Anda di halaman 1dari 15

KEBUDAYAAN SUKU WAIGEO (PULAU RAJA AMPAT)

Di Susun Oleh: Firdaniati Galih Arnu Prabowo Hana Olivia.S.Silaen Jesica Baby Tamara Lyta Qodrine

Peralatan dan Perlengkapan hidup manusia


KOTEKA
Koteka adalah pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki dalam budaya sebagian penduduk asli Pulau Papua. Koteka terbuat dari kulit labu air, Lagenaria siceraria. Isi dan, biji labu tua dikeluarkan dan kulitnya dijemur . secara harfiah, kata ini bermakna pakaian ,berasal dari bahasa salah satu suku di Paniai. Sebagian suku pegunungan Jayawijaya menyebutnya holim atau horim. Namun demikian, setiap suku memiliki perbedaan bentuk koteka. Orang Yali, misalnya, menyukai bentuk labu yang panjang. Sedangkan orang Tiom biasanya memakai dua labu. Seiring waktu, koteka semakin kurang populer dipakai sehari-hari. Koteka dilarang dikenakan dikendaraan umum dan sekolah-sekolah. Kalaupun ada, koteka hanya untuk diperjual belikan sebagai cendramata.

PISAU BELATI Salah satu senjata tradisional di Papua adalah Pisau Belati. Senjata ini terbuat dari tulang kaki burung kasuari dan bulunya menghiasi hulu belati tersebut. Senjata utama penduduk asli Papua lainnya adalah Busur dan Panah. Busur tersebut dari bambu atau kayu, sedangkan tali busur dari rotan. Anak panahnya terbuat dari bambu, kayu atau tulang kangguru. MAKANAN Masyarakat asli kepulauan Waigeo adalah etnis Suku Biak, Maya, Ondoloren bermukim. Sebagian besar penduduk asli Raja Ampat adalah masyarakat subsistem yang hidup sederhana, tradisional dengan target hanya sebatas mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Di daerah ini pula ada tradisi makan biji buah pinang untuk mempererat persaudaraan seperti lazimnya daerah lain di Indonesia.

Perumahan
Rumah mereka unik dibangun diatas pohon dengan ketinggian 10-30 meter dari permukaan tanah. Alasan dibangun seperti itu adalah untuk menghidari dari binatang buas juga serangan-serangan dari suku lain dahulunya. Rumah ini di bangun dengan susunan kayukayu dengan ikatan rotan, dan dinding dengan bilahan bamboo juga kulit kayu. Dan atap rumah mereka menggunakan daun sagu. Untuk menaiki rumah menggunakan tangga yang lurus terbuat dari batang batang kayu.

Mata Pencarian Hidup


Sistem mata pencaharian Sebagai penduduk yang mendiami wilayah kepulauan yang sebagian besar wilayahnya adalah perairan laut, maka sumber mata pencaharian utama mayoritas 80% masyarakat Raja Ampat adalah dengan mengolah berbagai sumber daya alam yang berasal dari laut seperti nelayan, pembuat ikan asin, pencari rumput laut, atau sebagai penyedia jasa transportasi laut antar pulau dll.

Sistem Kemasyarakat
Sistem kekerabatan Suku Matbat merupakan suku yang ada di Kepulauan Raja Ampat yang dapat kita jumpai di Kampung Magey, Kampung Lenmalas, Kampung Salafen, Kampung Atkari, Kampung Folley, Kampung Tomolol, Kampung Kapatcool dan Kampung Aduwei. Selain Suku Matbat kita juga dapat menjumpai suku-suku lainnya. Di Pulau Salwati misalnya terdapat Suku Moi ( Moi-Maya), Suku Fiat , Suku Tepin, Suku Waili, Suku Domu, dan Suku Butlih. Di Pulau Waigeo terdapat Suku Laganyan, Suku Waiyai, Suku Kawe, Suku Ambel, Suku Biak, dan suku- suku lain seperti Suku Bugis dan Buton.Disinilah suku-suku yang tinggal di Kepulauan Raja Ampat secara bersama membuat kesepakatan untuk menjaga kelestarian lingkungan laut. Bahwasannya di dunia modern saat ini masalah lingkungan menjadi sebuah perbincangan dan masalah serius bagi dunia namun suku-suku petinggal di Raja Ampat sudah menyikapinya dari sejak dahulu. Sebab alam yang memberi berkah bagi mereka maka mereka patut pula menjaganya.Kesepakatan berupa adat istiadat setempat itu di kenal dengan istilah Sasi atau Samsom. Secara harfiah Samsom dalam bahasa Suku Matbat yang berarti larangan. Tradisi Samsom merupakan sebuah aturan bersama bahwa masyarakatnya dilarang mengganggu satu wilayah dalam kurun waku tertentu. Ritual Samsom dilaksanakan setahun sekali selama kurun waktu enam hingga tujuh bulan lamanya. Ritual Samsom ini di pimpin oleh tokoh masyarakat yang disebut Mirinyo.

Mantra-mantra dibacakan saat matahari terbit, Mirinyo berdiri di depan kampung dan menghadap laut lalu menancapkan tanda larangan yang disebut Gasamsom. Tanda larangannya berupa batang pohon salam yang daunnya di pangkas. Cabang dan rantingnya dibiarkan utuh untuk menggantungkan sesajen seperti Sababete berupa rokok, pinang, tembakau, dan carik-carik kain bewarna merah. Mirinyo juga menancapkan dua buah Gasamsom pada ujung-ujung kampung dan semuanya menghadap ke laut. Disaat itulah larangan berlaku dan setiap penduduk asli ataupun pendatang dilarang untuk mengambil hasil laut hingga Sasi atau Samsom selesai. Untuk yang melanggar aturan, jika dahulu diberikan hukuman berupa cambuk dan pasung, namun saat ini diganti dengan pekerjaan-pekerjan yang bermanfaat untuk kepentingan sosial.Dalam tradisi Samsom tidak adanya pengawasan oleh pemerintahan adat hanya saja ini merupakan menjadi tanggung jawab seluruh warga. Dengan maksud bagi warga yang melihat pelanggaran wajib melaporkan kepada pemimpin adat.

Bahasa
Penyebaran Bahasa-Bahasa di Raja Ampat
1. Bahasa Maya; yaitu bahasa yang digunakan oleh masyarakat suku Wawiyai (Teluk Kabui), suku Laganyan (Kampung Araway, Beo dan Lopintol) dan suku Kawe (Kampung Selpele, Salio, Bianci dan Waisilip). Mereka menggunakan satu bahasa yang terdiri dari beberapa dialek, yaitu dialek Wawiyai, Laganyan, dan Kawe. 2. Bahasa Ambel (-Waren); yaitu bahasa yang digunakan oleh penduduk yang mendiami beberapa kampung di timur Teluk Mayalibit, seperti Warsamdin, Kalitoko, Wairemak, Waifoi, Go, dan Kabilol, serta Kabare dan Kapadiri di Waigeo Utara. 3. Bahasa Batanta. Bahasa ini digunakan oleh masyarakat yang mendiami sebelah selatan Pulau Batanta, yaitu penduduk Kampung Wailebet dan Kampung Yenanas. 4. Bahasa Tepin. Bahasa ini digunakan oleh penduduk di sebelah utara ke arah timur Pulau Salawati, yaitu penduduk di Kampung Kalyam, Solol, Kapatlap, dan Samate, dengan beberapa dialek yaitu, dialek Kalyam Solol, Kapatlap dan Samate.

5. Bahasa Moi. Bahasa ini adalah bahasa yang digunakan oleh penduduk

di Kampung Kalobo, Sakabu, dan sebagian Kampung Samate. Bahasa Moi yang dipakai di Salawati merupakan satu dialek bahasa Moi yang berasal dari daratan besar sebelah barat wilayah Kepala Burung, yang berbatasan langsung dengan Selat Sele. 6. Bahasa Matbat. Istilah Matbat merupakan nama yang diberikan untuk mengidentifikasikan penduduk dan bahasa asli Pulau Misool. Orang asli Misool disebut orang Matbat dan bahasa mereka disebut bahasa Matbat. Penduduk yang merupakan penutur asli bahasa Matbat ini tersebar di Kampung Salafen, Lenmalas, Atkari, Folley, Tomolol, Kapatcool, Aduwei, dan Magey. 7. Bahasa Misool. Sebutan ini diberikan oleh penduduk Misool yang berbahasa Misool sendiri. Bahasa Misool ini berbeda sekali dengan bahasa Matbat. Orang yang menggunakan bahasa Misool ini dipanggil dengan sebutan Matlou oleh orang Matbat, yang berarti orang pantai. Orang Misool yang menggunakan bahasa Misool pada umumnya beragama Islam, yang tersebar di Kampung Waigama, Fafanlap, Gamta,Lilinta, Yelu, Usaha Jaya, dan Harapan Jaya. Bahasa ini juga digunakan oleh beberapa kampung Islam di Salawati seperti Sailolof kampung Islam, dan Samate.

8. Bahasa Biga. Bahasa ini adalah salah satu bahasa migrasi yang berada di sebelah tenggara Pulau Misool, yang digunakan oleh penduduk yang mendiami Kampung Biga di tepi Sungai Biga (Distrik Misool Timur Selatan). Penduduk dan bahasa ini diperkirakan bermigrasi dari Pulau Waigeo, yaitu dari Kampung Kabilol, yang berbahasa Ambel. Peneliti perlu mengadakan penelitian lanjutan untuk mengetahui apakah bahasa Biga memiliki kemiripan dengan bahasa Ambel. 9. Bahasa Biak. Bahasa Biak di Raja Ampat merupakan bahasa yang bermigrasi dari Pulau Biak dan Numfor bersamaan dengan penyebaran orang Biak ke Raja Ampat. Bahasa Biak ini dibagi menjadi beberapa dialek, yaitu Biak Beteu (Beser), Biak Wardo, Biak Usba, Biak Kafdaron, dan Biak Numfor. 10. Bahasa-bahasa lain. Dengan arus migrasi penduduk dari Kepulauan Maluku dan wilayah bagian barat lainnya, maka terdapat juga beberapa bahasa yang dipakai oleh penduduk pendatang di Raja Ampat seperti bahasa Ternate, Seram, Tobelo, Bugis, Buton, dan Jawa. Bahasa-bahasa ini merupakan bahasa-bahasa minoritas karena penuturnya tidak terlalu banyak.

11. Sejarah Raja Ampat menunjukan bahwa bahasa Biak dan Melayu telah lama digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari antar suku di Raja Ampat, terutama di bagian utara wilayah Raja Ampat. Penggunaan bahasa Biak sebagai bahasa komunikasi sehari-hari (lingua franca) di kawasan ini ditunjang dengan penyebaran suku dan bahasa Biak yang dominan di wilayah pesisir dan pulau-pulau dari Pulau Waigeo di utara sampai ke Pulau Salawati dan Kofiau di selatan. Sedangkan bahasa Melayu Papua merupakan bahasa komunikasi yang paling umum dipakai dalam aktifitas setiap hari di wilayah Raja Ampat.
12. Dalam sejarah peradaban di Raja Ampat, bahasa Melayu Papua memainkan peran bukan saja sebagai bahasa pengantar yang digunakan setiap saat, tetapi juga untuk mempererat hubungan antar semua kelompok suku dan juga sebagai bahasa komunikasi dengan kelompok suku di wilayah lain di luar Raja Ampat. Sampai sekarang kedua bahasa ini masih digunakan sebagai lingua franca, meskipun bahasa Melayu Papua sangat dominan dibandingkan dengan bahasa Biak.

Kesenian
Raja Ampat memiliki kebudayaan dan kesenian yang berbeda dengan masyarakat yang hidup di wilayah tengah dan timur Papua. Kebudayaan maupun kesenian yang hidup di wilayah ini adalah hasil paduan antara kebudayaan Papua dan Islam dari Maluku utara. Semua itu terrepresentasikan dalam sejumlah tarian seperti, tari Mapia, Mambefor, Wor, prosesi pengangkatan raja, Wor Yeknan, dan atraksi budaya lainnya.
Tari Mapia Tari Mambefor Tari Wor

Sistem Pengetahuan
Ini merupakan Kepulauan yang ajaib di mana suku suku petinggalnya mampu menyerap sistem pengetahuan modern secara cepat juga mampu dalam mempertahankan adat istiadat setempat. Di situlah perubahan demi perubahan terjadi tanpa harus meninggalkan identitas diri. Sebuah sistem konservasi alam yang di kenal dengan Sasi atau Samsom memiliki andil besar terhadap pelestarian alam di segitiga koral yang menjadi jantung kekayaan terumbu karang dunia yaitu Raja Ampat, dengan tradisi ini sehingga keberadaan populasi biota laut dapat terjaga dan tetap lestari. Budaya yang dibangun dari kearifan lokal kampung-kampung kecil di Kepulauan Raja Ampat patut di lestarikan!

Sistem Kepercayaan
Mayoritas penduduk di Raja Ampat memeluk agama islam dan juga kristen. Seringkali pada satu keluarga ataupun satu marga terdapat anggota keluarga yang memeluk salah satu agama dari dua agama tersebut. Hal tersebut tetap membuat penduduk Kepulauan Raja Ampat tetap saling menghormati satu sama lain sehingga tetap rukun walaupun berbeda keyakinan.

Anda mungkin juga menyukai