Air Lindi adalah air yang terbentuk dalam timbunan sampah yang melarutkan banyak senyawa sehingga memiliki kandungan pencemar khususnya zat organik yang tinggi. Tingginya kandungan pencemar berdampak pada kesehatan masyarakat dan ekosistem di sekitar lokasi TPA sampah. Lokasi penelitian berada di TPA sampah Tanjungrejo, Desa Tanjungrejo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas metode constructed wetland dalam pengolahan air lindi yang ada di IPAL TPA sampah Tanjungrejo. Metode yang digunakan adalah survei, grab sampling, dan uji laboratorium, Pengujian kualitas air lindi dilakukan di laboratorium dengan parameter untuk air lindi adalah pH, BOD, COD, TSS, N-total berdasarkan Baku mutu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No P.59/MenLHK/Setjen/Kum.1/7/2016 tentang Baku Mutu Lindi Bagi Usaha dan/atau Kegiatan TPA Sampah. Metode pengolahan air lindi menggunakan metode constructed wetland dengan waktu tinggal 3 hari dan 6 hari menggunakan tanaman Typha angustifolia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan menggunakan metode constructed wetland dengan waktu tinggal 3 hari memiliki hasil efektivitas tertinggi pada parameter TSS sebesar 65,625% dan yang terendah pada parameter pH sebesar 6,893%. Pengolahan dengan waktu tinggal 6 hari mendapatkan efektivitas tertinggi pada parameter TSS sebesar 70,714% dan yang terendah pada parameter pH sebesar 17,437%. Pengolahan dengan waktu tinggal 6 hari terbukti lebih efektif daripada dengan waktu tinggal 3 hari. Sungai Citarum adalah sungai terpanjang dan terbesar di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Setiap musim hujan di sepanjang Sungai Citarum di wilayah Bandung Selatan selalu dilanda banjir, oleh karena itu pemerintah membuat proyek normalisasi Sungai Citarum. Tetapi hasil proyek itu sia-sia karena tidak ada sosialisasi terhadap masyarakat sekitar sehingga sungai tetap menjadi tempat pembuangan sampah dan limbah pabrik. Kampung Daraulin dikelilingi oleh Sungai Citarum yang sudah tercemar yang diperkirakan mengandung beberapa parameter tercemar seperti BOD, COD, Total Nitrogen, Total Fosfat, serta TSS. Salah satu konsep yang dapat digunakan untuk menjadi solusi yaitu menggunakan constructed wetland dengan tanaman Typha sp. dan Scirpus grossus. Penelitian dilakukan sebanyak 2 kali running dengan media ijuk, kerikil, dan tanah lembang. Efisiensi penyisihan rata-rata pada constructed wetland untuk parameter COD adalah 89,7% untuk reaktor I dan 87.6% untuk reaktor II; untuk parameter NTK sebesar 31,4% untuk reaktor I dan sebesar 26,4 untuk reaktor II; untuk parameter nitrit adalah sebesar 90,5% untuk reaktor I dan sebesar 94,1% untuk reaktor II; untuk parameter nitrat sebesar 94,9% untuk reaktor I dan sebesar 84.6% untuk reaktor II; untuk parameter ammonium mengalami kenaikan sebesar 142,4% untuk reaktor I dan sebesar 121,9% untuk reaktor II ; untuk parameter total fosfat sebesar 72,7% untuk reaktor I dan sebesar 62,04% untuk reaktor II; untuk parameter TSS sebesar 95,5% untuk reaktor I dan sebesar 92,4% untuk reaktor II; untuk parameter BOD sebesar 86,9% untuk reaktor I dan sebesar 69,9 untuk reaktor II. Nilai efluen reaktor memenuhi baku mutu PP No. 82 Tahun 2001 kelas II. Efluen IPAL tahu yang menerapkan anaerobic digester masih mengandung zat organik dan memerlukan pengolahan lanjutan. Salah satu alternatif pengolahan lanjutan adalah constructed wetland (CW) menggunakan tanaman rumput pakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi tahap CW dan lama tanam terhadap konsentrasi TSS dan COD efluen. Pertumbuhan tanaman juga diamati selama operasional alat. Dua bak CW tipe horizontal subsurface flow berukuran 100 cm x 50 cm x 50 cm disusun seri sebagai tahap 1 dan 2. Bak ditanami rumput gajah odot dengan jarak tanam 25 cm, dan bak tanpa tanaman sebagai kontrol. Air limbah dialirkan dengan beban hidrolis 0,1 m3 /m2 .hari. Pengukuran suhu, pH dan tinggi tanaman dilakukan tiap 2 hari, pengujian TSS dan COD tiap 1-2 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu efluen bak kontrol dan yang ditanami relatif tidak ada perbedaan. pH air mengalami peningkatan setelah melalui CW, dengan pH efluen tahap II lebih besar dibanding tahap I. Efisiensi penurunan TSS dan COD pada CW yang ditanami rumput berturut-turut 61-90% dan 27-85%, sedangkan untuk kontrol berkisar 8-85% dan 13-79%. Tanaman dapat tumbuh ditunjukkan dengan adanya penambahan tinggi tanaman dan berat tanaman saat panen. Kesimpulan penelitian, variasi tahap CW dan lama tanam berpengaruh terhadap konsentrasi efluen TSS dan COD. Constructive wetland untuk limbah limbah peternakan (dicari literaturnya) 2. Aplikasi sistem lahan basah buatan dalam mengolah air limbah peternakan babi Usaha peternakan babi dapat ditemukan di beberapa provinsi di Indonesia. Mengacu pada data Kementerian Pertanian Republik Indonesia (2012), tiga provinsi dengan populasi ternak babi tertinggi di Indonesia pada tahun 2010, yaitu: Nusa Tenggara Timur (1.637.351 ekor), Bali (930.465 ekor), dan Sumatera Utara (734.222 ekor). Peternakan babi merupakan salah satu usaha yang potensial untuk dikembangkan sebagai komoditas ekspor, sumber protein, dan sumber pendapatan keluarga. Limbah babi berasal dari campuran sisa-sisa pakan, minuman, urin, feses, serta air cucian bekas memandikan babi. Kegiatan usaha ternak babi dapat menimbulkan permasalahan lingkungan hidup. Permasalahan yang paling sering terjadi adalah pembuangan limbah dari perternakan babi terutama kotoran dan urin yang menyebarkan bau (Kementrian Pertanian Republik Indonesia, 2012). Akibat dari pencemaran lingkungan ini, kegiatan usaha ternak babi ditutup secara sepihak. Solusi ini dapat menyebabkan hilangnya mata pencaharian penduduk yang bergerak di sektor ternak babi. Limbah babi yang mengandung bakteri E. colimenyebabkan pencemaran terhadap lingkungan di sekitarnya. Berdasarkan penelitian (XXXX) menujukkan bahwa terdapat bakteri E. coli dalam limbah peternakan babi di Kecamatan Petang sebesar 90 x 107CFU/mL, Abiansemal 33 x 107 CFU/mL, Mengwi 11 x 107 CFU/mL dan Kuta Utara 9 x 107 CFU/mL. Dapat disimpulkan bahwa limbah peternakan babi di Kecamatan Petang, Abiansemal, Mengwi, dan Kuta Utara Kabupaten Badung, Propinsi Bali mengandung bakteri E. coli yang jumlahnya melebihi standar baku mutu. Dalam rangka mencegah pencemaran lingkungan dan menjamin keberadaan peternak, desain bangunan pengolahan limbah cair peternakan babi perlu dilakukan. Anaerobic baffled reactor dan constructed wetland adalah unit yang dipilih untuk mengolah air limbah di dalam desain ini. Anaerobic baffled reactor relatif sederhana untuk dioperasikan, murah, dan tidak memerlukan listrik (Irwin, 2011 dalam Hassan et al., 2013). Di sisi lain, menurut Kadlec et al. (2000) dan Haberl et al. (2003) dalam Langergraber (2007), unit constructed wetland tidak memerlukan operasi dan pemeliharaan yang kompleks dan menambah estetika lingkungan. Dalam rangka membangun unit pengolahn air limbah, peternak akan memerlukan biaya konstruksi dan pengoperasian dan pemeliharaan. Perhitungan bill of quantity (BOQ) dan rencana anggaran biaya (RAB) dilakukan untuk membandingkan unit mana yang relatif lebih ekonomis bagi peternak. Selain itu, perencanaan pemanfaatan efluen dari unit pengolah air limbah juga dilakukan agar peternak mendapat manfaat dari adanya unit tersebut. Analisis keuntungan dan biaya (benefit and cost analysis) digunakan dalam perencanaan ini guna menilai dampak positif dan negatif dari pembangunan bangunan pengolah air limbah dengan membandingkan antara biaya dan manfaat. Menurut FSA Environmental (2000), constructed wetland telah banyak digunakan untuk menghilangkan nutrien. Constructed wetland digunakan untuk meningkatkan kualitas efluen dan tidak cocok untuk mengolah limbah cair yang memiliki konsentrasi tinggi. Jika wetland dipakai untuk mengolah limbah peternakan babi, maka unit ini harus ditempatkan setelah kolam anaerobik atau pengolahan biologis lainnya. Wetland pada umumnya dapat mengurangi kadar nitrogen sebesar 85%, 7 phosphor sebesar 70%, TSS sebesar 80% dan BOD sebesar. Menurut Sasse (2009), constructed wetland merupakan sistem yang sederhana dan hampir tidak membutuhkan pemeliharaan kompleks. Constructed wetland secara permanen dialiri dengan air limbah dan sebagian bekerja pada kondisi aerobik (terdapat oksigen bebas), anoxic (tidak terdapat oksigen, akan tetapi terdapat nitrat NO3) dan anaerobik (tidak terdapat oksien bebas dan tidak terdapat nitrat). Gambar 2.3 menunjukkan pengolahan limbah dengan menggunakan constructed wetland. Menurut Vymazal (2010), air limbah masuk melalui inlet dan mengalir di sepanjang media yang diisi dengan tanaman. Senyawa organik secara efektif direduksi oleh mikroba pada kondisi anoksik dan anaerobik di mana konsentrasi oksigen terlarut di dalam filter sangat terbatas. Berdasarkan Stottmeister et al. (2003) dan Weber et al. (2008) dalam Zhao et al. (2009), tanaman pada constructed wetland memiliki efek positif dalam proses pengolahan dan memengaruhi keberadaan mikroba. Langergraber (2007) memaparkan bahwa pengolahan wetland efektif untuk mengolah bahan organik dan pathogen. Selain itu, unit ini relatif sederhana, murah dan murah. Berdasarkan Sasse (2009), salah satu masalah yang terjadi pada unit ini adalah peyumbatan pada media filter. Lumpur yang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik oleh bakteri merupakan penyebab penyumbatan ini (Sasse, 2009).