Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejarah Suku Anak Dalam atau SAD masih penuh misteri, bahkan hingga kini tak
ada yang bisa memastikan asal usul mereka. Hanya beberapa teori, dan cerita dari
mulut ke mulut para keturunan yang bisa menguak sedikit sejarah mereka.
Sejarah lisan Orang Rimba selalu diturunkan para leluhur. Tengganai Ngembar
(80), pemangku adat sekaligus warga tertua SAD yang tinggal di Taman Nasional
Bukit Duabelas (TNBD) Jambi, mendapat dua versi cerita mengenai sejarah
Orang Rimba dari para terdahulu. Ia memperkirakan dua versi ini punya
keterkaitan.
Yang pertama, leluhur mereka adalah orang Maalau Sesat, yang meninggalkan
keluarga dan lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, TNBD. Mereka kemudian
dinamakan Moyang Segayo.
Sedangkan versi kedua, penghuni rimba adalah masyarakat Pagaruyung, Sumatera
Barat, yang bermigrasi mencari sumber-sumber penghidupan yang lebih baik.
Diperkirakan karena kondisi keamanan tidak kondusif atau pasokan pangan tidak
memadai di Pagaruyung, mereka pun menetap di hutan itu.
Versi kedua ini lebih banyak dikuatkan dari segi bahasa, karena terdapat sejumlah
kesamaan antara bahasa rimba dan Minang. Orang Rimba juga menganut sistem
matrilineal, sama dengan budaya Minang. Dan yang lebih mengejutkan, Orang
Rimba mengenal Pucuk Undang Nang Delapan, terdiri atas hukum empat ke atas
dan empat ke bawah, yang juga dikenal di ranah Minang.
Di Kabupaten Tanah Datar sebagai pusat Kerajaan Pagaruyung sendiri, terdapat
sebuah daerah, yaitu Kubu Kandang. Merekalah yang diperkirakan bermigrasi ke
beberapa wilayah di Jambi bagian barat.
1

Sedangkan perilaku Orang Rimba yang kubu atau terbelakang, menurut Ngembar,
disebabkan beratus tahun moyang mereka hidup di tengah hutan, tidak mengenal
peradaban. Kehidupan mereka sangat dekat dan bergantung pada alam. Kami
beranak pinak dalam rimba, makan sirih, berburu, dan meramu obat alam,
sehingga lupa dengan peradaban orang desa. Kami terbentuk jadi Orang Rimba,
tuturnya.
Mereka hidup seminomaden, karena kebiasaannya berpindah dari satu tempat ke
tempat lainnya. Tujuannya, bisa jadi melangun atau pindah ketika ada warga
meninggal, menghindari musuh, dan membuka ladang baru. Orang Rimba tinggal
di pondok-pondok, yang disebut sesudungon, bangunan kayu hutan, berdinding
kulit kayu, dan beratap daun serdang benal.
Hasil survei Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004
menyatakan, jumlah keseluruhan Orang Rimba di TNBD ada 1.542 jiwa. Mereka
menempati hutan yang kemudian dinyatakan kawasan TNBD, terletak di
perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun.
Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Orang Rimba.
Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa
sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum
adat sebagaimana nenek moyang dahulu.
Selain di TNBD, kelompok- kelompok Orang Rimba juga tersebar di tiga wilayah
lain. Populasi terbesar terdapat di Bayung Lencir, Sumatera Selatan, sekitar 8.000
orang. Mereka hidup pada sepanjang aliran anak-anak sungai keempat (lebih kecil
dari sungai tersier), seperti anak Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai
Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai
Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya
sekitar 1.200 orang. Kelompok lainnya menempati Taman Nasional Bukit
Tigapuluh, sekitar 500 orang. Karena tidak dekat dengan peradaban dan hukum
modern, 1Orang Rimba memiliki sendiri hukum rimba. Mereka menyebutnya
seloka adat.

1 Butet Manurung., Sokola Rimba, Insist Press, Yogyakarta, 2007

Ada satu seloka yang bisa menjelaskan tentang Orang Rimba:


Bertubuh onggok
Berpisang cangko
Beratap tikai
Berdinding baner
Melemak buah betatal
Minum air dari bonggol kayu.
Ada lagi: berkambing kijang, berkerbau tenu, bersapi ruso. Mereka sehariharinya tanpa baju, kecuali cawat penutup kemaluan. Rumahnya hanyalah beratap
rumbia dan dinding dari kayu.
Cara hidup dengan makan buah-buahan di hutan, berburu, dan mengkonsumsi air
dari sungai yang diambil dengan bonggol kayu. Makanan mereka bukan hewan
ternak, tetapi kijang, ayam hutan, dan rusa. Identitas Orang Rimba yang tertuang
lewat seloka, membedakannya dari orang terang sebutan untuk masyarakat di
desa.
Mereka membuat seloka tentang orang terang:
berpinang gayur
berumah tanggo
berdusun beralaman
beternak angso
Seloka yang muncul lewat mimpi juga memberi panduan mengenai hidup sosial
di rimba. Aturan-aturan Orang Rimba memang tidak jauh dari Pucuk Undang
Nang Delapan, yang dibawa dari minang. Aturan rimba sendiri melarang adanya
pembunuhan, pencurian, dan pemerkosaan. Inilah larangan terberat, yang jika
dilanggar akan dikenai hukuman 500 lembar kain. Jumlah kain sebanyak itu
dinilai sangat berat, dan sangat sulit disanggupi, karenanya Orang Rimba berusaha
untuk mematuhi.
Kisah yang dituturkan Ngembar tak berbeda jauh dengan warga Suku Anak
Dalam (SAD) di kawasan lain TNBD. Tumenggung Tarib, pimpinan di salah satu
rombongan SAD, mengemukakan bahwa mereka adalah keturunan Kerajaan

Pagaruyung (dharmacraya) yang merantau ke Jambi. Untuk sejarah lisan ini,


menurut Tarib, diturunkan sampai enam generasi ke bawah.

BAB II
ISI

A. Asal Usul Suku Anak Dalam Kubu


Penyebutan Orang Rimba pertama kali dengan berakhiran huruf o pada
disertasi tersebut dipertentangkan oleh beberapa antropolog meski tidak ada
perbedaan makna, tetapi akhiran o pada sebutan Orang Rimbo merupakan dialek
4

Melayu Jambi dan Minang. 2Tentang asal usul Suku Anak Dalam (Muchlas, 1975)
menyebutkan adanya berbagai hikayat dari penuturan lisan yang dapat ditelusuri
seperti Cerita Buah Gelumpang. Dari hakikat tersebut Muchlas menarik
kesimpulan bahwa Anak Dalam berasal dari tiga turunan yaitu:
1. Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten
Batanghari.
2. Keturunan dari Minangkabau, umumnya di Kabupaten Bungo Tebo
sebagian Mersam (Batanghari).
3. Keturunan dari Jambi Asli yaitu Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun
Bangko (Muchlas, 1975)
Lebih jauh Muchlas mengatakan bahwa asal usul Anak Dalam berasal dari cerita
tentang perang Jambi dengan Belanda yang berakhir pada tahun 1904, pihak
pasukan Jambi yang dibela oleh Anak-Dalam yang dipimpin oleh Raden Perang.
Raden Perang adalah cucu Raden Nagasari. Dalam perang gerilya maka
terkenallah Anak Dalam dengan sebutan Orang Kubu artinya orang yang tak mau
menyerah pada penjajah Belanda yang membawa penyakit jauh senjata api. Orang
Belanda disebut Orang Kayo Putih sebagai lawan Raja Jambi (Orang Kayo
Hitam). Beberapa sumber lain yang membahas mengenai sejarah asal usul Anak
Dalam yaitu disertasi 3Muntholib Soetomo yang memaparkan bahwa ada seorang
yang gagah berani bernama Bujang Perantau. Pada suatu hari memperoleh buah
gelumpang dan dibawa kerumahnya. Suatu malam ia bermimpi agar buah
gelumpang itu dibungkus dengan kain putih yang nanti akan terjadi keajaiban,
yang berubah menjadi seorang putri yang cantik. Putri itu mengajak kimpoi
Bujang Perantau, namun Bujang Perantau berkata bahwa tidak ada orang yang
mengawinkan mereka. Putri tersebut berkata: Potonglah sebatang kayu bayur
dan kupas kulitnya kemudian lintangkan di sungai, kamu berjalan dari pakal saya
dari ujung. Kalau kita dapat beradu kening di atas kayu tersebut berarti kita
2 Munawir Muchlas, Sedikit Tentang Kehidupan Suku Anak Dalam (Orang Kubu) di
Provinsi Jambi, Kanwil Depsos Provinsi Jambi, 1975
3 Muntholib Soetomo, Orang Rimbo : Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing
Di Makekal Provinsi Jambi, Universitas Padjajaran, Bandung, 1995

sudah kawin. Permintaan itu dipenuhi oleh Bujang Perantau dan terpenuhi segala
syaratnya, kemudian keduanya menjadi suami isteri. Dari hasil perkawinan itu
lahirlah empat orang anak, yaitu Bujang Malapangi, Dewo Tunggal, Putri Gading,
Dan Putri Selaro Pinang Masak. Bujang Malapangi, anak tertua yang bertindak
sebagai pangkal waris dan Putri Selaro Pinang masak sebagai anak bungsu atau
disebut juga ujung waris keluar dari hutan untuk pergi membuat kampung dan
masuk Islam. Keduanya menjadi orang Terang. Putri Selaras Pinang Masak
menetap di Seregam Tembesi sedangkan Bujang Malapangi membuat kampung
pertama di sekitar sungai Makekal pertama di Kembang Bungo, ke dua Empang
Tilan, ke tiga di Cempedak Emas, ke empat di Perumah Buruk, ke lima di Limau
Sundai, dan kampong terakhir di Tanah Garo sekarang. Hal inilah membuat orang
Rimba menjadikan tokoh keturunan Bujang Malapangi sebagai Jenang (orang
yang dapat diterima oleh orang Rimba dan juga oleh orang lain, selain orang
Rimba yang berfungsi sebagai perantara bagi orang Rimbo yang akan
berhubungan dengan orang lain atau orang lain yang akan berhubungan dengan
orang Rimba). Jenang yang paling berpengaruh dijadikan rajo (raja), dan segala
urusan antara orang Rimba dengan orang luar harus melibatkan Jenang mereka
dan rajanya.
Selain itu berdasarkan 4Dirjen Bina Masyarakat Terasing Depsos RI, 1998 secara
mitologi, suku Anak Dalam masih menganggap satu keturunan dengan Puyang
Lebar Telapak yang berasal dari Desa Cambai, Muara Enim. Menurut pengingatan
mereka, yang didapat dari penuturan kakek-neneknya, bahwa sebelum mereka
bertempat tinggal di wilayah Sako Suban, mereka tinggal di dusun Belani,
wilayah Muara Rupit. Mereka hijrah karena terdesak waktu perang ketika zaman
kesultanan Palembang dan ketika masa penjajahan kolonial Belanda. Secara tepat
waktu kapan mereka hijrah tidak diketahui lagi yang mereka (Suku Anak Dalam)
ingat berdasarkan penuturan, hanya masa kesultanan Palembang dan masa
penjajahan Belanda. Dari Dusun Belani, Suku Anak-Dalam mundur lebih masuk
ke hutan dan sampai di wilayah Sako Suban. Di wilayah Sako Suban ini, mereka
bermukim di wilayah daratan diantara sungai Sako Suban dan sungai Sialang,
keduanya sebagai anak dari sungai Batanghari Leko. Wilayah pemukiman yang
mereka tempati disebut dengan Tunggul Mangris.
4 Depsos RI, Masyarakat Terasing Suku Anak Dalam dan Dusun Solea Dan Melinani,
Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Jakarta, 1998 hal 55-56

Menurut Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990)


menyebutkan asal usul Suku Anak Dalam yaitu: Sejak Tasun 1624, Kesultanan
Palembang dan Kerajaan Jambi yang sebenarnya masih satu rumpun memang
terus menerus bersitegang dan pertempuran di Air Hitam akhirnya pecah pada
tahun 1629. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada dua kelompok
masyarakat Anak Dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan adat
istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera
Selatan) berbahasa Melayu, berkulit kuning dengan postur tubuh ras Mongoloid
seperti orang Palembang sekarang. Mereka ini keturunan pasukan palembang.
Kelompok lainnya tinggal di kawasan hutan Jambi berkulit sawo matang, rambut
ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras wedoid (campuran wedda
dan negrito).

B. Karakteristik dan Kultur Suku Kubu / SAD


Ciri-ciri fisik dan non fisik
Suku anak dalam termasuk golongan ras mongoloid yang termasuk dalam migrasi
pertama dari manusia proto melayu, kulit sawo matang, rambut agak keriting,
telapak kaki tebal, laki-laki dan perempuan yang dewasa banyak makan sirih.
Ciri fisik lain yang menonjol adalah penampilan gigi mereka yang tidak terawat
dan berwarna kecoklatan. Hal ini terkait dengan kebiasaan mereka yang dari kecil
nyaris tidak berhenti merokok serta rambut yang terlihat kusut karena jarang
disisir dan hanya dibasahi saja.
Budaya Melangun

Pada masa sekarang apabila terjadi kematian di suatu daerah, juga tidak seluruh
anggota Suku Anak Dalam tersebut yang pergi melangun. Hanya angota keluargakeluarga mendiang saja yang melakukannya.
Seloko dan Mantera
Kehidupan Suku Anak Dalam sangat dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang
sudah diterapkan dalam bentuk seloko-seloko yang secara tegas dijadikan
pedoman hukum oleh para pemimpin Suku, khususnya Tumenggung dalam
membuat suatu keputusan. Seloko juga menjadi pedoman dalam bertutur kata dan
bertingkah laku serta dalam kehidupan bermasyarakat Suku Anak Dalam. Bentuk
seloko itu antara lain:
1. Bak emas dengan suasa
2. Mengaji di atas surat
3. Banyak daun tempat berteduh
4. Titian galling tenggung negeri (Tidak ke sini juga tidak kesana/labil)

Besale
Kata besale dapat diartikan secara harafiah duduk bersama untuk bersama-sama
memohon kepada Yang Kuasa agar diberikan kesehatan, ketentraman dan
dihindarkan dari mara bahaya.

Kepercayaan
Sistem kepercayaan mereka adalah Polytheisme yaitu mereka mempercayai
banyak dewa. Dan mereka mengenal dewa mereka dengan sebutan Dewo dan
Dewa. Ada dewa yang baik adapula dewa yang jahat. Mereka mempercayai
adanya dewa yang mendatangkan kebajikan jika mereka menjalankan aturannya.

Selain kepercayaan terhadap dewa mereka juga percaya adanya roh nenek
moyang yang selalu ada disekitar mereka
.
Pengelolaan Sumber Daya Alam
Orang Rimba yang selama hidupnya dan segala aktifitas dilakukan di hutan.
Hutan, yang bagi mereka merupakan harta yang tidak ternilai harganya, tempat
mereka hidup, beranak-pinak, sumber pangan, sampai pada tempat dilakukannya
adat istiadat yang berlaku bagi mereka.
Orang Rimba mengenal wilayah peruntukan seperti adanya Tanoh Peranokon,
rimba, ladang, sesap, belukor dan benuaron. Peruntukan wilayah merupakan rotasi
penggunaan sumber daya hutan dari rimba menjadi lading dan kemudian menjadi
sesap.
C. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan orang Rimba adalah matrilineal yang sama dengan
system kekerabatan budaya Minangkabau. Orang Rimba tidak diperbolehkan
memanggil istri atau suami dengan namanya, demikian pula antara adik dengan
kakak dan antara anak dengan orang tua. Mereka juga tidak menyebut nama orang
yang sudah meninggal dunia. Sebenarnya menyebut nama seseorang dianggap
tabu oleh orang Rimba.
Kebudayaan orang Rimba juga mengenal sistem pelapisan sosial. Temenggung
adalah pemimpin utama dalam struktur kelompok.
D. Organisasi Sosial dan Kelompok Masyarakat pada Suku Kubu
Masyarakat Suku Anak Dalam hidup secara berkelompok, Mereka bebas
untuk tinggal bersama dengan kelompok lain. Namun mereka tidak dengan mudah
berganti-ganti kelompok/tumenggungnya karena terdapat hukum adat yang
mengaturnya

. 5Susunan organisasi sosial pada masyarakat Suku Anak Dalam terdiri dari:
1. Tumenggung, Kepala adat/Kepala masyarakat
2. Wakil Tumenggung, Pengganti Tumenggung jika berhalangan
3. Menti, Menyidang orang secara adat/hakim. Kepemimpinan Anak Dalam
tidak bersifat mutlak, mereka sekarang dipilih berdasarkan pengajuan
Tumenggung disetujui seluruh anggota. Menurut Temenggung Tarib,
jumlah kelompok yang diwakili oleh Temenggung naik dari 3 kelompok
pada tahun 1980an.
E. Kehidupan Masyarakat Suku Kubu
Makanan
Mereka sudah banyak yang menggunakan beras sebagai makanan pokok seharihari. Sebenarnya makanan pokok mereka waktu dahulu adalah segala jenis umbiumbian yang tumbuh di hutan, seperti keladi, ubi kayu, ubi jalar, umbi silung dan
binatang buruan seperti babi hutan, rusa, kancil dan lain-lain.
Pakaian
Meraka pada umumnya tidak berpakaian, namun mereka menggunakan cawat
kain untuk menutupi kemaluannya. Dahulu aslinya mereka menggunakan cawat
dari kulit kayu terap atau serdang, namun karena cawat dari kulit kayu sering
menimbulkan rasa sakit akibat kutu kayu yang masuk ke dalam kulit, sehingga
mereka meninggalkannya dan beralih dengan kain yang mereka beli di pasar
melalui masyarakat umum.
Tingkat kemampuan intelektual suku anak dalam dapat disebut masih rendah dan
temperamen mereka pada umumnya keras dan pemalu. Walaupun masih terbatas,
tetapi sudah terjadi interaksi sosial dengan masyarakat luas sehingga keterbukaan

5 Budak_Jambi, Organisasi Sosial dan Kelompok Masyarakat pada Suku Kubu diakses
dari jambicrew.blogspot.com/2008/07/organisasi-sosil-dan-kelompok.html tanggal 29
januari 2015 pukul 20:20

10

terhadap nilai nilai budaya luar semakin tampak.

F. Peralatan, Komunikasi & Seni Suku Kubu


Sebagai orang yang memiliki harta benda minimal, termasuk barang seni
dan alat teknologi. Kelihatannya menurut kosmologi orang Rimba, mereka tidak
terdorong atau tergoda mempunyai harta benda. Ada kerajinan yang dibuat dari
bambu, daun, rotan, rumput, kayu dan kulit. Seperti tikar untuk membungkus
barang atau sebagai tempat tidur, dan wadah untuk tempat menyimpan, untuk
membawa barang dan untuk melengkapi sistem adat, atau sebagai alat tukarmenukar dalam upacara perkawinan.
Pada umumnya, saat mereka pergi ke pasar mingguan atau keluar hutan untuk
pergi ke dusun, laki-laki sering memakai celana dan perempuan menutupi
badannya agar mereka tidak merasa malu, demi menghormati budaya dusun serta
agar diterima dengan baik.

G. Wilayah Persebaran Suku Kubu


Daerah yang didiami oleh Suku Anak Dalam ada di kawasan Taman
Nasional Bukit XII antara lain terdapat di daerah Sungai Sorenggom, Sungai
Terap dan Sungai Kejasung Besar/Kecil, Sungai Makekal dan Sungai Sukalado.
Nama-nama daerah tempat mereka bermukim mengacu pada anak-anak sungai
yang ada didekat pemukiman mereka.
Cagar Biosfer, adalah karena kawasan ini memenuhi ciri-ciri atau kriteria yang
sifatnya kualitatif yang mengacu pada 6kriteria umum Man and Biosphere Reserve
Program, UNESCO seperti berikut:

6 Pariwisata UNJ, Persebaran, diakses dari unjpariwisata.blogspot.com/2012/05/persebaran.html, tanggal 29 januari 2015 pukul 20.13

11

1. Merupakan kawasan yang mempunyai keperwakilan ekosistem yang


masih alami dan kawasan yang sudah mengalami degradasi, modifikasi
dan atau binaan.
2. Mempunyai komunitas alam yang unik, langka dan indah.
3. Merupakan landscape atau bentang alam yang cukup luas yang
mencerminkan interaksi antara komunitas alami dengan manusia beserta
kegiatannya secara harmonis.
4. Merupakan

tempat

bagi

penyelenggaraan

pemantauan

perubahan

perubahan ekologi melalui kegiatan penelitian dan pendidikan (Dirjen


PHPA, 1993)..
kawasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas terletak diantara lima kabupaten, yaitu
kabupaten sarolangun, merangin, bungo, tebo dan batang hari. Kawasan yang di
diami orang rimba ini secara geografis adalah kawasan yang dibatasi oleh batang
tabir di sebelah barat, batang tembesi.di kawasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas
terdapat tiga kelompok Orang Rimba yaitu kelompok Air Hitam di bagian selatan
kawasan. Orang Rimba hidup dalam kelompok kelompok kecil yang selalu
menempati wilayah bantaran sungai baik di badan sungai besar ataupun di anak
sungai dari hilir sampai ke hulu.
Walaupun mereka jarang menggunakan sungai sebagai tempat membersihkan
dirinya, tetapi keberadaan sungai sebagai sarana kehidupan mereka terutama
untuk kebutuhan air minum, sehingga pemukiman mereka selalu diarahkan tidak
jauh dari anak anak sungai.
Wilayah Taman Nasional Bukit XII memiliki beberapa tempat tinggal lain di kaki
bukitnya, dengan Bukit Dua Belas sebagai titik sentralnya. Dinamakan Bukit Dua
Belas karena menurut Suku Anak Dalam, bukit ini memliki 12 undakan untuk
sampai dipuncaknya. Di tempat inilah menurut mereka banyak terdapat roh nenek
moyang mereka, dewa-dewa dan hantu-hantu yang bisa memberikan kekuatan.

12

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
13

Suku anak dalam jambi (Suku Kubu) adalah orang malau sesat yang
meninggalkan keluarganya dan lari kehutan rimba sekitar Taman Nasional Bukit
12 itu di namakan mayang segayo.
Penghuni rimba itu masyarakat pagaruyung (Sumatra barat) yang berimigrasi
mencari sumber kehidupan yang lebih baik.orang rimba menganut sistim
matrinial, sama dengan budaya minag kabau.
Mereka sehari-hari tanpa baju, kecuali cawat penutup kemaluan.rumahnya hanya
beratap rumbia dan berdinding dari kayu.sering memakan buah-buahan dari
hutan, berburu dan mengkonsumsi air dari sungai.
Asal usul suku anak dalam pertama kali di publikasikan oleh Muntholib soetomo
pada tahun 1995 dalam desertasinya yang berjudul Orang Rimbo.
Menurut Muchlas (1975) suku anak dalam berasal dari tiga keturunan, yaitu:
1. Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten
Batanghari.
2. Keturunan dari Minangkabau, umumnya di Kabupaten Bungo Tebo
sebagian Mersam (Batanghari).
3. Keturunan dari Jambi Asli yaitu Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun
Bangko (Muchlas, 1975)
Budaya suku anak dalam itu ketika seorang anggota keluarganya meninggal
dunia, itu merupakan peristiwa yang menyedihkan, terutama pihak keluarganya.
Mereka yang berada disekitar rumah kematian akan pergi karena menganggap
bahwa tempat tersebut tempat sial.kepercayaan tersebut bermula di dahulu kala
semenjak mereka tinggal di dalam hutan.
Pada umumnya mereka percaya terhadap dewa-dewa, istilah ethnik yakni dewodewo.mereka yang percaya roh-roh sebagai sesuatu kekuatan gaib.sisitim
kekerabatan orang rimba tidak boleh menyebut nama-nama mereka, dan tidak
boleh juga menyebut orang yang telah meninggal dunia.sebelum menikah tidak

14

ada tradisi berpacaran.kebudayaan suku anak dalam ini sangat berbeda dengan
kebudayaan masyarakat modern seperti sekarang ini.

DAFTAR PUSTAKA

Depsos RI. 1998, Masyarakat Terasing Suku Anak Dalam dan Dusun
Solea Dan Melinani, Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Jakarta.
Manurung, Butet. 2007, Sokola Rimba, Insist Press, Yogyakarta.
Muchlas, Munawir. 1975, Sedikit Tentang Kehidupan Suku Anak Dalam
(Orang Kubu) di Provinsi Jambi, Kanwil Depsos Provinsi Jambi, Jambi.
Soetomo, Muntholib, 1995, Orang Rimbo : Kajian StrukturalFungsional Masyarakat Terasing Di Makekal Provinsi Jambi, Universitas
Padjajaran, Bandung.
Pariwisata UNJ, Persebaran, diakses dari unjpariwisata.blogspot.com/2012/05/persebaran.html
Budak_Jambi, Organisasi Sosial dan Kelompok Masyarakat pada Suku
Kubu diakses dari jambicrew.blogspot.com/2008/07/organisasi-sosil-dankelompok.html

15

Anda mungkin juga menyukai