Anda di halaman 1dari 8

63

Wirawan, et al.

Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR DOMESTIK


MENGGUNAKANTANAMAN KAYU APU (PISTIA STRATIOTES L.)
DENGAN TEKNIK TANAM HIDROPONIK SISTEM DFT
(DEEPFLOWTECHNIQUE)
Domestic Wastewater Treatment UsingWater Lettuce (Pistia stratiotes L.)
Planting With DFT (Deep Flow Technique) Hydroponic System
Wiweka Arif Wirawan1, Ruslan Wirosoedarmo2*, Liliya Dewi Susanawati2
1MahasiswaKeteknikanPertanian,
2 Fakultas

Universitas Brawijaya, Jl. Veteran, Malang 65145


Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya Jl. Veteran, Malang 65145
*Email korespondensi: ruslanwr@ub.ac.id

ABSTRAK
Di Indonesia, sumber penghasil limbah cair terbesar berasal dari aktivitas rumah tangga. Oleh
karena itu, diperlukan suatu metode penanganan yang tepat untuk mengolah limbah cair
domestik. Salah satu metode yang dapat diterapkan adalah fitoremediasi. Dalam penelitian ini
digunakan tanaman kayu apu (PistiastratiotesL.) yang ditanam dengan teknik hidroponik DFT
(DeepFlowTechnique) untuk mengolah limbah cair domestik dari MCK Terpadu Tlogomas
Malang. Kayu apu (PistiastratiotesL.) sebagai tumbuhan air memiliki potensi dalam
menurunkan kadar pencemar air limbah yang memiliki kadar organik tinggi. Kemampuan
mencengkeram lumpur dengan berkas-berkas akarnya dapat dimanfaatkan sebagai pembersih
air sungai yang sangat kotor. Tanaman kayu apu (PistiastratiotesL.) mempunyai keunggulan
seperti daya berkecambah yang tinggi, pertumbuhan cepat, tingkat absorbsi atau penyerapan
unsur hara dan air yang besar, mudah ditemukan, dan daya adaptasi yang tinggi terhadap
iklim. Penelitian ini menggunakan sistem recirculatingbatch. Penelitian ini menggunakan 2
faktor perlakuan, yaitu lama waktu retensi 3hari (A3) dan 6 hari (A6) serta pemberian aerasi B1
(tanpa penambahan aerasi) dan B2 (dengan penambahan aerasi) dimana pada setiap perlakuan
diulang sebanyak 3 kali.Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan lama waktu retensi 6
hari dengan penambahan aerasi (A6B2) paling efisien dalam pengolahan limbah cair domestik.
Efisiensi penurunan maksimal terhadap nilai COD 65,06%, TSS 19,99%, serta minyak dan lemak
sebesar 37,10%. Sedangkan untuk nilai BOD terjadi peningkatan sampai 45,35% dikarenakan
adanya tanaman yang mati dan akar tanaman yang rontok sehingga menambah kandungan
bahan organik dalam air limbah.
Kata kunci: DFT, Hidroponik, Kayu apu, Limbah Domestik
Abstract
At Indonesia, the largest source of liquid waste derived from household activity. Therefore, it required an
appropriate handling methods to proccessing greywater. One method that can be applied is
phytoremediation. In this research was used Pistia stratiotes L. planting with DFT (Deep flow technique)
hydroponic system for the treatment of greywater taken from MCK Terpadu Tlogomas Malang. Water
lettuce (Pistia stratiotes l.) as aquatic plants have potential to proccess waste water that have high organic
content. Capability of gripping mud with shafts of its roots can be used as a cleanser of a very dirty river.
Pistia stratiotes L. has advantages such as high rate to germinate, rapid growth, high absorption rate of
water and nutrients, easy to find, and great adaptation with climate.This research using a recirculating
batch system. Analysis of the greywater parameters conducted at the beginning and the end after
treatment. This research used 2 factors including retention time 3 days (A3)7 and 6 days (A6) and
providing aeration B1 (without addition of aeration) and B2 (with the addition of aeration) where in each
treatment was repeated three times.The results showed that treatment of long retention time 6 days with
the addition of aeration (A6B2) is most efficient in domestic liquid waste processing. Maximum reduction

64
Wirawan, et al.

Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan

efficiencies of COD 65,06% , TSS 19.99%, as well as oils and fats of 37,10%. As for the value of BOD
increase 45,35% due to plants that die and the root crops that loss so that adds to the content of organic
matter in the waste water.
Keywords: DFT, greywater, hydroponics, Pistia stratiotes

PENDAHULUAN
Sumber penghasil limbah cair terbesar di
negara ini adalah dari hasil aktivitas rumah
tangga.Hal
ini
dikarenakan
jumlah
penduduk di Indonesia yang sangat
besar.Oleh karena itu volume limbah
domestik yang dihasilkan juga besar
(Angga,
2007).Berbagai
upaya
telah
dilakukan untuk mengurangi dampak
pencemaran limbah domestik namun
mengalami beberapa kendala.Salah satunya
adalah mahalnya alat atau instalasi
pengolahan limbah sehingga sulit dijangkau
oleh masyarakat.
Limbah cair domestik adalah air yang
telah dipergunakan dan berasal dari rumah
tangga atau pemukiman termasuk di
dalamnya adalah yang berasal dari kamar
mandi, tempat cuci, WC, serta tempat
memasak (Sugiharto, 2008). Berdasarkan
Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 72
Tahun 2013 tentang baku mutu air limbah
bagi industri dan/atau kegiatan usaha
lainnya, maka parameter kunci untuk air
limbah domestik adalah BOD, COD, TSS,
pH, serta Lemak dan Minyak.
Teknik fitoremediasi didefinisikan
sebagai
teknologi
pembersihan,
penghilangan atau pengurangan zat
pencemar dalam tanah atau air dengan
menggunakan
bantuan
tanaman
(Chussetijowati, 2010). Mekanisme kerja
fitoremediasi terdiri dari beberapa konsep
dasar yaitu: fitoekstraksi, fitovolatilisasi,
fitodegradasi, fitostabilisasi, rhizofiltrasi dan
interaksi
dengan
mikroorganisme
pendegradasi polutan (Kelly, 1997).
PistiastratiotesL. disebut juga dengan
kayu apu.Spesies ini merupakan tumbuhan
air tawar yang umum tumbuh di daerah
tropis.Tumbuhan ini mengapung bebas di
perairan
kecuali
menempel
pada
lumpur.Tumbuhnya di genangan air yang
tenang atau yang mengalir dengan lambat
(Priyono, 2007).Kayu apu mempunyai
banyak akar tambahan yang penuh dengan

bulu-bulu akar yang halus, panjang, dan


lebat.
Tanaman kayu apu dipilih dikarenakan
tanaman ini mudah untuk didapatkan dan
mudah untuk dibudidayakan.Selain itu,
tanaman ini juga dapat hidup pada
lingkungan dengan air tergenang.Dengan
penggunaan tanaman kayu apu ini
diharapkan
mampu
mendegradasi
kandungan limbah yang terdapat dalam
limbah cair domestik.
Sistem hidroponik DFT merupakan
metode budidaya tanaman hidroponik
dengan meletakkan akar tanaman pada
lapisan air yang dalam, kedalaman lapisan
berkisar antara 4-6 cm. Prinsip kerja sistem
hidroponik DFT yaitu mensirkulasikan
larutan nutrisi tanaman secara terusmenerus selama 24 jam. Teknik hidroponik
ini dikategorikan sebagai sistem hidroponik
tertutup (Chadirin, 2007).
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk
mengetahui pengaruh penggunaan tanaman
kayu apu dengan sistem DFT, pengaruh
lama waktu retensi dan pemberian aerasi
terhadap parameter BOD, COD, TSS, pH,
serta kandungan minyak dan lemak.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari
2014 sampai dengan Maret 2014.Penelitian
dilakukan di Laboratorium Teknik Sumber
Daya Alam, Laboratorium Mekatronika dan
Lingkungan Jurusan Keteknikan Pertanian
Universitas Brawijaya Malang.Air limbah
domestik yang digunakan dalam penelitian
ini berasal dari SANIMAS (Sanitasi
Masyarakat)/MCK Terpadu Gg. Tirtarona,
Tlogomas, Malang.
Persiapan Tanaman Kayu Apu
Tanaman Kayu apu (PistiastratiotesL.) yang
diperlakukan sebagai tanaman uji memiliki
bentuk fisik dengan diameter rata-rata 4-5
cm. Jumlah tanaman kayu apu yang

65
Wirawan, et al.

Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan

disebarkan pada setiap talang 90 tanaman


dimana hal ini disesuaikan dengan panjang
dan lebar talang PVC sehingga tidak terlalu
rapat.
Akar
tanaman
dibiarkan
menggantung dan tercelup dalam aliran
limbah setinggi 4 cm.
Alat Hidroponik
Kerangka alat yang dibuat memiliki dimensi
panjang 125 cm, lebar 62,5 cm, tinggi 125 cm
yang terbuat dari besi dan berisi 4 tingkat
(Gambar 1). Pada kerangka ini juga akan
ditempatkan talang PVC pada tiap
tingkatan dengan diameter 10 cm dengan
panjang 110 cm sebagai media sirkulasi air
limbah. Selain itu juga terdapat bak
penampung air limbah yang memiliki
dimensi panjang 30 cm, lebar 15 cm, dan
tinggi
15
cm
yang
terbuat
dari
kaca.Kerangka alat dibuat sebanyak 2 unit.

5mm dan diletakkan pada tiap ujung


tingkatan talang PVC.
Pengambilan Limbah
Pengambilan limbah dilakukan pada pukul
07.30 WIB sebanyak 6 kali dengan
menggunakan jerigen 30 L dan dilakukan
dalam waktu yang berbeda.Volume air
limbah yang diambil sebanyak 60 L setiap
kali pengambilan (ditunjukkan pada Tabel
1).Selain itu juga dilakukan pengambilan
sampel pada botol plastik 600 ml untuk di
analisa sebagai sampel awal. Dalam satu
kali pengambilan, air limbah digunakan
untuk 2 perlakuan yaitu tanpa aerasi (B1)
dan dengan aerasi (B2).
Tabel 1. Pengambilan sampel
Nama Sampel
Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4
Sampel 5
Sampel 6

Perlakuan
1A3B1 & 1A3B2
2A3B1 & 2A3B2
3A3B1 &3A3B2
1A6B1 & 1A6B2
2A6B1 & 2A6B2
3A6B1 & 3A6B2

*A3B1 : 3 hari tanpa aerasi


aerasi
A3B2 : 3 hari dengan aerasi
aerasi

Gambar 1. Desain Kerangka Hidroponik


Sistem DFT, a).Talang PVC, b).Rangka besi,
c). Bak penampung
Sistem kerja alat ini adalah air dipompa dari
bak penampung menggunakan pompa
akuarium(Aquaman AM-1800) ke bagian
paling atas dari rangkaian talang PVC.Air
limbah selanjutnya secara otomatis mengalir
dengan debit 33 ml/detik ke rangkaian
talang PVC yang berada dibawahnya.Pada
rangkaian paling bawah air limbah dialirkan
kembali menuju bak penampungan dan
dialirkan kembali secara terus menerus
selama 24 jam.Pada salah satu rangkaian
ditambahkan aerasi dengan menggunakan
aerator(Amara AA-999) yang dialirkan
melalui selang plastik dengan diameter

A6B1 : 6 hari tanpa


A6B2 : 6 hari dengan

Karakteristik Limbah Cair Domestik


Tlogomas
Air limbah domestik yang ada di MCK
terpadu Tlogomas berasal dari aktivitas air
buangan kamar mandi, dapur, sisa-sisa
makanan, mencuci, dan kakus.Karakteristik
limbah cair domestik dari MCK terpadu
Tlogomas sebelum dilakukan pengolahan
dengan kayu apu dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Parameter limbah awal
Nama
Sampel
Sampel
1
Sampel
2
Sampel
3
Sampel
4
Sampel
5
Sampel
6

BOD
(mg/l)

COD
(mg/l)

TSS
(mg/l)

pH

Lemak
&
Minyak
(mg/l)

6,2

324,8

300

7,35

3,5

2,67

190,8

348

7,62

4,5

2,43

142,8

416

8,08

12,5

3,92

242,8

440

7,05

3,5

0,92

210,8

296

6,76

9,37

294,8

480

7,68

66
Wirawan, et al.

Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Pengolahan Air Limbah


Metode yang digunakan dalam proses
pengolahan air limbah adalah metode
fitoremediasi
dengan
memanfaatkan
tanaman kayu apu (PistiastratiotesL.).
Penelitian ini melibatkan dua faktor
perlakuan yaitu lama waktu retensi dan juga
penambahan aerasi.
Penelitian ini terdiri dari 4 perlakuan
yaitu A3B1 (3 hari tanpa aerasi), A3B2 (3
hari dengan aerasi), A6B1(6 hari tanpa
aerasi), A6B2 (6 hari dengan aerasi). Tiap
perlakuan diulangi sebanyak 3 kali.
Air Limbah yang akan diolah
disirkulasikan secara terus menerus selama
24 jam dengan menggunakan pompa air
akuarium dengan kapasitas 1500 L/jam.
Penambahan aerasi dilakukan pada salah
satu rangkaian dengan menggunakan aerator
dengan kapasitas 3 L/menit yang dialirkan
melalui selang plastik berdiameter 0,5 cm
yang berujung di air stone yang diletakkan
pada tiap rangkaian talang PVC.
Analisa kandungan limbah cair
dilakukan sebelum dan sesudah melalui
proses pengolahan limbah dengan metode
fitoremediasi. Parameter yang dianalisis
dalam penelitian ini yaitu BOD, COD, TSS,
pH, serta kandungan minyak atau lemak.
Proses analisa sampel limbah cair dilakukan
di Laboratorium Kualitas Air Perum Jasa
Tirta Malang dan Laboratorium Ilmu-Ilmu
Perairan Fakultas Ilmu Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Brawijaya Malang.
Metode yang digunakan unuk analisis
BOD adalah menggunakan BOD5 yaitu
menghitung selisih DO5 dan DO1 (Boyd,
1988), analisis COD menggunakan metode
spektrofometer (Boyd, 1988), analisis TSS
menggunakan metode gravimetri (Jasa
Tirta, 2012), analisis pH menggunakan pH
meter, serta analisis minyak dan lemak
menggunakan metode gravimetri (SNI,
2011).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Biological Oxygen Demand (BOD)
Data hasil analisa yang didapatkan
menunjukkan bahwa kandungan BOD pada
limbah awal sebelum diolah telah
memenuhi baku mutu air limbah domestik.
Sedangkan setelah mengalami pengolahan
nilai BOD tidak mengalami penurunan

melainkan
peningkatan.
Tabel
3
menunjukkan laju peningkatan nilai BOD.
Tabel 3. Rata-rata nilai BOD
Perlakuan
A3
A6

B1
B2
B1
B2

Sebelum
(mg/L)

Sesudah
(mg/l)

3.77
3.77
4.74
4.74

5.03
5.12
6.76
6.85

* Nilai negatif
peningkatan

(-)

Laju
Selisih
Peningkatan
(mg/l)
(%)
-1.26
33.33
-1.35
36.01
-2.03
42.58
-2.12
45.35

menunjukkan

adanya

Pada lama waktu retensi 3 hari dan 6


hari juga mengalami peningkatan, dimana
peningkatan yang lebih tinggi terjadi pada
perlakuan dengan aerasi (B2), hal ini dapat
dikarenakan pada penambahan aerasi
terjadi percikan air disekitar airstone yang
menyebabkan sebagian permukaan kayu
apu terendam air dan lama-kelamaan
menyebabkan tanaman kayu apu mati.
Selain itu juga dikarenakan akar tanaman
kayu apu yang mengalami kerontokan
karena terlalu banyaknya koloid yang
menempel pada akar tanaman (Fachrurozi
dkk., 2010). Peningkatan nilai BOD pada
kedua perlakuan dapat disebabkan oleh
daun-daun yang telah rusak dan membusuk
karena terendam oleh air sehingga bahan
organik dalam air limbah akan meningkat
dan nilai BOD akan naik.
Dengan adanya peningkatan yang lebih
tinggi pada perlakuan B2, dapat diketahui
jika penambahan aerasi tidak cocok untuk
diaplikasikan terhadap sistem ini yang
menggunakan tanaman kayu apu karena
dengan adanya aerasi akan menimbulkan
percikan dan gelombang pada permukaan
air.
Chemical Oxygen Demand (COD)
Data hasil analisa yang didapatkan
menunjukkan bahwa kandungan COD pada
limbah awal sebelum diolah melebihi baku
mutu air limbah domestik. Setelah
mengalami
pengolahan
nilai
COD
mengalami
penurunan
tetapi
masih
melebihi baku mutu air limbah domestik.
Tabel 4 menunjukkan besarnya laju
penurunan nilai COD.

67
Wirawan, et al.

Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Tabel 4. Rata-rata nilai COD


Perlakuan
A3
A6

B1
B2
B1
B2

Sebelum
(mg/L)

Sesudah
(mg/l)

219.47
219.47
249.47
249.47

139.47
126.80
135.13
86.80

Tabel 5. Rata-rata nilai TSS


Laju
Selisih
Penurunan
(mg/l)
(%)
80.00
36.35
92.67
41.74
114.33
45.61
162.67
65.06

Hasil yang didapatkan dari nilai COD


menunjukkan adanya penurunan pada
semua perlakuan, dimana pada lama waktu
retensi 3 hari penurunan tertinggi terjadi
pada perlakuan B2, dan pada 6 hari
penurunan tertinggi juga terjadi pada
perlakuan B2. Berdasarkan data dari tabel
4.2 dapat diketahui bahwa laju penurunan
COD pada perlakuan B2 lebih besar
dibandingkan dengan perlakuan B1, serta
pada lama waktu retensi 6 hari (A6) juga
lebih besar dibandingkan dengan lama
waktu retensi 3 hari (A3). Hal ini
menunjukkan adanya pengaruh antara lama
waktu retensi dan pemberian aerasi
terhadap nilai COD.
Efisiensi penyisihan kandungan air
limbah bergantung pada konsentrasi dan
lamanya waktu penahanan di dalam sistem,
dimana waktu retensi yang cukup akan
memberikan kesempatan kontak antara
mikroorganisme dengan air limbah. Bahan
organik yang terdapat didalam air limbah
akan dirombak oleh mikroorganisme
menjadi senyawa lebih sederhana dan akan
dimanfaatkan oleh tumbuhan sebagai
nutrient, sedangkan sistem perakaran
tumbuhan air akan menghasilkan oksigen
yang dapat digunakan sebagai sumber
energi/katalis untuk rangkaian proses
metabolisme
bagi
kehidupan
mikroorganisme (Supradata, 2005).
Total Suspended Solid (TSS)
Data hasil analisa yang didapatkan
menunjukkan bahwa kandungan TSS pada
limbah awal sebelum diolah melebihi
bakumutu air limbah domestik. Setelah
mengalami pengolahan nilai TSS mengalami
penurunan tetapi masih melebihi baku
mutu air limbah domestik. Tabel 5
menunjukkan penurunan nilai TSS.

Perlakuan
A3
A6

B1
B2
B1
B2

Sebelum
(mg/L)

Sesudah
(mg/l)

Selisih
(mg/l)

354.67
354.67
405.33
405.33

287.33
306.67
326.00
323.33

67.33
48.00
79.33
82.00

Laju
Penurunan
(%)
18.86
13.46
21.73
18.05

Penurunan kandungan TSS setelah


proses pengolahan dengan menggunakan
tanaman kayu apu (PistiastratiotesL.)
disebabkan
karena
terjadi
proses
penyerapan oleh tanaman, dekomposisi
bahan organik terlarut dan mengendapnya
hasil dekomposisi bahan organik.
Penurunan nilai TSS juga disebabkan
karena tanaman kayu apu memiliki akar
serabut yang dapat menjadi tempat
menempelnya koloid yang melayang di air.
Semakin banyak akar serabut yang dimiliki,
maka semakin banyak koloid yang
menempel
pada
akar-akar
tersebut
(Fachrurozi dkk., 2010).
Hasil yang didapatkan dari nilai TSS
menunjukkan adanya penurunan pada
semua perlakuan, dimana pada lama waktu
retensi 3 hari penurunan tertinggi terjadi
pada perlakuan B1, dan pada 6 hari
penurunan tertinggi juga terjadi pada
perlakuan B1. Berdasarkan data dari tabel
4.3 dapat diketahui bahwa laju penurunan
TSS pada perlakuan B1 lebih besar
dibandingkan dengan perlakuan B2, serta
pada lama waktu retensi 6 hari (A6) juga
lebih besar dibandingkan dengan lama
waktu retensi 3 hari (A3). Laju penurunan
TSS pada perlakuan B2 lebih kecil dibanding
dengan perlakuan B1 disebabkan oleh
adanya peningkatan BOD yang lebih besar
pada perlakuan B2 dibandingkan dengan
peningkatan BOD pada perlakuan B1.
pH ( Tingkat Kemasaman Air)
Data hasil analisa yang didapatkan
menunjukkan bahwa nilai pH pada limbah
awal sebelum diolah telah memenuhi baku
mutu air limbah domestik. Setelah
mengalami pengolahan nilai pH mengalami
fluktuasi tetapi masih memenuhi baku mutu
air limbah domestik.Tabel 6 menunjukkan
nilai rata-rata pH limbah domestik.

68
Wirawan, et al.

Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Tabel 6. Rata-rata nilai pH


Perlakuan

Sebelum
(mg/L)

Sesudah
(mg/l)

Selisih
(mg/l)

7.68
7.68
7.16
7.16

8.05
8.50
8.15
8.26

-0.37
-0.82
-0.98
-1.10

B1
B2
B1
B2

A3
A6

* Nilai negatif
peningkatan

(-)

menunjukkan

adanya

Berdasarkan data pada tabel dapat


diketahui bahwa nilai pH berfluktuasi baik
pada perlakuan 3 hari maupun 6 hari.Angka
pH tertinggi pada perlakuan 3 hari terjadi
pada perlakuan B2, begitu juga pada 6 hari
pH tertinggi juga terjadi pada perlakuan
B2.Nilai pH yang cenderung basa dapat
disebabkan oleh banyaknya zat-zat yang
bersifat basa yang terdapat pada sabun,
shampo, dan deterjen yang sering
digunakan dalam aktivitas sehari-hari.Nilai
pH tersebut dipengaruhi oleh nilai pH awal
limbah yang berbeda-beda dalam setiap
perlakuan.
Penambahan aerasi pada sistem
menyebabkan kandungan oksigen terlarut
dalam air limbah meningkat.Oksigen
terlarut
kemudian
dimanfaatkan
mikroorganisme untuk respirasi dan
dihasilkan CO2. Karbon dioksida yang
terlarut dalam air kemudian akan
mengalami
reaksi
kesetimbangan
menghasilkan
ion
OHpenyebab
meningkatnya nilai pH (Efendi, 2003).
Minyak dan Lemak
Dari hasil analisa yang didapatkan
menunjukkan bahwa kandungan minyak
dan lemak pada limbah awal sebelum
diolah sebagian besar telah memenuhi baku
mutu air limbah domestik. Setelah
mengalami pengolahan kandungan minyak
dan lemak mengalami penurunan dan telah
memenuhi baku mutu air limbah domestik.
Tabel 7 menunjukkan nilai penurunan
minyak dan lemak.
Tabel 7. Rata-rata nilai minyak dan lemak
Perlakuan
A3
A6

B1
B2
B1
B2

Sebelum
(mg/L)

Sesudah
(mg/l)

Selisih
(mg/l)

6.83
6.83
3.5
3.5

4.90
4.72
2.30
2.20

1.93
2.12
1.20
1.30

Laju
Penurunan
(%)
28.49
30.77
34.21
37.10

Tidak begitu besarnya nilai minyak dan


lemak pada limbah awal dikarenakan air
limbah yang digunakan dalam penelitian ini
diambil dari efluen bak sedimentasi,
sehingga sebagian besar kandungan minyak
dan lemak telah berkurang.
Berdasarkan data dari tabel dapat
diketahui bahwa laju penurunan minyak
dan lemak pada perlakuan B2 lebih besar
dibandingkan dengan perlakuan B1, serta
pada lama waktu retensi 6 hari (A6) juga
lebih besar dibandingkan dengan lama
waktu retensi 3 hari (A3). Laju penurunan
minyak dan lemak pada perlakuan B1 lebih
kecil dibanding dengan perlakuan B2
disebabkan karena proses degradasi bahanbahan
organik
dalam
air
limbah
dipengaruhi oleh keberadaan oksigen
terlarut, karena banyaknya minyak dan
lemak yang mengapung di permukaan air
limbah, maka difusi oksigen ke dalam air
limbah menjadi terhambat (Widyaningsih,
2011). Oleh karena itu pada perlakuan B2
laju penurunan minyak dan lemak lebih
tinggi karena pada perlakuan B2 dilakukan
penambahan aerasi.
Kondisi Tanaman Kayu Apu Setelah
Pengolahan
Kemampuan tanaman kayu apu untuk
tumbuh di dalam air sangat bervariasi
tergantung dari kandungan unsur hara yang
terkandung
di
dalamnya.Setelah
dipergunakan sebagai pengolah limbah cair
domestik kondisi tanaman sebagian kecil
ada yang mati dan rusak. Hal ini diduga
berhubungan dengan proses adaptasi Pistia
stratiotes L. dengan lingkungan tumbuh
yang baru dengan kandungan hara dan zat
kimia yang berbeda dengan lingkungan
asalnya (Priyono, 2007).
Tanaman kayu apu yang mati pada
perlakuan selama 3 hari rata-rata berjumlah
9 tanaman atau 10% dari total 90 tanaman
yang
dipergunakan.Sedangkan
pada
perlakuan selama 6 hari rata-rata tanaman
kayu apu yang mati sebesar 15 tanaman
atau 16% dari jumlah awal. Selain itu, juga
terdapat perubahan pada kondisi fisik
tanaman setelah digunakan dalam proses
pengolahan seperti pada daun yang
berwarna kekuningan dan juga kondisi akar
yang menggumpal dan kotor karena

69
Wirawan, et al.

Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan

banyaknya koloid yang menempel (Gambar


2).

Gambar 2. A). Kondisi tanaman sebelum


pengolahan, B). Kondisi tanaman setelah
pengolahan
Perubahan
pada
daun
dapat
diakibatkan oleh beban polutan yang tinggi
sehingga
menurunkan
kualitas
dan
kuantitas klorofil, sehingga menyebabkan
daun berubah warna. Sedangkan perubahan
pada akar, diakibatkan oleh kandungan TSS
yang tinggi sehingga mengganggu respirasi
sel di akar karena adanya proses
penyaringan atau filter yang dilakukan oleh
akar tanaman (Fachrurozi dkk., 2010).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan
pengaruh Pistia stratiotes L. dalam
pengolahan
limbah
cair
domestik
menunjukkan adanya peningkatan nilai
BOD maksimal sebesar 45,35% pada
perlakuan A6B2, penurunan nilai COD
maksimal sebesar 65,06% pada perlakuan
A6B2, penurunan nilai TSS maksimal
sebesar 19,99% pada perlakukan A6B2, nilai
pH maksimum sebesar 8,50 pada perlakuan
A3B2, dan penurunan nilai minyak dan
lemak maksimum sebesar 37,10% pada
perlakuan A6B2. Perlakuan lama waktu
retensi 6 hari dengan aerasi (A6B2) paling
efisien dalam pengolahan limbah cair
domestik dengan tanaman kayu apu.
DAFTAR PUSTAKA
Angga Dheta SA. 2007. Pengaruh Lama Waktu
Aerasi Terhadap Penurunan Kadar
Amoniak, Nitrit, Nitrat, Senyawa

Organik, dan Zat Padat Air Limbah


Domestik pada Bak Aerasi Prototipe
IPAL
Sistem
Lumpur
Aktif.
Skripsi.UM. Malang.
Boyd, Claude E. 1988. Water Quality in
Warmwater
Fish
Ponds.Forth
Printing.
Alabama,
USA
Agricultural Experiment station,
Auburn University
Chadirin, Y. 2007. Teknologi Greenhouse dan
Hidroponik. Diktat Kuliah. Dep. Tek.
Pertanian.IPB. Bogor
Chussetijowati J, et al. 2010. Fitoremediasi
Radionuklida 134Cs Dalam Tanah
Menggunakan
Tanaman
Bayam
(Amaranthus sp.). Prosiding Seminar
Nasional ke-16 Teknologi dan
Keselamatan PLTN Serta Fasilitas
Nuklir.ITS. Surabaya. Hal. 282-289
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi
Pengelolaan
Sumberdaya
dan
Lingkungan
Perairan.
Kanisius.
Yogyakarta.
Fachrurozi, et al. 2010. Pengaruh Variasi
Biomassa PistiastratiotesL. Terhadap
Penurunan Kadar BOD, COD, dan
TSS Limbah Cair Tahu di Dusun Klero
Sleman Yogyakarta. Jurnal KES MAS
UAD Vol. 4 No. 1 Januari 2010.
Universitas
Ahmad
Dahlan,
Yogyakarta.
Jasa Tirta. 2012. Prosedur Analisa Total
Suspended Solid. Jasa Tirta. Malang
Kelly, EB. 1997. Groundwater Pollution Primer
: Phytoremediation. Civil Engineering
Dept, Virginia Tech. dilihat pada 15
November
2013.
http://www.webapps.cee.vt.edu/e
wr/environmental/teach/gwprime
r/phyto/phyto.html
Pergub Jatim No. 72. 2013. Baku Mutu Air
Limbah Bagi
Industri
dan/atau
Kegiatan Usaha Lainnya. Jawa Timur
Priyono, Andika T. 2007. Pengaruh
PistiastratiotesL. Dalam Peningkatan
Kualitas Air. Skripsi. IPB. Bogor
Sugiharto. 2008. Dasar-Dasar Pengelolaan Air
Limbah. UI-Press. Jakarta
Supradata. 2005. Pengolahan Limbah Domestik
Menggunakan
Tanaman
Hias
(CyperusalternifoliusL.) Dalam Sistem
Lahan Basah Buatan Aliran Bawah
Permukaan (SSF-Wetlands). Desertasi
Doktor. UNDIP. Semarang.

70
Wirawan, et al.

Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Widyaningsih, Vini. 2011. Pengolahan Limbah


Cair Kantin Yongma. Skripsi.UI.
Depok

Anda mungkin juga menyukai