Anda di halaman 1dari 30

TUGAS 5

BIOTEKNOLOGI LINGKUNGAN

RESUME
3 (TIGA) ARTIKEL ILMIAH
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR MENGGUNAKAN
SISTEM PERTUMBUHAN MELEKAT

OLEH:
FEBRIANTONI (2110247711)

DOSEN PENGAMPU:

Prof. Dr. Adrianto Ahmad, MT

JURUSAN TEKNIK KIMIA S2


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2022
ARTIKEL 1

Judul : Pengaruh Biofilm Terhadap Efektivitas Penurunan BOD, COD, TSS, Minyak
dan Lemak dari Limbah Pengolahan Ikan Menggunakan Trickling Filter
Penulis : Arik Agustina, Iryanti Eka Suprihatin, James Sibarani (Jurusan Kimia
Universitas Udayana)
Sumber : Cakra Kimia (Indonesian E-Journal Applied Chemistry Volume 5, Nomor 2
Oktober
Abstraksi :
Penelitian mengenai proses pengolahan limbah dari pabrik pengolahan ikan menggunakan trickling
filter bertujuan untuk mengetahui pengaruh sumber mikroorganisme terhadap pembentukan biofilm
serta pengaruh biofilm dan variasi sirkulasi terhadap efektivitas penurunan Biochemical Oxygen
Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), Total Suspended Solid (TSS), minyak dan lemak
dari limbah pengolahan ikan. Penelitian ini diawali dengan pembuatan biofilm dari pecahan genting
sebagai media menggunakan air limbah pengolahan ikan dan air sungai sebagai sumber
mikroorganisme. Setelah biofilm terbentuk, air limbah dipercikkan ke dalam bak yang berisi biofilm
tersebut sebanyak 4 kali sirkulasi. BOD, COD, TSS, minyak dan lemak diukur pada masing-masing
sirkulasi. Data dianalisis dengan menggunakan ANOVA dua arah untuk mengetahui pengaruh
sumber mirkroorganisme dan variasi sirkulasi pada efektivitas sistem dalam menurunkan parameter
pencemar. Sumber mikroorganisme dari limbah pengolahan ikan lebih efektif dibandingkan air
sungai. Analisis menujukkan bahwa sirkulasi 4 lebih Efektif dalam menurunkan BOD, COD, TSS,
minyak dan lemak dengan persentase secara berurutan adalah 87,50%; 59,57%; 91,85%; dan
88,56%.

Kata Kunci : Trickling Filter, BOD, COD, TSS, Minyak dan Lemak

Pendahuluan :

Industri pengolahan ikan yang terdapat di Indonesia umumnya masih konvensional dimana lokasi
industri berdekatan dengan tempat penangkapan ikan sebagai tempat penyediaan sumber bahan baku
olahan. Umumnya pengolahan ikan tradisional tidak mengolah limbahnya sebelum dibuang ke
lingkungan. Limbah dapat berupa bekas pencucian ikan yang masih mengandung protein, lemak dan
zat padat terlarut [1]. Proses utama dari pengolahan ikan meliputi penerimaan produk, pemilahan
(pemotongan daging ikan, pemfiletan, penghilangan sisik kulit, kepala, isi perut), penimbangan,
perendaman dan proses lainnya seperti pengalengan serta pengemasan [2]. Proses pengolahan inilah
yang menghasilkan limbah, yang bila langsung dibuang menyebabkan terjadinya pencemaran
lingkungan pesisir dan laut. Karakteristik air limbah yang mengandung senyawa organik ditunjukkan
antara lain oleh tingginya parameter BOD dan COD [2]. Salah satu alternatif teknologi yang dapat
digunakan untuk mengolah limbah cair pengolahan ikan adalah menggunakan trickling filter atau
biofilter. Trickling Filter adalah proses pengolahan dengan cara menyebarkan air limbah ke suatu
tumpukan atau media yang biasanya terdiri dari bahan kerikil, pecahan keramik, medium dari plastik
[4] atau pecahan genting [5]. Trickling filter merupakan pengolahan limbah cair dengan jenis
pertumbuhan mikroorganisme terlekat (attached growth). Mikroorganisme tersebut akan melekat
pada biofilm yang terbentuk pada media trickling filter [6]. Biofilm merupakan lapisan tipis yang
tersusun oleh kumpulan mikroorganisme yang dapat tumbuh pada permukaan media [7]. Lapisan
biofilm terdiri dari bakteri, protozoa dan fungi seperti Zoogloea ramiqera, Carchesium dan
Opercularia vorticella [6]. Pemanfaatan trickling filter dalam penanganan kontaminan dalam air atau
limbah cair sudah banyak dilaporkan, diantaranya oleh Radisty dan Yoga [8], Harahap [9] dan
Suprihatin dkk [5]. Pada penelitiannya, Radisty dan Yoga [8], berhasil menurunkan kadar COD air
kolam Retensi Tawang sebesar 5,2 mg/L dengan waktu tinggal 48 jam. Sehingga perlu dilakukan
penelitian mengenai pengolahan limbah menggunakan sistem trickling filter dengan variasi sumber
mikroorganisme untuk pembentukan biofilm dan variasi sirkulasi. Berdasarkan latar belakang diatas,
maka pada penelitian ini dilakukan pengolahan limbah menggunakan trickling filter dengan variaasi
sumber mikroorganisme untuk pembentukan biofilm dan variasi sirkulasi untuk menurukan BOD,
COD, TSS, minyak dan lemak.

Percobaan
2.1 Bahan dan Peralatan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel air limbah pengolahan ikan
yang diambil di salah satu pabrik pengolahan ikan di Desa Pengambengan Kabupaten Jembrana,
air sungai, K2Cr2O7, H2SO4 pekat, HgSO4, MnSO4, alkali iodida azida, n-heksan, MTBE,
Na2SO4, Na2S2O3, amilum, akuades, kertas saring, dan pecahan genting dengan ukuran ± 5 cm
(media trickling filter).
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah bak trickling filter, aerator, pipa, dan
saluran sampling port, termos es, seperangkat alat refluks, buret, pH meter merk Hach,
termometer, Global Positoning System (GPS), statif, klem, peralatan gelas, timbangan analitik
merk Shimatzu, desikator, pompa vakum, oven merk Memert dan Spektrofotometer UV-Vis
merk Shimatzu type UV 1800.

2.2 Metode
Sampling Air Limbah
Sampel air limbah diambil dengan menampung air limbah dari outlet bak penampungan pertama
pada sistem saluran air limbah pengolahan ikan. Air limbah ditampung dalam wadah yang sesuai
dengan karakteristik limbah, selanjutnya ditempatkan dalam termos es dan dibawa ke
laboratorium. Dilakukan pencatatan pH limbah sebelum diolah dengan sistem trickling filter.

Penyiapan pembentukan biofilm pada trickling filter


Disiapkan pecahan-pecahan genting dengan ukuran ± 5 cm dan 3 buah bak dengan ketentuan bak
1 berisi sumber mikroorganime dari air limbah pengolahan ikan (S1), bak 2 berisi sumber
mikroorgansme air sungai (S2) dan bak kontrol (S0). Selanjutnya pecahan genting dimasukkan
dan disusun menyerupai sarang tawon dan bertingkat hingga ketebalan ± 5 cm ke masing-masing
bak lalu direndam dalam air limbah sesuai dengan variasi pada bak 1 dan bak 2 selama 21 hari.
Aerasi dilakukan dengan meneteskan sumber mikroorganisme secara terus menerus agar
terbentuk lapisan biofilm pada media. Analisis Volatile Suspended Solid (VSS) dilakukan untuk
mengukur tingkat pertumbuhan biomassa hingga mencapai nilai 2000 mg/L [8].

Penentuan efektifitas
a. Pemeriksaan awal
Diukur pH, suhu, dan warna sampel air limbah pengolahan ikan. Kemudian kandungan BOD,
COD, TSS, minyak dan lemak dianalisis mengikuti prosedur Standar Nasional Indonesia (SNI).
b. Penentuan efektivitas
Air limbah disirkulasikan ke dalam bak trickling filter secara perlahan selama 4 kali. Pada setiap
sirkulasi, sampel diambil untuk diukur konsentrasi BOD, COD, TSS, minyak dan lemaknya.
Selanjutnya dibuat kurva konsentrasi terhadap variasi sirkulasi dalam menurunkan kadar
pencemar air limbah. Efektivitas pengolahan menggunakan trickling filter ditentukan dengan
membandingkan parameter hasil pengolahan dengan sebelum pengolahan.
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis data secara kualitatif yaitu
dengan mendeskripsikan hasil pengolahan limbah pengolahan ikan secara trickling filter,
sedangkan secara kuantitatif yaitu dengan menghitung kadar pencemar yang mampu didegradasi
oleh mikroorganisme pada sistem trickling filter. Data yang diperoleh dibuat dalam bentuk grafis
menggunakan program Microsoft Excel. Analisis statistik dilakukan menggunakan software
costat dan anova dua arah.

Hasil dan Pembahasan :


Pengaruh Sumber Mikroorganisme terhadap Pembentukan Biofilm pada Media Trickling
Filter. Pada proses pembentukan biofilm dari dua sumber mikroorganisme S1 dan S2 dilakukan
perhitungan nilai VSS (Volatile Suspended Solids). Pengukuran VSS atau konsentrasi padatan
tersuspensi menguap umumnya digunakan untuk memperkirakan konsentrasi mikroorganisme
dalam unit pengolahan limbah secara biologis [10]. Analisis VSS dilakukan selama 21 hari
dengan rentang waktu 3 hari.
Hasil analisis VSS menunjukkan bahwa sumber mikroorganisme dari pengolahan ikan di
Desa Pengambengan (S1) pada hari ke 18 telah mampu mencapai nilai VSS melebihi 2.000
mg/L yaitu sebesar 2.123 ± 5,77 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa pada hari ke 18 untuk bak
S1, mikroorganisme telah tumbuh secara optimal (VSS ≥ 2000 mg/L) dan sudah dapat digunakan
untuk mendegradasi senyawa organik dalam proses pengolahan limbah. Sumber mikroorganisme
(S1) mampu mencapai nilai VSS melebihi 2.000 mg/L pada hari ke 21 yaitu sebesar 2.013 ± 5,77
mg/L. Berdasarkan kondisi kedua sumber mikroorganisme tersebut dapat dilihat bahwa kondisi
ekosistem S1 lebih mendukung untuk pertumbuhan biofilm pada media trickling filter.
Sumber mikroorganisme S1 memiliki rentang nilai pH sebesar 7,83 – 8,10 dan S2 7,45 –
8,01. Mikrooganisme dapat tumbuh pada pH optimum yaitu pH 6,0 – 8,0, meskipun beberapa
mikroorganisme dapat hidup pada pH tinggi [11]. Perubahan pH disebabkan oleh aktivitas
fotosistesis dan respirasi dalam ekosistem.
Kenaikan pH ini disebabkan karena reaksi biologis yaitu proses penguraian yang terjadi oleh
mikroorganisme terhadap nutrien yang diberikan seperti glukosa, urea dan NH4Cl. Peningkatan
nilai pH ini karena adanya nutrien yang diberikan ke dalam sumber mikroorganisme [13]. Tetapi
kondisi pH antara 7,45 – 8,10 pada sumber mikroorganisme S1 dan S2 selama proses
pembentukan biofilm dapat menunjang pertumbuhan mikroorganisme sehingga membantu
proses pembentukan biofilm.

Efektivitas penurunan BOD, COD, TSS, Minyak dan Lemak


a. Efektivitas Sistem Trickling Filter Terhadap Penurunan BOD
Efektivitas dari sumber mikroorganisme S1 lebih tinggi dibandingkan dengan S2 karena lebih
banyaknya mikroorganisme yang menempel pada biofilm yang menggunakan limbah untuk
menguraikan bahan organik yang digunakan sebagai nutrien [10].
Untuk aplikasi dari kontrol (S0) tidak ada limbah yang dapat memenuhi baku mutu (Baku
mutu BOD adalah 100 mg/L). Penurunan konsentrasi limbah pengolahan ikan tertinggi berasal
dari sumber mikroorganisme S1 khususnya pada sirkulasi III dan IV. Hal ini disebabkan karena
mikroorganisme S1 berasal dari sumber yang sama dengan limbah sehingga mikroorganisme
telah beradaptasi terlebih dahulu dengan ekosistemnya. Fakta ini telah sejalan dengan yang
dilaporkan oleh Suyasa [10]. bahwa lokasi pengambilan bibit disesuaikan dengan limbah yang
akan diolah.
Selain itu, disampaikan juga oleh Penn et al [14] bahwa jumlah oksigen yang memadai akan
mendukung proses degradasi biologis secara aerobik dari limbah organik sampai semua limbah
terdegradai. Awalnya sebagian air limbah dioksidasi untuk melepaskan energi yang digunakan
oleh mikroorganisme untuk pemeliharaan sel serta pembentukan sel baru. Disini CHONS
(Carbon, Hydrogen, Oxygen, Nitrogen, Sulphur) digunakan untuk mewakili limbah organik dan
C5H7NO2 mewakili serat-serat sel pada perairan dan limbah yang mengandung senyawa
organik.
Reaksi ini berlangsung pada perairan dan limbah yang mengandung senyawa organik.
Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Singh et al [15]. Terlebih apabila mikroorganisme
tersebut masih berada dalam fase eksponensial, yaitu kondisi dimana terjadi peningkatan jumlah
sel karena mikroorganisme mengalami fase pertumbuhan. Pada fase ini jumlah mikroorganisme
mencapai maksimal sehingga limbah yang didegradasi juga maksimal yang menyebabkan
kandungan senyawa organik menurun [10].
b. Efektivitas Sistem Trickling Filter Terhadap Penurunan COD
Sumber mikroorganisme yang berasal dari limbah pengolahan ikan (S1) lebih efektif dalam
menurunkan kadar COD dibandingkan dengan sumber mikroorganisme yang berasal dari air
sungai (S2). Selain itu, dapat diamati pula bahwa semakin banyak sirkulasi, maka nilai COD
akhir semakin menurun (persentase penurunan COD semakin besar).
Ditinjau dari baku mutu COD yaitu 300 mg/L, sumber mikroorganisme S0 belum efektif
dalam menurunkan nilai COD. Sedangkan S1 telah efekktif pada sirkulasi III dan IV, serta untuk
S2 hanya efektif pada sirkulasi IV. Pengolahan limbah dengan sumber mikroorganisme S1 lebih
efektif dibandingkan dengan sumber mikroorganisme S2. Tingginya penurunan nilai COD
dengan aplikasi sumber mikroorganisme S1 disebabkan oleh tingginya konsentrasi
mikroorganisme (VSS) serta kesamaan sumber mikroorganisme dengan limbah yang diolah
sehingga pembentukan biofilm lebih baik [10]. Pada lapisan biofilm senyawa organik diurai oleh
mikroorganisme aerob, sehingga nilai COD menjadi turun. Nilai COD yang tinggi, menunjukkan
kandungan senyawa organik pada limbah tinggi, sehingga bila melewati biofilm akan sedikit
yang mampu diurai oleh mikroorganisme. Ini telah sejalan dengan fakta yang disampaikan oleh
Radhisty dan Yoga [8].

c. Efektivitas Sistem Trickling Filter Terhadap Penurunan TSS


Sistem kontrol (S0) dan sistem dengan sumber mikroorganisme dari sungai yang mengandung
limbah domestik (S2) belum efektif dalam menurunkan kadar TSS pada air limbah. Pengolahan
limbah dengan sistem trickling filter telah efektif sesuai baku mutu pada sistem yang
menggunakan sumber mikroorganisme limbah pengolahan ikan (S1) pada sirkulasi keempat.
Penurunan nilai TSS terjadi karena tertahannya partikel-partikel padatan oleh biofilm yang
menyebabkan jumlah padatan dalam limbah pengolahan ikan menjadi berkurang. Media biofilm
mampu menahan laju air limbah sehingga terjadi interaksi antara limbah dengan mikroorganisme
yang terdapat pada biofilm dimana penyaringan diawali dengan penahanan dan pengikatan
padatan tersuspensi sehingga dapat menurunkan nilai TSS. Fakta ini sejalan dengan yang
dilaporkan oleh Abrori dkk [16] dalam penelitiannya pengolahan limbah cair industri tahu
menggunakan biofilter horizontal untuk menurunkan BOD, COD, TSS, dan pH.
d. Efektivitas Sistem Trickling Filter Terhadap Penurunan Minyak dan Lemak
Sistem kontrol (S0) dan dengan sumber mikroorganisme dari sungai (S2) belum efektif
terhadap baku mutu (baku mutu minyak dan lemak adalah 15 mg/L) dalam menurunkan kadar
minyak dan lemak pada air limbah. Sedangkan Pengolahan limbah dengan sumber
mikroorgamisme dari limbah pengolahan ikan (S1) telah efektif sesuai baku mutu pada sirkulasi
IV. Penurunan kandungan minyak dan lemak disebabkan karena mikroorganisme yang melekat
pada biofilm menguraikan senyawa minyak dan lemak. Mekanisme penguraiannya mungkin
melalui proses fermentasi (anaerob) air limbah pengolahan ikan dengan memanfaatkan
mikroorganisme anaerob yang mampu menghasilkan enzim lipase [11]. Pada lapisan biofilm,
maka pada lapisan luar akan berada pada kondisi aerob sedangkan pada bagian biofilm yang
melekat pada media akan berada pada kondisi anaerob [17]. Lipase dapat menghidrolisis lemak
pada limbah menjadi gliserol dan asam lemak.

Proses inilah yang menyebabkan minyak dan lemak pada limbah menurun setelah proses
pengolahan limbah [18].

Pengaruh Biofilm dan Variasi Sirkulasi terhadap penurunan kadar pencemar BOD, COD,
TSS, Minyak dan Lemak dari limbah pengolahan ikan dengan trickling filter

Penurunan tertinggi untuk BOD, COD, TSS, minyak dan lemak terjadi pada trickling filter
menggunakan sumber mikroorganisme (S1) pada sirkulasi ke empat. Hal ini karena senyawa
organik dalam limbah menjadi makanan bagi mikroorganisme yang terdapat pada limbah,
dimana makin tinggi kandungan senyawa organik dalam sumber mikroorganisme (S1), main
banyak pula nutrien yang tersedia untuk menunjang pertumbuhan mikroorganisme tersebut.
Mikroorganisme berfungsi untuk mengurai senyawa organik dalam limbah sehingga dalam
jangka waktu tertentu kandungan senyawa organik pada limbah akan menurun [7].
Persentase penurunan beban pencemar BOD, COD, TSS, minyak dan lemak terendah adalah
pada sirkulasi pertama. Ini disebabkan karena air limbah hanya melewati media trickling fiter
sebanyak satu kali sehingga air limbah hanya diuraikan oleh mikroorganisme pada lapisan
biofilm yang melekat sebanyak 1 kali. Sedangkan pada sirkulasi yang kedua, persentase
penurunan senyawa organik lebih besar daripada sirkulasi 1 kali. Hal ini karena air limbah
pengolahan ikan mengalami 2 kali sikulasi sehingga dapat lebih lama mengalami kontak dengan
lapisan biofilm. Demikian pula dengan trickling filter sirkulasi III dan IV, dimana presentase
penurunan beban pencemar BOD, COD, TSS, minyak dan lemak terbesar pada sirkulasi IV. Hal
ini karena air limbah mengalami kontak dengan mikrooganisme pada biofilm lebih lama [7].
Penurunan beban pencemar BOD, COD, TSS, minyak dan lemak setelah melalui sistem
trickling filter terjadi karena dua proses, yaitu proses aerasi dan proses penguraian oleh
mikroorganisme yang terdapat pada lapisan biofilm. Proses penetesan air limbah ke bawah dan
proses lewatnya air limbah ke permukaan biofilm pada sistem trickling filter mempermudah
pengambilan oksigen dari udara bebas oleh mikroorganisme pengurai. Selain faktor tersebut,
kondisi lingkungan seperti pH dan suhu juga mendukung pertumbuhan mikroorganisme dalam
menguraikan limbah pengolahan ikan [19].
Senyawa organik yang ditunjukkan oleh BOD, COD, TSS, minyak dan lemak akan
terdistribusi ke lapisan biofilm yang melekat pada permukaan medium. Selanjutnya senyawa
organik tersebut akan diurai oleh mikroorganisme yang terdapat di lapisan biofilm dan energi
yang dihasilkan akan diubah menjadi biomassa. Bertambahnya jumlah oksigen dan jumlah
mikroorganisme pengurai akan membantu proses penguraian senyawa organik. Selain itu
bertambahnya sirkulasi juga dapat membantu proses penurunan senyawa organik, karena lebih
lamanya kontak senyawa oganik dengan lapisan biofilm, sehingga nilai BOD, COD, TSS,
minyak dan lemak mengalami penurunan[19].

Kesimpulan :
Berdasarkan hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, mikroorganisme dari limbah
kegiatan pengolahan ikan (S1) memberikan pengaruh terhadap pembentukan biofilm pada media
trickling filter yang ditunjukkan dengan pertumbuhan biomassa mikroorganisme tertinggi (nilai
VSS) sebesar 2310,0 mg/L. Untuk tingkat efekivitas trickling filter dalam menurunkan BOD,
COD, TSS, minyak dan lemak tertinggi dicapai menggunakan limbah pengolahan ikan sebagai
sumber mikroorganisme pada sirkulasi IV secara berurutan adalah 87,50%; 59,57%; 91,85%;
dan 88,56%.
ARTIKEL 2

Judul : Pengaruh Dosis Inokulum dan Biji Kelor Dalam Pengolahan Limbah Cair
Tempe Menggunakan Trickling Bed Filter
Penulis : Rizza Fadillah Fitri, Ummu Fithanah, M. Said (Jurusan Teknik Kimia
Universitas Sriwijaya)
Sumber : Jurnal Teknik Kimia No. 2, Volume 23, April 2017
Abstraksi :
Limbah cair industri tempe merupakan masalah utama dalam pengendalian dampak lingkungan
karena mengandung bahan-bahan organik yang tinggi. Salah satu alternatif pengolahan limbah
cair industry tempe adalah dengan menggunakan biofilter horizontal dengan menambahkan EM4
sebagai Inokulum dan Biji Moringa Oleifera sebagai biokoagulan. Pengolahan limbah cair
industri tempe menggunakan biofilter horizontal menggunakan kerikil sebagai media penyangga
untuk menumbuhkan mikroorganisme. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan
kombinasi perlakuan yang tepat antara EM4 dan Biji Moringa oleifera yang digunakan terhadap
penurunan kandungan organik pada limbah cair industri tempe. Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 faktor. Faktor A (Penambahan Konsentrasi
Inokulum EM4) yang terdiri dari 3 level yaitu 0%, 5%, 10% dari total volume limbah. Faktor B
(Penambahan konsentrasi Biokoagulan Biji Moringa Oleifera) yang terdiri dari 3 level yaitu 0
mg, 1000 mg dan 1500 mg. dan factor C (Lama waktu pengendapan limbah) yang terdiri dari 5
level yaitu 0 hari, 4 hari, 8 hari, 12 hari dan 16 hari. Data hasil parameter limbah cair industri
tempe (TSS, BOD dan pH). Limbah cair industri tempe yang digunakan pada penelitian ini
memiliki kandungan organik yang diwakili nilai TSS, BOD dan nilai pH berturut-turut adalah
9141,7 mg/l; 213,3 mg/l dan 3,1. Perlakuan terbaik pada pengolahan limbah cair industri tempe
yaitu pada perlakuan dengan penambahan konsentrasi inokulm 10 %, konsentrasi koagulan 1500
mg/l dan lama waktu pengendapan limbah 16 hari. Hasil pengolahan limbah cair industri tempe
menghasilkan nilai TSS, BOD dan pH berturut-turut adalah 48 mg/l; 54,3 mg/l; dan 6,9.

Kata Kunci: BOD, TSS, biofilter horizontal, EM4, biji Moringa Oleifera, limbah cair industri
tempe
Pendahuluan

Banyaknya industri tempe yang berdiri di Indonesia baik dalam skala kecil maupun
menengah tak luput dari limbah yang dihasilkan dari proses kegiatan industri tersebut sehingga
membawa dampak terhadap lingkungan disekitarnya. Terlebih, industri tempe yang biasanya
dalam skala kecil, bertitik ditengah permukiman masyarakat yang menimbulkan
keresahan.Jumlah industri tempe yang banyak dan sebagian besar mengambil lokasi disekitar
sungai ataupun selokan-selokan guna memudahkan proses pembuangan limbahnya, akan sangat
mencemari lingkungan perairan, sumur-sumur dan lahan disekitar lokasi penduduk setempat
seperti yang terjadi pada industri pembuatan tempe dikota Palembang.
Dalam proses pembuatan tempe memerlukan banyak air yang digunakan untuk perendaman,
pencucian dan perebusan kedelai, akibat dari besarnya pemakaian air pada proses pembuatan
tempe, limbah yang dihasilkan juga cukup besar. Jika limbah tersebut langsung dibuang tanpa
adanya pengolahan terlebih dahulu maka dalam waktu relatif singkat akan menimbulkan bau
busuk disekitar lokasi industri pembuatan tempe. Pada proses pembuatan tempe diperlukan
proses perebusan kedelai selama kurang lebih setengah jam kemudian dilakukan perendaman
kedelai selama satu malam dan proses fermentasi selama dua hari, hamper disetiap tahap
pembuatan tempe menghasilkan limbah. Komposisi kedelai dan tempe yang sebagian besar
terdiri dari protein, karbohidrat dan lemak, maka dalam limbahnyapun dapat terkandung unsur
unsur tersebut.
Dalam banyak hal, akibat nyata dari polutan organik adalah penurunan konsentrasi oksigen
terlarut dalam air karena dibutuhkan untuk proses penguraian zat zat organik. Pada perairan yang
tercemar oleh bahan organic dalam jumlah yang besar, kebutuhan oksigen untuk proses
penguraiannya lebih banyak dari pada pemasukan oksigen keperairan, sehingga kandungan
oksigen terlarut sangat rendah. Hal ini sangat membahayakan kehidupan organisme perairan
tersebut. Sisa bahan organic yang tidak terurai secara aerob akan diuraikan oleh bakteri anaerob,
sehingga akan tercium bau busuk. Di dalam Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa daya dukung adalah kemampuan lingkungan
untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Undang-Undang No. 10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan
pembangunan keluarga sejahtera memerinci daya dukung lingkungan menjadi tiga yakni daya
dukung lingkungan alam, daya tamping lingkungan binaan dan daya tamping lingkungan sosial.
Berbagai penelitian sudah dilakukan untuk pengolahan limbah cair seperti yang
dilakukan oleh Harahap di tahun 2013 menggunakan biofilter tempurung kelapa sawit dalam
menurunkan kadar amoniak limbah cair tempe dengan efektivitas 15-30 % juga penelitian yang
dilakukan oleh Pitriani di tahun 2015 yaitu efektiviats penambahan EM4 dalam pengolahan
limbah cair rumah sakit dengan media sarang tawon mampu menurunkan BOD mencapai 91,22
% namun pada penelitian harahap nilai efektivitasnya masih terbilang rendah juga pada
penelitian Pitiani penggunaan media sarang tawon sebagai media biofilter memang telah berhasil
digunakan namun media sarang tawon yang berbahan dasar PVC harganya relative mahal
dibandingkan dengan tempurung kelapa sawit namun tempurung kelapa sawit juga sulit untuk
didapatkan dalam jumlah besar oleh sebab itu dalam penelitian ini media biofilter yang
digunakan adalah kerikil jenis koral dan split yang mudah diperoleh dan ketersediaannya cukup.
Penelitian ini juga akan dilengkapi proses koagulasi menggunakan biokoagulan serbuk biji kelor
yang disertai proses filtrasi dengan biofilter (Trickling bed filter) menggunakan EM4 sebagai
inokulumnya.
Alasan penggunaan serbuk biji kelor ini ditujukan untuk mengurangi penggunaan
koagulan dari bahan kimia yang justru menimbulkan masalah besar bagi lingkungan dan alasan
penggunaan EM4 karena dalam proses pengolahan limbah, EM4 sangat baik dalam penyisihan
kadar BOD dan TSS.

Metodologi Penelitian
A. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah: Biofilter (Trickling bed filter), Bak
penampung limbah, Tangki koagulasi, Botol plastic, Beker gelas, Gelas ukur, Neraca analitis,
Spatula, Pipet tetes, corong dan pH meter.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Limbah cair industri tempe yang berasal
dari industri tempe rumahan Macan Lindungan Bukit, Palembang, Media pengisi biofilter:
kerikil koral dan split, Serbuk biji kelor, Bakteri EM4 dan Gula merah.
B. Desain Sistem Biofilter Horizontal
Desain sistem biofilter horizontal dalam percobaan ini dirancang menggunakan sebuah tangki
terbuka yang terbuat dari kaca yang terhubung dalam tiga kompartemen dengan ukuran dimensi
50 cm x 20 cm x 30 cm (lihat Gambar 1).
Prosedur Penelitian
1) Uji Karakteristik Limbah
Sebelum melakukan penelitian dilakukan uji karakteristik awal air limbah Industri tempe
rumahan di Macan Lindungan Bukit. Sampel air limbah diuji di Laboratorium Kimia Air
Palembang untuk mengetahui kandungan BOD, TSS, dan pH.
2) Proses Pengembangbiakan Bakteri EM4
Sebelum dimasukkan kedalam Biofilter bakteri EM4 terlebih dahulu diaktifkan dengan cara
mencampurkan dosis 0% EM4 dengan 1 liter air limbah cair industri tempe dan 25 mL gula
merah cair, kemudian diinkubasi selama 2-4 Hari pada suhu kamar yang kemudian akan
dialirkan bersamaan dengan limbah cair tempe yang sudah dikoagulasi dengan penambahan biji
kelor dengan dosis 0 mg, 1000 mg, dan terakhir 1500 mg. Setelah itu dilanjutkan kembali dengan
dosis inokulum EM4 sebanyak 5 % dan 10 %.
3) Proses Pencampuran Koagulan
Sebelum di masukkan ke dalam Biofilter Limbah cair industri tempe akan diolah terlebih
dahulu dalam tangki koagulasi dengan ditambahkan serbuk biji kelor dengan dosis 0 mg dan
diaduk selama 5 menit kemudian di alirkan ke biofilter (Trickling bed filter). Setelah itu
dilanjutkan kembali dengan dosis 1000 mg dan 1500 mg.
4) Penelitian Inti
Limbah cair industri tempe yang sudah melewati proses koagulasi dialirkan bersamaan
dengan inokulum EM4 yang telah diinkubasi ke biofilter (Trickling bed filter) dengan tiga
perlakuan. Perlakuan pertama mengalirkan limbah yang sudah dikoagulasi dengan dosis biji
kelor 0 mg yang artinya tanpa proses koagulasi dengan inokulum dosis 0 % yang artinya tanpa
inokulum (sebagai control) kemudian dilanjutkan dengan mengalirkan inoculum dengan dosis 5
% dan 10 %. Perlakuan kedua mengalirkan limbah yang sudah dikoagulasi dengan biji kelor
1000 mg bersama dengan inokulum dosis 0 % yang kemudian dilanjutkan lagi dengan dosis
inokulum 5 % dan 10 %. Perlakuan ketiga mengalirkan limbah yang sudah dikoagulasi dengan
biji kelor 1500 mg bersama dengan inokulum dosis 0 % yang kemudian dilanjutkan lagi dengan
dosis yang sama 5 % dan 10 %. Setiap pergantian perlakuan dan dosis inokulum biofilter
dibersihkan dan diganti dengan media kerikil yang baru. Pada penelitian ini limbah cair industri
tempe dipertahankan pada suhu ruang (±27 °C). Sistem ini dioperasikan pada kondisi semi-
kontinyu dengan laju alir dipertahankan pada 1 liter per 2 hari serta diamati selama 16 hari.
Sampel limbah dikumpulkan dan dianalisis untuk BOD, TSS dan pH. Selain itu persentase
pengurangan (efisiensi removal) BOD, TSS dan pH juga dihitung.

Hasil dan Pembahasan


A. Kualitas Limbah Cair Industri Tempe Sebelum Pengolahan
Hasil analisa beberapa parameter sebelum dilakukan pengolahan terhadap limbah cair industri
tempe yang terdapat di Macan Lindungan Bukit besar Palembang, menunjukkan bahwa limbah
tersebut memiliki karakteristik dengan angka yang melampaui standar baku mutu limbah industi
tempe yang telah ditetapkan dalam Peraturan Gubernur Sumatera Selatan No. 08 Tahun 2012
tentang Baku Mutu Air Limbah Cair untuk Industri Produk Makanan dari bahan baku Kacang
kedelai (Tempe), seperti ditunjukkan dalam tabel 1:
Berdasarkan tabel di atas, dapat dinyatakan bahwa kualitas Limbah Cair Industri Tempe
belum memenuhi standar Baku Mutu Limbah Cair Tempe yang ditetapkan dalam Peraturan
Gubernur Sumatera Selatan No. 08 Tahun 2012.
Pengujian terhadap kualitas Limbah Cair Industri tempe ini dilakukan pada musim hujan,
sehingga bila musim kemarau tiba angka penyimpangan akan mengalami kenaikan yang berarti
dan berakibat terhadap semakin tingginya perusakan kualitas air Limbah Cair Industri Tempe.

B. Kualitas Limbah Cair Industri Tempe Setelah Pengolahan


1) TSS (Total Suspended Solid)
Keberadaan padatan tersuspensi dalam Limbah Cair Industri Tempe dapat menyebabkan
terjadinya kekeruhan pada air Limbah yang dapat menghambat masuknya sinar matahari dan
mengganggu kehidupan di air, sehingga diperlukan pengolahan yang tepat untuk mereduksi
kandungan tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukkan setelah 16 hari pengolahan menggunakan biofilter
horizontal dengan kerikil sebagai filter yang dikombinasikan dengan penambahan konsentrasi
EM4 serta penambahan konsentrasi Moringa Oliefera memberikan reduksi TSS tertinggi sebesar
99,1%. Kemampuan serbuk biji Moringa Oleifera dalam mereduksi kandungan TSS limbah cair
Industri tempe dapat dilihat melalui grafik dengan menggunakan variasi pada konsentrasi
biokoagulan, Konsentrasi Inokulum dan lama waktu pengendapan limbah.
Dengan mengamati pengaruh Konsentrasi Koagulan yang digunakan, dosis inokulum yang
digunakan serta lama waktu pengendapan limbah,. Dapat dilihat bahwa semakin lama waktu
yang digunakan, semakin banyak dosis biokoagulan yang digunakan serta semakin banyak dosis
inokulum yang digunakan persen penurunan nilai TSS akan semakin tinggi.
Persen penurunan TSS tertinggi dengan nilai 99,1 % ada pada dosis inokulum 10 % pada
lama waktu pengendapan limbah selama 16 hari.
Konsentrasi koagulan 1000 mg dengan lama waktu pengendapan limbah selama 8 hari dan
dosis inokulum 10% mengalami persen penurunan TSS sebesar 54,1 %.
Konsentrasi koagulan 0 mg dengan lama waktu pengendapan Limbah selama 8 hari dan dosis
Inokulum 10 % mengalami persen penurunan TSS sebesar 37,8 %.
Dengan mengamati pengaruh dari konsentrasi Biokoagulan yang digunakan, maka dapat
dibandingkan antara ketiga hasil di atas bahwa tingkat penyisihan TSS yang paling tinggi dalam
pengolahan Limbah Cair Industri Tempe tercapai pada Konsentrasi Biokoagulan sebesar 1500
mg, Konsentrasi Inokulum 10 %, dan lama waktu pengendapan Limbah selama 16 hari. Pada
Konsentrasi Koagulan 1000 mg persen penurunan TSS yang mampu di reduksi lebih rendah bila
dibandingkan dengan Konsentrasi Koagulan 1500 mg, hal ini disebabkan karna semakin banyak
biokoagulan yang digunakan maka mikroflok yang bergabung menjadi makroflok yang terbentuk
akan semakin besar dan cepat menempel pada Inokulum. Sedangkan pada Konsentrasi
Biokoagulan 0 mg persen penurunan TSS yang mampu di reduksi cenderung lebih rendah dari
konsentrasi koagulan 1500 mg dan 1000 mg karena sangat sedikit mikroflok yang terbentuk dan
waktu pembentukan mikroflok yang lama.
Namun kecenderungan ini terjadi tidak hanya dengan pengaruh dari besarnya Konsentrasi
Biokoagulan yang diberikan, karena konsentrasi Inokulum dan lama nya waktu pengendapan
Limbah juga memberikan pengaruh pada nilai persen penurunan TSS Limbah Cair Industri
Tempe ini.
Berkurangnya padatan tersuspensi pada Limbah cair industri tempe yang telah diberi
koagulan alami Moringa Oleifera disebabkan oleh mengendapnya padatan tersuspensi tersebut
bersama dengan Koagulan. Salah satu jenis padatan tersuspensi yang sulit mengendap adalah
tipe koloid (Raju, 1995). Pada umumnya limbah cair industri tempe merupakan partikel
terdispersi dan memiliki muatan listrik negative (Hidayat, 1999), sedangkan serbuk Moringa
Oleifera, memiliki sifat poli elektrolit yang bermuatan positif atau poli elektrolit yang kationik
yang dapat digunakan sebagai koagulan atau flokulan alami. Bahan aktifnya berupa protein yang
larut dalam air (Sutherland, dkk., 1994), sehingga di dalam limbah cair industri tempe dapat
mengikat partikel- partikel koloid dan membentuk flok. Flok tersebut terbentuk saling bergabung
membentuk makroflok dan akhirnya dapat mengendap. Adanya bakteri em4 yang di tambahkan
pada penelitian ini adalah sebagai media untuk mempercepat mengendap nya flok flok pada
Inokulum, serta adanya inokulum juga Penurunanan nilai TSS terjadi disebabkan oleh
tertahannya partikel-partikel padatan yang ada di dalam limbah oleh media filter pada saat proses
filtrasi. Tertahannya partikel-partikel padatan oleh media filter tersebut menyebabkan jumlah
padatan yang ada di dalam limbah menjadi berkurang. Media filter kerikil mampu menahan laju
alir limbah sehingga terjadi interaksi antara limbah dengan media filter dimana filtrasi diawali
dengan proses penahanan dan pengikatan padatan atau partikel tersuspensi sehingga dapat
menurunkan nilai TSS. Kuo dan Chen (2007) dalam penelitiannya menggunakan biofilter
horizontal berhasil menurunkan nilai TSS sebesar 70% pada limbah domestik, sedangkan pada
penelitian ini mampu mencapai 99,1%.
Perbedaan ini disebabkan karena proses pengendapan dan pendegradasian zat organic pada
masing-masing filter sehingga partikel partikel kecil yang terdapat di dalam limbah mengendap
ke dasar tangki pengolahan dan menempel pada filter yang digunakan.

2) BOD (Biologycal Oxygen Demand)


BOD adalah salah satu parameter utama limbah cair Industri Tempe yang harus diperhatikan,
karena kadar COD yang tinggi mengindikasikan bahwa limbah cair tersebut memiliki potensi
yang besar sebagai pencemar apabila dibuang ke lingkungan tanpa diolah terlebih dahulu.
Hasil penelitian ini menunjukkan setelah 16 hari pengolahan menggunakan biofilter
horizontal dengan kerikil sebagai filter yang dikombinasikan dengan penambahan konsentrasi
EM4 serta penambahan konsentrasi Biokoagulan memberikan reduksi BOD tertinggi sebesar
74,8 %. Kemampuan Bakteri Em4 dan serbuk biji Moringa Oleifera dalam mereduksi BOD
limbah cair Industri tempe menggunakan variasi pada konsentrasi biokoagulan, Konsentrasi
Inokulum dan lama waktu pengendapan limbah.
Konsentrasi koagulan 1500 mg dengan lama waktu pengendapan limbah selama 16 hari dan
dosis inokulum 0 % mampu mereduksi BOD sebesar 74,8 %.
Konsentrasi koagulan 1000 mg dengan lama waktu pengendapan limbah selama 8 hari dan
dosis inokulum 10 % mampu mereduksi BOD sebesar 46,2 %.
Konsentrasi koagulan 0 mg dengan lama waktu pengendapan limbah selama 8 hari dan dosis
inokulum 10 % mampu mereduksi BOD sebesar 27,9 %.
Dengan mengamati pengaruh dari konsentrasi Biokoagulan yang digunakan, maka dapat
dibandingkan antara ketiga grafik di atas bahwa tingkat penyisihan BOD yang paling tinggi
dalam pengolahan Limbah Cair Industri Tempe tercapai pada Konsentrasi Biokoagulan sebesar
1500 mg, Konsentrasi Inokulum 10 %, dan lama waktu pengendapan Limbah selama 16 hari.
Hasil penelitian ini jika dilihat secara statistik tidak memberikan pengaruh nyata dalam
menurunkan kandungan organic yang ada pada limbah cair tempe. Hal ini disebabkan karena
penambahan konsentrasi EM4 dan penambahan konsentrasi biji Moringa Oleifera pada setiap
perlakuan berbeda, sehingga jumlah mikroorganisme dalam mendegradasi kandungan organik
dari setiap perlakuan berbeda pula yang kemudian mengakibatkan penurunan nilai BOD. Peran
EM4 sangat menentukan dalam proses menggunakan biofilter. EM4 mampu mendegradasi
senyawa polutan dalam limbah dengan cepat. Mikroorganisme dalam limbah terus menerus
melakukan proses metabolism dan akan menghasilkan senyawa-senyawa yang dapat
memberikan dampak terhadap turunnya nilai BOD. Selain itu pengaruh filter kerikil sebagai
media filter memberikan efek yang cukup signifikan karena mikroorganisme yang terdapat
dalam limbah mengalami kontak yang cukup lama dengan media biofilter, sehingga terbentuklah
lapisan biologis (biofilm) yang akan menguraikan kandungan organik sehingga mempengaruhi
persen penurunan BOD. Pada penelitian yang dilakukan Hidayat (2011),
Penggunaan biofilter aliran horizontal dengan saringan kerikil maupun pasir yang
dikombinasikan dengan EM4 mampu menurunkan nilai BOD limbah cair tapioca lebih dari 90%.
Perbedaan efisiensi removal pada penelitian ini yang hanya mencapai 74,8% dengan yang
dilakukan Hidayat (2011) yang mencapai 90% disebabkan karena kemampuan mendapatkan
makanan atau kemampuan metabolisme di lingkungan bervariasi, mikroorganisme yang
mempunyai kemampuan adaptasi dan mendapatkan makanan dalam jumlah besar dengan
kecepatan maksimumakan berkembang biak dengan cepat dan akan menjadi dominan. Fenomena
yang terjadi pada proses reduksi BOD dengan Moringa Oleifera adalah proses penggabungan
koloid yang mengalami destabilisasi karena adanya koagulan yang di injeksikan ke dalam air
limbah melalui teori jembatan, dimana polimer alami yakni serbuk biji moringa oleifera akan
bertindak sebagai jembatan. Muatan listrik limbah cair menjadi netral, gaya repulse berkurang,
flok terbentuk dan mengendap. Akibatnya senyawa organic dalam limbah cair berkurang,
sehingga kebutuhan oksigen untuk mengoksidasi juga berkurang.
3) pH
Pengukuran pH Limbah cair merupakan salah satu hal yang penting dalam penelitian air
karena pH merupakan salah satu factor pembatas utama bagi kelangsungan hidup biota air.
Menurut effendi (2003), pH juga memiliki peranan penting pada pengolahan limbah cair yaitu
merduksi zat pencemar yang ada didalamnya.
Hasil penelitian ini menunjukkan setelah 16 hari pengolahan menggunakan biofilter
horizontal dengan kerikil sebagai filter yang dikombinasikan dengan penambahan konsentrasi
EM4 serta penambahan konsentrasi Moringa Oliefera memberikan nilai pH tertinggi sebesar 6,9.
Kemampuan Bakteri Em4 dan serbuk biji Moringa Oleifera dalam menaikkan pH Asam menjadi
mendekati netral limbah cair Industri tempe dapat dilihat dengan menggunakan variasi pada
konsentrasi biokoagulan, Konsentrasi Inokulum dan lama waktu pengendapan limbah.
Dengan mengamati pengaruh Konsentrasi Koagulan yang digunakan dan dosis inoculum yang
digunakan serta lama waktu pengendapan limbah. Dapat dilihat bahwa semakin lama waktu yang
digunakan, semakin banyak dosis biokoagulan yang digunakan serta semakin banyak dosis
inokulum yang digunakan persen kenaikan pH akan semakin tinggi. Seperti terlihat pada gambar
9. kenaikan pH tertinggi dengan nilai 6,9 ada pada dosis inokulum 10 % pada lama waktu
pengendapan limbah selama 16 hari.
Konsentrasi koagulan 1000 mg dengan lama waktu pengendapan limbah selama 8 hari dan
dosis inokulum 10 % mengalami kenaikan pH sebesar 5,9.
Konsentrasi koagulan 0 mg dengan lama waktu pengendapan Limbah selama 8 hari dan dosis
Inokulum 10 % mengalami kenaikan pH sebesar 4,9
Dengan mengamati pengaruh dari konsentrasi Biokoagulan yang digunakan, maka dapat
dibandingkan antara ketiga gambar di atas bahwa kenaikan pH yang paling tinggi dalam
pengolahan Limbah Cair Industri Tempe tercapai pada Konsentrasi Biokoagulan sebesar 1500
mg, Konsentrasi Inokulum 10 %, dan lama waktu pengendapan Limbah selama 16 hari.
Hasil penelitian ini menunjukkan Naiknya nilai pH pada setiap perlakuan dari asam sampai
mendekati netral pada limbah diperkirakan karena aktivitas mikroorganisme baik yang terdapat
dalam limbah cair tempe maupun yang ada pada EM4. Proses penguraian berjalan sempurna
apabila nilai pH mendekati nilai 7. Salah satu ciri dari penguraian bahan organic adalah
menghasilkan gas yang berbau amoniak (NH3). Hal ini hampir sama dengan penelitian yang
dilakukan Hanifah (2001) berhasil menaikkan nilai pH limbah cair tapioka sebesar 7,18 karena
bakteri dalam limbah menghasilkan amoniak yang dapat menaikkan nilai pH. Selama
pengolahan, bakteri asam laktat mengubah karbohidrat menjadi asam laktat. Asam laktat
digunakan oleh ragi dan jamur membentuk alkohol dan ester, sehingga nilai pH menjadi naik
turun. Hal ini ditandai dari aroma limbah yang harum.

Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa
perlakuan terbaik pada pengolahan limbah cair industri tempe menggunakan biofilter horizontal
yaitu konsentrasi EM4 10%, dengan penambahan dosis koagulan 1500 mg dan lama waktu
pengendapan Limbah 16 hari.
ARTIKEL 3

Judul : Bioakumulasi Timbal Pada Pengolahan Air Limbah Baterai Oleh Acinetobacter
sp. IrC2 Menggunakan Biofilter Lekat Diam
Penulis : Nida Sopiah, Wahyu Irawati, Susi Sulistia dan Djoko Prasetyo (Balai Teknologi
Pengolahan Air dan Limbah)
Sumber : Jurnal Teknologi Lingkungan · April 2017
Abstraksi :
Acinetobacter sp. IrC2 merupakan bakteri yang memiliki sifat multiresistensi terhadap berbagai
logam berat, tembaga, kadmium, timbal dan seng. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari
karakterisasi bioakumulasi timbal oleh Acinetobacter sp. IrC2 dalam menyisihkan kadar timbal
pada air limbah baterai yang diolah menggunakan biofilter lekat diam bermedia sarang tawon.
Efisiensi penyisihan kadar timbal ditentukan dengan berkurangnya kadar timbal menggunakan
spektrofotometri serapan atom. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses bioakumulasi timbal
mengalami fluktuasi secara berkala dalam air limbah yang diolah Acinetobacter sp IrC2.
Efisiensi penyisihan kadar timbal pada jam ke-28 adalah sebesar 86,5% (6,31mg)/L dan pada
jam ke-176 kadar timbal dalam air olahan limbah baterai dalam bioreaktor menjadi kurang dari
0,01 mg/L. Dengan demikian maka Acinetobacter Sp. IrC2 mampu bertindak sebagai agen
bioremediasi dalam menyisihkan kadar timbal dalam air limbah baterai dengan menggunakan
biofilter lekat diam

Kata kunci: Acinetobacter sp. IrC2, timbal, bioakumulasi, biofilter lekat diam

Pendahuluan
Acinetobacter sp. IrC2 merupakan bakteri setempat yang diisolasi dari limbah industri di
daerah Rungkut, Surabaya. Hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan
bahwa Acinetobacter sp. IrC2 memiliki resistensi dan kemampuan akumulasi yang tinggi
terhadap tembaga (CuSO4), Timbal (Pb(NO3)2), Kadmium (CdSO4), seng (ZnSO4.7H20).
Acinetobacter sp. IrC2 juga dapat tumbuh pada medium yang mengandung 1mM campuran
logam berat CuSO4, ZnSO4, Pb(NO3)2, CdSO4 dan dapat mengakumulasi masing-masing
logam berat tersebut sebesar 1,50 mg CuS04, 54,57 mg ZnSO4, 22,29 mg Pb(NO3)2, dan 13,57
mg CdSO4. Acinetobacter sp. IrC2 dapat menurunkan 52,98% CuS04, 21,65% ZnSO4, 72,01%
mg Pb(NO3)2, dan 11,56% CdSO4. Acinetobacter sp. IrC2 dapat menurunkan 24,30 % CuS04,
16,38 % ZnSO4, 75,93% Pb(NO3)2, 47,62% CdSO4 di dalam medium yang mengandung 1mM
campuran logam berat tersebut(1). Penelitian lain menunjukkan bahwa pengaruh media kultivasi
dapat berpengaruh terhadapa permukaan sel hidrofobik dan kemampuan koagregasi(2).
Bakteri resisten logam berat dapat diisolasi dari lingkungan yang terkontaminasi logam berat
dan sangat potensial diterapkan sebagai agen bioremediasi logam berat(3). Populasi bakteri di
daerah yang tercemar logam berat akan mengembangkan suatu proses adaptasi untuk menjadi
resisten terhadap logam berat(4). Salah satu mekanisme resistensi yang dilakukan oleh bakteri
terhadap logam berat adalah dengan cara mengakumulasi baik secara aktif (bioakumulasi)
maupun secara pasif (biosorbsi) sehingga terjadi penurunan konsentrasi logam berat di
lingkungan. Salah satu mekanisme resistensi yang dilakukan oleh bakteri terhadap logam berat
adalah dengan cara mengakumulasi baik secara aktif (bioakumulasi) maupun secara pasif
(biosorbsi) sehingga terjadi penurunan konsentrasi logam berat di lingkungan(5).
Seeding bakteri dan aklimatisasi bakteri dalam bioreactor merupakan tahap terpenting dalam
pengolahan limbah cair. Pada proses seeding dan aklimatisasi diperlukan suatu kondisi
lingkungan yang mendukung untuk tumbuh dan berkembangnya bakteri Acinetobacter sp. IrC2
secara optimal, meliputi kebutuhan sumber karbon, nitrogen dan posfor (100:5:1)(6). Kebutuhan
akan sumber karbon, nitrogen dan posfor ini dapat diperoleh dari kandungan organik yang
terdapat dalam limbah atau ditambahkan dari luar. Bila bakteri tersebut sudah dapat beradaptasi
ditandai dengan tumbuhnya bakteri berupa lapisan biomassa atau biofilm yang melekat pada
permukaan media penyangga, dan ditandai dengan terbentuknya gas. Kecepatan pertumbuhan
lapisan biofilm pada permukaan penyangga akan bertambah akibat perkembangbiakan yang terus
berlanjut sehingga terjadi proses akumulasi lapisan biomassa yang membentuk lapisan lendir
(slime). Di dalam reaktor, bakteri tumbuh melapisi keseluruhan permukaan media dan pada saat
beroperasi air limbah akan mengalir melalui celah-celah media dan berhubungan langsung
dengan biofilm bakteri(7). Pada Penelitian ini sebelum dilakukan proses pengolahan air limbah,
terlebih dahulu dilakukan proses inokulasi bakteri Acinetobacter sp. IrC2 pada media tumbuh
untuk menyiapkan kultur bakteri yang diperlukan dalam proses penyisihan logam timbal dalam
air limbah baterai. Dilanjutkan dengan tahapan kultivasi pada bioreaktor lekat diam dan tahap
selanjutnya adalah proses penyisihan logam Pb dalam air limbah baterai.
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari karakterisasi bioakumulasi timbal oleh
Acinetobacter sp. IrC2 dalam menyisihkan kadar timbal pada air limbah baterai yang diolah
menggunakan biofilter lekat diam bermedia sarang tawon.

Bahan dan Metode


1. Kultivasidan Produksi Acinetobacter sp. IrC2
Kultivasi dilakukan pada medium Luria-Bertani (LB) yang mengandung (per liter) : tryptone
: 10g, yeast extract 5 g, NaCl 10 g, dan glukosa 0,1 g.Medium padat dibuat dengan
menambahkan 1,5 % agar bacto. Medium disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu
121°C dan tekanan 1 atm selama 15 menit. Stok logam berat terdiri dari: CuSO4, Pb(NO3)2,
CdSO4, dan ZnSO4.7H20 masing-masing dibuat dengan konsentrasi 1 M, sedangkan stok
HgCl2dibuat dengan konsentrasi 0.25 M. Stok logam berat disterilkan dengan membran filter 0,2
μm dan ditambahkan ke dalam medium LB yang telah disterilkan.
2. Bioreaktor Lekat Diam (Fixed Bed Reactor)
Sebelum dilakukan pengolahan air limbah baterai oleh acinetobacter sp. Irc2, beberapa tahap
harus dilakukan meliputi: tahap persiapan, tahap pengembang-biakan(Seeding) dan aklimatisasi
bakteri Acinetobacter sp. IrC2 serta tahap pengolahan air limbah baterai menggunakan biofilter
lekat diam (fixed bed reactor, FBR).

Tahap Persiapan.
Pada tahap persiapan unit bioreaktor lekat diam dilakukan kegiatan sebagai berikut:
pemasangan pompa, aerator dan sarang tawon pada unit bioreaktor, selanjutnya dilakukan uji
kebocoran, pengukuran kapasitas efektif bioreaktor. Bioreaktor yang digunakan dalam penelitian
penyisihan logam berat memanfaatkan bakteri Acinetobacter sp. IrC2, terbuat dari bahan akrilik
dan media biofilter yang digunakan adalah media dari bahan plastik PVC tipe sarang tawon
dengan spesifikasi seperti pada Tabel 1, Gambar 1. Adapun Bioreaktor lekat diam (FBR) secara
skematis dijelaskan pada gambar 1.
Tahap selanjutnya adalah karakterisasi air limbah yang akan diolah dengan melakukan uji
laboratorium meliputi pengukuran pH dengan metoda elektrometri(7), pengukuran Kebutuhan
Oksigen Kimiawi (KOK) dengan metode berat terdiri dari tembaga(9), seng(10), timbal(11),
kadmium(12) dengan metode spektrofotometri serapan atom.,
Kandungan logam berat yang ada dalam air limbah tersebut selanjutnya dijadikan parameter
uji untuk memantau penyisihan kandungan logam berat setelah dilakukan proses remediasi oleh
bakteri Acinetobacter sp. IrC2.

Tahap pengembang-biakan(Seeding) dan Aklimatisasi bakteri Acinetobacter sp. IrC2

Proses seeding dilakukan dengan cara mengalirkan air limbah ke dalam reaktor biofilter
selama satu minggu dengan waktu tinggal hidrolik (WTH) 2 jam; Selanjutnya air limbah baterai
dimasukkan ke dalam bioreaktor secara bertahap.

Tahap pertama air limbah dimasukkan ke dalam bioreaktor sebanyak 10% (V/V),
selanjutnya dilakukan pemantauan terhadap penyisihan Kebutuhan Oksigen Kimiawi (KOK) air
limbah, bila penyisihan KOKnya lebih dari 50%, selanjutnya penambahan air limbah dinaikkan
menjadi 50% (V/V). Penambahan air limbah dilakukan 100% bila telah terjadi penyisihan KOK
pada hari berikutnya.

Proses aklimatisasi dilakukan untuk mendapatkan suatu kultur bakteri yang stabil dan dapat
beradaptasi dengan air limbah yang telah disiapkan. Selama masa aklimatisasi kondisi dalam
reaktor dibuat tetap aerob dengan menjaga supply oksigen yang cukup. Aliran udara berasal dari
pompa yang disemburkan (spray aerator), penambah udara dilakukan agar proses oksidasinya
dapat berjalan dengan sempurna. Media penyangga disiapkan sebagai tempat tumbuh dan
melekatnya Acinetobacter sp. IrC2.

Tahap Pengolahan air limbah dengan biofilter lekat diam (fixed bed reactor, FBR)

Pada percobaan ini, bioreaktor dioperasikan dengan cara resirkulasi dengan waktu tinggal
hidrolik selama 2 jam. Pada proses pengolahan air limbah baterai dilakukan pengamatan
terhadap pH dan kadar timbal.

Hasil dan Pembahasan


Pengolahan limbah secara biologis merupakan salah satu cara penyisihan substrat tertentu
yang terkandung dalam limbah cair dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisme untuk
melakukan perombakan substrat tersebut.
Pengolahan limbah cair secara biologis, secara umum dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu
proses biologis dengan biakan tersuspensi (suspended culture), biakan melekat (attached culture)
dan dengan system kolam (lagoon)(13).

1. PerananAcinetobacter sp. IrC2 sebagai bioakumulator logam berat dalam bioreaktor


limbah cair
Persiapan kultur.
Kultur bakteri yang dibutuhkan sebagai inokulan bioreaktor adalah dengan populasi sebesar
108 jumlah sel yang hidup sehingga dibuat kurva hubungan antara kekeruhan sel (Optical
Density/OD) dengan jumlah sel yang hidup (CFU/Colony Form Unit). Kurva hubungan antara
kekeruhan sel dan jumlah koloni yang hidup dapat dilihat pada gambar 2. Berdasarkan hasil
pengujian yang dilakukan diketahui bahwa waktu terbaik pemanenan bakteri yang akan
digunakan sebagai inokulan terjadi pada saat pertumbuhan pada jam ke-6. Pada saat tersebut
bakteri mencapai OD = 0.6 dengan jumlah koloni 12x108. Selanjutnya kultur inokulan bioeaktor
selalu dipanen pada jam ke-6 dengan OD sekitar 0.6 karena pada saat itu bakteri mengalami
pertumbuhan yang paling baik

1. Pengaruh pH terhadap Populasi Bakteri Acinetobacter sp. IrC2


Pertumbuhan bakteri merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam proses
pengolahan limbah. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri adalah
pH.
Pengaruh pH terhadap pertumbuhan bakteri ini berkaitan dengan aktivitas enzim. Enzim ini
dibutuhkan oleh beberapa bakteri untuk mengkatalis reaksi-reaksi yang berhubungan dengan
pertumbuhan bakteri. Apabila pH dalam suatu medium atau lingkungan tidak optimal maka akan
mengganggu kerja enzim-enzim tersebut dan akhirnya mengganggu pertumbuhan bakteri itu
sendiri(14). Nilai pH merupakan faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim, dimana aktivitas
enzim ini akan maksimum pada kondisi pH optimum.
Bila pH lingkungan tidak sesuai untuk aktivitas enzim secara optimal, maka bakteri tidak
dapat melakukan metabolisme dengan baik. Akibatnya bakteri tidak dapat tumbuh dengan
optimal. Berdasarkan pH, bakteri dikelompokkan menjadi golongan asidofil (bakteri yang
tumbuh dengan baik pada pH asam), netral (bakteri yang tumbuh dengan baikpada pH netral)
dan alkalifil (bakteri yang tumbuh dengan baik pada pH basa). Kisaran pH untuk pertumbuhan
setiap kelompok bakteri sangat bervariasi. Beberapa bakteri mampu tumbuh pada kisaran pH
yang lebar. Pada penelitian ini, dilakukan pengamatan terhadap pengaruh pH dengan rentang 4-8
terhadap laju pertumbuhan bakteri Acinetobacter sp. IrC2.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan Acinetobacter sp. IrC2 dipengaruhi
oleh nilai pH dari medium, Hasil uji pH optimum yang memungkinkan pertumbuhan bakteri
dapat tumbuh dengan baik pada kisaran pH 5 – pH 8 sehingga apabila pH limbah terdapat pada
kisaran tersebut berarti isolat bakteri dapat tumbuh dengan baik sedangkan pada pH 4
Acinetobacter sp. IrC2 tidak memperlihatkan aktivitas pertumbuhan.

3.2 Inokulasi Bakteri ke dalamBioreaktor.


Bioreaktor adalah suatu alat pengolahan limbah secara biologis dengan menggunakan suatu
media penyangga (support material) yang berfungsi sebagai tempat pertumbuhan bakteri.
Pertumbuhan bakteri ditandai dengan terbentuknya lapisan biofilm pada permukaan media
penyangga. Reaktor dengan sistem pertumbuhan melekat diciptakan agar mendapatkan
konsentrasi bakteri yang tinggi. Material penyangga dapat dibuat dari berbagai bahan yang tidak
terdegradasi seperti plastik, keramik, tanah liat, batu apung, atau ijuk(15).
Pada saat baru dipasang, media biofilter belum tampak adanyabakteri yang menempel pada
permukaan media sarang tawon. Setelah proses pengembangbiakan (seeding) bakteri
Acinetobacter sp. IrC2 berjalan selama seminggu tampak tumbuh lapisan yang melekat pada
permukaan media zona aerob yaitu terbentuknya lapisan tipis berwarna kecoklat-coklatan.
Inokulasi dilakukan dengan menambahkan 10% kultur bakteri ke dalam bioreaktor yang berisi
limbah.
Dalam proses pengembangbiakan (seeding) bakteri Acinetobacter sp. IrC2 dilakukan dengan
penambahan sumber karbon menggunakan molase 3%. Pemanfaatan molase sebagai substrat dan
media tumbuh yang baik untuk bakteri disebabkan karena molase merupakansumber karbon,
nitrogen juga vitamin dan elemen yang dimanfaatkan sebagai substrat yang murah(16,17).
Dari hasil seeding bakteri tersebut, tampak bakteri Acinetobacter sp. IrC2 dapat beradaptasi
dengan limbah artificial yang telah diberi umpan air limbah sebanyak 10%, dengan indikasi
terbentuknya biosurfaktan berupa buih yang dihasilkan dari proses aktivitas bakteri
Acinetobacter sp. IrC2. Selain kebutuhan nutrisi dipantau juga terhadap nilai pH air limbah,
karena pH yang terlalu asam maupun basa akan berpengaruh terhadap pertumbuhan maupun
aktivitas bakteri. pH limbah baterai awal mempunyai sifat asam yang ditunjukkan dengan nilai
pH yang rendah yaitu sebesar 1,55. Agar bakteri dapat tumbuh dan bekerja dengan baik perlu
dilakukan netralisasi dengan larutan basa. Pada penelitian untuk menaikkan pH air limbah
dilakukan penambahan dengan Na2CO3 1N.

3.3 Pengolahan Limbah baterai menggunakan bioreaktor lekat diam (Fixed Bed Reactor)
Penelitian sebelumnya terkait pengolahan limbah dalam menghilangkan timbal menggunakan
bioreaktor lekat diam telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya seperti Kumar dan
Acharya menggunakan sekam padi yang diperkaya dengan natrium karbonat (NCRH) (18). Dari
hasil kajiannya terhadap kinerja adsorben (NCRH) dalam menghilangkan timbal, ditemukan
bahwa bahan adsorben tersebut merupakan media yang efektif untuk menghilangkan timbal
secara kontinyu menggunakan bioreaktor lekat diam.
Nwabanne dan Igbokwe, mengkaji kinerja adsorpsi bioreaktor lekat diam untuk
menghilangkan Pb(II) menggunakan sabut kelapa sawit(19), mereka mempelajari pengaruh
parameter penting seperti konsentrasi inlet, laju alir dan tinggi kolom terhadap kurva terobosan
dan kinerja adsorpsi. Diamati bahwa tinggi kolom sangat berpengaruh terhadap kinerja adsorpsi
terhadap timbal.
Pada penelitian ini untuk melihat kinerja bakteri Acinetobacter sp. IrC2 dalam bioreaktor
lekat diam menggunakan media dari bahan plastik PVC tipe sarang tawon, pemantauan
dilakukan terhadap menurunnya nilai KOK sebelum dan sesudah proses pengolahan. Bila terjadi
penurunan pada nilai KOK, ini menunjukkan bahwa terjadi aktivitas bakteri dalam mendegradasi
limbah organik yang ada dalam limbah, sedangkan bila proses degradasi tidak terjadi
menunjukkan bahwa Acinetobacter sp. IrC2 tidak mampu beradaptasi dan mendegradasi limbah
tersebut.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan terjadi pola yang berfluktuasi terhadap penyisihan nilai
KOK, hal ini terjadi karena penambahan beban organik pada pengolahan air limbah disebabkan
adanya fase kematian pada siklus kehidupan bakteri sehingga meningkatkan kandungan organik
di dalam limbah tersebut. Selain terjadinya fase kematian, bakteri juga mengalami fase
pertumbuhan, yang menyebabkan jumlah populasi bakteri dalam air limbah bertambah dan
mampu meningkatkan proses degradasi organik yang ditunjukkan dengan terjadinya penurunan
nilai KOK dalam bioreaktor. Berikut grafik penyisihan KOK (mg/L) yang diukur pada waktu
yang telah ditetapkan, yaitu jam 08.05; 10.05; 12.05; 14.05 dan 16.05.
Ketika derajat pertumbuhan bakteri telah menghasilkan populasi yang maksimum, maka akan
terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang mati dan jumlah sel yang hidup. Fase stasioner
terjadi pada saat laju pertumbuhan bakteri sama dengan laju kematiannya, sehingga jumlah
bakteri keseluruhan bakteri akan tetap. Keseimbangan jumlah keseluruhan bakteri ini terjadi
karena adanya pengurangan derajat pembelahan sel. Hal ini disebabkan oleh kadar nutrisi yang
berkurang dan terjadi akumulasi produk toksik sehingga menggangu pembelahan sel. Fase
kematian yang ditandai dengan peningkatan laju kematian yang melampaui laju pertumbuhan,
sehingga secara keseluruhan terjadi penurunan populasi bakteri(20).
Pada pengolahan limbah baterai menggunakan bioreaktor lekat diam (Fixed Bed Reactor)
selama 8 hari, terjadi fluktuasi proses penyisihan logam timbal dalam air limbah oleh
Acinetobacter sp. IrC2. Proses penyisihan logam timbal secara signifikan terjadi pada jam ke-28,
penyisihan timbal mencapai 86,5 %; Proses penyisihan timbal mengalami penurunan kembali
sampai pada jam ke-50, dan mengalami kenaikan kembali penyisihannya pada jam ke-56 sebesar
95,5% menjadi 2,08 mg/L. Peningkatan kembali konsentrasi logam timbal di dalam air olahan
terjadi pada jam ke-58 menjadi 10,62 mg/L (77,3%) dan pada jam ke 76 terjadi peningkatan
logam timbal 40,08 mg/L (14,2%). Pada jam ke-78 penyisihan logam timbal terjadi kembali
menjadi 4,6 mg/L (90,2%), dan pada jam ke-80 terjadi peningkatan kembali konsentrasi logam
timbal menjadi 18,87 mg/L (59,6%), peningkatan efiiensi meningkat kembali sampai jam ke 84
yaitu menjadi 2,36 mg/L dan jam ke 176 konsentrasi logam Pb dalam air olahan limbah baterai
dalam bioreaktor mampu menyisihkan Pb menjadi < 0,01 mg/L.

Kesimpulan
Acinetobacter sp. IrC2yang ditumbuhkan pada biofilter lekat diam bermedia sarang
tawonmampu menyisihkan timbal terlarut dalam limbah baterai.Fluktuasi proses penyisihan
kadar timbal dalam air limbah oleh Acinetobacter sp. IrC2 terjadi selama proses bioakumulasi
timbal selama 8 hari.
Proses penyisihan logam timbal terjadi pada jam ke-28 adalah sebesar 86,5% (6,31mg)/L),
dan efisiensi penyisihan meningkat pada jam ke-56 menjadi 95,5% (2,08 mg/L), dan pada jam
ke-176 kadar timbal dalam air olahan limbah baterai dalam bioreaktor menjadi < 0,01 mg/L.

Anda mungkin juga menyukai