1. Menunjukkan suku-suku pedalaman yang mendiami wilayah nusa tenggara, jawa, dan
Kalimantan.
Nusa tenggara Barat
Suku Bayan
Suku Bayan merupakan suku masyarakat yang berada di Kabupaten Lombok Utara.
Daerah wisata suku Bayan paling terkenal ialah Air Terjun Gile (Batu Ko' atau Batu Kerbau).
Menurut cerita rakyat setempat, dulu Sendang Gile adalah tempat bidadari mandi jika sedang
turun ke bumi. Pada zaman dahulu Bayan dipimpin oleh seorang Raja atau disebut Datu Bayan
yang bergelar Susuhunan Ratu Mas Bayan Agung, silsilah menyebutkan bahwa Raja Bayan
bersaudara dengan tidak kurang dari 18 orang dari hasil perkawinannya dengan beberapa istri
dan selir, saudara-saudara Raja Bayan kemudian menyebar dan beranak pinak ke seluruh
pulau Lombok. Sejarah mencatat dari hasil perkawinan Raja Bayan dengan istri pertamanya
mempunyai dua orang putra bergelar Pangeran Mas mutering jagad dan Pangeran Mas
mutering langit kedua pangeran inilah yang kemudian meneruskan memerintah dan berkuasa di
Bayan.
Suku Dompu
Suku ini berdiam di pulau Sumbawa, Propinsi Nusa Tenggara Barat dalam wilayah
kabupaten Dompu dan tersebar dalam 4 kecamatan: Huu, Dompu, Kempo, dan Kilo. Kabupaten
Dompu merupakan daerah berbukit-bukit dan daerah vulkanik. Suku Dompu hidup
berdampingan dengan orang Donggo, Bima, Sasak, Melayu, Bugis, China, Arab, Bali, dan
Timor. Bahasa mereka disebut Nggahi Mbojo. Mereka hidup dari pertanian, perkebunan,
perikanan, beternak, berdagang, dan pegawai.
Suku Donggo
Suku Donggo (Dou Donggo) merupakan suku yang mendiami kecamatan Donggo
kabupaten Bima provinsi Nusa Tenggara Barat. Populasi suku Donggo diperkirakan lebih dari
20.000 orang. Istilah "donggo" atau lengkapnya "dou donggo" berarti "orang gunung". Suku
Donggo sendiri terbagi dari 2 kelompok, yang dibedakan berdasarkan daerahnya, yaitu Donggo
Ipa dan Donggo Ela. Daerah Donggo Ipa terletak di sebelah timur teluk Bima, sedangkan suku
Donggo Ela terletak di sebelah barat teluk Bima. Perkampungan suku Donggo berada di pinggir
jalan atau sungai. Suku Donggo ini merupakan penduduk pertama yang menghuni daerah
Bima. Menurut peneliti bahwa suku Donggo ini memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbeda
dengan suku Bima (Dou Mbojo). Suku Donggo memiliki kesamaan dengan masyarakat daerah
di Lombok bagian utara.
Suku Bima
Orang Bima berdiam di Kabupaten Bima yang terletak di Pulau Sumbawa, sebagian lagi
berdiam di Kabupaten Dompu dan di Pulau Sangiang, di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jumlah
populasinya sekitar 400.000 jiwa. Bahasa Bima terdiri atas beberapa dialek, yaitu Bima, Bima
Donggo, dan Sangiang. Dalam kehidupan sehari-hari digunakan bahasa halus dan kasar.Mata
Pencaharian utama masyarakat Bima adalah bercocok tanam di sawah dan perladangan
berpindah (ngoho). Sebagian lagi hidup dari meramu hasil hutan (ngupalade'de) dan
menangkap ikan.
Suku Sasak
Orang Sasak mendiami Pulau Lombok di deretan pulau-pulau Nusa Tenggara (Sunda
Kecil). Jumlah populasinya sekitar 1,8 juta jiwa. Bahasa Sasak terdiri atas beberapa dialek,
yaitu dialek Sasak Pejanggi, Sasak Selaparang, Sasak Bayan, Sasak Tanjong, Sasak Pujut,
Sasak Sembalun, Sasak Tebango, dan Sasak Pengantap. Bahasa Sasak juga mengenal
tingkatan bahasa, yaitu halus dalem, halus biasa, dan kasar (bahasa pasar).
Suku Sumbawa
Suku bangsa Alor mendiami daratan pulau Alor, Pantar dan pulau-pulau kecil di antaranya.
Daerah mereka sekarang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Nama Alor mungkin diberikan oleh orang luar untuk menyebut seluruh kelompok
masyarakat yang berdiam di daerah tersebut. Mereka sendiri terdiri atas sejumlah sub-suku
bangsa, antara lain Abui, Alor, Belagar, Deing, Kabola, Kawel, Kelong, Kemang, Kramang, Kui,
Lemma, Maneta, Mauta, Seboda, Wersin, dan Wuwuli. Pada masa lampau sub-sub suku
bangsa tersebut masing-masing hidup terasing di daerah perbukitan dan pegunungan, terutama
untuk menghindari peperangan dan tekanan dari dunia luar.
Suku Atoni
Suku bangsa Atoni berdiam di pedalaman Pulau Timor bagian barat yang sebagian besar
berupa tanah kering dan berbukit-bukit gundul, seperti di kefettoran Amarasi, Fatu Leu, Amfoan,
Mollo, Amanuban, Amanatun, Miomafo, Insana dan Beboki. Jumlah populasinya sekitar
300.000 jiwa. Orang Atoni mempunyai bermacam-macam sebutan. Orang Tetun menyebut
mereka orang Dawan, Orang Bunak menyebut mereka Rawan, penduduk di kota Kupang
menyebut mereka Orang Gunung.
Suku Bajawa
Bajawa berarti India belakang. Nenek moyang penduduk Bajawa berasal dari India
belakang yang masuk ke pulau Jawa, kemudian mereka melanjutkan perjalanan melalui
samudera menuju ke Flores dengan mengendarai sampan yang mereka anggap mirip seperti
piring. Oleh sebab itu nama kota tempat tinggalnya di Flores disebut dengan Bhajawa, yang
berarti piring dari Jawa. Pendaratan pertama mereka di Flores yaitu di daerah Aimere,
kemudian mereka melanjutkan perjalanan darat hingga sampai ke Bajawa. Para pendatang
tersebut membawa budaya dari Hindia belakang yang kemudian mereka padukan dengan
budaya asli, yaitu Ngadhu dan Bhaga.
Suku Boti
Suku Boti merupakan salah satu suku tertua di Provinsi NTT. Keberadaannya yang nyaris
tak terdengar memang sempurna dengan lokasi mereka bermukim jauh dari kehidupan kota
dan jalanan yang seadanya untuk dilalui kendaraan bermotor. Dari Kupang, Ibukota Provinsi
NTT, terlebih dahulu kita akan memasuki Kota So’e yang merupakan Ibukota dari Kabupaten
Timor Tengah Selatan. Kota kecil yang sejuk, penghasil buah jeruk. Pada saat musim jeruk, kita
dapat membeli buah tersebut langsung dari pohon. Jangan heran kalau dengan uang sebanyak
lima ribu rupiah kita sudah bisa dipersilahkan memakan jeruk sepuasnya dari pohon.
Suku Deing
Suku Deing adalah suatu kelompok masyarkat yang mendiami daerah Lebang Beengada,
Mariabang, Nadar dan Bagang, yang berada di kabupaten Alor provinsi Nusa Tenggara Timur.
Suku Deing, adalah salah satu dari puluhan suku-suku kecil yang berada di kabupaten Alor.
Populasi suku Deing termasuk kecil, tapi mereka eksis sebagai suatu kelompok masyarakat
yang memiliki adat-istiadat, budaya dan bahasa sendiri. Suku Deing berbicara dalam bahasa
Deing, yang merupakan suatu bahasa cabang bahasa Austronesia.
Suku Ende
Suku Ende merupakan satu dari dua suku yang menjadi mayoritas di kabupaten Ende di
pulau Flores provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Suku Ende di kabupaten Ende hidup
bersama dengan suku Lio yang juga mendiami daerah ini. Suku Lio sebagai suku tetangga
suku Ende pada umumnya hidup di daerah pegunungan. Sedangkan suku Ende bermukim di
daerah pesisir di sekitar bagian selatan kabupaten Ende.
Suku Flores
Suku bangsa Flores merupakan percampuran etnis antara Melayu, Melanesia, dan
Portugis. Dikarenakan lokasi yang berdekatan dengan Timor, yang pernah menjadi Koloni
Portugis, maka interaksi dengan kebudayaan Portugis pernah terjadi dalam kebudayaan Flores,
baik melalui Genetik, Agama dan budaya.
Suku Kedang
Suku bangsa ini mendiami desa-desa dalam daerah Omesuri dan Buyasuri di Flores Timur,
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kedua daerah tersebut berada di daratan Pulau Lomblem atau
Lembata yang sebagian besar berupa padang rumput berbukit-bukit. Jumlah populasi suku
bangsa berbahasa Kedang ini diperkirakan sekitar 12.000 jiwa.
Suku Kemak
Masyarakat ini hidup dari pertanian di ladang dan sawah, beternak kerbau, kuda, sapi, babi
dan kambing. Kaum wanita mereka juga suka menenun kain (tais) Timor yang cukup terkenal
itu. Jumlah populasi suku Kemak sekitar 50.000 jiwa. Dalam berhubungan dengan suku bangsa
lain di wilayah Timor Leste mereka menggunakan bahasa Tetun.
Suku Kemang
Suku Kemang merupakan salah satu suku kecil dari sekian banyak suku-suku di kabupaten
Alor. Suku Kemang memiliki populasi yang kecil, namun mereka memiliki adat-istiadat, budaya
dan bahasa sendiri, yaitu bahasa Kemang. Masyarakat suku Kemang dalam bertahan hidup
pada bidang pertanian. Mereka memiliki ladang atau kebun yang ditanami beberapa jenis
tanaman untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari, seperti jagung, kacang-kacangan, umbi-
umbian, pisang dan kelapa.
Suku Lamaholot
Suku Lamaholot adalah salah satu komunitas masyarakat yang terdapat di kabupaten
Flores Timur, Tanjung Bunga, Adonara, Solor dan Lembata, yang semuanya berada di provinsi
Nusa Tenggara Timur. Masyarakat suku Lamaholot berbicara dalam bahasa Lamaholot.
Bahasa Lamaholot memiliki banyak varian bahasa, yang disebut sebagai bahasa Lamaholot
dengan dialek-dialeknya.Menurut penuturan masyarakat Lamaholot, bahwa pada awalnya
bahasa mereka hanya satu bahasa, yaitu bahasa Lamaholot, dengan terjadinya percampuran
penduduk dari suku-suku lain mempengaruhi penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari.
Suku Manggarai
Suku bangsa Manggarai mendiami Kabupaten Manggarai yang terletak di Pulau Flores,
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jumlah populasinya sekitar 350.000 jiwa. Bahasa Manggarai
nampaknya terdiri atas beberapa dialek, seperti dialek Pae, Mabai, Rejong, Mbaen, Pota,
Manggarai Tengah, Manggarai Timur, dan Manggarai Barat. Empat dialek terdepan mungkin
merupakan bahasa dari kelompok suku bangsa tersendiri yang tunduk kepada orang Manggarai
di zaman dulu.
Suku Ngada
Orang Ngada sebenarnya terdiri atas beberapa sub-suku bangsa yaitu Ngada, Maung,
Riung, Rongga, Nage Keo, Bajawa dan Palue. Sub-sub suku bangsa itu umumnya ditandai oleh
perbedaan dialek-dialek yang mereka pakai. Sungguhpun begitu ciri-ciri kebudayaan mereka
memperlihatkan kesamaan. Masyarakat Suku Ngada berdiam di Pulau Flores, tepatnya di
wilayah Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Populasinya diperkirakan sekitar
155.000 jiwa. Mata pencaharian hidup mereka umumnya adalah berladang, sebagian di sawah,
ada pula yang beternak sapi, kerbau, dan kuda.
Suku Rote
Suku Rote atau Orang Rote berdiam di Pulau Roti, Ndao dan sebagian pantai barat Pulau
Timor, di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Daerah mereka termasuk dalam wilayah Kabupaten
Kupang. ada anggapan para ahli bahwa penduduk di pulau-pulau itu sebenarnya berasal dari
Pulau Seram di Maluku Tengah. Jumlah populasinya sekitar 88.000 jiwa.
Suku Sika
Sika adalah sebuah suku bangsa Indonesia yang menetap di wilayah tengah timur Flores
antara Sungai Bloh dan Sungai Napung. Bahasa Sika, bagian dari rumpun bahasa Timor-
Ambon, dipertuturkan oleh suku Sika.
Berikut lirik asli lagu tersebut yang menggunakan bahasa Jawa Ngoko.
Terjemahan:
Saking terkenalnya lagu ini, Suwe Ora Jamu dijadikan nama sebuah kafe dan bar di daerah
Jalan Petogogan, Jakarta Selatan.
Selain itu, seorang koreografer terkenal dari Papua, Jecko Siompo, pernah me-remix lagu Suwe
Ora Jamu dengan Ampar-Ampar Pisang yang dibawakan dalam nada rap dan jazz dalam
sebuah pertunjukan di Goethe-Institut, Jakarta Pusat tahun 2011.
2. Gundul-Gundul Pacul
Siapa yang tak kenal dengan lagu Gundul-Gundul Pacul? Lagu anak-anak ini sangat
terkenal di kalangan masyarakat Jawa. Terdapat dua sumber mengenai siapa yang sebenarnya
menciptakan lagu ini, antara Sunan Kalijaga di abad 15 atau R.C. Haardjosubroto.
Meskipun tergolong lagu anak-anak, rupanya lagu ini memiliki makna yang cukup filosofis.
Secara filosofis, Gundul-Gundul Pacul membicarakan soal kehormatan, kepemimpinan, dan
tanggung jawab.
Gundul adalah kepala plontos tanpa rambut. Kepala melambangkan kehormatan, sementara
rambut merupakan lambang mahkota dan keindahan kepala. Dalam lagu ini, kata gundul
memiliki makna sebuah kehormatan tanpa mahkota.
Pacul atau cangkul adalah sebuah alat pertanian yang melambangkan rakyat kecil yang
kebanyakan adalah petani.
Orang Jawa mengatakan bahwa pacul adalah papat kang ucul (empat yang lepas), dengan
pengertian bahwa kehormatan seseorang sangat bergantung pada bagaimana orang tersebut
menggunakan empat indera: mata, hidung, telinga, dan mulutnya.
Jika empat hal tersebut lepas, maka lepas juga kehormatan orang tersebut.
3. Ilir-Ilir
Tembang Lir-Ilir diciptakan oleh Sunan Kalijaga pada awal abad 16, pada masa runtuhnya
Kerajaan Majapahit dan masuk Islam-nya pada adipati Kadipaten di Majapahit, terutama di
daerah pesisir Pulau Jawa.
Lir-ilir, lir-ilir
Lunyu-lunyu penekno
Dodotiro, dodotiro
Dondomono lumatono
Tembang ini dikenal sebagai tembang dolanan atau lagu daerah Jawa. Liriknya menggunakan
kata-kata perumpaan dan memilki makna yang dalam dan multitafsir. Hal ini mencerminkan
dalamnya ilmu Sunan Kalijaga dalam mendakwahkan agama Islam.
Dengan tembang Lir-Ilir, Sunan Kalijaga mencoba untuk mengajak masyarakat Jawa untuk
memeluk, mengimani, dan mengamalkan agama Islam secara perlahan tanpa membenturkan
tradisi yang sudah lama berkembang.
Upaya Sunan Kalijaga ini tentu mengikuti cara Nabu Muhammad SAW dalam mendakawahkan
agama Islam, yaitu bil hikmah wal mau’idzatil hasanah.
4. Gambang Suling
ki nartosabdo
Ki Narto Sabdo
Swara Suling, atau lebih banyak dikenal dengan judul Gambang Suling, merupakan lagu
daerah Jawa Tengah yang diciptakan oleh Ki Narto Sabdo sebagai ungkapan kekagumannya
dengan alat musik seruling yang menghasilkan suara yang indah.
uuuuniné mung
nreyuhaké ba-
Terjemahan:
Ki Narto Sabdo yang bernama asli Soenarto sendiri merupakan putra dari seorang pengrajin
sarung keris beranam Partinoyo.
Beliau merupakan seorang seniman musik dan dalang wayang kulit legendaris dari Jawa
Tengah, dan dijadikan sebagai sumber referensi oleh dalang-dalang generasi berikutnya.
Dondong Opo Salak merupakan lagu anak-anak yang dipopulerkan oleh Krisbiantoro antara
tahun 1960 hingga 1970-an. Lagu ini menggunakan bahasa yang lugas, tidak berbelit-belit, dan
mudah dipahami secara tekstual, khas lagu anak-anak.
Namun meskipun begitu, lagu ini dapat mengandung makna yang beragam, tergantung pada
siapa yang mendengar dan mengartikannya.
duku cilik-cilik
mlaku thimik-thimik
mundhut oleh-oleh
adi diparingi
Terjemahan:
duku kecil-kecil
jalan pelan-pelan
pergi ke pasar
beli oleh-oleh
6. Cublak-Cublak Suweng
Cublak-Cublak Suweng adalah sebuah lagu yang dinyanyikan dalam sebuah permainan
tradisional bernama Cublak-Cublak Suweng.
Permainan ini biasa dimainkan oleh anak-anak kecil pedesaan atau perkampungan di daerah
Jawa, khususnya Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
cublak-cublak suweng
Permainan ini biasa dimainkan oleh 4 sampai 12 anak. Diawali dengan hompimpa atau
gambreng untuk menentukan siapa yang berperan menjadi Pak Empo. Pak Empo ini kemudian
berbaring telungkup di tengah, sementara anak-anak yang lain duduk melingkarinya.
Kemudian anak-anak yang melingkari Pak Empo tersebut membuka telapak tangan mereka
menghadap ke atas dan diletakkan di atas punggung Pak Empo. Lalu, salah satu dari anak
tersebut menggenggam sebuah biji atau kerikil yang dipindah-pindahkan dari tangan satu ke
tangan lainnya sambil menyanyikan lagu Cublak-Cublak Suweng.
Ketika nyanyian telah sampai pada lirik “…sapa ngguyu ndelikake”, biji atau kerikil tersebut
harus segera disembunyikan dalam genggaman oleh anak yang menerimanya.
Pada akhir lagu, semua anak yang duduk menggenggam kedua tangan masing-masing dan
berpura-pura menyembunyikan biji atau kerikil tersebut sambil menggerak-gerakkan tangan.
Lalu Pak Empo bangun dan menebak di tangan siapa biji/kerikil tersebut disembunyikan. Jika
tebakannya benar, maka anak yang menggenggam biji tersebut harus bergantian menjadi Pak
Empo. Jika salah, Pak Empo kembali berbaring seperti semula dan permainan diulang lagi.
7. Jamuran
Tidak jauh berbeda dengan Cublak-Cublak Suweng, Jamuran juga merupakan lagu yang
dinyanyikan dalam sebuah permainan bernama Jamuran. Permainan ini dapat dimainkan oleh 4
sampai 12 anak yang biasanya dimainkan di waktu sore atau malam saat bulan purnama.
Permainan Jamuran dapat dimainkan oleh anak laki-laki maupun anak perempuan, umumnya
berusia 6 sampai 13 tahun. Permainan ini juga tidak membutuhkan alat apapun, hanya
membutuhkan tanah lapang yang luas.
8. Padhang Wulan
padang wulan
Secara tekstual, lagu ini secara gamblang berisi ajakan untuk meramaikan malam bulan
purnama dengan bermain bersama teman-teman. Namun secara filosofis, lagu ini sebenarnya
mengajak untuk bersyukur kepada Yang Maha Kuasa atas malam yang begitu indah.
Sebagai ungkapan rasa syukur, sang penulis lagu yang belum diketahui secara pasti ini
mengajak untuk tidak tidur terlalu sore, karena untuk menghidupkan malam yang indah itu
dengan ibadah sunnah.
Terjemahan:
Bulannya melambai-lambai
9. Warung Pojok
“Semarang kaline banjir…”, kata itu sangat populer yang bahkan bisa dibilang menjadi
semacam slogan yang akhirnya melekat pada Kota Semarang. Padahal, “Semarang kaline
banjir” merupakan bagian dari lirik lagu Jangkrik Genggong yang dipopulerkan oleh Waldjinah.
Yen ngrujak
Ngrujaka nanas
11. Sekolah
Syair tembang ini begitu indah dan bermakna, pesannya lebih spesifik ditujukan kepada murid
sebagai penuntut ilmu dan guru sebagai pengajar.
Turi-turi melambangkan pitutur atau nasehat. Sedangkan putih mewakili kain kafan dan
melambangkan kematian. Dengan begitu, Turi Turi Putih adalah sebuah nasehat dari seorang
guru kepada murid tentang makna akhir kehidupan atau kematian.
Lagu ini memberikan pesan kepada murid untuk selalu mengikuti apa yang disampaikan guru-
guru berupa nasehat supaya tidak tersesat.
Sementara guru adalah semacam figur yang perilaku dan ucapannya selalu ditiru dan
diteladani, maka seorang guru harusnya lebih menjaga diri dalam perilaku dan ucapannya.
Sunan Kalijaga
Meskipun terkesan seperti lagu anak-anak yang menggunakan bahasa yang sederhana,
rupanya Sluku-Sluku Bathok merupakan salah satu lagu gubahan Sunan Kalijaga dan memiliki
makna yang sangat filosofis.
Sluku-sluku bathok
Bathoke ela-elo
Konon, Sunan Kalijaga memasukkan unsur-unsur nilai agama dalam bentuk lagu anak-anak
yang sederhana agar lebih mudah dihafal dan bertahan lama.
Judul Sluku-Sluku Bathok pun juga dikatakan merupakan serapan dari bahasa Arab, Ghuslu
Ghuslu Bathnaka, yang artinya “Mandikan (Bersihkan) Batinmu”.
15. Sinom
Te kate dipanah
Ibu Pertiwi…
Ibu Pertiwi…
Ibu Pertiwi…
1. Dayung Sampan
Dayung sampan mencari ikan ikan dicari hai nelayan di tengah muara
Kalau tuan mencari makan cari makan jual suara menjual suara
Dayung sampan sampan didayung sampan didayung hai nelayang ke tengah lautan
Kalau tuan mencari jodoh jangan mencari hai nelayan hai nelayan lay lay
Lagu ini merupakan salah satu lagu yang cukup populer bagi masyarakat Banten terutama di
kawasan pesisir. Budaya maritime yang sangat melekat dalam masyarakat Banten seolah
diwakilkan dalam lagu ini. Lirik yang tercantum dalam lagu ini menggambarkan kegiatan
mendayung yang dilakukan oleh masyarakat dalam rangka mencari ikan untuk mencukup
kehidupan sehari-harinya. Selain itu, salah satu aktivitas laut dari Etnis Bantin adalah adanya
hubungan perdagangan yang dilakukan melalui laut.
2. Jereh Bu Guru
Jereh bu guru,
Jereh bu guru,
Jereh bu guru,
Jereh bu guru
3. Tong Sarakah
Lagu Tong Sarakah memiliki arti “Jangan Sarakah” dan merupakan ciptaan dari A.Syahri
Aliman. Lagu ini memiliki pesan moral dan nasehat yang sama dengan judul lagunya yaitu agar
jangan serakah dalam menjalani hidup. Lirik yang rimanya membentuk sebuah pantun ini
seolah mengingatkan kita agar senantiasa ingat akan kehidupan akhirat.
4. Ibu
Sekabeh menuse
Sekabeh menuse
Lagu yang juga diciptakan oleh A.Syahri Aliman ini mengisahkan perjuangan seorang ibu yang
begitu luar biasa ketika melahirkan, membesarkan, dan merawat anak-anaknya. Lirik yang
terdapat di dalamnya mengandung pesan moral dan nasehat agar setiap anak selalu patuh dan
taat terhadap perintah ibunya selama itu dalam hal kebaikan.
5. Yu Ragem Belajar
Lagu ini juga sarat akan makna dan pesan moral yang sangat bagus untuk anak-anak. Lagu
yang dinyanyikan dengan tempo lambat ini biasa dinyanyikan oleh para orang tua ketika
anaknya hendak beranjak tidur. Lagu ini menjadi hiburan malam bagi anak-anak Banten tempo
dulu. Nasehat yang terdapat di dalam lirik lagu ini adalah agar anak-anak rajin belajar supaya
pintar dan tidak menjadi orang yang bodoh.
Dijugjug parawisata
Datang ti mancanagara
Ombak nu paudag-udag
7. Uti-Uti Uri
Pangeunah-ngeunah amat
Hey!
Sekali dei
Hey!
Sekali dei
8. Ule-Ule Kelabang
Ule-ule kelabang
Gurite! Gurite!
Syair merupakan salah satu bentuk puisi lama yang kini sudah tak banyak berkembang dalam
masyarakat Nusantara dewasa ini. Padahal, di zaman dulu syair memegang peranan penting
dalam penyebaran Agama Islam, termasuk dalam hal pembentukan karakter bangsa Indonesia
dengan menyisipkan pesan-pesan keagamaan dan kehidupan di dalamnya.
Nyaris di setiap daerah menyadur syair yang berasal dari kebudayaan Arab dengan cara dan
bahasanya masing-masing. Dalam kebudayaan Sunda, syair banyak disenandungkan
menggunakan langgam sehingga dapat lebih mudah diingat.
Cemore adalah singkatan dari “Cerdas, Modern, dan Religius”. Lagu ini berasal dari daerah
Tangerang Selatan dengan menggunakan bahasa Betawi Ora, yaitu bahasa campuran budaya
Cina, Betawi, dan Sunda.
Lagu Cemore memiliki makna sabagi cerminan sebuah masyarakat dengan latar belakang yang
berbeda-beda namun mampu mewujudkan sebuah tatanan sosial yang harmonis. Lagu ini
memberikan pesan kepada masyarakat Tangerang Selatan yang multi etnis ini agar lebih
memahami serta menggugah hati dan pikiran untuk terus melestarikan budaya dan nilai seni
warisan nenek moyang.
Lagu ini diciptakan oleh Mpok Yupi yang terinspirasi dari permainan anak-anak Betawi zaman
dulu, Deng en Dengan, serta lagu permainan anak-anak Sunda, Cang Uncang Nggae, yang
diaransemen ulang sehingga terdengar lebih modern dan ceria.
Deng en dengan sirih sampan berduri duri
Jawa Barat
1. Cing Cangkeling
Cing Cangkeling adalah sejenis lagu permainan Sunda yang biasanya dilakukan oleh anak-
anak untuk berhitung sebelum permainan kucing-kucingan atau permainan sentuh berlarian.
Secara sekilas, mungkin lagu ini seperti tidak ada maknanya. Namun ternyata, syair dalam lagu
ini memiliki makna tersirat yang cukup dalam.
Lagu ini seperti menggambarkan perasaan atau isi hati manusia yang diibaratkan dengan
seekor burung yang beterbangan kesana dan kemari. Seperti layaknya burung, hati manusia
juga penuh dengan kegoyahan dan berpindah-pindah.
Hati yang baik adalah hati yang tenang, tetap, dan tidak gampang goyah atau teguh pendirian.
Dengan hati yang seperti itu, tentu akan menumbuhkan kedamaian serta menuntun si pemilik
hati di atas jalan yang benar.
2. Bubuy Bulan
Bubuy Bulan merupakan salah satu lagu daerah Jawa Barat yang diciptakan oleh Benny Corda
dengan menggunakan Bahasa Sunda. Lagu ini sangat familiar di kalangan masyarakat Sunda,
yang bahkan sering diajarkan di sekolah-sekolah dasar hingga menengah atas.
Bubuy bulan
Panon poé
Unggal bulan
Unggal poé
Situ Ciburuy
Nyérédét haté
Nyérédét haté
Memepes bulan
Matahari
matahari disate
Setiap bulan
Setiap hari
Danau Ciburuy
Bergetar hati
Bergetar hati
Bubuy Bulan merupakan lagu percintaan yang menceritakan tentang seseorang yang sedang
merindu kekasihnya yang berada di tempat yang jauh. Ia selalu berharap agar kekasihnya
dapat pulang dan menemuinya sesering mungkin untuk mengobati kerinduannya.
Namun kerinduannya itu semakin bertambah ketika ia seringkali melihat seseorang melewati
depan rumahnya setiap pagi, dan orang tersebut seperti mengingatkannya kepada kekasihnya
karena memiliki sorot mata yang mirip.
Tokecang (Tokécang) adalah salah satu lagu daerah Jawa Barat yang juga sangat populer di
kalangan masyarakat Sunda, bahkan juga terkenal di luar lingkup masyarakat Sunda. Lagu ini
juga sempat beberapa kali diaransemen dengan musik pop sehingga lebih mudah diterima di
masyarakat secara luas.
Tokecang juga tergolong salah satu lagu daerah yang paling terkenal di Indonesia yang bahkan
sempat dijadikan sebagai soundtrack dalam sinetron anak-anak di televisi. Banyak orang
menyukai lagu ini, dari anak-anak hingga dewasa, karena memiliki irama yang riang, bertempo
cepat, dan dengan lirik lagu yang jenaka.
Dalam tradisinya, Tokecang tergolong dalam jenis lagu permainan, biasanya dinyanyikan oleh
anak-anak dengan berpasang-pasangan, saling berhadapan, dan saling berpegangan tangan.
Ketika tengah menyanyikan lagu ini, pasangan tadi kemudian berbalik sembari memutarkan
tangannya sehingga jadi saling membelakangi.
Biasanya, permainan ini dilakukan ketika sedang menunggu sesuatu, baik dalam bentuk benda
maupun manusia. Tujuannya untuk menghilangkan rasa bosan karena menunggu terlalu lama,
sehingga mengisi waktu dengan hiburan.
sambas mangundikarta
Sapu Nyere Pegat Simpay tergolong dalam lagu wajib atau lagu daerah dari Jawa Barat yang
diciptakan oleh Sambas Mangundikarta, seorang penyiar sekaligus pencipta lagu dari Bandung.
Tidak banyak informasi tentang lagu ini yang kami dapatkan, selain lirik dan terjemahan di
bawah ini.
Meungpeung deukut,
Hayu urang sosonoan..
Terjemahan:
Manuk Dadali masih dikategorikan sebagai lagu daerah yang berasal dari Jawa Barat, yang
juga diciptakan oleh Sambas Mangundikarta. Manuk Dadali yang artinya Burung Garuda, sudah
tampak jelas bahwa lagu ini sangat bernafaskan nasionalisme yang melukiskan keperkasaan
burung garuda sebagai lambang dari kejayaan Indonesia.
7. Anjeun
Anu heman tur daria, anu jangji satia ngan ukur anjeun
Peuyeum Bandung merupakan sebuah judul lagu yang menceritakan kemasyhuran peuyeum
sebagai makanan khas Bandung yang terkenal karena kenikmatannya. Lagu ini diciptakan oleh
Sambas Mangundikarta dan dipopulerkan oleh Nining Maida, seorang penyanyi pop-Sunda
tahun 1980-an.
Dimana-mana
Di kampung di kota
Tos kakoncara
Ku nikmat rasana
Sampeu asalna
Teu direka-reka
Naon namina
Ku sadaya kagaleuh
Sepuh jeung murangkalih
Mangga cobian
Bilih panasaran
Peuyeum ti Bandung
Henteu sambarangan
Terjemahan
Di mana-mana
Di kampung di kota
Sudah terkenal
Tak direka-reka
Apa namanya
Silakan dicoba
Kalau-kalau panasaran
Tidak sembarangan
Berbicara soal peuyeum Bandung, peuyeum merupakan makanan khas Bandung yang sangat
terkenal dan menjadi salah satu makanan yang banyak diburu oleh para wisatawan. Kalau
dalam Bahasa Indonesia, peuyeum biasa disebut sampe atau tapai (tape).
Dalam pembuatannya, peuyeum dibuat dari olahan singkong yang direbus, lalu diberi ragi, dan
dibiarkan selama beberapa hari. Karena ke-khas-an makanan ini, seorang seniman, Sambas
Mangundikarta, sampai menciptakan sebuah lagu yang diberi judul Peuyeum Bandung.
9. Mojang Priangan
nano suratno
Nano Suratno /Pikiran Rakyat
Dalam Basaha Indonesia, Mojang Priangan dapat diartikan “Gadis Priangan” atau “Gadis
Bandung”. Ada dua nama yang dinisbatkan sebagai pencipta lagu ini, antara Iyar Wiarsih dan
Nano Suratno, entah siapa yang sebenarnya menciptakan lagu ini.
Angkat ngagandeuang
Mojang priangan
Umat-imut lucu
Sura-seuri nyari
Larak-lirik keupat
Mojang Priangan …
Diraksukan kabaya
Nambihan cahayana
Dangdosan sederhana
Mojang priangan
Mojang Priangan
Gareulis maranis
Disinjang lalenjang
Mojang Priangan …
Digigirna ge lenggik
Dihareupna ge sieup
Ditukangna lenjang
Mojang Priangan
Diraksukan kabaya
Nambihan cahayana
Dangdosan sederhana
Mojang priangan
Mojang Priangan
kosaman djaja
Bajing Luncat merupakan salah satu lagu daerah Jawa Barat ciptaan seorang komposer Sunda
yang terkenal, Kosaman Djaja. Dalam Bahasa Indonesia, Bajing Luncat dapat diartikan dengan
“Tupai Loncat”.
Ka astana aduh
Teu ti anggalna
Ka astana ieuh
Teu ti anggalna
luas pisan
Teu hawatos
Lagu ini berkisah tentang seorang lelaki yang tengah kecewa karena wanita pujaan hatinya
yang selama ini telah memegang janji, namun sebentar lagi akan bersanding dengan lelaki lain.
Ia menyesal kenapa tidak dari dulu ia melamar wanita pujaannya tersebut. Ia juga kecewa
karena wanita-nya tidak mau menunggunya, namun malah bersanding dengan lelaki lain.
Warung Pojok merupakan lagu daerah Jawa Barat yang diciptakan oleh seorang maestro
tarling asal Cirebon, H. Abdul Adjib. Lagu ini memang sangat terkenal di kalangan lagu tarling
yang tentu sudah tak asing lagi bagi para pecinta lagu daerah, khususnya Jawa Barat. Saking
familiarnya, lagu ini juga banyak diajarkan di sekolah-sekolah dalam mata pelajaran seni dan
kebudayaan.
Karena karya-karyanya yang luar biasa, H. Abdul Adjib juga pernah memperoleh penghargaan
di bidang seni dari Gubernur Jawa Baratmasa itu, tahun 2004.
Panon Hideung merupakan lagu daerah ciptaan komposer nasional asal Betawi, Ismail Marzuki
di tahun 1936-1937. Oleh Marzuki, lagu ini diadaptasi dari lagu Ochi Chernye asal Russia dan
menjadi penonggak kemunculan musik pop-Sunda pertama, meskipun nadanya diambil dari
lagu luar negeri.
Panon Hideung sendiri menceritakan tentang sosok Miss Eulis, mojang Parahiyangan berdarah
Sunda-Arab yang membuat Ismail Marzuki jatuh cinta. Ia melukiskan sosok Miss Eulis dengan
mata hitam yang indah, hidung macung, dan kulit kuning langsat.
Teuemut dahar
Teuemut nginum
Panon Hideung
Terjemahan:
Lupa makan
Lupa minum
Mata hitam
koko koswara
Sabilulungan..persatuan tembong
Tohaga rohaka
Satia…sajiwa
Sabilulungan…silih pikaheman
Sabilulungan..nulung tinulungan
Sabilulungan..kukuh persatuan
Santosa samapta
Saihwan sapaham
Sabilulungan..persatuan tembong
Lagu Sabilulungan sendiri diciptakan oleh seorang seniman Sunda bernama Koko Koswara,
atau yang biasa dipanggil dengan nama Mang Koko. Lewat lirik lagu tersebut, tersirat makna
bahwa kebersamaan dan persatuan yang telah menjadi simbol bangsa Indonesia ini merupakan
hal yang semestinya wajib dijaga dan dilestarikan.
Tanah Sunda merupakan lagu daerah Jawa Barat ciptaan Mang Koko (Koko Koswara) yang
juga dikembangkan di Kabupaten Majalengka. inti dari lagu ini menceritakan tentang kekayaan
Tanah Sunda dan nasihat kepada masyarakat untuk senantiasa merawatnya dengan baik.
Seweh pajajaran
Lagu ini rupanya memiliki banyak fungsi sekaligus yang terbagi menjadi: fungsi individu, fungsi
hiburan, sekaligus fungsi pendidikan. Sebagai individu, Mang Koko Koswara lewat lagu ini ingin
menyampaikan isi hatinya kepada masyarakat untuk senantiasa merawat tanah pusaka Sunda
ini.
Sebagai media hiburan, Tanah Sunda di masanya juga sering disiarkan di banyak stasiun radio
Sunda seperti: Duta FM, Angkasa FM, Raka FM, dan sebagainya. Selain itu, lagu ini juga
digunakan sebagai lagu penyambut tamu, agar para tamu terpukau dengan kekayaan Tanah
Sunda beserta keseniannya.
Terakhir sebagai media pendidikan, lagu Tanah Sunda juga mengandung pesan moral berupa
kewajiban dan kecintaan terhadap Tanah Padjadjaran.
Dangiang Sumedang tandang ngahudag galura juang Insun medal jati diri walagri pangeusi
nagri Natar gelar nutur galur luluhur ti dayeuh luhur Tampomas cadas pangeran jadi tangtung
kateguhan Sumedang tandang, tartib aman nyambuang dangian Sumedang tandang, torta
gawe udagan nanjung gumilang Sumedang, Sumedang, Sumedang tandang
Dangiang Sumedang tandang ngahudag galura juang Insun medal di…ri… walagri pangeusi
nagri Natar gelar nutur galur luluhur dayeuh luhur Luluhur dayeuh luhur Ja…lan.. tangtung ka
teguhan, kateguhan tangtungan Sumedang tandang tartib aman nyambuang dangiang Sing
nyambuang dangiang Sumedang tandang, la..na..ma..jang.. Mangka lana mangka manjang
mangka nanjung Mangkalangan, narawangan keur Sumedang tandang
Tandang juang,galura juang Insun diri walagri pangeusi nagri Natar gelar nutur galur luluhur
dayeuh luhur Luluhur dayeuh luhur ja..lan.. tangtung kateguhan,kateguhan tangtungan
Sumedang tandang, a..man dangiangan sing nyambuang dangiang Sumedang
tandang,la..na..man..jang.. Mangka lana mangka manjang mangka nanjung Mangkalangan,
narawangan keur Sumedang tandang
19. Sasalimpetan
Sasalimpetan adalah lagu permainan Sunda yang dinyanyikan oleh anak-anak ketika
memainkan permainan Sasalimpetan.
Sasalimpetan
Saha nu panjang
Pim Pom Pilem merupakan lagu permainan Sunda yang biasa dinyanyikan oleh anak-anak
untuk mengundi sesuatu. Dalam permainannya, akan ditunjuk salah seorang anak menjadi
semacam pemimpin. Pemimpin yang telah ditunjuk ini lalu mengepalkan tangan kirinya
kemudian diletakkan di tengah kumpulan.
Anak-anak yang lain kemudian menirukan si pemimpin tadi mengepalkan tangan kanannya
masing-masing dan meletakkannya di tengah kumpulan. Lalu, si pemimpin meletakkan
tangannya lagi ke kepalan tangan-tangan yang lain sambil menyanyikan lagu Pim Pom Pilem
bersama-sama.
Parahuna tiguling