Pengelolaan Pariwisata
Arti dari kata pengelolaan oleh beberapa orang sering disamakan dengan arti manajemen, dimana tujuan dari
manajemen dan pengelolaan adalah sama yaitu tercapainya tujuan organisasi lembaga. Pengelolaan dapat
diartikan sebagai proses mengkoordinasikan dan mengintegrasikan semua sumber daya baik manusia maupun
teknikal, untuk mencapai berbagai tujuan khusus yang ditetapkan dalam suatu organisasi (Murniati, dalam
http://carapedia.com). Pengertian lain tentang pengelolaan adalah suatu istilah yang berasal dari kata “kelola”
mengandung arti serangkaian usaha yang bertujuan untuk menggali dan memanfaatkan segala potensi yang
dimiliki secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan tertentu yang telah direncanakan sebelumnya
(Harsoyo, 1977 dalam http://id.shvoong.com). Dari kedua pendapat ahli tersebut lebih dikuatkan lagi dengan
pengertian pengelolaan sebagai suatu rangkaian kegiatan yang berintikan perencanaan, pengorganisasian,
penggerakan dan pengawasan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Wardoyo, 1980
dalam http://id.shvoong.com).
Pengelolaan pariwisata haruslah pengelolaan yang berkelanjutan untuk menjadikan pariwisata tersebut sebagai
daya tarik bagi wisatawan. Menurut Dutton dan Hall (dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata)
pengelolaan berkelanjutan adalah pengelolaan yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia saat ini,
tanpa mengorbankan potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia di masa mendatang. Pada kondisi
ekologis tersebut seharusnya ditambahkan faktor-faktor sosial yang berpengaruh langsung pada
berkelanjutannya interkasi antara kelompok masyarakat dan lingkungan fisiknya.
Obyek dan daya tarik wisata umunya terdiri atas hayati dan non hayati, dimana masing-masing memerlukan
pengelolaan sesuai dengan kualitas dan kuantitasnya pengelolaan obyek dan daya tarik wisata harus
memperhitungkan berbagai sumber daya wisatanya secara berdaya guna agar tercapainya sasaran yang
diinginkan. Dalam menunjang pengelolaan berbagai kegiatan kepariwisataan, teknologi manajeman perlu
diterapkan agar sumber daya wisata yang murni alami dapat direkayasa secara berhasil guna, sehingga dapat
meningkatkan kualitas dan kuantitasnya termasuk lingkungan alamnya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996, Pengelolaan dan pengusahaan obyek dan daya tarik
wisata alam meliputi 5 hal yaitu:
1. Pembangunan sarana dan prasarana pelengkap beserta fasilitas pelayanan lain bagi wisatawan
2. Pengelolaan obyek dan daya tarik wisata alam termasuk sarana dan prasarana yang ada.
3. Penyediaan sarana dan fasilitas bagi masyarakat disekitarnya untuk berperan serta dalam kegiatan
pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam bersangkutan.
4. Penyelenggaraan persetujuan seni budaya yang dapat memberi nilai tambah terhadap obyek wisata
dan daya tarik wisata alam yang bersangkutan.
5. Penyelenggaraan pertunjukan seni budaya yang dapat memberi nilai tambah terhadap obyek dan daya
tarik wisata alam yang bersangkutan.
Baca Juga :
Pengertian Pariwisata
Pengembangan Pariwisata
Pemasaran pariwisata
Pengelolaan Pariwisata
Powered by [ Universal Post Manager ] plugin. MS Word saving format developed by gVectors Team www.gVectors.com
Sulawesi Tengah merupakan salah satu daerah yang memiliki keanegaraman hayati yang tinggi berupa sumber daya alam yang
berlimpah, baik di daratan, udara maupun di perairan. Semua potensi tersebut mempunyai peranan penting bagi pengembangan
Potensi Obyek wisata alam yang dimiliki Sulawesi Tengah, antara lain berupa keanekaragaman hayati, keunikan dan keaslian
budaya tradisional, keindahan bentang alam, gejala alam, peninggalan sejarah/budaya yang secara optimal untuk kesejahteraan
masyarakat. Keseluruhan potensi obyek wisata alam ini merupakan sumber daya ekonomi yang bernilai tinggi dan sekaligus
Pengembangan Obyek wisata alam obyek wisata alam sangat erat kaitannya dengan peningkatan produktifitas sumber daya hutan
dalam konteks pembangunan ekonomi, sehingga selalu dihadapkan pada kondisi interaksi berbagai kepentingan yang melibatkan
aspek kawasan hutan, pemerintah daerah, aspek masyarakat, dan pihak swasta di dalam suatu sistem tata ruang wilayah.
Kendala pengembangan obyek wisata alam berkaitan erat dengan: (a) Instrumen kebijaksanaan dalam pemanfaatan dan
pengembangan fungsi kawasan untuk mendukung potensi obyek wisata alam; (b) Efektifitas fungsi dan peran obyek wisata alam
ditinjau dari aspek koordinasi instansi terkait; (c) Kapasitas institusi dan kemampuan SDM dalam pengelolaan obyek wisata alam
di kawasan hutan; dan (d) Mekanisme peran serta masyarakat dalam pengembangan pariwisata alam.
Aspek Perencanaan Pembangunan obyek wisata alam yang antara lain mencakup sistem perencanaan kawasan, penataan
ruang (tata ruang wilayah), standarisasi, identifikasi potensi, koordinasi lintas sektoral, pendanaan, dan sistem informasi
obyek wisata alam.
Aspek Kelembagaan meliputi pemanfaatan dan peningkatan kapasitas institusi, sebagai mekanisme yang dapat mengatur
berbagai kepentingan, secara operasional merupakan organisasi dengan SDM dan peraturan yang sesuai dan memiliki
efisiensi tinggi.
Aspek Sarana dan Prasarana yang memiliki dua sisi kepentingan, yaitu (1) alat memenuhi kebutuhan pariwisata alam, (2)
sebagai pengendalian dalam rangka memelihara keseimbangan lingkungan, pembangunan sarana dan prasarana dapat
meningkatkan daya dukung sehingga upaya pemanfaatan dapat dilakukan secara optimal.
Aspek Pengelolaan, yaitu dengan mengembangkan profesionalisme dan pola pengelolaan obyek wisata alam yang siap
mendukung kegiatan pariwisata alam dan mampu memanfaatkan potensi obyek wisata alam secara lestari.
Aspek Pengusahaan yang memberi kesempatan dan mengatur pemanfaatan obyek wisata alam untuk tujuan pariwisata yang
bersifat komersial kepada pihak ketiga dan membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat.
Aspek Pemasaran dengan mempergunakan teknologi tinggi dan bekerja sama dengan berbagai pihak baik dalam negeri
maupun luar negeri.
Aspek Peran Serta Masyarakat melalui kesempatan-kesempatan usaha sehingga ikut membantu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Aspek Penelitian dan Pengembangan yang meliputi aspek fisik lingkungan, dan sosial ekonomi dari obyek wisata alam.
Diharapkan nantinya mampu menyediakan informasi bagi pengembangan dan pembangunan kawasan, kebijaksanaan dan
arahan pemanfaatan obyek wisata alam.
Dalam rangka menemukenali dan mengembangkan obyek wisata alam perlu segera dilaksanakan inventarisasi terhadap potensi
nasional obyek wisata alam secara bertahap sesuai prioritas dengan memperhatikan nilai keunggulan saing dan keunggulan
banding, kekhasan obyek, kebijaksanaan pengembangan serta ketersediaan dana dan tenaga. Potensi daerah obyek wisata alam
yang sudah ditemukenali segera diinformasikan dan dipromosikan kepada calon penanam modal.
Dalam rangka optimalisasi fungsi obyek wisata alam perlu diupayakan pengembangan pendidikan konservasi melalui
pengembangan sistem interprestasi obyek wisata alam dan kerjasama dengan instansi terkait termasuk lembaga-lembaga
Perlu dikembangkan sistem kemitraan dengan pihak swasta, lembaga swadaya masyarakat yang ada, dalam rangka mendukung
Pengembangan obyek wisata alam merupakan sub-sistem dari pengembangan pariwisata daerah dan pengembangan wilayah pada
umumnya yang secara langsung maupun tidak langsung memberi manfaat lebih bagi masyarakat setempat.
Peranan pemerintah daerah dalam pengembangan obyek wisata ini melaksanakan koordinasi, perencanaan, pelaksanaan serta
Penutup
Pembangunan pariwisata berkelanjutan mempunyai arti pembangunan dalam sektor pariwisata dalam
upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat untuk berekreasi pada saat ini dengan tanpa mengurangi
kemampuan atau kebutuhan generasi mendatang. Perencanaan menjadi titik awal dalam proses
pembangunan pariwisata, sehingga keterlibatan seluruh stake holders sangat diperlukan dalam langkah
awal yang sangat menentukan tersebut. Akan dikembangkan menjadi daerah pariwisata seperti apa
suatu wilayah, tentunya memerlukan kajian yang sangat mendalam agar supaya prinsip berkelanjutan
dapat terpenuhi.
Mekanisme dalam penyelenggaraan kepariwisataan akan baik apabila sesuai dengan alur proses
manajemen, mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan serta pemantauan dan evaluasi. Di dalam
tahapan perencanaan harus sudah mulai dipikirkan kemungkinan tercapainyanya dalam tahapan
pelaksanaan, artinya rencana kegiatan akan diupayakan secara maksimal dalam pelaksanaannya.
Aspek-aspek apa yang perlu direncanakan untuk dilaksanakan sebagai contoh adalah bagaimana aspek
pengembangan masyarakat; pengembangan produk yang mencakup aspek tata ruang, sarana dan
prasarana, atraksi dan kegiatan, pendidikan dan sistem penghargaan; pengembangan usaha;
pengembangan pemasaran. Akhirnya untuk menilai keberhasilan proses perencanaan dan pelaksanaan
tersebut diperlukan mekanisme tahapan pemantauan dan evaluasi yang dapat diukur baik secara
kuantitatif maupun kualitatif.
Walaupun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa masih dijumpainya kendala-kendala penyelenggaraan
kepariwisataan dalam upaya pembangunan pariwisata berkelanjutan. Misalnya dalam hal strategi
pembinaan, kerangka penataan termasuk di dalamnya pembentukan perangkat organisasi yang sesuai
dengan kemampuan masing-masing daerah yang masih memerlukan beberapa peraturan daerah serta
koordinasi dengan sektor terkait secara terpadu dan mempunyai komitmen bersama untuk kepentingan
pemenuhan hajat hidup masyarakat saat ini dan berkelanjutan sampai pada generasi masa depan.
Referensi
Kusudianto Hadinoto, Perencanaan Pengembangan Destinasi Pariwisata, UI-Press, Jakarta, 1996.
Fathul Bahri, Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Kepariwisataan Daerah, Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata, Deputi Bidang Pengembangan Pariwisata, 2002.
Oka A. Yoeti, H., Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.
Robby K.T. Ko, Obyek Wisata Alam, Pedoman Identifikasi, Pengembangan, Pengelolaan, Pemeliharaan
dan Pemasaran Obyek Wisata Alam, Yayasan Buena Vista, Bogor, 2001.
Surna Tjahja Djajadiningrat, Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan, Aksara Buana,
Bandung 2001.
Pengertian detinasi pariwisata
Destinasi pariwisata adalah suatu entitas yang mencakup wilayah geografis tertentu yang didalamnya
terdapat komponen produk pariwisata (attraction, amenities, accebilities) dan layanan, serta unsur
pendukung lainnya (masyarakat, pelaku industri pariwisata, dan institusi pengembang) yang
membentuk sistem yang sinergis dalam menciptakan motivasi kunjungan serta totalitas pengalaman
kunjungan bagi wisatawan.
Building success, pertumbuhan four E’s ( economic, environment, enrichment, social and financial,
exchange)
Mantaining success, Pariwisata bersifat dinamis berubah mengikuti treend dan permintaan pasar.
“Pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam pariwisata karena dalam
pengembangannya terdapat kemungkinan untuk menciptakan lapangan kerja serta menghasilkan
pendapatan. Oleh sebab itu, pariwisata berpotensi untuk memberikan kontribusi dan meningkatkan
perekonomian nasional dan daerah.
“Tourism is subject to direct and indirect government intervention often because of its employment
and income producing possibilities and therefore its potential to diversify and contribute to national
and regional economies” (Hall, 2000:18)
Berdasarkan hal tersebut, maka pemerintah dapat mengintervensi agar pengembangan pariwisata
dapat menghasilkan manfaat bagi masyarakat (social) dan lingkungan (environment).
Kualitas Destinasi Pariwisata
Dalam suatu penelitian Wet Tropics Destinations Image (1998:74) diindentifikasi persepsi dan penilian
destinasi terhadap faktor citra suatu destinasi sebagai beriku:
Dalam rangka mencermati suatu kualitas destinasi, terdapat parameter dasar dalam mengukur
kualitas destinasi, anatara lain:
1.Quality of Services
2.Price of Services
3.Price/Value Relationship
4.Overall Quality
5.Time. To spend in The Destination
Bagi Voase (1995) konsep destinasi pariwisata sangat berkaitan dngan cita rasa(taste) yang dikenali
memalui konsumsi wisatawan, sehingga atraksi dan event khusus (special event) sebagai unsur fisik
yang membuat daya tarik bagi wisatawan.
Adapun perkembangan siklus Destinasi Pariwisata (Tourist Destination) oleh Butler (1980)
dikelompokkan berdasarkan karakteristik perkembangan produk dan jumlah kunjungan pada periode
waktu yang dilewati dari eksplomsi (perintis), dengan proses pelibatan maka destinasi bertumbuh
popularitasnya dan jumlah kunjungan meningkat sehingga mencapai tahap development, dengan
upaya yang tetap mencapai bentuk yang optimal dan harus melakukan upaya reinvest, destinasi
mencapai tahap pemantapan (consolidation), namun pada saat tersebut pasar mulai mulai jenuh dan
pada titik tersebut destinasi mengalami stagnasi dan dapat mengalami dedinestage manakala tidak
terjadi upaya untuk melakukan inovasi dan terobosan-terobosan kreatif.
Pariwisata sebagai salah satu sektor pembangunan tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan
pembangunan berkelanjutan yang telah dicanangkan oleh pemerintah sesuai dengan pembangunan
nasional. Kepariwisataan Indonesia adalah pariwisata yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Berdasarkan konsep tersebut, maka konsep yang sebaiknya dipakai sebagai landasan adalah:
1.Pengembangan Pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism development), dan;
2.Pariwisata yang berbasis masyarakat (community based tourism).
Pembangunan pariwisata berkelanjutan, dapat dikatakan sebagai pembangunan yang mendukung
secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara etika dan sosial trhadap masyarakat
(Ardiwijaya,2004).
Prinsip ini menekankan keterlibatan masyarakat secara langsung, terhadap seluruh kegiatan
pembangunan pariwisata dari mulai perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan. Masyarakat
diletakkan sebagai faktor utama, yang memiliki kepentingan berpartisipasi secara langsung dalam
pengambilan keputusan. Cohen dan Uphof (1977) mengemukan bahwa partisipasi masyarakat dalam
suatu proses pembangunan terbagi atas 4 tahap, yaitu;
1.Partisipasi pada tahap perencanaan;
2.Partisipasi pada tahap pelaksanaan;
3.Partisipasi pada tahap pemamfaatan hasil-hasil pembangunan, dan;
4.Partisipasi pada tahap pengawasan dan monitoring.
Strategi pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melaui dua pendekatan, yatiu, yang bersifat
struktural dan non-struktural (Manshur Hidayat & Surochiem As). Pertama, pendekatan struktural
adalah pendekatan makro yang menekankan pada penataan sistem dan struktur sosial politik.
Pendekatan ini mengutamakan peran instansi yang berwenang atau organisasi yang dibentuk untuk
mengelola potensi masyarakat. Dalam hal ini peran masyarakat sangat penting akan tetapi kurang
kuat karena aspek struktural biasanya lebih efektif bila dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai
wewenang, paling tidak pada tahap awal.
Kedua, pendekatan non-strukltural adalah pendekatan yang subyektif. Pendekatan ini mengutamakan
pemberdayaan masyarakat secara mental dalam rangka meningkatkan kemampuan anggota
masyarakat untuk ikut serta dalam pengelolaan kepariwisataan. Kedua pendekatan itu harus saling
melengkapi dan dilaksanakan secara integratif.