Tarsius
(Tarsius tarsier / Tarsius spectrum)
Oleh:
Muhammad Ihsan
NIM 1162060066
Bandung
2018 M / 1439 H
KATA PENGANTAR
Puji syukur marilah panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan
jasmani dan rohani sehingga masih tetap bisa menikmati indahnya alam ciptaan-Nya. Tak lupa
salawat serta salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Beserta keluarganya, para
sahabatnya, dan seluruh insan yang dikehendaki-Nya.
Dalam penyusunan makalah ini, pastinya terdapat banyak kekurangan yang kiranya dan
harusnya mendapat saran maupun perbaikan dari berbagai pihak baik pembaca maupun Dosen.
Sehingga dapat menjadi suatu karya yang bermanfaat ketika dibaca oleh siapapun.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Karakteristik Tarsius 3
B. Klasifikasi Tarsius 10
C. Habitat Tarsius 12
A. Kesimpulan 16
DAFTAR PUSTAKA 18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kingdom animalia atau yang lebih dikenal sebagai kerajaan hewan terbagi menjadi
beberapa tingkatan di bumi ini. Tingkatan teratas dari kingdom animalia adalah
Mamalia. Umumnya, jenis mamalia mempunyai rambut pada seluruh bagian tubuhnya
atau menutupi seluruhnya. Intensitas rambut yang dimiliki berbeda-beda tergantung
pada jenis spesiesnya, Ada yang menutupi seluruh bagian tubuh ada juga yang hanya
sebagian. Mamalia merupakan hewan dengan kemampuan Homoioterm yakni hewan
berdarah panas. Hal ini diartikan sebagai hewan yang memiliki kemapuan dalam
menyesuaikan suhu tubuh dengan lingkungan sekitarnya.
Indonesia merupakan Negara yang memiliki keragaman hayati yang melimpah baik
flora maupun fauna. Kekayaan keragaman hayati ini membiarkan keuntungan yang
besar bagi masyarakat. Di antaranya adalah keragaman spesies yang ada di alam bebas
yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia, salah satunya yakni di Pulau Sulawesi.
Berbagai jenis spesies mamalia dapat diidentifikasi dan hidup di pulau Sulawesi,
beberapa merupakan mamalia dengan status hewan Endemik pulau Sulawesi. Hewan
tersebut merupakan salah satu jenis primata yang mendiami pulau Sulawesi, dengan
nama ilmiah Tarsius sp. atau yang biasa dikenal dengan Tarsius. Tarsius merupakan
hewan langka dan dilindungi untuk semua jenis spesiesnya. Aktifitas dari tarsius
umumnya berbeda dengan mamalia yang lainnya, yakni beraktifitas hanya pada sore
dan malam hari, aktifitas ini sering dikategorikan sebagai hewan Nokturnal. Makanan
utama dari tarsius adalah reptil kecil dan serangga serta Burung kecil. Dari beberapa
jenis primata yang ada, tarsius ini memiliki keunikan pada Struktur matanya yang lebih
besar dari otak yang dimiliki. Keunikan yang lainnya adalah mampu memutar kepala
dari kiri ke kanan maupun sebaliknya dengan 180°, mampu melakukan lompatan
sejauh 3 meter, dan bahkan mampu melahirkan secara bergelantungan.
Tarsius adalah primata terkecil di dunia.Binatang ini bisa ditemukan di beberapa
pulau di Indonesia seperti Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera, juga di Filipina
(SUSSMAN, 1999). Penduduk setempat menamakan tangkasi, kera hantu, monyet
1
mini, kera kecil sedangkan dunia internasional mengenalnya sebagai Tarsius sp. dari
keluarga Tarsidae. Banyak penduduk yang salah paham mengira Tarsius memakan
hasil pertanian mereka sehingga sering diburu penduduk dan populasi semakin
berkurang. Padahal, Tarsius merupakan satu-satunya primata yang tidak memakan
sejenis daun, buah, bunga dan segala macam sayuran (NIEMITZ, 1979b). Tarsius
adalah karnivora pemakan segala jenis serangga seperti belalang, jengkerik, kecoa,
juga cicak, mencit, dan burung kecil. Demi menumbuhkan kesadaran bersama dalam
melestarikan salah satu spesies asli Indonesia ini, maka penulis berinisiatif untuk
mengangkat judul Tarsius dalam makalah ini. Beberapa bahasan mengenai Tarsius
akan dibahas lebih lanjut oleh penulis dalam makalah ini khususnya pada Tarsius
tarsier.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja Karakteristik pada Tarsius?
2. Bagaimana Klasifikasi pada Tarsius?
3. Dimana saja Habitat atau Penyebaran tarsius khususnya di Pulau Sulawesi?
4. Apa ancaman terhadap Spesies Tarsius?
5. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk melestarikan Tarsius?
C. Tujuan
1. Menjelaskan Apa saja Karakteristik pada Tarsius
2. Mengetahui Klasifikasi pada Tarsius
3. Mengetahui Dimana saja Habitat atau Penyebaran Tarsius khususnya di Pulau
Sulawesi
4. Menjelaskan Apa saja ancaman terhadap Spesies Tarsius
5. Mengetahui Bagaimana upaya yang dilakukan untuk melestarikan Tarsius
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Tarsius
3
Tarsius spektrum memiliki tingkat metabolisme basal yang rendah dan suhu
tubuh yang rendah. Mereka tidak menunjukkan mati suri, namun jaringan adiposa
coklat dapat ditemukan pada orang dewasa di dalam area interscapular; ini
kemungkinan sifat paedomorphic dipertahankan (Mogk, K. 2012).
Dari referensi yang lain, diketahui bahwa Tarsius memiliki Bulu halus berwarna
abu-abu pasir dengan kombinasi kuning keemasan. Kaki Tarsius panjang bisa
melompat hingga dua meter. Dalam mencari makanan, Tarsius mengeluarkan suara
cicitan rumit dengan berbagai nada. Hal tersebut merupakan nyanyian khusus dari
tarisus yang hanya dilakukan saat mencari makan di pagi hari dan saat akan kembali
ke sarangnya. Nyanyian ini juga digunakan sebagai indikator informasi kepada
keluarga Tarsius yang lain ataupun yang bukan keluarga untuk tidak memasuki
wilayahnya. Dalam hal pasangan, Tarsius dapat dikatakan sebagai hewan yang
setia, primata ini hidup secar monogami (satu pasangan seumur hidup), dan
pasangan tarsius akan membentuk kelompok kecil dengan anak-anaknya dan
bersarang di dalam rongga pohon (Sussman, 1999).
Dilihat dari bentuk tubuhnya, diberi nama Tarsius karena mereka memilik
bentuk tubuh yang istimewa. Tulang tarsal memanjang membentuk pergelangan
kaki, hal tersebut membuat tarsius dapat melompat sejauh hampir 10 kaki dari
dahan pohon yang satu ke yang lainnya. Ekor pada tarsius tidak berambut kecuali
pada ujungnya, pada tangan dan kakinya terdapat kuku yang digunakan sebagai
cakar dan Grooming.
4
Dalam hal berat badan, Tarsius memiliki kisaran berat rata-rata 100 gram,
terdapat juga di beberapa tempat seperti sulawesi yang berat badannya dibawah 100
gram.
2. Reproduksi
Tarsius pada umumnya adalah monogami atau hanya sekali melakukan masa
kawinnya dengan satu pasangan dengan jangka waktu tertentu; Namun, Tarsius
tarsier dapat melakukan monogami fakultatif (poligini). Monogami tampaknya
menjadi suatu siklus reproduksi atau perkawinan yang umum pada spesies ini
karena alasan keterbatasan jumlah tempat hidup dan tempat tidur yang layak bagi
mereka. Setiap individu betina pada tarsius memerlukan tempat istirahat ataupun
tempat tidur yang cukup luas dan nyaman baginya dan bagi anak-anaknya. Pohon
favorit untuk dijadikan sarang adalah pohon ara dengan diameter besar, selain itu
untuk dijadikan tempat untuk menetap pada masa kawin, akan tetapi pohon Ara
jarang ditemukan, sehingga yang terjadi pada umumnya menyebabkan pejantan dan
betina berbagi tempat tidur. Dari hal tersebutlah nantinya akan membentuk
pasangan monogami.
Kelompok poligini hanya 19% dalam keseluruhan hidup Tarsier. Dalam satu
Kelompok monogami, hanya terdiri atas dua atau tiga betina dengan satu reproduksi
Betina dan satu Pejantan, sementara jika dibandingkan dengan satu Kelompok
Poligini terdiri atas enam atau lebih individu dengan satu pejantan untuk reproduksi
beberapa Betina. Adanya testis berukuran besar di T. tarsier menandakan bahwa
poligini cukup umum terjadi, karena dikaitkan dengan sistem kawin promiscuous
atau campur aduk (Gursky-Doyen, 2010).
5
Tarsius bereproduksi dengan jumlah kelahiran 2 kali dalam setahun, biasanya
fase ini terjadi selama bulan Mei atau November. Masa gestasi sekitar 6 bulan, dan
fase kelahiran juga terjadi sama seperti masa reproduksi yakni bulan Mei atau
November. Betina melahirkan satu keturunan, yang lahir sepenuhnya berbulu dan
dengan mata terbuka. Bayi yang baru lahir bersifat precocial atau dengan kata lain
dapat mencari makanannya sendiri dan mampu memanjat hanya pada usia satu hari.
Laktasi (masa menyusui) biasanya berlangsung hingga 80 hari. Fase Menyapih
terjadi antara usia 4 hingga 10 minggu, dan mulai mandiri setelah menyapih sebagai
keturunan yang mampu mencari makanan sendiri. Tarsius mencapai matang secara
Organ reproduktif (seksual) pada usia 17 bulan. Individu betina memiliki uterus
bikornuata dan plasenta haemokorial. Tarsius spektral muda adalah precocial dan
hanya menerima perawatan ibu. Ibu menjemput dan membawa bayi mereka melalui
mulut selama 3 minggu pertama dan menyimpannya di pohon saat mereka mencari
makan. Keturunan dibiarkan sendirian selama rata-rata 27 menit setiap kali, dan
kemudian mereka dipindahkan ke lokasi baru. Ibu umumnya berada dalam jarak 4
m dari anak-anak mereka saat mencari makan. Ibu-ibu menggendong anak-anak
yang berusia lebih dari 3 minggu di bawah perut mereka sambil melompat dan
bergerak dari pohon ke pohon (Gursky, 2010).
6
3. Umur hidup
Salah satu tarsius memiliki usia 10 tahun dan 9 bulan berdasarkan hasil
penelitian terbaru yang dilakukan, dan satu-satunya tanda penuaan pada individu
ini adalah rambut abu-abu / terang di wajah. Oleh karena itu, hal ini tidak mungkin
mewakili jangka waktu terpanjang dari tarsius spectral untuk hidup di alam liar.
Satu tarsius betina yang berusia lebih dari 5 tahun saat ini tinggal di kebun binatang
Singapura. Spesies yang terkait erat, Tarsius bancanus memiliki masa hidup 17
tahun dan 7 bulan di penangkaran. Kemungkinan besar Tarsius tarsier memiliki
jangka hidup yang sama apabila dalam penangkaran (Shekelle and Nietsch, 2008).
7
Tarsius tarsier biasanya hidup berpasangan atau kelompok keluarga kecil.
Mereka adalah hewan yang sangat sosial. Ketika dua anggota kelompok dewasa
sedang melakukan kontak fisik, mereka menghabiskan seluruh waktu istirahat dan
bersosialisasi. Ketika jaraknya kurang dari 10 m, mereka mencari makan dan,
ketika jaraknya 50 hingga 100 m, mereka menghabiskan sebagian besar waktu
mereka untuk bepergian. Tarsius juga memiliki perilaku bermain, dan berbagi
makanan. Persaingan dalam mendapatkan makanan mengakibatkan bertambahnya
waktu mencari untuk makan. Tampaknya tiap individu mendapat manfaat dari
kehidupan berkelompok, utamanya ketika tingkat predasi yang tinggi (Gursky-
Doyen, 2010).
5. Kebiasaan makan
Tarsius tarsier memakan secara langsung pada hewan hidup. Mangsa utamanya
adalah serangga terbang seperti belalang, dan ngengat. Mereka terkadang memakan
vertebrata kecil, seperti kadal. Tarsius mendengarkan sesuatu yang bergerak dalam
mencari mangsa. Setelah mendapatkan sasaran, tarsius akan langsung menyergap
mangsa tersebut dengan secara tiba-tiba, lalu mencengkeramnya dengan jarinya,
kemudian menggigit untuk membunuhnya. Tarsius lalu kembali ke tempatnya
bertengger, untuk memakan mangsa tadi. Perburuan ini memerlukan koordinasi
antara tangan dan mata yang sangat baik.
8
Tarsius mampu mengumpulkan mangsanya dari tanah, udara, maupun dari daun
dan ranting. mereka bisa makan dengan 10% dari berat badan mereka dalam 24
jam, dan dapat meminum air beberapa kali sepanjang malam.
9
B. Klasifikasi Tarsius
Tarsius adalah spesies kecil primata yang ditemukan menghuni hutan yang tumbuh
dengan baik di sejumlah pulau di Asia Tenggara. Meskipun catatan fosil menunjukkan
bahwa Tarsius akan pernah ditemukan di daratan Asia, Eropa, Amerika Utara dan di
Afrika, Tarsius modern saat ini terbatas pada hanya segelintir pulau di Malaysia,
Indonesia dan Filipina selatan. Meskipun perdebatan terus menerus di antara para
ilmuwan tentang penamaan dan klasifikasi spesies Tarsius, pada tahun 2011 ada 18
sub-spesies Tarsier yang berbeda yang dijelaskan yang dibagi menjadi tiga kelompok
umumnya tergantung pada lokasi geografis mereka, yaitu Tarsius Barat, Tarsius
Timur, dan Tarsius Filipina. Meskipun sains secara perlahan menemukan lebih banyak
dan lebih banyak tentang Tarsius di alam liar, data sulit dikumpulkan karena sifatnya
yang sulit dipahami dan ditambah dengan kebingungan terus-menerus atas klasifikasi
spesies terpisah, membuat upaya konservasi menjadi sulit (a-z-animals.com, 2010).
Hewan nokturnal ini adalah tergolong predator yang memiliki kemampuan khusus
dalam hal mencengkram dan melompat, Juga merupakan salah satu primata primitif
dari golongan Haplorrhini. Pada jenis yang lain, mata yang dimiliki berbeda dengan
tarsius yang memiliki Tapetum Lucidum yang merupakan hasil evolusi dari nenek
moyang sebelumnya. Primata ini termasuk kedalam satwa endemik di daerah Asia
Tenggara, yang meliputi Sumatra, Sulawesi, Filipina, dan pulau kecil pada jalur
tersebut. Tarsius dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom Animalia
Subkingdom Bilateria
Infrakingdom Deuterostomia
Filum Chordata ( – cordés, cordado, chordates)
Subfilum Vertebrata ( – vertebrado, vertébrés, vertebrates)
Infrafilum Gnathostomata
Superclass Tetrapoda
Class Mammalia (Linnaeus, 1758 – mammifères, mamífero, mammals)
Subclass Theria (Parker and Haswell, 1897)
Infraclass Eutheria (Gill, 1872)
Primates (Linnaeus, 1758 – homem, macaco, primata, sagui,
Ordo
primates, primates)
Subordo Haplorrhini (Pocock, 1918)
Infraorder Tarsiiformes (Gregory, 1915)
Famili Tarsiidae (Gray, 1825 – tarsiers)
Genus Tarsius (Storr, 1780)
Spesies Tarsius tarsier (Erxleben, 1777)
(Sumber:www.itis.gov)
10
Penemuan Dua Spesies Baru Tarsius di Sulawesi
Para peneliti merilis publikasi hasil penelitian yang menyatakan dua spesies baru
Tarsius di Sulawesi. Kedua spesies baru tersebut diberi nama Tarsius
spectrumgurskyae dan Tarsius supriatnai. Keduanya kini melengkapi 11 jenis tarsius
di Sulawesi dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Pemberian nama itu untuk menghormati
dua ilmuwan yang telah berperan penting dalam upaya konservasi di Indonesia.
Mereka adalah Dr. Sharon Gursky, seorang profesor antropologi di Universitas Texas
A & M di Amerika Serikat, dan Dr. Jatna Supriatna, seorang profesor biologi di
Universitas Indonesia. Gursky telah mempelajari tarsius di wilayah konservasi
Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara selama lebih dari 20 tahun dan menjadikannya
sebagai pakar Tarsius di dunia. Sementara Supriatna adalah Guru Besar Biologi di
Universitas Indonesia dan telah mensponsori banyak penelitian mengenai konservasi
di Indonesia.
"Rilis kedua spesies baru tersebut dipublikasikan dalam artikel yang diterbitkan
dalam Jurnal Primate Conservation pada 4 Mei tepat pada peringatan International
Tarsier Day," ujar Myron Shekelle, Research Associate di Western Washington
University’s Department of Anthropology yang menjadi penulis utama makalah
tersebut, Sabtu (6/5/2017).
Shekelle telah melakukan banyak penelitian mengenai tarsius di Sulawesi. Dia telah
menghabislan waktu lebih dari 20 tahun terakhir ini mempimpin sebuah tim peneliti,
yang berafiliasi dengan Universitas Negeri Manado. Penelitiannya telah menghasilkan
kesimpulan bahwa tarsius di Sulawesi bukan hanya satu atau dua spesies seperti yang
diketahui selama ini. Shekkele menggunakan perbedaan vokalisasi dan data genetika
untuk menegaskan perbedaan dari kedua spesies tersebut. Sebagaimana banyak
spesies nokturnal, tarsius terlihat sangat mirip satu dan lainnya. Dengan teknik yang
dikembangkan sejak tahun 1990an, pengamatan bioakustik dengan mengumpulkan
dan membandingkan data gentik telah berhasil mengindentifikasi jenis baru.
Habitat tarsius berada di hutan primer namun juga bisa ditemui di hutan sekunder,
dengan populasi yang cukup melimpah. Namun ancaman terhadap populasinya bisa
datang dari kerusakan hutan atau penggunaan petisida bagi pertanian. Mahluk yang
beraktivitas pada malam hari ini punya berat sekitar 120 gram saat dewasa. Tarsius
dapat melompat dengan mudah dengan presisi yang tinggi untuk menangkap
11
mangsanya. Hewan yang hanya ditemukan di beberapa pulau di Asia Tenggara ini
memangsa serangga dan kadal. Tarsius memiliki mata yang relatif berukuran besar
dari badannya sebagai pengembangan kemampuan menemukan makanan mereka di
malam hari. Dengan mata yang berukuran sangat besar, tarsius harus memutar
kepalanya hingga 180 derajat ke arah manapun untuk melihat mangsanya. Temuan ini
menunjukkan bahwa tarsius di Sulawesi bukan hanya satu atau dua spesies seperti
yang diketahui selama ini.
C. Habitat Tarsius
Spesies Tarsius memiliki wilayah penyebaran yang meliputi kepulauan sangihe
(Sulawesi Utara) hingga ke Kepulauan Selayar ujung (Sulawesi selatan). Dari 5 spesies
yang diketahui, baru 2 yang sudah memiliki data dan status pasti, sedangkan yang 3
jenis lainnya diperkirakan adalah jenis baru, Salah satunya adalah dari Kepulauan
Selayar. Tiap wilayah memiliki sebaran Tarsius secara spesifik yakni T. sangirensis di
pulau Sangihe, T. spectrum di Sulawesi Utara, T. dianae di Sulawesi Tengah, T.
Pumilus di Sulawesi Selatan dan Tengah, dan T. pelengensis di Kepulauan Peleng.
Masing-masing mempunyai keunikan tersendiri, misalnya Tarsius di Kepulauan
Selayar memiliki rambut yang terang kecoklatan dan rambut tipis di ekornya.
12
Sekarang penyebaran Tarsius di sekitar kepulauan Asia Tenggara terutama Filipina,
Pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, juga beberapa pulau kecil di sekitarnya.
Ada 5 spesies Tarsius yaitu T. bancanus yang hidup di Sumatera Selatan, Bangka,
Belitung, dan Kalimantan. T. syrichta di Filipina. Sedangkan tiga spesies yang lain
yaitu T. spectrum, T. diana, dan T. pumilus di temukan di Pulau Sulawesi dan pulau-
pulau kecil di sekitarnya.
Tarsius di Kepulauan Selayar dikenal dengan sebutan Podi yang berarti berwajah
menakutkan dan mirip monyet, karena tarsius menurut masyarakat disana adalah
sejenis tikus, bukan sejenis monyet ataupun primata. Adapun Daerah sebarannya di
Kepulauan Selayar yakni: di bagian tengah, daerah pantai timur dan sebagian daerah
pantai Selatan. Direktorat PPA (1978) menyatakan bahwa tarsius terdapat pada daerah
dengan ketinggian rendah dekat pantai maupun hutan rawa dan Pada hutan hujan tropis
disana. Dalam tiap sarang Tarsius, mampu menampung tiga sampai enam ekor Tarsius
dengan anaknya. Komposisinya adalah Anak, remaja, dan induk dalam satu keluarga.
Jaraknya antara 200 sampai 500 m dan umumnya ditemukan pada lokasi dengan
kemiringan 10º dan ketinggian 10 sampai 50 mdpl.
Di kepulauan selayar, Tarsius hidup pada hutan sekunder dan hutan kebun. Pada
perkebunan yang didominasi oleh tanaman Kelapa, jagung, dan pisang. Tarsius di
Kepulauan selayar memiliki ciri perilaku yang unik yakni pada pagi hari sampai jam
10.00 berada di pohon dan menjadikannya sebagai tempat bermain. Perilaku ini tidak
dijumpai pada tarsius lain yang sudah diamati yaitu T. spectrum dari Sulawesi dan T.
Bancanus dari Kalimantan (Wirdateti, 2005; Wirdateti dan Dahrudin, 2006).
13
Populasi dari Tarsius menurun karena faktor lingkungan pada umumnya, meskipun
terkadang dijadikan hewan buruan yang dikira tikus atau hama kebun. Hilangnya
habitat akibat diperdagangkan menjadi ancaman serius bagi Tarsius, sehingga
diperlukan upaya konservasi. Salah satunya adalah dengan memberikan konsolidasi
terhadap masyarakat dengan pengambilan kebijakan untuk menjadikan Tarsius
sebagai Flagship Species karena merupakan hewan endemik dan memiliki keunikan.
Pentingnya pemberian pemahaman terhadap masyarakat tentang habitat bagi satwa ini,
termasuk kepada pemerintah dan aparat penegak hukum, menjadi suatu alternatif
dalam pemberdayaan sumberdaya alam secara bijak.
Disisi lain, Tarsius juga dapat membawa parasit dalam tubuh mereka. Tarsius
spektrum dapat mempengaruhi populasi mangsa serangga mereka. Mereka sebagai
host parasit usus seperti cacing tambang dan cacing pita. Spesies terkait, Tarsius
bacanus, host berbagai spesies cacing usus seperti Moniliformes tarsii dan
Moniliformes echinoseroxi; tarsius spektrum mungkin rentan terhadap parasit ini. Pada
akhirnya, Ancaman utama terhadap tarsius termasuk hilangnya habitat karena
pertanian, pembalakan liar, penambangan batu kapur untuk pembuatan semen,
pestisida pertanian, dan predasi oleh hewan peliharaan (anjing dan kucing). Beberapa
hewan di perdagangkan sebagai hewan peliharaan (terutama dari Sulawesi Utara,
sekitar Tankoko).
Meskipun ada banyak kehilangan habitat, spesies ini telah menunjukkan beberapa
pemulihan terhadap konversi hutan. Meskipun tampaknya di antara yang paling
14
terancam karena distribusi yang relatif luas, kemungkinan keberadaan spesies cryptic
yang belum dideskripsikan membuatnya mungkin bahwa beberapa populasi lebih
terancam daripada yang lain. Spesies ini harus dikaji ulang pada revisi taksonomi lebih
lanjut (IUCN Redlist, 2008).
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tarsius adalah primata terkecil di dunia. Binatang ini bisa ditemukan di beberapa
pulau di Indonesia seperti Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera, juga di Filipina.
Tarsius merupakan salah satu satwa endemik Sulawesi yang dilindungi dan hidup, baik
di hutan primer maupun hutan sekunder. Spesies yang tergolong mamalia ini memiliki
karakter yang khas yang membedakannya dengan mamalia lain, yakni matanya yang
besar. Selain itu ciri yang lain adalah tarsius memiliki tubuh bulat kecil yang dilapisi
dengan bulu lembut, beludru, Warna mereka dari abu-abu hingga abu-abu gelap.
Tarsius adalah binatang setia dan hidup monogami. Pasangan Tarsius membentuk
kelompok kecil dengan anak-anaknya yang belum dewasa, bersarang dalam rongga
pohon. Jadi hanya sekali kawin dengan satu pasangan selama masa hidupnya dan
berkembang biak sebanyak dua kali dalam setahun. Usia terlama yang pernah tercatat
dari spesies Tarsius tarsier yakni 10 tahun 9 bulan.
Mereka mempunyai kebiasaan “Bernyanyi” baik secara individu maupun kelompok
dengan tujuan untuk menarik perhatian dan menandai lokasi tempat bermukim
mereka, adapun penandaan dengan cara lain yakni dengan menggunakan urin. Tarsius
tergolong kedalam Filum Chordata, kelas Mamalia, dengan Ordo Primata dan Famili
Tarsiidae. Akan tetapi hal ini masih menjadi perdebatan diantara para ahli terkait
klasifikasi yang finalnya. Terlepas dari semua karakteristiknya yang khas dan menarik,
Tarsius berada dalam ancaman kepunahan. Hal ini diperkuat oleh data dari IUCN Red
List yang memasukkan Tarsius tarsier kedalam salah satu spesies yang terancam
punah, hal ini disebabkan karena hilangnya habitat oleh pengaruh manusia yang
membuka lahan baru pada habitatnya, juga oleh perburuan karena dianggap sebagai
hama oleh para petani.
Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya koservasi yang baik dan benar terhadap
Tarsius guna mempertahankan keberadaan spesiesnya. Langkah-langkah yang
ditempuh pun juga harus jelas, misalnya seperti membuat kawasan konservasi dan
melakukan sosialisasi terhadap masyarakat tentang pentingnya menjaga habitat dari
satwa yang dilindungi tersebut.
16
B. Kritik dan Saran
Upaya pelestarian dan menjaga alam dapat memberikan hasil Positif nantinya bagi
manusia, sehingga sudah sepantasnya manusia melakukan berbagai upaya pencegahan
kerusakan dan pelestarian serta perbaikan terhadap alam. Karena sumber utama
penghidupan manusia juga semuanya berasal dari alam itu sendiri. Khususnya pada
kehidupan berbagai makhluk baik tumbuhan maupun hewan yang ada di dalamnya.
Penulis sadar akan kekurangan dalam penyusunan makalah ini, sehingga bantuan
dalam hal kritik yang membangun serta saran terhadap makalah ini menjadi suatu
pembelajaran yang penting untuk kedepannya dalam penulisan dan penyusunan
makalah yang lain. Harapan penulis agar makalah ini dapat bermanfaat bagi siapapun
yang membacanya.
17
DAFTAR PUSTAKA
Fitriana, Fifin dkk. 2016. HABITAT PREFERENSIAL TARSIUS BELITUNG
(Cephalopachus bancanus saltator Elliot, 1910) Media Konservasi Vol. 21 No. 2 Hal:
174-182
Mogk, K. 2012. "Tarsius tarsier" (On-line), Animal Diversity Web. Diakses pada 05
April, 2018 http://animaldiversity.org/accounts/Tarsius_tarsier/
Saroyo, et al. 2014. Density of Tangkasi (Tarsius spectrum) Population and Development
of Population Estimation Method Based on Duet Call at Tangkoko-Batuangus Nature
Reserve, North Sulawesi. Journal of Biological Sciences 6(1) Hal: 42-45 ISSN: 2041-
0778
SHEKELLE, M. in pres. Primary Taxonomy of Eastern Tarsiers, Phase II: Naming Taxa
Discovered in Phase I and Extending Sampling Transects.
Shekelle, M., A. Nietsch. 2008. Primates of the Oriental Night. West Java: West Java:
Indonesia Institute of Sciences, Research Center for Biology.
Shekelle, M., Mukti Leksono. 2004. Strategi Konservasi di Pulau Sulawesi dengan
Menggunakan Tarsius sebagai Flagship Spesies. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Hayati (B I
O T A) Vol. 9 (1) Hal: 1-10 ISSN 0853-8670
SUSSMAN, R.B. 1999. Primate Ecology and Social Stucture. Vol. I.: Lorises. Lemurs
and Tarsiers. Department of Anthropology Washington University.
Wirdateti dan Hadi Dahrudin. 2008. Pengamatan Habitat, Pakan dan Distribusi Tarsius
tarsier (Tarsius) di Pulau Selayar dan TWA Patunuang, Sulawesi Selatan. B I O D I V
E R S I T A S Volume 9, Nomor 2 Halaman: 152-155 ISSN: 1412-033X
Wright, P., E. Simons, S. Gursky. 2003. Tarsiers: past, present, and future. United States
of America: Rutgers University Press.
18
http://nationalgeographic.co.id/berita/2017/05/penemuan-dua-spesies-baru-tarsius-di-
sulawesi (Diakses pada 05 April, 2018)
http://www.iucnredlist.org/details/summary/21491/0 (Diakses pada 05 April, 2018)
http://www.tn-
babul.org/index.php?option=com_content&view=article&id=221%3Ahabitat-
populasi-dan-perilaku-tarsius-tarsius-tarsier-di-tn-bantimurung-
bulusaraung&catid=49%3Aartikel&Itemid=195 (Diakses pada 05 April, 2018)
19