasi kelimpahan populasi dilakukan dengan metode
Capture-Mark-Release-Recapture (CMRR). Adapun lokasi penelitian pada
kawasan hutan Ranca Upas merupakan dataran tinggi, yaitu mulai dari 1630 –
1680 mdpl. Area yang menjadi fokus pengamatan yaitu di sepanjang aliran sungai
pada transek sepanjang 300 meter dengan lebar yang bervariasi mulai dari 1 – 2
meter dengan substrat berupa lumpur dan semakin tinggi ketinggian, lumpur
cenderung semakin dangkal. Penelitian telah dilakukan selama 7 hari.
Penelitian ini telah mencatat sebanyak 6 jenis dari 4 famili dengan total
234 individu. Famili yang paling banyak dijumpai adalah Ranidae, sedangkan
jenis yang paling banyak dijumpai adalah Hylarana chalconota. Menurut status
konservasi berdasarkan red list IUCN jenis ordo anura termasuk ke dalam status
least concern dan vulnerable.
Keseluruhan data spesies dari setiap famili Anura tersebut umumnya
ditemukan berinteraksi di daratan (tanah) sekitar sungai, bebatuan badan sungai,
dan di bawah akar pohon tepian sungai. Periode waktu yang diamati adalah
malam hari pada pukul 19.00 – 23.00 WIB. Keberadaan spesies pada ordo Anura
juga dipengaruhi oleh data fisikokimia (temperatur udara, kelembaban udara,
temperatur air, kekeruhan air dan pH air) dan data vegetasi.
Tabel 4.2. Data Spesies Amfibi (Ordo Anura) di Kawasan Ranca Upas
Ciwidey, Jawa Barat

Jumlah
No Nama Spesies Famili Status IUCN
Individu
Rhacoporus Least Concern
1. Rhacophoridae 34
margaritifer (LC)
Near
Rhacoporus
2. Rhacophoridae 31 Threatened
reinwardtii
(NT)
30

Leptobrachium Least Concern


3. Megophryidae 53
hasseltii (LC)
Megophrys Least Concern
4. Megophryidae 4
Montana (LC)
Microhyla Least Concern
5. Microhylidae 48
achatina (LC)
Hylarana Least Concern
6. Ranidae 64
chalconota (LC)
TOTAL 234

Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat data ini menunjukkan bahwa spesies
Anura yang ditemukan di Kawasan Ranca Upas Ciwidey, Jawa Barat ada 6
spesies, yang terdiri dari 4 familia. Famili Rhacoporidae terdapat 2 spesies yaitu
Rhacoporus margaritifer sebanyak 34 individu dan Rhacoporus reinwardtii
sebanyak 31 individu. Famili Megophryidae terdapat 2 spesies yaitu
Leptobrachium hasseltii sebanyak 53 individu dan Megophrys montana sebanyak
4 individu. Famili Microhylidae terdapat 1 spesies yaitu Microhyla achatina,
jumlah individu sebanyak 48 individu, sedangkan famili Ranidae ditemukan 1
spesies yaitu Hylarana chalconota dengan jumlah individu terbanyak yaitu 64
individu.

Grafik 4.1. Data Spesies Amfibi di Kawasan Ranca Upas, Ciwidey


Dari Grafik 4.1, nampak bahwa dari hasil pengamatan, spesies yang
banyak dijumpai adalah Hylarana chalconota. Katak bertubuh ramping dari
Famili Ranidae ini merupakan katak yang hidupnya tidak jauh dari sumber air.
Katak ini memiliki ukuran tubuh kecil hingga sedang serta memiliki warna
31

tympanum coklat tua. Katak ini biasanya ditemukan pada batu dan vegetasi di
sepanjang sungai kecil di hutan atau dataran tinggi serta sekitar kolam. Jenis ini
hidup di hutan primer dan terdegradasi dengan kanopi yang cukup tertutup dan
sumber air yang mengalir tidak deras. Katak dewasa menyebar secara luas di
hutan dan bahkan ditemukan di kebun. Katak ini tersebar di bagian Selatan
Sumatera, Jawa, dan Bali pada ketinggian 1.571 mdpl. (Kurniawan dan Kusrin,
2019).
Spesies katak lain yang dijumpai, seperti Rhacoporus margaritifer,
Rhacoporus reinwardtii, Leptobrachium hasseltii, Megophrys montana, dan
Microhyla achatina merupakan merupakan jenis Anura yang ditemukan di
sebagian besar tipe habitat, namun keberadaannya selalu terdapat dekat atau pada
aliran sungai. Selain itu, juga umum dijumpai pemukiman warga, atau pada lantai
hutan, yang terletak cukup dekat dengan aliran sungai.

4.2.1.2. Karakteristik Amfibi (Ordo Anura) di Kawasan Ranca Upas Ciwidey


Karakteristik merupakan sinonim dari kata karakter, watak, dan sifat yang
memiliki pengertian yaitu suatu kualitas atau sifat yang tetap terus-menerus dan
kekal yang dapat dijadikan ciri untuk mengidentifikasi suatu objek. Setiap spesies
Anura memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga ordo ini terbagi ke
dalam beberapa famili. Hasil yang didapatkan selama penelitian di Kawasan
Ranca Upas Ciwidey, Jawa Barat sebanyak 4 famili yang terdiri dari 6 spesies
dengan total 234 individu. Karakteristik yang diamati dalam penelitian ini adalah
karakteristik morfologi tubuh, tipe kaki, tekstur kulit, corak warna, tipe substrat,
habitat serta aktivitas spesies saat ditemukan.
Berikut ini adalah gambar, klasifikasi dan deskripsi karakteristik spesies
Anura yang ditemukan di Kawasan Ranca Upas Ciwidey, Jawa Barat:
A. Famili Rhacophoridae
Rhacophoridae, suatu famili yang kebanyakan hidup di pepohonan,
berbeda dengan katak sejati oleh karena memiliki unsur tambahan tulang rawan
pada setiap jari tangan maupun jari kakinya. Genus Rhacophorus terdiri dari kira-
kira 80 spesies katak pohon di Asia. Pada semua jari kakinya terdapat selaput
utuh, yang digunakan sebagai selaput terbang layang, hingga katak ini terkenal
32

juga sebagai ‘katak terbang’. Meskipun kemampuan terbangnya memang sangat


dilebih-lebihkan, bagaimana pun juga katak ini sanggup melayang dengan sangat
efisien, dengan melompat dari suatu pohon sambil membentangkan kedua tangan
dan kakinya. Selaput tersebut dapat mengurangi tahanan udara, hingga hewan ini
mampu melayang ke tanah, dengan jarak tempuh yang bisa mencapai 9-12 m.
Rhacophoridae merupakan famili katak pohon yang tersebar di kawasan
Asia, Madagaskar dan Afrika. Pada umumnya kelompok katak ini tersebar di
kawasan Indomalayan sehingga disebut dengan Asian treefrogs atau Asian family.
Katak dari famili ini hidup secara arboreal dan dapat ditemukan pada ketinggian
60 mdpl sampai 3050 mdpl. Rhacophoridae di Indonesia termasuk di Sumatera
memiliki lima genus yaitu Nyctixalus, Philautus, Polypedates, Rhacophorus dan
Theloderma. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di kawasan Ranca
Upas Ciwidey, Jawa Barat hanya ditemukan satu genus yaitu Rhacophorus
dengan dua spesies yaitu Rhacophorus margaritifer dan Rhacophorus reinwardtii.
1. Rhacophorus margaritifer
Klasifikasi:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amfibia
Ordo : Anura
Famili : Rhacophoridae
Genus : Rhacophorus
Spesies : Rhacophorus margaritifer
(Schlegel, 1837)

Gambar 4.1. Rhacoporus margaritifer (Sumber : dok Pribadi)


33

Rhacophorus margaritifer memiliki nama sinonim yakni


Rhacophorus javanus dan memiliki nama lokal Katak Pohon Jawa.
Namanya diberikan berdasarkan nama pulau di mana jenis ini ditemukan,
yakni Pulau Jawa. Katak pohon ini berukuran kecil sampai sedang dengan
tubuh relatif menggembung. Tekstur kulit bagian permukaan punggung
halus dan bagian bawah tubuh termasuk perut dan bagian bawah kaki
terdapat bintil-bintil kasar. Katak ini berwarna coklat mahagoni atau
kemerahan. Pada jari tangan sekitar setengah atau dua-pertiganya
berselaput dan semua jari kaki berselaput kecuali jari keempat. Ukuran
jantan dewasa mencapai 50 mm dan betina dewasa sampai 60 mm. Tumit
mempunyai sebuah lapisan kulit (flap), tonjolan kulit terdapat sepanjang
pinggir lengan, dasar kaki sampai ke jari luar. Permukaan dorsum halus,
perut termasuk bagian bawah kaki berbintil kecil kasar.
Jenis ini hidup di dataran rendah dan hutan pegunungan, termasuk
pada area hutan terganggu asalkan terdapat pepohonan atau semak-semak
untuk tempat bersembunyi. Rhacophorus margaritifer merupakan katak
endemik Jawa. Di Jawa Timur katak ini pernah ditemukan di gua Ngerong
dan di Banyuwangi.
Ancaman utama katak ini adalah hilangnya habitat hutan karena
pembukaan lahan pertanian dan penebangan kayu untuk kebutuhan sehari-
hari. Baru-baru ini juga diketahui spesies ini telah diuji positif jamur
Batrachochytrium dendrobatidis. Meski infeksi ini belum termasuk dalam
ancaman yang besar, jamur tersebut diakui sebagai salah satu penyebab
penurunan populasi amfibi secara global.

2. Rhacophorus reinwardtii
Klasifikasi ilmiah dari Katak pohon hijau (Rhacophorus reinwardtii)
berdasarkan Goin et al., (1978) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amfibia
Ordo : Anura
34

Famili : Rhacophoridae
Genus : Rhacophorus
Spesies : Rhacophorus reinwardtii

Gambar 4.2. Rhacoporus reinwardtii (Sumber : dok Pribadi)


Katak pohon hijau dinamakan sesuai dengan nama C. G.
Reinwardt, seorang naturalis Belanda salah seorang pendiri Museum
Zoologicum Bogoriense. Katak pohon hijau dikenal juga dengan nama
Rhacophorusmoschantus (Iskandar, 1998). Dalam bahasa Inggris biasa
dikenal dengan nama Green Flying Frog (Iskandar, 1998).
Katak pohon hijau (Rhacophorus reinwardtii) adalah salah satu
jenis dari marga Rhacophorus yang dapat ditemukan mulai dari
semenanjung Asia sampai Sumatera, Kalimantan dan Jawa (Iskandar,
1998). Luasnya penyebaran dari Katak pohon hijaumenandakan jenis ini
merupakan jenis yang dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai tipe
habitat.
Katak berukuran kecil sampai sedang, berwarna hijau dan bagian
samping, tangan dan kaki berwarna kuning atau oranye. Jari tangan dan
jari kaki berselaput sepenuhnya sampai sampai ke piringan, berwarna
hitam. Sebuah lipatan kulit terdapat di atas tumit dan anus, dan lipatan
serupa sepanjang lengan. Tekstur kulit halus di bagian atas, perut dan
samping tubuh, bagian bawah kaki berbintil-bintil kecil kasar. Jantan
berukuran 45- 52 mm dan betinanya berukuran 55-75 mm.
Menurut Iskandar (1998), Katak pohon hijau berukuran kecil
sampai sedang, dengan ukuran kepala yang besar. Punggung berwarna
35

hijau pada bagian samping, tangan dan kaki berwarna kuning atau oranye.
Pada spesimen awetan dalam alkohol akan berubah warna menjadi ungu.
Jari tangan dan jari kaki berselaput sepenuhnya sampai kepiringan kecuali
pada jari tangan yang pertama. Selaput berwarna hitam dengan garis-garis
berwarna kuning dan biru (Liem, 1971). Sebuah lipatan halus terdapat di
atas tumit dan anus serta lipatan kulit yang melebar di sepanjang lengan
(Iskandar, 1998; Inger dan Stuebing, 1997).
Katak pohon hijau dewasa memiliki perbedaan warna dengan katak
pohon hijau setengah dewasa. Warna hijau sangat dominan pada katak
pohon hijau dewasa sedangkan abu-abu dengan bintik-bintik hitam di
sekujur punggung sangat dominan pada katak yang masih setengah
dewasa (baru menyelesaikan tahapan larva/berudu). Berudu katak pohon
hijau berukuran besar. Warna berudu hitam keabu-abuan dan sirip ekor
tanpa warna (Iskandar, 1998). Namun terkadang dapat ditemukan berudu
yang setengah ekornya berwarna hitam.
Katak pohon hijau dapat ditemukan pada hutan primer dataran
rendah (Inger dan Stuebing, 1997), hutan primer atau sekunder pada
ketinggian antara 250-1200 m dpl (Iskandar, 1998), sedangkan di Pulau
Jawa menurut Liem (1971) katak pohon hijau ditemukan dekat dengan
tempat tinggal manusia, biasanya pada lokasi yang teduh (berpohon) dan
basah. Di Jawa Barat katak pohon hijau dapat ditemui di beberapa
kawasan masih memiliki vegetasi hutan alami. Katak pohon hijau dapat
ditemukan di sekitar kolam berlumpur di tepi hutan dan di dekat air yang
tergenang (Schijfsma, 1932). Katak pohon hijau tersebar mulai dari Cina
Selatan sampai Malaysia, Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan dan Pulau
Jawa (Iskandar, 1998).
Ancaman utama jenis ini adalah hilangnya habitat hutan hujan dan
potensi pencemaran air. Penebangan hutan di dataran rendah untuk
perluasan lahan pertanian dan pemukiman telah mengurangi ketersediaan
habitat secara signifikan untuk jenis ini.

B. Famili Megophrydae
36

Famili ini terdiri dari 6 genus (Leptobrachium, Leptobrachella,


Leptolalax, Megophrys, Ophryophryne, Scutiger) dengan spesies yang berjumlah
sekitar 80 spesies. Distribusinya di daerah tropis dan subtropis Asia dari Nepal
sampai Filipina. Spesies anggota dari famili ini berukuran kecil hingga besar (15-
120 mm SVL dewasa).
Famili Megophrydae lebih dikenal dengan nama katak serasah sering
dijumpai di bawah serasah atau daun-daun kering. Memiliki kaki yang relatif
pendek sehingga katak jenis ini bergerak lambat. Di Indonesia, famili ini diwakili
oleh empat genus, salah satunya Leptobrachium merupakan salah satu genus yang
terkenal dengan tubuhnya yng kecil dan endemik di wilayah Kalimantan
(Iskandar, 1998). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di kawasan
Ranca Upas Ciwidey, Jawa Barat ditemukan dua genus yaitu Leptobrachium dan
Megophrys dengan dua spesies yaitu Leptobrachium hasseltii dan Megophrys
montana.
1. Leptobrachium hasseltii
Klasifikasi:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amfibia
Ordo : Anura
Famili : Megophryidae
Genus : Leptobrachium
Spesies : Leptobrachium hasseltii
(Tshudi. 1838)
37

Gambar 4.3. Leptobrachium hasseltii (Sumber : dok Pribadi)


Namanya diambil dari seorang pakar pengetahuan alam asal
Belanda, Johann Coenraad van Hasselt. Secara lokal lebih dikenal dengan
nama Katak Serasah. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui
Leptobrachium hasseltii memiliki karakter kepala yang besar. Tubuhnya
lebih kecil dengan bentuk yang bulat. Memiliki mata yang besar, melotot
dan menonjol. Warna kulit hitam serta tekstur kulit berbintil-bintil yang
tersebar di seluruh permukaan tubuh. Sedangkan bagian kaki berwarna
hitam berseling putih serta pada bagian mulut.
Ciri khusus dari jenis katak ini yakni iris berwarna hitam. Karakter
kulit jenis ini bertekstur halus dengan lipatan supratimpanik sampai ke
pangkal lengan. Pada bagian punggung katak ini lebih terlihat kehitaman
dengan adanya bercak-bercak bulat yang lebih gelap. Untuk kulit
permukaan perut memiliki warna putih yang juga terdapat bercak-bercak
hitam. Spesimen muda dilaporkan memiliki warna kebiruan. Kaki pendek
dan ramping, dan jari berbentuk tumpul. Ujung jari jenis ini bulat dan pada
dasar ibu jari memiliki selaput. Katak jantan dapat tumbuh mencapai
sekitar 60 mm dan katak betina dewasa dapat tumbuh hingga 70 mm.
Kepala besar, lebih besar dari tubuh, dan bulat; mata cenderung
besar dan melotot. Ujung jari bulat, ibu jari berselaput pada dasarnya.
Kulitnya halus dengan jaringan alur-alur rendah, lipatan supratimpanik
sampai ke pangkal lengan. Iris berwarna merah, punggung kehitaman
dengan bercak-bercak bulat telur atau bulat yang lebih gelap, permukaan
perut keputih putihan dengan bercak hitam. Spesimen muda dilaporkan
berwarna kebiruan. Cara gerak dengan melompat pendek-pendek dan
sering pula merayap perlahan-lahan di kayu atau batu dengan tubuh
diangkat.
Spesies ini mendiami serasah lantai hutan pegunungan dan hutan
hujan dataran rendah. Persebaran L. hasseltii meliputi Jawa, Bali dan
beberapa pulau tetangga Jawa sampai Pulau Kangean. Di Jawa Timur
persebarannya meliputi Tulungagung, Kediri, Malang, Batu, Pegunungan
Tengger, Bondowoso, dan Madura.
38

Ancaman utama bagi spesies ini adalah penggundulan hutan. Di


Jawa, hilangnya habitat terutama disebabkan oleh pertanian skala kecil,
perkebunan kopi dan teh, serta pembangunan perkotaan. Selain itu, infeksi
bakteri juga menjadi ancaman katak ini meski tidak menjadi masalah yang
besar.

2. Megophrys montana
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amfibia
Ordo : Anura
Famili : Megophryidae
Genus : Megophrys
Spesies : Megophrys montana
(Kuhl and van Hasselt, 1822)

Gambar 4.4. Megophrys montana (Sumber : dok Pribadi)


Bernama Megophrys montana karena menunjukkan habitat jenis,
yaitu gunung-gunung. Sedang secara umum katak ini biasa disebut dengan
Katak Bertanduk. Berdasarkan hasil pengamatan Megophrys montana
adalah katak besar dengan karakteristik tubuh dan kepala yang terlihat
kuat dan kekar serta moncong yang runcing. Memiliki kelopak mata yang
menyerupai tanduk. Pada bagian punggung terdapat lipatan kulit mulai
bagian tengkuk sampai pinggang. Ujung jari runcing dan terdapat selaput
renang sampai setengah jari. Bagian tersebut sebenarnya ialah
39

perpanjangan dari dermal yang terlihat jelas dan unik. Tekstur kulit
berbintil-bintil. Warna spesimen muda mungkin berwarna merah
keoranyean, spesimen dewasa biasanya memiliki kulit dengan warna
coklat, coklat kemerahan sampai coklat tua dan jarang yang berwarna
coklat kekuningan. Suatu bercak segitiga berwarna lebih gelap terdapat di
belakang mata. Biasanya terdapat sepasang benjolan atau bercak gelap di
belakang dekat lekukan lengan. Bagian bawah campuran antara coklat dan
krem kotor. Terdapat garis-garis hitam pada bagian kaki, yang berseling
dengan warna dasar tubuh. Memiliki ujung jari berbentuk lancip dan
terdapat selaput renang di setengah jari kaki. Betina dewasa dapat tumbuh
mencapai 90 mm dan pejantan sedikit lebih kecil. Ukuran SVL ±6 cm
dengan berat ±10 gram.
Megophrys montana biasanya terdapat di hutan dan diam tanpa
bergerak di antara serasah dedaunan. Katak ini tidak akan bergerak jika
tidak disentuh atau diganggu. Megophrys montana merupakan katak
endemik di Jawa. Persebarannya di Jawa Timur pernah diketahui di
Pegunungan Tengger dan di kawasan wisata alam Coban Putri, Batu.
Ancaman utama jenis ini adalah pembabatan hutan untuk
pembukaan lahan pertanian baru. Terkadang jenis ini juga ditemukan di
perdagangan hewan secara internasional.

C. Famili Microhylidae
Famili Microhylidae mempunyai ciri-ciri yaitu badan yang licin
serta selalu basah, ukuran tubuh kecil serta mulut yang sempit. rata-rata
tubuhnya yaitu sekitar 12- 45 mm. Persebaran dari Famili Microhylidae ini
yaitu Jepang, Cina bagian Selatan, India, Srilangka, Asia Tenggara,
termasuk Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali) (Pradana,
2017).
Jari secara normal terpisah, ujung jari mungkin tidak membentuk
piringan dan tidak membentuk cakar. Sebagian besar anggota Famili ini
tidak memiliki gigi. Sacral diapophysis sedikit melebar. Hewan ini hidup
meliang di tanah atau tinggal dalam lubang tumbuhan. Anggota famili ini
40

diperkirakan 315 spesies yang terbagi dalam 65 genus. (Pough et al.,


1998).
Famili Microhylidae merupakan salah satu famili yang sering
dijumpai di daerah rerumputan di sekitar parit-parit pemukiman penduduk.
Famili ini memiliki ukuran tubuh yang sangat kecil sesuai dengan
namanya “Micro” yang berarti kecil. Menurut Mistar (2003) famili
Micohylidae merupakan katak berukuran kecil sampai sedang menempati
habitat dari daerah perkotaan, perkebunan, padang rumput, sampai hutan
primer. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Ranca Upas
Ciwidey, Jawa Barat ditemukan satu genus yaitu Microhyla dengan satu
spesies yaitu Microhyla achatina.

Microhyla achatina

Klasifikasi:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amfibia
Ordo : Anura
Famili : Microhylidae
Genus : Microhyla
Species : Microhyla achatina
(Tschudi, 1838)

Gambar 4.5. Microhyla achatina (Sumber : dok Pribadi)


41

Microhyla achatina memiliki nama lokal Percil Jawa. Katak


berukuran mungil ini memiliki mulut serta mata yang kecil. Merupakan
salah satu jenis katak endemik di Pulau Jawa. Tekstur kulit jenis ini halus
tanpa bintil-bintil dan memiliki sepasang garis gelap yang terdapat di
punggungnya. Pada umumnya katak jenis ini berwarna coklat sedikit
kekuningan dengan garis hitam yang terlihat samar, bagian samping lebih
terlihat gelap. Jari-jari kaki memiliki selaput renang pada bagian dasarnya.
Ukuran jantan umumnya lebih kecil dari pada betina, yakni sekitar 20 mm
dan betina dewasa dapat tumbuh sampai 25 mm.
Pada bagian dorsal atau punggungnya berwarna coklat kemerahan
dengan adanya garis gelap berwarna hitam dan terdiri dari sepasang. Pola
yang terbentuk seperti anak panah, kadangkala garis putih terdapat di
antara moncong hingga kloaka. Katak ini biasa dijumpai dihutan sekunder
ataupun primer kadang juga dapat ditemukan disawah ataupun ladang
dekat pemukiman. Makanan dari Microhyla achatina ini adalah serangga
kecil yang berada diantara serasah. Telur dari betina Microhyla achatina
ini biasa diletakkan di genangan air yang tidak mengalir.
Ciri morfologi dari spesies ini yaitu memiliki warna coklat seperti
daun yang kering, tubuh kecil dan membentuk segitiga, terdapat garis
diatas punggungnya, memiliki ukuran mulut kecil dan mata yang sedikit
menonjol, serta memiliki sedikit selaput dan bahkan tidak terlihat pada
tungkainya. Kusrini (2013) menjelaskan bahwa selaput pada tungkai
belakang Microhyla achatina biasanya 2/3 atau bahkan cenderung tidak
ada. Iskandar (1998) juga menyatakan bahwa Microhyla achatina
memiliki mulut yang sempit, terdapat garis hitam dibagian punggungnya,
pada dasar jari-jari terdapat selaput, memiliki kulit yang halus, warna
kuning kecokelatan, dan pada sisi samping tubuhnya berwara gelap.
Umumnya jenis ini ditemukan di habitat yang telah terganggu atau
di habitat terbuka yang didominasi tumbuhan herba, seperti sawah, kolam
ikan atau rawa terbuka. Juga terdapat di hutan primer dan sekunder,
kadang-kadang juga terdapat di dekat hunian manusia. M. achatina
merupakan katak endemik Jawa. Persebarannya di Jawa cukup
42

menyeluruh dari Jawa Barat hingga Jawa Timur. Di Jawa Timur katak
jenis ini pernah tercatat ditemukan di Kabupaten Malang, Banyuwangi,
Kediri, Pegunungan Tengger dan Bondowoso.
Jenis ini cukup toleran terhadap perubahan habitat. Jenis ini
dianggap tidak terlalu terancam meskipun terjadi kerusakan habitat karena
pembukaan lahan pertanian ataupun penebangan hutan.

D. Famili Ranidae
Famili ini termasuk dalam superfamili Ranoidea. Hewan ini dikenal
dengan nama “Katak” yang mudah dikenal dengan mempunyai kaki yang
berkembang baik, kaki belakang lebih panjang daripada kaki depan, yang
berfungsi untuk melompat. Katak ini penyebarannya luas, dapat dijumpai pada
setiap benua, kecuali Antartika. Hewan ini mempunyai gelang bahu yang
berkembang baik, tanpa tulang rawan, epicoracoidnya saling bertemu di tengah
(firmisternal). Sacral diapophysis silindris. Jari-jari kaki lebar atau bebas, ujung
jari lancip atau membentuk piringan (discs), tetapi jarang membentuk cakar dan
tidak mempunyai tambahan intercalary (Iskandar, 2002). Famili Ranidae (katak
sejati) merupakan salah satu famili yang paling melimpah keberadaannya di alam.
Famili ini banyak dijumpai di sekitar aliran sungai (Mistar, 2003).
Ranidae ini diperkirakan terdiri dari 700 lebih spesies yang
diklasifikasikan dalam 46 genus. Persebaran geografisnya kosmopolit kecuali di
daerah ekstrem (Pough et al., 1998). Menurut Mistar (2003) Famili Ranidae
merupakan katak yang persebarannya sangat luas di Indonesia yang diwakili oleh
sepuluh marga dan kelima marga terdapat dalam kawasan ekosistem leuser.
Habitat Famili Ranidae sangat beragam dari hutan mangrove sampai hutan
pegunungan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di kawasan Ranca Upas
Ciwidey, Jawa Barat ditemukan satu genus yaitu Chalcorana dengan satu spesies
yaitu Chalcorana chalconota.

Chalcorana chalconota

Klasifikasi:
Kingdom : Animalia
43

Filum : Chordata
Kelas : Amfibia
Ordo : Anura
Famili : Ranidae
Genus : Chalcorana
Spesies : Chalcorana chalconota
(Schlegel, 1837)

Gambar 4.6. Chalcorana chalconota (Sumber : dok Pribadi)


Warna tubuh coklat muda berbintik hitam. Garis coklat tua
memanjang pada bagian samping tubuh, mulai moncong sampai pangkal
kaki belakang. Panjang tubuh katak katak 38 mm - 60 mm. Pada jantan
memiliki spinules dikelopak mata bagian atas. Jantan dalam sampel ini 30-
40 mm, tetapi betina jauh lebih kecil (45-65 mm). Katak ini dengan
diameter lebih- kecil timpanum relatif pada jantan. Berukuran sedang
dengan tympanum berwarna coklat tua dan kaki yang panjang dan
ramping. Semua jemari sepenuhnya berselaput. Kulit kasar berglanular
halus. Corak warna hijau gelap sampai kuning kecoklatan (Iskandar,
1998).
Katak ini berukuran kecil sampai sedang dengan tympanum coklat
tua. Kulit punggung berbintil kasar, mempunyai lipatan kelenjar
dorsolateral dan relatif tertutup seluruhnya oleh bintil-bintil sangat halus
yang menyerupai pasir. Jari tangan pertama lebih pendek dari yang kedua.
Kulit bagian bawah berbintil kasar. Penelitian terkini menunjukkan bahwa
44

H. chalconota merupakan jenis kriptik dan analisis genetuik membagi


jenis ini menjadi Hylarana rufipes, Hylarana raniceps dan H. parviccola
dengan penyebaran yang berbeda. Jenis H. rufipes dan H. raniceps
memiliki ciri khusus warna kemerahan pada bagian paha bawah.

4.2.2. Estimasi Kelimpahan Populasi


Penangkapan dan perhitungan estimasi kelimpahan populasi ordo anura
menggunakan metode Schnabel di kawasan hutan Ranca Upas dilakukan pada
bulan Juni 2022. Bulan Juni 2022 termasuk ke dalam musim kemarau, namun
selama penelitian dilakukan di lapangan seringkali turun hujan. Duellman &
Trueb (1994) mengemukakan bahwa pada umumnya amfibi beraktivitas ketika
hujan, baik selama maupun setelah hujan. Penelitian ini dilakukan pada ketinggian
1630 – 1680 mdpl atau sepanjang aliran sungai kawasan hutan Ranca Upas yang
berjarak  300 m.
Penelitian mengenai ukuran suatu populasi yang berhubungan dengan
pergerakan hewan dan ketahanan hidup memerlukan penandaan yang unik pada
hewan yang diteliti. Penandaan katak menggunakan benang sepatu dalam
perhitungan jumlah populasi katak merupakan metode baru dalam penandaan
katak. Penandaan tersebut memiliki beberapa kelebihan dibandingkan metode
sebelumnya. Metode sebelumnya seperti toe clipping atau pemotongan jari katak
bersifat permanen dan dapat menganggu pola pergerakan harian katak pohon
karena pada dasarnya katak membutuhkan cakram dalam memanjat dan melompat
(Iskandar, 2002). Tato sangat sulit dilakukan karena sifat kulitnya yang berfungsi
sebagai alat pernafasan selain paru-paru (Cogger, 1999; Duellman & Trueb,
1994). Flourescent elastomer sulit dilakukan di Indonesia karena sulit mencari
pigmen, harganya relatif mahal dan bersifat permanen bagi tubuh katak. Metode
penandaan katak menggunakan benang sepatu tidak menganggu pergerakan
harian untuk katak pohon, harganya terjangkau, mudah didapat dan penandaan
tersebut bersifat tidak permanen (Anggoro, 2013). Hal itu dibuktikan dengan
selama penelitian ini dilaksanakan, cukup banyak jumlah ditemukannya katak
yang telah tertandai pada hari sebelumnya pada saat recapture.
45

Selama pengamatan berlangsung sampel ordo Anura di tandai


menggunakan benang sepatu dan dilepaskan kembali hingga mencapai
pengulangan tertentu menggunakan metode Schnabel (Anggoro, 2013). Bila
terdapat katak yang telah tertandai pada kegiatan capture penangkapan CMRR
sebelumnya dan ditemukan kembali kegiatan capture selanjutnya, ikatan tali
simpul katak ditambah sesuai pengulangan CMRR ke sekian.
Berdasarkan hasil pengamatan, perhitungan dan analisis estimasi
kelimpahan populasi yang telah dilakukan dengan jarak transek sepanjang 300 m
dan lebar 0 – 10 meter dari sumber air menggunakan metode Schnabel
menunjukan bahwa ordo Anura di kawasan hutan Ranca Upas, diperkirakan
berjumlah 225 individu. Ordo Anura pada umumnya ditemukan pada sepanjang
aliran sungai tersebut terdapat daratan (tanah) sekitar sungai, bebatuan badan
sungai, dan vegetasi yang menutupi tepian sungai.
Tabel 4.3. Estimasi Kelimpahan Populasi Ordo Anura di Kawasan Hutan
Heterogen Ranca Upas
R
T Ct Tt Mt N (individu)
t
1 37 0 37 0
2 13 4 9 37
3 48 4 44 46
4 40 28 12 90
5 36 25 11 102 225
6 42 15 27 113
7 46 18 - 140
Tota 262 94 140 528
l

Keterangan:
a. N = Jumlah total anggota populasi.
b. Ct = Jumlah individu yang tertangkap pada sampel t.
c. Rt = Jumlah individu yang sudah ditandai ketika tertangkap dalam
sampel t.
d. Tt = Jumlah individu yang ditandai untuk pertama kalinya (tidak
dirilis dalam sampel t).
e. Mt = Jumlah individu yang ditandai untuk pertama kalinya (dirilis
dalam sampel t) (Krebs, 2014).
46

Berdasarkan data diatas, dan setelah dilakukan perhitungan (perhitungan


lengkap ada pada lampiran), diperoleh standar error dari penaksiran densitas
populasi dengan nilai : 1,64 x 10-2
Standar error dari data estimasi kelimpahan ordo anura di atas memiliki nilai
yang sangat kecil, artinya metode Schnabel sangat baik dalam mempresentasikan
jumlah anggota populasi ordo anura dalam penelitian ini.
Jumlah individu tertandai yang tertangkap (recapture) pada transek cukup
besar dan tidak ada individu yang lepas (escape) saat penangkapan kembali.
Perbandingan hewan bertanda dengan hewan tidak bertanda pada penangkapan
pertama, kedua, ketiga, keempat dan seterusnya memberikan suatu taksiran
ukuran keseluruhan populasi tersebut, jika tidak ada diketahui adanya kelahiran,
kematian, dan imigrasi atau emigrasi. Populasi katak di alam dapat digambarkan
sebagai kelimpahan populasi katak tidak sama dari satu tempat ke tempat lain dan
seolah-olah ada habitat spesies baik dan kurang baik, sehingga spesies ada di
tempat tersebut populasinya tinggi atau rendah. Populasi di alam jarang ditemui
naik atau turun terus hingga tinggi sekali atau rendah sekali. Hal tersebut
menunjukan bahwa di alam terdapat faktor yang mengatur populasi katak (frog
population). Populasi katak dalam keadaan normal selalu pada arah
keseimbangan, hal ini terjadi karena adanya mekanisme umpan balik di
ekosistem. Umpan balik negatif merupakan mekanisme umpan balik yang
membawa sistem menuju ke keadaan ideal dan menghambat terjadinnya
perubahan, sehingga perubahan akan berhenti. Mekanisme umpan balik positif
merupakan mekanisme umpan balik yang mendorong terjadinya perubahan secara
terus menerus sehingga membawa sistem semakin menjauh dari keadaan ideal.
Mekanisme umpan balik positif akan menyebabkan rusaknya sistem, sedangkan
mekanisme umpan balik negatif akan membawa sistem dalam keadaan stabil.
Karakteristik lain dapat dilihat dari populasi adalah kedinamisan sesuai dengan
perjalanan ruang dan waktu, dimana besaran populasi akan berubah cepat sesuai
dengan kadar pertumbuhanya dan berkaitan erat dengan kondisi lingkungan dan
sumber daya alam.

4.2.3. Kepadatan Populasi


47

Kepadatan rata-rata persatuan luas 100 m2 untuk kawasan hutan heterogen


Ranca Upas dengan panjang transek 300 meter dan lebar 10 meter (3000 m2)
didapatkan kepadatan sebesar 1 individu ordo Anura/100 m2. Data ini
menunjukkan bahwa kepadatan di kawasan Ranca Upas kurang baik, artinya
kondisi lingkungan kurang mendukung perkembangan katak. Kurniati, 2018,
menyatakan bahwa populasi dikatakan sehat bila kepadatan rata-rata jenis target ≥
1 individu/10 m2; populasi tidak sehat bila kepadatan rata-rata jenis target < 1
individu/10 m2. Dengan demikian, faktor lingkungan kurang mendukung utnuk
perkembangan katak. Menurut Mistar (2003) faktor fisika lingkungan yang
mempengaruhi katak adalah suhu, kelembaban dan salah satunya pemakaian zat-
zat kimia, pada pertumbuhannya katak membutuhkan kelembaban yang stabil
dalam hidupnya, serta perubahan iklim global yang mengakibatkan kenaikan suhu
bumi dan lubang ozon yang meningkat paparan gelombang Ultra Violet B yang
mencapai muka bumi terbukti telah memberikan dampak negatif yang cukup
besar terhadap amfibia diberbagai belahan bumi. Katak adalah hewan yang akif
pada malam hari yang membutuhkan makanan dan air yang banyak untuk
menopang tingkat hidupnya yang aktif.
Hasil penelitian yang disajikan pada subbab 4.1 Karakteristik Habitat
menunjukkan bahwa kondisi abiotic mendukung untuk pertumbuhan dan
perkembangan ordo anura, sehingga bisa jadi populasi dari hasil penelitian
dikatakan tidak sehat karena sebab lain, misalnya eksploitasi berlebihan
(penangkapan) atau gangguan dari luar, misalnya kunjungan wisatawan/turis yang
mengganggu habitat alami ordo anura (Warkentin et.al. 2009).

4.2.4. Indeks Keanekaragaman


48

BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

5.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan,
habitat ordo anura di kawasan hutan Ranca Upas berupa tumbuhan yang memiliki
jarak dekat dengan sumber air bersubstrat lumpur pada ketinggian 1630–1670
mdpl dengan rerata suhu udara 14 – 17 oC, rerata temperatur air berkisar 18,4 –
21,4 oC, pH air cenderung asam lemah ke arah netral (5.4-6.8), rerata kelembaban
udara 91%, air jernih. Keragaman Anura yang ditemukan di Kawasan Ranca Upas
Ciwidey, Jawa Barat ada 6 spesies, yang terdiri dari 4 familia. Famili
Rhacoporidae terdapat 2 spesies yaitu Rhacoporus margaritifer sebanyak 34
individu dan Rhacoporus reinwardtii sebanyak 31 individu. Famili Megophryidae
terdapat 2 spesies yaitu Leptobrachium hasseltii sebanyak 53 individu dan
Megophrys montana sebanyak 4 individu. Famili Microhylidae terdapat 1 spesies
yaitu Microhyla achatina, jumlah individu sebanyak 48 individu, sedangkan
famili Ranidae ditemukan 1 spesies yaitu Hylarana chalconota dengan jumlah
individu terbanyak yaitu 64 individu. Kepadatan rata-rata persatuan luas 100 m2
untuk kawasan hutan heterogen Ranca Upas dengan panjang transek 300 meter
dan lebar 10 meter (3000 m2) didapatkan kepadatan sebesar 1 individu ordo
Anura/100 m2. Data ini menunjukkan bahwa kepadatan di kawasan Ranca Upas
kurang baik, artinya kondisi lingkungan kurang mendukung perkembangan katak.

5.2 Implikasi
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan keberadaan ordo anura di
kawasan hutan Ranca Upas, Ciwidey dapat terus dijaga serta dilestarikan dengan
cara mengetahui keadaan populasi dan menjaga habitatnya.

1.3 Rekomendasi
Penulis ingin memberikan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
1) Penandaan katak menggunakan benang sepatu sebaiknya diikat tidak terlalu
kencang, agar menghindari lecet pada bagian kulit katak.
49

2) Masih perlu adanya penelitian kembali untuk ordo anura di lokasi yang
berbeda.
3) Penelitian tidak hanya dilakukan pada satu musim saja.
4) Perlu pelestarian wilayah kawasan Ranca Upas Ciwiedy untuk menjaga
kelangsungan flora dan fauna yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H. S.2002. Pengelolaan Satwa Liar, Jilid 1. Bogor: Fakultas


Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Andreansyah.2018. Keanekaragaman Jenis Amfibi (Ordo Anura)di Wisata Alam
Pasir Batang Taman Nasional GunungCiremai.https://journal.uni
ku.ac.id/ind ex.php/wanaraksa/article/view/4567 (Diakses 1 Juni 2022).
Arthur S. Boughey.1973. Ecology Of Populations 2th.Edition Book. Atlanta:
Macmilan Publishing Company, 1973
Amin, Bahrul. 2020. Katak Di Jawa Timur. Tulungagung: Akademia Pustaka.
Anggoro, S. P.2013. http://repository.uksw.edu/handle/123456789/1680 (Diakses
25 Mei 2022)
Azhari, 2022. https://online-journal.unja.ac.id/biospecies/article/view/14833.
(Diakses 25 Mei 2022)

Boughey, AS.1973.Ecology of Population 2nd Edition.New York : The MacMillan


Cogger, H. G. 1999. The Little Guide Reptiles and Amphibians. Fog City Press.
San Fransisco.
Cogger, H. G. & Zweifel, R. G. 2003. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians.
San Fransisco: Fog City Press.
David. 2010. Zoologi Dasar. Jakarta: Erlangga.
Disparbud Jabar. (2011). Bumi Perkemahan Rancaupas. [Online]. Electronic
Database accessible at http://www.disparbud.jabarprov.go.id/application
s/frontend/index. [20 April 2018].

Duellman, W. & Trueb, L. (1994). Biology of Amphibians. London: The John


Hopkins University Press Ltd.
EPA.1993. Update of the U.S. Environmental Protection Agency’s Site Emering
Technology Program Journal Of The Air & Waste Management Association.
AWMA Pittsburgh, PA, 44(2):195-203, (1994).
Fitri, A. 2002. Keanekaragaman Jenis Amfibi (Ordo Anura) di Kebun. Raya
Bogor. Skripsi Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan
IPB. Bogor
Firdaus, A.2011. Dampak Penambahan Beban terhadap Pergerakan Katak

50
Pohon Jawa. (Skripsi). Sekolah Sarjana, Institut Pertanian Bogor
Firizki, D. 2021. Karakterisasi Suara Microhyla achatina (Tschudi, 1838) Di
Coban Kodok Kecamatan Pujon dan Coban Pelangi Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang Jawa Timue (Anura: Amphibia).
Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim.
Goin, C.J., Goin, O.B. and Zug, G.R. 1978. Introduction to Herpetology. Third
Edition. W.H. Freman and Company. San Fransisco.
Hariyadi, V. 2019. Perancangan Promosi Destinasi Wisata Ranca Upas Ciwidey
Kabupaten Bandung. e-Proceeding of Art & Design Vol.6, No.2.
Hidayah, Amiliyatul. 2018. Keanekaragaman Herpetofauna Di Kawasan Wisata
Alam Coban Putri Desa Tlekung Kecamatan Junrejo Batu Jawa Timur.
Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim.
Hofrichter.2000. The Encyclopedia of Amphibians. Augsburg: Weltbild Verlag
GmbH.
Hutchin, M., W.E. Duellman, Neil Schlager.2003.Grizimek’s Animal Life
Encyclopedia Second Edition Volume 6 Amphibians. Gale Groups :
Farmington Hill

Heyer, W. R., Donnelly, M. A., Diarmid, R. W., Hayek, L. C., & Foster M. S.
1994. Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standard Methods
for Amphibians. Washington: Smithsonian Institution Pr.
Hofrichter. 2000. The Encyclopedia of Amphibians. Augsburg: Weltbild Verlag
GmbH. Hutchins, M., W.E. Duellman, Neil Schlager 2003.Grizimek’s Animal
Life Encyclopedia second edition Volume 6 Amphibians. Gale Group.
Farmington Hill
Ichwan, Muhammad.2009. Perencanaan Lanskap Bumi Perkemahan Ranca
Upas Berdasarkan Pendekatan Daya Dukung Ekolog. (Skripsi). Bogor:
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Inger, R. F. & Stuebing, R. B. 2005. Frogs of Borne,. Second Edition. Natural
History Publications (Borneo). Kinahalu.
Iskandar, D.T., 1998. Amfibi Jawa dan Bali: Seri Panduan Lapangan. Cetakan

51
pertama, Puslitbang Biologi-LIPI, Bogor. Hal : 1 – 7.
IUCN Red List. 2008. Reinwardti’s Frog(Rhacophorusreinwardtii).https://www.i
ucnredlist.org/species/59017/11869 494. [diakses pada 1 Juni 2022] IUCN
Red List. 2014. Common Gr
Junqueira L.C., Carneiro J., Kelley R.O. 1998. Histologi dasar. Terjemahan Jan
Tambayong. Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kala, C. K.2005. Indigenous Uses, Population Density, and Conservation of
Threatened Medicinal Plants in Protected Areas of the Indian Himalayas
Conservation Biology. 19 (2): 368–378.

Kehati.2009. Materi Kursus Inventarisasi flora dan fauna Taman Nasional


Meru Betiri, Malang.
Krebs, C. J. 2014. Ecological Methology. 3rd Edition. Menlo Park: Benjamin
Cummings.
Kurniati, Helen.2018.Metode Survei dan Pemantauan Populasi Kodok.LIPI :
Pusat Penelitian Biologi.
Kurniawan, Heru dan Kusrin, Mirza.2019. Katak Kongkang Kolam (Chalcorana
chalconota Schlegel, 1837) Brown Stream Frog
.
http://perhimpunanherpetologi.com/katak-kongkang-kolam-chalcorana-
chalconota-schlegel-1837-brown-stream-frog/(Diakses 5 Juli 2022)
Kusrini, M. D., Fitri, A., Utama, H., Nasir. D. M., Ardiansyah, D., Lestari, V., &
Rachmadi, R. 2005. Ecology and Conservation of Frogs of Mount Gede
Pangrango National Park. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan
dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB.
Kusrini, M. D., Yazid, M., Ul-Hasanah, A. U., & Hamidy, A.2008. Preliminary
study on the distribution and biology of the bleeding toad, Leptophryne
cruentata Tschudi, 1838.In: Kusrini MD. Frogs of gede pangrango: A follow
up project for the conservation of frogs in west java indonesia. Book 1: Main
report. Technical report submitted to the bp conservation programme. Bogor,
Institut Pertanian Bogor.
Kusrini, M. D.2009. Pedoman Penelitian dan Survey Amfibi di Alam. Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor. Indonesia.
Lestari, D. P. 2011. Pola Sebaran Spasial Jenis Merbau (Intsia spp.)pada Hutan
Primer dan Hutan Bekas Tebangan di ArealIUPHHK-HA PT
Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua.Skripsi.Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor.

52
Liem, D. S. S. 1971. The Frogs and Toads of Tjibodas Nasional Park, Mt.
Gede,Java, Indonesia. Phillippine Journal of Science 100 (4) : 131 - 160.
Lucianty, S. 2013. Strategi Pengembangan Objek Wisata Alam Bumi Perkemahan
Palutungan Berdasarkan Pendekatan Daya Dukung Lingkungan di
Taman Nasional Gunung Ciremai. Tesis. Semarang: Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Soegianto, A.1994. Ekologi Kuantitatif. Penerbit Usaha Nasional, Surabaya.
Undang undang No. 32 Tahun 2009.
https://referensi.elsam.or.id/2015/04/uunomor-32-tahun-2009-tentang-
perlindungan-dan-pengelolaan-lingkungan-hidup2/#:~:text=Perlindungan
%20dan%20Pengelolaan%2 0Lingkungan%20Hidup%20(PPLH)%20menurut
%20UU%20no%2 032,meliputi%20perencanaan%2C%20pemanfaatan%2C
%20pengendalian%2C (diakses 1 Juni 2022)
Schijfsma, K. 1932. Notes on Some Tadpoles, Toads and Frogs from Java.Treubia
(XIV): 43-72

Stuebing, RB.2005.A Field Guide to The Frog of Borneo.Natural History


Publications, Sabah
Mattison, C. 1993. Keeping and Breeding Amphibian. Blandford. London
Miftakhurrohmah, Zuni,. Baskoro, Karyadi,. Rahadian, Rully. Pola sebaran dan
preferensi habitat kodok buduk (Duttaphrynus melanostictus Schneider,
1799) di Kecamatan Tembalang, Semarang. Jurnal Biologi Tropika,
November 2019 Vol. 2, No. 2, Hal. 74-79
Michael. (1994). Metode Ekologi untuk Penyelidikan. Lapangan dan
Laboratorium. Jakarta: UI Press. 
Mirza D. K.2008. Pedoman Penelitian dan Survei Amfibi di Alam. Bogor :
Fakultas Kehutanan IPB, Bogor, Indonesia.
Mistar. 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. The Gibbon
Foundation dan PILI-NGO Movement. Bogor.
Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata M. 1998. Biologi
Konservasi. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Odum, E. P.1971. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Universitas Gadjah Mada


Press. Yogyakarta. (Penerjemah Tjahjono Samingar).
Qurniawan T..F., dan Eprilurahman R. 2013. Keragaman Jenis Amfibi Dan
Reptil Gumuk Pasir, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal
Zoo Indonesia. Vol 22. No. 2:9-16.

53
Simon dan Schuster’s.1989. Simon & Schuster's guide to reptiles and amphibians
of the world. New York : Simon & Schuster's.

Stuarte, S., Michael, H., Janice, C., Neil, C., Richard, B., Pavithra, R. dan Bruce,
Y. 2008. Threatened Amphibians of The World. USA: Conservation
International.

Tilome, Indri. 2014. Mikrohabitat dan Kepadatan Populasi Belalang pada


Tanaman Jagung (Zea mays).Skripsi, Gorontalo: Fakultas Matematika
dan IPA Universitas Negeri Gorontalo

Utomo, B. 2006. Karya Ilmiah Ekologi Benih. Medan: Fakultas Pertanian USU.
Repository. Warisno dan Kres Dahana. 2009. Investasi Sengon.
Jakarta:PT.Gramedia

Nazir.1998. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.


Van Hoeve, I.B.1992. EnSiklopedi Indonesia Seri Fauna (Mamalia 1).
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KTD)
Yazid, Muhammad. 2006. Perilaku Berbiak Katak Pohon Hijau (Rhachoporus
reinwardtii Kuhl & Van Hasselt, 1822) di Kampus IPB Darmaga.
Skripsi. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Yuliana S. 2000. Kenanekaragaman jenis amfibi (ordo anura) di kampus IPB
Darmaga. Bogor. Skripsi. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya
Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
Warkenting, IG., D. Bickford, NS. Sodhi & CJA. Bradshaw. 2008. Eating frogs to
extinction. Conservation Biology 23 (4): 1056-1059.
Wati,M.2016.Species Dicroglossidae (Amphibian) Pada Zona Pemanfaatan Tnks
di Wilayah Solok Selatan Bioconcetta.Jurnal.

54
Lampiran

Lampiran 1. Estimasi Kelimpahan Populasi

Tabel 1.1
Estimasi Kelimpahan Populasi Ordo Anura di Kawasan Hutan Heterogen Ranca
Upas

T Ct R Tt Mt N (individu)
t
1 37 0 37 0
2 13 4 9 37
3 48 4 44 46
4 40 28 12 90
5 36 25 11 102 225
6 42 15 27 113
7 46 18 - 140
Tota 262 94 140 528
l

Keterangan:
a. N = Jumlah total anggota populasi.
b. Ct = Jumlah individu yang tertangkap pada sampel t.
c. Rt = Jumlah individu yang sudah ditandai ketika tertangkap dalam sampel t.
d. Tt = Jumlah individu yang ditandai untuk pertama kalinya (tidak dirilis dalam
sampel t).
e. Mt = Jumlah individu yang ditandai untuk pertama kalinya (dirilis dalam
sampel t) (Krebs, 2014).

Berdasarkan pada tabel 1.1 pada lampiran 1, diperoleh bahwa estimasi


kelimpahan populasi ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut:
Σ t (CtMt )
N=
Σ t Rt
( 37 x 0 ) + ( 13 x 37 )+ ( 48 x 46 ) + ( 40 x 90 ) + ( 36 x 102 ) + ( 42 x 113 )+(46 x 140)
N=Σ
94
21147
N=
94
N=224,96=225

Variance yang diperoleh berdasarkan pada data ordo anura di Kawasan


Hutan Ranca Upas dengan metode Schnabel adalah:

55
Variance of ( N1 ) = Σ¿Rt¿ = 447195
t
94
= 2,10 x 10-4

Sedangkan standar error dari penaksiran densitas populasi dapat


dideterminasi dengan:

Standar error of
1
N √ 1
= Variance = 1,05 x 10-2
N
Standar error dari data estimasi kelimpahan ordo anura di atas
memiliki nilai yang sangat kecil, artinya metode Schnabel sangat baik
dalam mempresentasikan jumlah anggota populasi ordo anura dalam
penelitian ini.

56
Lampiran 2. Kepadatan Populasi

Kepadatan populasi ordo anura di kawasan hutan heterogen Ranca


Upas
¿
Di = A

Keterangan:
Di = Kepadatan jenis
ni = Jumlah individu
A = luas area (Krebs, 2014)

¿
Di = A

234
=
300 x 10 m2
234
= 2
3000 m
= 0,078 individu/ 10m2

= 0,78 individu/100 m2 ᵙ 1 individu/100 m2

57
Lampiran 3. Distribusi Populasi

Tabel 3.1
Estimasi Kelimpahan Populasi Ordo Anura (transek 0-100m) di Kawasan Hutan
Ranca Upas

T Ct Rt Tt Mt N (individu)
1 10 0 10 20
2 5 3 3 35
3 18 2 16 35
4 20 15 12 92
5 10 5 8 10
5 210
6 11 9 9 94
7 20 18 0 12
0
Tota 94 52 58 50
l 1

Berdasarkan pada tabel 3.1 pada lampiran 3, diperoleh bahwa


estimasi kelimpahan populasi ditentukan dengan perhitungan sebagai
berikut:
Σ t (CtMt )
N=
Σ t Rt
N=
∑ ( 10 x 20 ) +( 5 x 35 ) +( 18 x 35 )+ ¿ (20 x 92 ) +( 10 x 105 ) +( 11 x 94 )+(20 x 120)
52
∑ ( 21 x 0 ) +( 19 x 21 ) +( 21 x 32 ) +( 20 x 43 )+ ( 15 x 54 ) +¿ ( 17 x 63 )+ ( 17 x 73 ) +( 20 x 80 )+( 22 x 92 )+(
188
7329
N = 52 = 140,94 ᵙ 141

Variance yang diperoleh berdasarkan pada data ordo anura di Kawasan


Hutan Ranca Upas dengan metode Schnabel adalah:

58
Variance of ( N1 ) = Σ¿Rt¿ = 53714241
t
52
= 9,7 x 10 -7

Sedangkan standar error dari penaksiran densitas populasi dapat


dideterminasi dengan:

Standar error of
1
N √ 1
= Variance = 3,1 x 10-6
N
Standar error dari data estimasi kelimpahan ordo anura di atas
memiliki nilai yang sangat kecil, artinya metode Schnabel sangat baik
dalam mempresentasikan jumlah anggota populasi ordo anura dalam
penelitian ini.

Tabel 3.2
Estimasi Kelimpahan Populasi ordo anura (Transek 100 – 200 m) di Kawasan
Hutan Ranca Upas
N
t Ct Rt Tt Mt
(individu)
1 10 2 8 11
2 3 1 2 38
3 20 4 15 46
4 10 18 8 88
5 16 15 11 85 189

6 21 15 19 115
7 16 14 2 124
96 69 65 507
Total

Berdasarkan pada tabel 3.2 pada lampiran 3, diperoleh bahwa


estimasi kelimpahan populasi ditentukan dengan perhitungan sebagai
berikut:
Σ t (CtMt )
N=
Σ t Rt
N=
∑ ( 17 x 0 ) +( 27 x 17 ) +( 20 x 31 ) +( 18 x 44 ) +( 13 x 52 ) +¿ ( 11 x 62 ) +( 19 x 67 ) +( 10 x 72 ) +( 18 x 76 )+(
80
∑ ( 10 x 11 ) +( 3 x 38 ) +( 20 x 46 ) +¿ ( 10 x 88 ) +( 16 x 85 ) +( 21 x 115 ) +(16 x 124)
69

59
7783
N= = 112,79 ᵙ 113
69
Variance yang diperoleh berdasarkan pada data ordo anura di Kawasan
Hutan Ranca Upas dengan metode Schnabel adalah:

Variance of ( N1 ) = Σ¿Rt¿ = 60575089


t
69
= 1,14 x 10 -6

Sedangkan standar error dari penaksiran densitas populasi dapat


dideterminasi dengan:

Standar error of
1
N √ 1
= Variance = 1,06 x 10-3
N
Standar error dari data estimasi kelimpahan ordo anura di atas
memiliki nilai yang sangat kecil, artinya metode Schnabel sangat baik
dalam mempresentasikan jumlah anggota populasi ordo anura dalam
penelitian ini.
Tabel 3.3
Estimasi Kelimpahan Populasi ordo anura (Transek 200 – 300 m) di Kawasan
Hutan Ranca Upas
N
t Ct Rt Tt Mt
(individu)
1 17 0 17 0
2 5 4 1 32
3 10 4 8 26
4 10 8 7 82
5 10 5 6 38 135

6 10 6 5 96
7 10 8 2 102
72 35 46 376
Total

Berdasarkan pada tabel 3.2 pada lampiran 3, diperoleh bahwa


estimasi kelimpahan populasi ditentukan dengan perhitungan sebagai
berikut:
Σ t (CtMt )
N=
Σ t Rt

60
N=
∑ ( 7 x 0 ) +( 10 x 7 ) +( 7 x 13 ) +( 6 x 17 ) +( 10 x 20 ) +¿ ( 9 x 23 )+ ( 5 x 27 ) +( 5 x 31 ) +( 7 x 33 ) +(9 x 38)
32
∑ ( 17 x 0 ) +( 5 x 32 ) +( 10 x 26 ) +¿ ( 10 x 82 ) +( 10 x 38 ) +( 10 x 96 )+(10 x 102)
72
∑ ( 17 x 0 ) +( 5 x 32 ) +( 10 x 26 ) +¿ ( 10 x 82 ) +( 10 x 38 ) +( 10 x 96 )+(10 x 102)
35
1533 3600
N = 32 35 = 102,85 ᵙ 103

Variance yang diperoleh berdasarkan pada data ordo anura di Kawasan


Hutan Ranca Upas dengan metode Schnabel adalah:

Variance of ( N1 ) = Σ¿Rt¿ = 12960000


t
35
= 2,70 x 10-6
Sedangkan standar error dari penaksiran densitas populasi dapat
dideterminasi dengan:

Standar error of
1
N √ 1
= Variance = 1,64 x 10-3
N
Standar error dari data estimasi kelimpahan ordo anura di atas
memiliki nilai yang cukup, artinya metode Schnabel cukup baik dalam
mempresentasikan jumlah anggota populasi ordo anura dalam penelitian
ini.

Tabel. 3.4
Pola Distribusi ordo anura berdasarkan Indeks Penyebaran Morisita di Kawasan
Hutan Ranca Upas
Kawasan Id Pola Sebaran
Hutan
1,02 Mengelompok
Ranca
Upas

Id = ¿ ¿ ¿
Dimana Id adalah indeks penyebaran morisita, ni adalah jumlah plot,
N adalah jumlah total individu, ∑ X 2adalah penjumlahan kuadrat individu
plot. Hasil penyebaran ini dikelompokkan menjadi 3 kriteria yaitu:
a. Id < 1 = Penyebaran katak bersifat merata
b. Id = 1 = Penyebaran katak bersifat acak
c. Id > 1 = Penyebaran katak bersifat mengelompok

61
Id = ¿ ¿ ¿
3 ( Σ 1412+113 2+103 2) −3
Id =
141+113+ 103(141+113+103−1)
3 (19881+12769+10609 ) −3
Id =
357(357−1)
3 ( 43259 )−3
Id =
357 (356 )
129777−3
Id =
127092
129774
Id =
127092
Id = 1,02

Karena Id > 1 maka penyebaran ordo anura berdasarkan indeks


distribusi morisita di kawasan hutan heterogen Ranca Upas bersifat
mengelompok.

RIWAYAT HIDUP PENULIS

62
63

Anda mungkin juga menyukai