Anda di halaman 1dari 17

Adili Soeharto dan Kroninya

TAP MPR RI No.XI/MPR RI/1998 Pasal 4


Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap
siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun
pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan
prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.

Latar Belakang
Rezim orde baru Soeharto dalam sejarah telah bercokol di Indonesia selama 32 tahun
dengan corak pemerintahan otoriter yang represif dan sarat akan korupsi di lingkaran kroni
dengan Soeharto sebagai pusatnya. Selama itu pula rakyat Indonesia menderita dirampas
secara ekonomi dan dikekang dengan represifitas yang dilaksanakan hingga melakukan
kejahatan kemanusiaan. Semua kegelisahan akibat penderitaaan rakyat itu pun meledak di
tahun 1998 lewat gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa dengan momentum krisis
moneter, sehingga muncul enam tuntutan reformasi yang salah satunya adalah adili Soeharto
dan kroni-kroninya.1
Pelanggaran HAM dan dugaan korupsi adalah dua pelanggaran yang dilakukan oleh
Soeharto dan kroni-kroninya saat era pemerintahannya. Sayangnya selama masa
pemerintahan pasca Soeharto belum pernah ada pengadilan atas pelanggaran HAM. Selama
Soeharto masih hidup, pengadilan hanya sampai pada usaha mengadili Soeharto yang
menyebabkan kebangkrutan ekonomi Indonesia atas tindakan korupsi yang dilakukan
Soeharto dan kroni-kroninya. Proses pengadilan juga tidak diselesaikan karena alasan sakit
sampai Soeharto wafat. Sedangkan pengadilan belum pernah menyentuh kejahatan
kemanusiaan Soeharto dan Orde Baru, dan para pelakunya malah mendapatkan impunitas.
Impunitas itu masih dinikmati oleh kroni-kroni Soeharto hingga saat ini. Presiden Jokowi
bahkan mengangkat sejumlah perwira yang berada dibalik kejahatan kemanusiaan Orde Baru
seperti Hendropriyono dan Wiranto masuk dalam jajaran pejabat Negara.2 Commented [HK1]: Sip, ini udah cukup. Ada sumbernya
kan?

Dugaan Korupsi Soeharto dan Historiografi


Yayasan-yayasan yang diketuai Soeharto, yaitu Yayasan Trikora, Yayasan Amal
Bhakti Muslum Pancasila, Yayasan Dana Gotong Rotong Kemanusiaan, Yayasan
Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Sejahtera Mandiri
dan Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab) menjadi pusat kasus korupsi Soeharto
seiring dengan penggunaan uang negara oleh 7 yayasan tersebut. Soeharto mengeluarkan
Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995 yang mengimbau para pengusaha untuk
menyumbang 2 persen dari keuntungan usaha untuk Yayasan Dana Mandiri. Penyidikan
tujuh yayasan Soeharto menghasilkan 2000-an halaman berkas yang berisi pemeriksaan 134
saksi fakta, 9 saksi ahli, dan ratusan dokumen otentik hasil penyitaan oleh tim bentukan
Kejaksaan Agung sejak tahun 1999.
Antara tahun 1996 dan 1998 terdapat 400 miliar rupiah mengalir dari kas negara ke
Yayasan Dana Mandiri yang berasal dari pos bantuan presiden dan pos Dana Reboisasi
1
Prasisko, Yongki Gigih. “Gerakan Sosial Baru Indonesia: Reformasi 1998 dan Proses Demokratisasi Indonesia”.
Jurnal Pemikiran Sosiologi Vol. 3 No. 2, Agustus 2016. hlm. 2
2
3 Tahun Jokowi-JK Jalankan Amanat Reformasi (http://www.ylbhi.or.id/2017/10/3-tahun-jokowi-jk-jalankan-
amanat-reformasi) – Ylbhi.or.id, Sabtu, 13/01/2018
Departemen Kehutanan. Haryono Suryono, yang pada saat itu menjababat sebagai Menteri
Negara Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluargan Berencana Nasional
membelokkan dana itu untuk yayasan. Fakta ini diungkap pada berkas kasus Soeharto. Saat
itu dia juga menjabat sebagai wakil ketua Yayasan Dana Mandiri. Antara 1996-1997,
Bendahara Yayasan Dana Mandiri, Bambang Trihatmodjo bersama Haryono, memindahkan
dana Rp 400 miliar tersebut dari yayasan ke dua bank pribadinya, Bank Alfa dan Bank
Andromeda, dalam bentuk deposito. Dari berkas penyidikan Soeharto, Bob Hasan diduga
merugikan negara hingga Rp 3,3 triliun, kerugian terbesar keuangan negara. Ali Affandi,
Sekretaris Yayasan Supersemar, menguatkan dugaan ini saat dimintai keterangannya sebagai
saksi kasus Soeharto. Ali mengatakan Yayasan Dharmais, Dakab dan Yayasan Supersemar
menanam saham di 27 perusahaan Grub Nusamba kepunyaan Bob Hasan. Saham yang
ditanam mengatasnamakan Bob Hasan pribadi dan bukan atas nama yayasan. Putra bungsu
Soeharto, Hutomo Mandala Putra bersama Tinton Suprapto menggunakan nama Yayasan
Supersemar untuk meraih 144 hektare lahan di Citereup, Bogor yang seharusnya
dimanfaatkan untuk pembangunan Sirkuit Sentul. Hal yang sama pernah dicoba oleh Tommy
dan Tintn melalu Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tapi gagal.3
Sejak semangat reformasi muncul di tengah masyarakat, sudah besar keinginan untuk
mengadili Soeharto dan kroni-kroninya untuk kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Dua
puluh tahun dan empat presiden kemudian, penyelesaian peradilan belum juga menemui titik
terang. Menurut Kemeneterian Sekretariat Negara (2008), saat masa Presiden BJ Habibie
kasus ini diusut oleh Jaksa Agung Andi Ghalib yang melakukan pencarian terjadap harta
Soeharto hingga ke Swiss. Sayangya, tidak berhasilnya penyidikan menyebabkan keluarnya
Surat Penghentian Penyidikan (SP3) pada 11 Oktober 1999. Gus Dur, presiden setelah BJ
Habibie, menunjuk Marzuki Darusman sebagai Jaksa Agung untuk melanjutkan penyidikan.
Sayangnya, majelis hakim Pengadilan Neggeri Jakarta Selatan menyatakan kasus tidak bisa
dilanjutkan dan akhirnya diberhentikan pada 29 September 2000. Berikutnya di era
Megawati, pengadilan Soeharto diam tidak bergerak. Banyaknya tekanan dan keinginan
masyarakat untuk mengadili Soeharto dan kroni-kroninya yang selama ini tidak
menghasilkan hasil yang memuaskan menyebabkan dideklarasikannya dan dibentuknya
Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (Gemas) pada tahun 2006.
Di saat ppemerintahan SBY, penyidikan korupsi Soeharto kembali dibukan dengan
Abdul Rahman Saleh sebagai Jaksa Agung. Sayangnya, pada 11 Mei 2006 Kejaksaan Agung
malah mengeluartkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara (SK3P) pengadilan
Soeharto dengan alasan kesehatan. Soeharto yang sakit permanen dijadikan pertimbangan
oleh Kejagung bahwa pengusutan tidak mungkin diteruskan. Pada 12 Juni 2006 SK3P ditlak
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena dinilai tidak sah secara hukum. Alasannya
karena untuk menutup perkara demi hukum SD terdakwa harus meninggal dunia, diadili
untuk dakwaan yang sama atau kasus tersebut telah kadaluarsa, sesuai dengan Pasal 140
KUHAP. PN Jakarta Selatan menilai tuntutan terhadap Soeharto harus diteruskan.
Via Jaksa Agung yang baru, Hendarman Supandji, pengusutan kasus Soeharto
dimulai lagi lewat jalur perdata pada 9 Agustus 2007 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Kejagung menggugat perdata Soeharto dan Yayasan Supersemar karena perbuatan melawan
hukum. Soeharto dan yayasannya dinilai menyalahgunakan dana dengan menyediakan
pinjaman dan pemberian modal ke berbagai perusahaan. Kejagung menuntut ganti rugi 240
juta US$ dan Rp 185 miliar untuk kerugian materiil dan Rp 10 trilin untuk kerugian
immateril.

3
Kronologi Kasus Dugaan Korupsi Soeharto
(http://www.tempointeraktif.com/hg/timeline/2004/05/31/tml,20040531-01,id.html) -
Tempointeraktif.com, Senin, 31 Mei 2004
Pembacaan putusan pada 27 Maret 2008 menyatakan bahwa Soeharto tidak bersalah
dalam kasus penyelewaengan dana Yayasan Supersemar yang merugikan negara. Hanya
Yayasan Supersemar yang dijatuhkan vonis bersalah oleh Hakim PN Jakarta Selatan.
Yayasan Supersemar juga hanya dihukum memberikan ganti rugi seperempat dari
seharusnya. 17 tahun sudah berlalu, tetapi pengadilan untuk mengusut kasus KKN Orde Baru
hanya sampai kepada Yayasan Supersemar, dan belum pernah sampai ke Soeharto dan kroni-
kroninya, dan tidak berhasil mendapatkan kembali semua kerugian negara akibat perbuatan
pemerintah Orde Baru. Masih banyak dugaan-dugaan korupsi lainnya yang diduga dilakukan
oleh Soeharto dan kroni-kroninya selama 32 tahun memegang kekuasaan. Dari sekian banyak
kroni-kroni Soeharto yang diduga melakukan tindak KKN, hanya Bob Hasan yang berhasil
diadili.4

4
4 Presiden & 8 Jaksa Agung Gagal Buktikan Soeharto Korup (https://news.detik.com/berita/878988/4-
presiden--8-jaksa-agung-gagal-buktikan-soeharto-korupsi) – Detik.com, Sabtu, 13/01/2018
Gambar 1 Catatan Dana Supersemar Soeharto Yang Diselewengkan. Sumber
(https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150813160057-15-71997/catatan-dana-yayasan-supersemar-
soeharto-yang-diselewengkan) – Cnnindonesia.com, Sabtu, 13/01/2018.
Garis waktu kasus dugaan korupsi Soeharto5
1998
1 September 1998
Tim Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan-
yayasan yang dikelola Soeharto. Indikasi penyimpangan terlihat dari anggaran dasar yayasan
tersebut.
6 September 1998
Soeharto lewat Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) mengumumkan bahwa dia tak memiliki
kekayaan seperti yang disebut-sebut oleh berbagai media massa saat itu. "Saya tidak punya
uang satu sen pun," demikian kata Soeharto.
9 September 1998
Tim Konsultan Cendana meminta kepada Presiden serta Menteri Pertahanan dan Keamanan
untuk menjaga dan melindungi Soeharto ekstraketat dari hinaan, cercaan, dan hujatan yang
ditujukan kepadanya.
11 September 1998
Pemerintah Swiss menyatakan bersedia membantu pemerintah RI melacak rekening-rekening
Soeharto di luar negeri.
15 September 1998
Jaksa Agung Andi M. Ghalib ditunjuk sebagai Ketua Tim Investigasi Kekayaan Soeharto.
21 September 1998
Jaksa Agung Andi M. Ghalib berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Cendana, Menteng,
Jakarta Pusat, untuk mengklarifikasi kekayaan Soeharto.
25 September 1998
Soeharto datang ke Kantor Kejaksaan Agung untuk menyerahkan dua konsep surat kuasa
guna mengusut harta kekayaannya, baik di dalam maupun di luar negeri.
29 September 1998
Kejaksaan Agung membentuk Tim Penyelidik, Peneliti dan Klarifikasi Harta Kekayaan
Soeharto dipimpin Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Antonius Sujata.
22 Oktober 1998
Jaksa Agung Andi M Ghalib menyatakan keputusan presiden yang diterbitkan mantan
presiden Soeharto terkait Yayasan Supersemar, sudah sah secara hukum. Kesalahan terletak
pada pelaksanaannya.
21 November 1998
Presiden Habibie mengusulkan pembentukan komisi independen untuk mengusut harta
Soeharto. Tapi usul ini kandas.

5
Kronologi Kasus Supersemar Rp 4,4 Triliun Soeharto.
(https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150811103858-12-71329/kronologi-kasus-supersemar-rp44-
triliun-soeharto) – Cnnindonesia.com, Senin, 15/01/2018
22 November 1998
Soeharto menulis surat kepada Presiden Habibie, berisi pemberitahuan penyerahan tujuh
yayasan yang dipimpinnya kepada pemerintah.
2 Desember 1998
Presiden Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 30 Tahun 1998 tentang
Pengusutan Kekayaan Soeharto.
5 Desember 1998
Jaksa Agung mengirimkan surat panggilan kepada Soeharto.
7 Desember 1998
Di depan Komisi I DPR, Jaksa Agung mengungkapkan hasil pemeriksaan atas tujuh yayasan
Soeharto: Dharmais, Dakab (Dana Abadai Karya Bhakti), Supersemar, Amal Bhakti Muslim
Pancasila, Dana Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora. Sejumlah yayasan memiliki kekayaan
senilai Rp4,014 triliun. Jaksa Agung juga menemukan rekening atas nama Soeharto di 72
bank di dalam negeri senilai deposito Rp24 miliar, dengan Rp23 miliar tersimpan di rekening
BCA, serta tanah seluas 400 ribu hektare atas nama Keluarga Cendana.
9 Desember 1998
Soeharto diperiksa Tim Kejaksaan Agung terkait dugaan penyalahgunaan dana di sejumlah
yayasan, program Mobil Nasional, kekayaan di luar negeri, perkebunan dan peternakan
Tapos. Pemeriksaan Soeharto selama empat jam dipimpin Jampidsus Antonius Sujata di
Gedung Kejaksaan Tinggi Jakarta. Pemeriksaan saat itu batal dilakukan di Gedung Kejaksaan
Agung dengan alasan keamanan.
1999
12 Januari 1999
Tim 13 Kejaksaan Agung menyatakan menemukan indikasi unsur perbuatan melawan hukum
yang dilakukan Soeharto.
4 Februari 1999
Kejaksaan Agung memeriksa Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut, putri sulung
Soeharto, selaku Bendahara Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan yang dipimpin
Soeharto.
9 Februari 1999
Soeharto melalui tujuh yayasan yang dipimpinnya mengembalikan uang negara sebesar Rp
5,7 triliun.
11 Maret 1999
Soeharto, melalui kuasa hukumnya Juan Felix Tampubolon, meminta Jaksa Agung
menghentikan penyelidikan terhadapnya atas dugaan korupsi kolusi nepotisme.
13 Maret 1999
Soeharto menjalani pemeriksaan tim dokter yang dibentuk Kejaksaan Agung di RSCM.
16 Maret 1999
Koran The Independent, London, memberitakan Keluarga Cendana menjual properti di
London senilai 11 juta poundsterling (setara Rp 165 miliar).
26 Mei 1999
Jampidsus Antonius Sujata, Ketua Tim Pemeriksaan Soeharto, dimutasi.
27 Mei 1999: Soeharto menyerahkan surat kuasa kepada Kejaksaan Agung untuk mencari
fakta dan data berkaitan dengan simpanan kekayaan di bank-bank luar negeri (Swiss dan
Austria).
28 Mei 1999
Soeharto mengulangi pernyataan bahwa dia tidak punya uang sesen pun.
30 Mei 1999
Andi Ghalib dan Menteri Kehutanan Muladi berangkat ke Swiss untuk menyelidiki dugaan
transfer uang sebesar US$ 9 miliar dan melacak harta Soeharto lainnya.
11 Juni 1999
Muladi menyampaikan hasil penyelidikannya bahwa dia tidak menemukan simpanan uang
Soeharto di bank-bank Swiss dan Austria.
9 Juli 1999
Tiga kroni Soeharto –Bob Hasan, Kim Yohannes Mulia dan Deddy Darwis– diperiksa
Kejaksaan Agung dalam kasus yayasan yang dikelola Soeharto.
19 Juli 1999
Soeharto terserang stroke dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan.
11 Oktober 1999
Pemerintah menyatakan tuduhan korupsi Soeharto tak terbukti karena minimnya bukti.
Kejagung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus
Soeharto. Aset yang ditemukan diserahkan kepada pemerintah.
6 Desember 1999
Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid membuka kembali pemeriksaan kekayaan
Soeharto. Jaksa Agung baru, Marzuki Darusman, mencabut SP3 Soeharto.
29 Desember 1999: Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan praperadilan
Soeharto atas pencabutan SP3 oleh Jaksa Agung.
2000
14 Februari 2000
Kejaksaan Agung memanggil Soeharto guna menjalani pemeriksaan sebagai tersangka tapi
tidak hadir dengan alasan sakit.
16 Februari 2000
Jaksa Agung Marzuki Darusman membentuk Tim Medis untuk memeriksa kesehatan
Soeharto.
31 Maret 2000
Soeharto dinyatakan sebagai tersangka penyalahgunaan uang dana yayasan sosial yang
dipimpinnya.
3 April 2000
Tim Pemeriksa Kejaksaan Agung mendatangi kediaman Soeharto di Jalan Cendana. Baru dua
pertanyaan diajukan, tiba-tiba tekanan darah Soeharto naik.
13 April 2000
Soeharto dinyatakan sebagai tahanan kota.
29 Mei 2000
Soeharto dikenakan tahanan rumah.
7 Juli 2000
Kejaksaan Agung mengeluarkan surat perpanjangan kedua masa tahanan rumah Soeharto.
14 Juli 2000
Pemeriksaan Soeharto dinyatakan cukup dan siap diberkas setelah Kejaksaan Agung meminta
keterangan dari 140 saksi.
15 Juli 2000
Kejaksaan Agung menyita aset dan rekening yayasan-yayasan Soeharto.
3 Agustus 2000
Soeharto resmi menjadi tersangka penyalahgunaan dana yayasan sosial yang didirikannya
dan dinyatakan sebagai terdakwa berbarengan dengan pelimpahan berkas perkara ke
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
8 Agustus 2000
Kejaksaan Agung menyerahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
22 Agustus 2000
Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra menyatakan proses
peradilan Soeharto dilakukan di Departemen Pertanian, Jakarta Selatan, karena alasan
keamanan.
23 Agustus 2000
PN Jakarta Selatan memutuskan sidang pengadilan Soeharto digelar pada 31 Agustus 2000
dan Soeharto diperintahkan hadir.
31 Agustus 2000
Soeharto tidak hadir dalam sidang pengadilan pertamanya. Tim Dokter menyatakan Soeharto
tidak mungkin mengikuti persidangan dan Hakim Ketua Lalu Mariyun memutuskan
memanggil tim dokter pribadi Soeharto dan tim dokter RSCM untuk menjelaskan perihal
kesehatan Soeharto.
14 September 2000
Soeharto kembali tidak hadir di persidangan dengan alasan sakit.
23 September 2000
Soeharto menjalani pemeriksaan di RS Pertamina selama sembilan jam oleh 24 dokter yang
diketuai Prof dr M Djakaria. Hasil pemeriksaan menunjukkan, Soeharto sehat secara fisik,
namun mengalami berbagai gangguan syaraf dan mental sehingga sulit diajak komunikasi.
Berdasar hasil tes kesehatan ini, pengacara Soeharto menolak menghadirkan kliennya di
persidangan.
28 September 2000
Majelis Hakim menetapkan penuntutan perkara pidana HM Soeharto tidak dapat diterima dan
sidang dihentikan. Tidak ada jaminan Soeharto dapat dihadapkan ke persidangan karena
alasan kesehatan. Majelis juga membebaskan Soeharto dari tahanan kota.
2008
27 Maret 2008
PN Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Kejaksaan Agung dan menghukum Yayasan
Supersemar yang diketuai Soeharto membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp46 miliar
karena menyelewengkan pengelolaan dana pendidikan. Saat itu Soeharto telah wafat,
sehingga tanggung jawab jatuh kepada keluarganya selaku ahli waris.
2009
19 Februari 2009
Putusan PN Jakarta Selatan diperkuat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menyatakan
Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum.
2010
28 Oktober 2010
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta diperkuat lagi di tingkat kasasi Mahkamah Agung.
Majelis hakim yang diketuai Hakim Agung Harifin Tumpa menghukum Yayasan Supersemar
membayar ganti rugi kepada negara. Namun putusan itu salah ketik, yang mestinya tertulis
Rp185 miliar malah jadi Rp185 juta. Jumlah nol dalam ketikan tersebut kurang tiga.
Kesalahan ketik ini membuat putusan tidak dapat dieksekusi. Keluarga Sooeharto tidak
diperintahkan membayar ganti rugi kepada negara saat itu juga.
2013
September 2013
Jaksa mengajukan Peninjauan Kembali atas perkara Yayasan Supersemar. Serupa, Yayasan
Supersemar pun mengajukan PK.
2015
Juli 2015
Mahkamah Agung memutus mengabulkan PK Jaksa dan menolak PK Yayasan Supersemar
sehingga Yayasan Supersemar harus membayar ganti rugi Rp4,4 triliun kepada negara
(berdasarkan kurs saat ini).
Gambar 2. Jalan Berliku Perkara Yayasan Soeharto. Sumber
(https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150811161546-15-71440/jalan-berliku-perkara-yayasan-
soeharto) – Cnnindonesia.com, Sabtu, 13/01/2018
Kejanggalan Peradilan: Impunitas Sang Juara Korupsi Dunia Sepanjang Masa
Beberapa kejanggalan terlihat selama proses peradilan Soeharto yaitu sidang perkara
Soeharto, putusan praperadilan TGPK, pembatalan SKP3 dan hanya Yayasan Supersemar
bukan Soeharto yang dinyatakan bersalah. Pembahasannya sebagai berikut:6
1. Sidang perkara Soeharto
- Keterangan yang menjadi dasar penetapan hakim yang berkaitan dengan kondisi
kesehatan Seharto berasal dari tim dokter. Sedangkan, tim dokter yang
memberikan keterangan dalam sidang tersebut tidak disumpaj seseuai dengan
KUHAP pasal 179, yang dikuatkan oleh penjelesan 186 KUHAP yang
menyatakan bahwa keterangan diberikan setelah pengucapan sumpah atau janji di
depan hakim
- Diktum putusan hakim yang berupa penetapan untuk “mencoret nomor perkara
pidana nomor 842/PID.B/2000/PN.Jakarta Selatan dari register perkara pidana
biasa dalam tahun yang sedang berjalan” dirasa melanggar peraturan perundang-
undangan. Penghapusan perkara bukanlah wewenang hakim melainkan
wewenang dari panitera persidangan. KUHAP pasal 225(1) menyatakan bahwa
panitera mennyelenggarakan buku daftar untuk semua perkara. Masalah
kesehatan yang diatur dalam undang-undang tidak bertujuan untuk menghentikan
perkara apalagi menghapus perkara dari daftar register perkara, tetapi untuk
menghentikan persidagan sampai terdakwa sembuh.
2. Putusan Praperadilan TGPK
- Dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa TGPK todak memiliki kewenangan
untuk melakukan penyidikan atas kasus suap tersebut. Sedangkan dalam pasal 77
KUHAP disebutkan bahwa praperadilan hanya berwenang memerikasa dan
memutuskan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan, atau penghentian penuntutan, serta ganti rugi kerugian dana tau
rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat
penyidikan atau penuntutan.
- TGPK adalah badan yang berwenang untuk melakukan penyidikan sebagaimana
disebutkan oleh Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2000. Maka, untuk
memtuskan ada atau tidaknya kewenangan TGPK dalam melaksanakan
penyidikan adalah wewenang dari PTUN karena Peraturan Pemerintah adalah
produk hukum administrasi negara.
- Hakim Agung Artidjo Alkostar berpendapat bahwa keputusan praperadilan
TGPK memang memiliki kejanggalan-kejanggalan. Dalam bagian menimbang
dari putusan itu disebutkan “perlu ditegaskan dan mohon digarisbawahi bahwa
pengadilan tidaklah apriori, bukan tidak mendukung setiap upaya tindak
pemberantasan korupsi yang saat ini diupayakan dengan sungguh-sungguh
dengan penuh semangat sebagaimana telah diperlihatkan oleh TGPK termasuk
dalam lingkungan badan peradilan. Hanya saja tentunya harus tatap dalam
koridor dan rambu-rambu hukum karena bukanlah sikap dan budaya kita tujuan
menghalalkan cara”. Artidjo berpendapat bahwa pencantuman kata-kata ini
mengandung keganjilan, menjawab dugaan tanpa ada yang menduga. Artidjo juga
berpedapat untuk mencegah hal ini terulang, dimana hakim bawahan mengatasi

6
Sidang Perkara Soeharto dan Putusan Praperadilan TGPK Banyak Keganjilan
(http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol826/sidang-perkara-soeharto-dan-putusan-praperadilan-tgpk-
banyak-keganjilan) – Hukumonline.com, Sabtu, 13/01/2018
hakim atasannya, perlu dibentuk sebuah komisi kode etik yang dapat memeriksa
hakim agung, dimana anggotanya berasal dari hakim bersih dan pensiunan hakim
bersih. Hal ini dinilainya dapat menjadikan pengadilan yang lebih adil.
3. Pembatalan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara
- Kuasa Hukum Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (Gemas) berpendapat bahwa
dalam perubahan sikap kejaksaan terhadap kasus soeharto ada hal-hal yang perlu
diperhatikan, seperti dari menuntut supaya Soeharto diadili menjadi menginginkan
agar perkara ditutup. Hal ini memunculkan dugaan dari Gemas bahwa adanya
manipulasi administratif untuk menutup kasus Soeharto. SKP3 berlawanan fengan
keputusan kasasi MA yang mewajibkan jaksa untuk menyembuhkan dan
membawa Soeharto ke pengadilan yang sayangnya hal tersebut tidak terjadi.
Kejanggalan yang lain adalah keterangan sakit yang tidak berhubungan dengan
alasan huum kejaksaan dalam menutup kasus Soeharto. Dalam hukum ditegaskan
bahwa janya hakim yang memiliki wewenang untuk melakukan penafsiran
terhadap suatu kasus, bukan jaksa.
4. Hanya Yayasan Supersemar yang dinyatakan bersalah
- Peninjauan Kembali Mahkamah Agung menentukan besar denda yang diberikan
kepada Yayasan Supersemar akan tetapi tidak menjatuhkan hukuman kepada
mendiang Soeharto dan ahli warisnya. Dalam perkara ini, Soeharto berstatus
sebagai tergugat I dan Yayasan Supersemar berstatus sebagai tergugat II. Tetapi
dalam putusan pengadilan dari tingkat pertama Pengadilan NEgeri Jakarta Selatan
hindda tingkat kasasi di Mahkamah Agung hanya Yayasan Supersemar yang
dinyatakan bersalah dan dianggap sudah melakukan perbuatan melawan hukum.
Mantan Presiden Soeharto sebagai pendiri Yayasan Supersemar tidak pernah
dinyatakan bersalah dan melawan hukum, tidak juga diberikan sanksi.

Dari sini kita sudah dapat melihat terdapat impunitas pada Soeharto dan kroni-
kroninya, mulai dari hanya kasus korupsi Soeharto saja yang diadili, namun pelanggaran
kemanusiaan mereka tidak tersentuh sedikitpun. Untuk kasus kasus korupsi Soeharto sendiri
pun hanya terkait Yayasan Supersemar yang tersentuh oleh kekuatan hukum padahal banyak
dugaan terjadinya abuse of power untuk keuntungan pribadi yang dilakukan Soeharto selama
menjabat sebagai presiden, ditu pun hanya Yayasan Supersemar saja yang dinyatakan
bersalah, sedangkan Soeharto dan keluarganya tidak dinyatakan bersalah dan diminta ganti
rugi kepada negara sama sekali.7 Ini menunjukkan adanya gangguan dari luar yang
menghambat supremasi hukum, karena kita dapat melihat banyak kejanggalan hukum selama
proses peradilan. Kejanggalan-kejanggalan inilah yang berimplikasi pada impunitas hukum
Soeharto dan kroni-kroninya.

Selain itu, berdasarkan Global Corruption Report 2004 yang dibuat organisasi
Transparency International(TI), Soeharto dinobatkan menjadi “The World’s All Time Most
Corrupt Leaders”.8 Hal ini dikarenakan selama 32 tahun Soeharto bercokol di puncak
kekuasaan Indonesia, dia berhasil meraih harta sebanyak $15 milyar - $35 milyar, kekayaan
tersebut didapatkan lewat kontrol terhadap monopoli sumber daya negara, akses terhadap
kontrak bisnis eksklusif dan keringanan pajak khusus yang diberikan kepada kroni-kroninya

7
Soeharto Hanya Diadili Sebagai Ketua Yayasan (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol194/soeharto-
hanya-diadili-sebagai-ketua-yayayan) – Hukumonline.com, Minggu, 14/01/2018
8
Transparency International, “GLOBAL CORRUPTION REPORT 2004: POLITICAL CORRUPTION”. 7/1/04 hlm. 13
dalam kegiatan bisnisnya.9 Menyadari kenyataan-kenyataan yang telah dibahas diatas kita
layak untuk terus curiga lebih jauh lagi atas perampasan harta negara yang dilakukan
Soeharto dan kroni-kroninya melebihi tindakan-tindakannya yang sejauh ini telah tersentuh
oleh hukum.

9
The 10 Most Corrupt World Leaders of Recent History. (http://integritas360.org/2016/07/10-most-corrupt-
world-leaders/) – Integritas360.org, Minggu, 14/01/2018
Gambar 3. Harta Harto. Sumber (https://tirto.id/di-luar-paradise-papers-berapa-banyak-harta-keluarga-
soeharto-czM6) – Tirto.id, Minggu, 14/01/2018
Supremasi Hukum dan Evolusi Oligarki
Dalam pertarungan antara supremasi hukum dengan Soeharto dan kroni-kroninya,
sudah terlihat adanya usaha-usaha untuk mengadili Soeharto dan kroni-kroninya di era
reformasi, selain itu juga terdapat suara-suara tekanan dari publik untuk mengadili Soeharto
dan kroni-kroninya, maka dapat dikatakan usaha pemenuhan tuntutan reformasi tersebut
sudah cukup terpenuhi namun berujung kegagalan. Terdapat juga banyak kejanggalan dalam
proses peradilan Soeharto. Sehingga kita juga perlu melihat kekuatan apa yang menghadang
adanya supremasi hukum, dimana usaha-usaha telah ada namun tetap gagal. Menurut Jeffrey
Winters Guru Besar Ilmu Politik dari Northwestern University, Chicago, Amerika Serikat,
Indonesia adalah sebuah negara demokrasi namun sayangnya demokrasi tersebut tidak datang
bersamaan dengan supremasi hukum dan ini dapat dijelaskan dengan fenomena munculnya
oligarki seiring dengan berkuasanya Soeharto.10 Winters mendefinisikan Oligark sebagai
“pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang
bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial
ekslusifnya”.11
Winters menyatakan bahwa saat rezim Soeharto, sistem politik yang muncul adalah
Oligarki dengan bentuk Oligarki Sultanistik. Oligarki Sultanistik ini ditandai dengan adanya
monopoli sarana pemaksaan oleh satu Oligark. Oligark tunggal ini berhubungan dengan
Oligark-Oligark yang lain dengan hubungan yang bersifat patron-klien. Oligark utama ini
menguasai seluruh wewenang dan kekuasaan, dan Oligark lain menjaga kekayaan dan
hartanya dibawah perlindungan Oligark utama tersebut. Oligark yang berada di atas dengan
mekanisme alat kekerasan negara atau dengan sarana pemaksaan personal dapat mengalahkan
Oligark yang dibawahnya. Oligark bawahan ini lalu menjaga kekayaanya dengan
menyisihkan sebagian kekayaannya untuk diinvestasikan kepada patron dalam sistem
Oligarki Sultanistik.12 Oligark utama yang mendapatkan sebagian kekayaan Oligark
bawahannya ini lalu berkewajiban melindungi para Oligark bawahannya, dalam kasus
Soeharto, Oligark bawahannya adalah kroni-kroninya.
Setelah jatuhnya rezim Orde Baru dan memasuki era reformasi, Oligarki di Indonesia
tidak ikut jatuh, tetapi berubah menjadi bentuk oligarki lain, yaitu oligarki kolektif. Soeharto
setelah tidak menjadi presiden tetap menjadi seorang oligark, namun statusnya berganti dari
oligark patron menjadi setara dengan oligark kolektif lainnya.13 Vedi Hadiz menyatakan
bahwa “keuntungan terbesar bagi para konglomerat barangkali adalah bahwa proses
reformasi terjadi di dalam aparatur negara yang masih didominasi oleh hubungan-hubungan
predatoris serta berbagai tokoh yang sama yang pernah mendominasi rezim lama”.14 Tetapi,
sudah dapat dipastikan bahwa dalam kenyataanya, rezim politik saat ini tetap berada di
bawah kekuasaan para oligark. Oligarki ini bisa kita anggap sebagai suatu aliansi cair yang
memberikan jalan bagi kepentingan para konglomerat kaya yang selalu lincah dan lihai untuk
menyesuaikan dirinya dengan sistem apapun, baik otoratitianisme maupun demokrasi.

10
Jeffrey Winters: Indonesia Negara Demokrasi Tanpa Hukum. (https://ugm.ac.id/id/berita/3251-
jeffrey.winters:.indonesia.negara.demokrasi.tanpa.hukum) – Ugm.ac.id, Minggu, 14/01/2018
11
Jeffrey A. Winters, Oligarki terj., Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011. hlm.1
12
Ibid. hlm. 48
13
Richard Robison dan Vedi R Hadiz, Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of
Market, London and New York: Routledge, 2004.
14
Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Diterjemahkan oleh A. Zaim
Rofiqi dan Dahris Setiawan, (Jakarta: LP3ES, 2005), hlm.149-150
Politik Indonesia yang dikuasai oleh oligarki ini dapat terjadi karena keluguan dugaan
reformasi institusional neoliberal dengan kepercayaannya bahwa primasi pengelolaan
institusi rasional. Keluguan ini tidak memperhatikan keberadaan hubungan ekonomi politik
dalam rekaman sejarah. Oligarki dengan kemampuannya untuk menundukkan kekuasaan
negara dan mengacaukan kekuatan oposisi masyarakat sipil ini menjadikan proses reformasi
institusional neoliberal tidak berbasis sosial dan politik yang kuat. Dengan meredam dan
mencegah kemunculan agen politik yang non-oligarki inilah yang kemudian memberikan
kekuatan bagi oligarki untuk dapat mempertahankan dominasi politiknya.15
Winters, Robison dan Hadiz menyatakan bahwa Indonesia di era reformasi ditandai
oleh adanya perubahan politik sebagai bagian dari proses demokratisasi, yang tidak diikuti
dengan penghapusan Oligarki yang sudah ada dan tumbuh sejak berdirinya rezim Soeharto.
Struktur formal demokrasi elektoral berkemampuan untuk hidup bersamaan dengan
kekuasaan Oligarki, apalagi jika demokrasi yang dibangun hanya demokrasi prosedural. Baik
Winters juga Robison dan Hadiz menolak jika kekuasaan Oligarki berkurang oleh proses
pemilu yang kompetitif. Mereka berpendapat bahwa perilaku dan stratgi para oligark bisa
saja berubah seiringnya dengan proses demokrasi elektoral dan desentralisasi, tetapi jalur
institusional, elektoral bahkan gerakan massa dinilai masih belum mampu mengatasi
kekuasaan oligarki. Mereka juga menyatakan bahwa untuk membasmi Oligarki diperlukan
perubahan politik dengan redistribusi harta dengan usaha untuk meruntuhkan jembatan antara
kekayaan dan kekuasaan politik, semua hal ini hanya bisa dicapai melalui revolusi. Commented [HK2]: Dalam menarik kesimpulan disini,
nyimpulin sendiri/ada pendapat ahli? Maksudnya gini,
Harus kita pahami bahwa setelah era Orde Baru, reformasi politik dan ekonomi tidak okelah kalo winters itu udah membuktikan saat orba emg
oligarki sultanistik, tapi yang dibahas disini kan proses
berhasil meruntuhkan jembatan oligarki ini. Lemahnya masyarakat sipil di era sekarang
pengadilan soeharto (era reformasi), bukan pas orba lagi.
dalam mengatasi oligarki semakin menguatkan tesis Richard Robison dan Vedi R Hadiz Kalo aku mbaca ini rasanya masih ada missing link, dan
bahwa dikuasainya politik negara dengan pengacauan kekuatan oposisi yang berada di tangan jatuhnya jump to conclusion. Lalu data2 dan proses
masyarakat sipil menjadi dasar sejarah bagi kekuasaan oligarki. Hal ini juga menjelaskan pengadilan dari 1998-2007 aku liat blm dipake buat ngambil
kesimpulan disini. Apakah gagalnya mengadili soeharto juga
bahwa suasana dan pertarungan politik di zaman reformasi ini tetap mengukuhkah posisi elit
karena oligarki ini? Terus narasi kronologisnya Cuma jadi
lama.16 data doang menurutku, belum jadi informasi gitu. Misal ada
kejanggalan nggak selama proses ini berjalan, itu bisa jadi
Soeharto beserta kroni-kroninya akan tetap berusaha untuk menjaga kekayaan kecurigaan/indikasi ada hal yg janggal. Terus kenapa
mereka. Penjagaan ini meliputi penjagaan harta yang sudah dimiliki, dan pejagaan terhadap akhirnya soeharto nggak kena malah yayasan supersemar
pendapatan harta baru. Winters mendefinisikan Oligarki sebagai suatu sistem yang merujuk doang kayaknya perlu diulas lebih dalem deh. Walaupun
kepada “politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material kronologis, harapannya kronologi2 ini bisa jadi informasi
gitu lo bung, jadi disini semacem investigatif.
(Oligark)”.17 Dari definisinya, Winters memusatkan perhatiannya kepada kekayaan yang Menghubungkan antar peristiwa dan kejanggalan, buat
menjadi sumber daya material untuk kekuasaan Oligark dan keberjalanan poltik yang diatur narik kesimpulan. Misal gini, kan dari info disini aku
secara politis. contohin bisa narik kejanggalan soeharto berulangkali bilang
gapunya sepeser pun, tapi nyatanya apa, dst. Disini kita
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kegagalan tuntutan pengen mbikin orang yakin kalo “Soeharto bersalah” tapi
reformasi untuk adili Soeharto dan kroni-kroninya adalah kegagalan supremasi hukum, “Hukum gabisa menjangkaunya”.
Kalo cara ngambil kesimpulannya kayak gini masih rancu bgt
dimana walaupun usaha-usaha telah dilakukan namun terhambat. Terlihat bahwa demokrasi menurutku. Pertanyaan yg harus dijawab disini adalah
di era reformasi tidak datang bersamaan dengan supremasi hukum karena fenomena oligarki.
Hal ini dimulai oleh fenomena Oligarki Sultanistik yang dikembangkan Soeharto selama a.Angkat barang bukti selama proses pengadilan yg bisa
rezim orde baru, dimana Soeharto menjadi pusat oligarki dan membawahi oligark lain yang jadi kecurigaan, ini bisa memperkuat argumen kita soal
“Soeharto bersalah”
merupakan kroni-kroninya. Namun, sayangnya saat Orde Baru tumbang tidak diikuti oleh b.Kenapa Soeharto bisa lolos, alasan hakim2 yg
tumbangnya oligarki, namun malah berevolusi menjadi semakin ganas. Kita juga bisa membebaskannya apa, itu bisa memperkuat argumen
soal ada impunitas

Dari dua senjata itu, baru kaitin relasinya sama oligarki pas
15
orba. Masih ada jejak2 oligarki nggak selama proses
Muhammad Ridha, “Oligarki dan Agensi Politik Indonesia di Era Neoliberal: Evaluasi Kritis Tesis Oligarki pengadilan ini? Jangan-jangan hakim disuap dsb-dsb, ada
Robison-Hadiz”, Jurnal Indoprogress, no. 6, vol. II, 2016, hlm. 9 data/pendapat ahli yang nyambungin ke arah sana nggak?
16
Richard Robison dan Vedi R Hadiz, loc.cit. Sebisa mungkin pake referensi dalam narik kesimpulan biar
17
Jeffrey A. Winters, op.cit. hlm.10 kelihatan rapi, dan logikanya terstruktur
rangkum keterkaitan antara oligarki dan supremasi hukum terkait tuntutan reformasi “Adili
Soeharto dan Kroni-Kroninya” didasari dua hal berikut:
1. Menurut Hadiz oligarki di era reformasi dengan tumbangnya Orde Baru tidaklah
ikutan tumbang melainkan berevolusi menjadi sebuah bentuk oligarki jenis baru,
yaitu oligarki kolektif, dari sebelumnya adalah Oligarki Sultanistik dengan
Soeharto sebagai patron. Setelah Soeharto turun pun, Soeharto tetaplah seorang
oligark walaupun tidak lagi sebagai patron, namun sejajar posisinya dalam
oligarki kolektif.
2. Menurut Winters oligarki akan berusaha mempertahankan kekayaan sebagai
sumber daya kekuasaan mereka dan dinamika politik pertahanannya yang dikelola
secara politis. Hal ini membuat manuver oligark, terutama terhadap hukum saat
mereka mulai tersentuh hukum adalah dengan berusaha mempengaruhi
keberjalanan hukum sehingga berjalan sesuai keinginan mereka. Hal ini dapat
dilihat pada banyaknya kejanggalan hukum saat proses peradilan Soeharto.
Dua hal di atas lah yang dapat menjelaskan mengapa Soeharto dan kroni-kroninya
yang telah berevolusi menjadi oligarki kolektif di era reformasi, menjadi sangat sulit untuk
dijangkau oleh hukum. Usaha mereka sebagai oligark untuk mempertahankan kekayaan
secara politis membuat mereka bisa mempengaruhi dinamika politis, terutama hukum saat
mereka mulai tersentuh hukum, yang dapat dilihat dari kejanggalan proses peradilan
Soeharto. Usaha-usaha inilah dan juga keberhasilan oligarki berevolusi pasca reformasi yang
pada akhirnya menghambat tercapainya tuntutan reformasi yang pertama, yaitu “Adili
Soeharto dan Kroni-Kroninya”, sehingga walaupun usaha-usaha untuk mewujudkannya
sudah ada dan walaupun adanya juga tekanan kuat publik, namun tuntutan reformasi yang
satu ini tidak pernah tercapai di era reformasi. Terakhir, jangan dilupakan bahwa selain
kejahatan korupsi yang dilakukan, juga terdapat banyak kejahatan kemanusiaan yang
dilakukan oleh Soeharto dan kroni militernya selama dia menjabat presiden yang tidak
tersentuh oleh hukum sedikitpun dan beberapa pelakunya malah ada yang menjadi pejabat
negara hingga pemimpin partai politik di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai