Anda di halaman 1dari 18

A.

Gambaran Umum
Alor adalah kabupaten yang terletak di Nusa Tenggara Timur, ibukota dari provinsi ini
adalah Kalabahi. Alor merupakan kepulauan disebelah selatan pulau Alor adalah Timor
Leste dan Selat Ombay, dibagian Utara Alor berbatasan dengan Laut Flores, di bagian
Barat dengan Selat Lomblen dan Kabupaten Lembata, sedangkan di bagian Timur dengan
kepulauan Maluku Tenggara Barat. Alor termasuk salah satu dari 92 pulau terluar di
Indonesia karena berbatasan dengan Timor Leste dan Selat Ombay di sebelah selatan.
Suku bangsa Alor mendiami daratan pulau Alor, Pantar dan pulau-pulau kecil di antaranya.
Daerah mereka sekarang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Alor, Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Nama Alor mungkin diberikan oleh orang luar untuk menyebut seluruh
kelompok masyarakat yang berdiam di daerah tersebut.
Mereka sendiri terdiri atas sejumlah sub-suku bangsa, antara lain Abui, Alor, Belagar,
Deing, Kabola, Kawel, Kelong, Kemang, Kramang, Kui, Lemma, Maneta, Mauta, Seboda,
Wersin, dan Wuwuli. Pada masa lampau sub-sub suku bangsa tersebut masing-masing
hidup terasing di daerah perbukitan dan pegunungan, terutama untuk menghindari
peperangan dan tekanan dari dunia luar. Disanalah mereka mendirikan rumah-rumah
bertiang kayu bulat, tinggi dan dengan atap dari alang-alang atau ijuk berbentuk bulat,
dindingnya terbuat dari anyaman bambu, daun lontar atau papan. Karena kurangnya
komunikasi di antara mereka, maka berkembanglah berbagai dialek yang membedakan
satu kelompok dengan kelompok lain.
Secara definitif Kabupaten Alor terbentuk pada Bulan Desember Tahun 1958 yang saat ini
terdiri dari 17 Kecamatan, 175 Desa/Kelurahan (17 Kelurahan,158 Desa), 315 Dusun /
Lingkungan, 675 RW serta 1.491 RT. Jumlah penduduk Kabupaten Alor sesuai data Badan
Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 berjumlah 196.179 jiwa dengan kepadatan penduduk 68
jiwa per km2.
Secara geografis wilayah Kabupaten Alor terletak pada koordinat 806’– 8036’ LS dan
123048’– 120048’ BT, dengan batas sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, sebelah
selatan berbatasan dengan Selat Ombay, sebelah timur berbatasan dengan Selat Wetar dan
Perairan Republik Demokrat Timor Leste (RDTL) dan sebelah barat berbatasan dengan
Selat Alor.
Secara geopolitik, Kabupaten Alor termasuk 183 Kabupaten yang tergolong Kabupaten
tertinggal. Kabupaten Alor juga termasuk 112 kabupaten/ kota di Indonesia yang
dikategorikan sebagai Kabupaten Perbatasan. Wilayah Kabupaten Alor terdiri dari 15 buah
pulau yang 9 diantaranya berpenduduk, yaitu Pulau Alor, Pantar, Pura, Tereweng, Ternate,
Buaya, Kangge, Kura, dan Pulau Kepa. Sedangkan 6 pulau lainnya belum/tidak
berpenduduk, yaitu Pulau Kambing, Rusa, Batang, Lapang, Sika, dan Pulau Kapas.
Kabupaten Alor dengan ibukota di Kalabahi, memiliki luas wilayah darat 2.864.64 Km2,
sebagian besar luas wilayah daratan merupakan pegunungan tinggi yang dikelilingi oleh
lembah-lembah dan jurang-jurang. Kemiringan lahan diatas 400mencapai kurang lebih 60
% dari total wilayah daratan Kabupaten Alor. Luas wilayah lautan 10.773.63 Km2 dan
panjang garis pantai 287.10 Km2. Wilayah Kabupaten Alor yang kepulauan ini
menyebabkan sarana transportasi laut cukup menjadi andalan dalam menghubungkan
pulau-pulau di Kabupaten Alor. Wilayah laut yang luas dengan potensi perikanan yang
cukup besar menjadikan usaha penangkapan ikan menjadi salah satu mata pencaharian
masyarakat pesisir.
Kabupaten Alor memiliki potensi sumberdaya alam yang melimpah, mulai dari potensi
pertambangan, perkebunan dan juga yang cukup terkenal adalah pariwisata. Potensi
pariwisata meliputi potensi budaya dan keindahan alamnya, khususnya taman laut yang
berada diantara pulau Alor dan Pantar. Taman laut ini juga termasuk salah satu taman laut
terbaik di dunia, menurut informasi dari beberapa agen penyeleman (Diving) dunia, taman
laut Alor menduduki peringkat kedua setelah kepulauan Karibia, karena taman lautnya
langka dengan panorama bawah laut yang bahkan dapat dilihat dengan jelas di malam hari

B. Sistem Budaya
Masyarakat Kabupaten Alor merupakan masyarakat majemuk karena sejatinya penduduk
asli Kabupaten Alor terdiri dari 50 (lima puluh) suku asli yang mempunyai budaya dan
adat istiadat sendiri-sendiri. Pada masa kerajaan dahulu, beberapa suku terasosiasi
kedalam satu kerajaan. Menurut cerita yang beredar di masyarakat Alor, kerajaan tertua di
Kabupaten Alor adalah kerajaan Abui di pedalaman pegunungan Alor dan
kerajaan Munaseli di ujung timur pulau Pantar. Kerajaan berikutnya yang didirikan adalah
kerajaan Pandai yang terletak dekat kerajaan Munaseli dan Kerajaan Bunga Bali yang
berpusat di Alor Besar. Nama Kerajaan identik dengan nama suku yang mendominasi
wilayah tersebut, masing-masing kerajaan didominasi dengan suku induk dan beberapa
suku kecil lainnya. Setiap suku memiliki adat istiadat sendiri sendiri termasuk bahasanya
masing-masing. Disamping penduduk asli yang berasal dari beberapa suku tersebut, di
Kabupaten Alor juga terdapat beberapa etnis pendatang diantaranya etnis Timor, Flores,
Sumba, Jawa, Bugis, Makasar, Binongko dan Buton.
a. Sistem Bela Baja
Di pulau Pantar kabupaten Alor, provinsi NTT, tepatnya di desa Kayang dan desa
Tude, memiliki hubungan adat yang mengagumkan. Kedua desa ini, terikat sumpah
adat leluhur yang disebut bella, yang terjalin beberapa abad silam hingga kini.

Ikatan bella, menyebabkan kedua desa ini tak boleh bermusuhan dalam bentuk
apapun, hingga tuju turunan. Bella dipahami dan dipercaya sebagai sumpah adat
dengan saling minum darah dari kedua bela pihak (desa Tude danKayang) beberap
abad silam oleh para leluhur, setelah terlibat permusuhan berlarut-larut. Konsekuensi
dari melanggar bella adalah terjadinya musibah dan malapetaka di desa yang dianggap
bersalah, hingga kedua belah pihak saling berdamai.

Implikasi sosial dari ikatan bella, kedua desa ini (desa Kayang dan Tude) tak pernah
terlibat konflik dalam bentuk apapun. Bahkan ekstremnya, sumpah bella melahirkan
suatu kesepakatan adat, bahwa segala apa yang dimiliki penduduk desa Tude, adalah
juga miliki penduduk desa Kayang, demikian pun sebaliknya. Sebuah ikatan dan pola
relasi tradisional yang cukup esktrem tapi kaya nila.
Penduduk desa Tude bila berkunjung ke desa Kayang, mereka bisa dengan leluasa
mengambil apapun harta benda milik penduduk desa Kayang. Dan warga desa Kayang
sesuai hukum adat, tak boleh melakukan aksi perlawanan dalam bentuk apapun.
Demikianpun sebaliknya bila penduduk desa Kayang ke desa Tude. Kearifan sosial
yang cukup langkah dan ekstrem ini, sudah berlangsung berabad-abad lamanya di
kedua desa tersebut.

b. Tradisi Moko

Satu-satunya di Indonesia, bahkan mungkin satu-satunya di dunia. Di mana benda-


benda purbakala menjadi barang begitu terhormat, alat barter, dan simbol status sosial
di dalam masyarakat. Inilah tradisi di Pulau Alor yang masuk dalam wilayah Propinsi
Nusa Tenggara Timur. Pulau Alor, selain menyimpan keindahan alam bawah laut
yang begitu memukai, juga menyimpan salah satu tradisi yang memukau. Tahukah
anda, Pulau Alor juga berjuluk pulau 1000 Moko. Moko atau juga disebut nekara
perunggu merupakan benda budaya zaman pra-sejarah. Menurut para ahli Arkeologi
dan sejarah, teknologi pembuatan Moko Alor berasal dari teknologi perunggu di
Dongson, Vietnam bagian Utara. Kemudian teknologi ini menyebar ke berbagai
daerah di Asia Tenggara, termasuk ke pulau Alor. Mungkin, Moko-moko di bawa oleh
para pedagang dari China di masa lalu untuk ditukarkan dengan komoditas dari
kawasan tersebut (kawasan penghasil rempah-rempah seperti Kepulauan Banda dan
Maluku). Bisa jadi, ada armada kapal pedagang-pedagang tersebut yang terdampar di
perairan Alor, dan kehabisan perbekalan. Nekara perunggu yang mereka bawa sebagai
alat tukar, akhirnya ditukarkan dengan komoditas utama makanan dari Alor, yakni biji
kenari, dan jagung. Ini terjadi 1000 tahun lalu, dan perdagangan kenari juga jagung
berlanjut dengan ditukarkan dengan Moko. Jadilah, Pulau Alor menjadi pulau dengan
koleksi Moko terbanyak hingga kini, meski tidak ada sejarahnya pulau ini
memproduksi barang-barang dari perunggu. Moko bagaikan barang sangat berharga
yang nilainya akan terus bertambah seiring waktu.. Moko mempunyai 4 fungsi, yaitu:

1. Moko sebagai simbol status sosial. Memiliki jumlah dan jenis Moko tertentu
menunjukan status sosial seseorang dalam masyarakat. Kepemilikan Moko ini
mempunyai status sosial yang cukup tinggi dan terpandang. Bahkan orang yang
memiliki Moko ini dalam jumlah tertentu akan berpengaruh dalam setiap
kepemimpinan tradisional.

2. Moko sebagai mas kawin. Mas kawin diberikan tak seperti kebanyakan di tempat-
tempat lain di nusantara, yang biasanya berupa hewan ternak atau hewan piaraan.
Di Alor, masyarakatnya menggunakan peninggalan turun-temurun nenek
moyangnya yang disimpan secara estafet, yakni Moko.Penggunaan Moko sebagai
mas kawin di masyarakat Alor terus terjaga hingga kini, dan sudah berlangsung
sejak berabad-abad lamanya. Hampir setiap keluarga di Alor, terutama yang
masyarakat asli pulau tersebut, menyimpan setidaknya satu Moko di rumahnya.
Seorang pria yang hendak menikah menyerahkan sejumlah Moko kepada keluarga
perempuan calon istri. Jika pihak keluarga pria tidak memiliki Moko, maka
keluarga tersebut mereka harus meminjam moko kepada Tetua Adat. Peminjaman
ini tidaklah gratis, karena pihak keluarga pria harus menggantinya dengan
sejumlah uang yang jumlahnya cukup besar. Memang harga satu buah Moko
sangatlah bervariasi, bergantung dengan ukuran besar kecilnya Moko, tahun
pembuatannya serta pola hiasnya. Namun bagi masyarakat Alor, moko tak bisa
diukur dengan uang berapapun jumlahnya karena sekali lagi Moko mempunyai
kedudukan dan nilai tersendiri dalam pergaulan sosial masyarakat .
3. Moko sebagai alat tukar ekonomi. Sejak dahulu orang Alor mengenal Moko
sebagai alat tukar seperti uang. Dalam hal ini Moko dapat di tukar dengan barang
tertentu secara barter. Hal inilah yang menyebabkan inflasi pada zaman
pemerintahan kolonial Belanda sehingga Belanda membuat sistem baru dengan
membatasi peredaran Moko dan bahkan konon berniat membuang moko-moko
tersebut ke laut.

4. Sebagai alat Musik. Moko dapat menggantikan fungsi tambur yang terbuat dari
kulit kayu dan kulit hewan. Alat musik Gong dan Moko biasa dimainkan untuk
pengiring tari-tarian.

c. Perkawinan Dalam Suku Alor

Prinsip hubungan keturunan suku Alor biasanya bersifat patrilineal. Keluarga ini
disebut kukkus. Gabungan dari beberapa kukkus menjadi klen kecil yang disebut bala.
Gabungan dari beberapa bala menjadi klen besar yang disebut laing. Dalam
perkawinannya orang Alor menganut adat eksogami klen. Pihak laki-laki wajib
membayar sejumlah belis (maskawin) secara kontan kepada pihak pemberi wanita.
Belis adalah mas kawin atau mahar dari pihak lelaki yang diberikan ke pihak
perempuan.

Dari sekian banyak keragaman budaya yang ada di Kabupaten Alor, ada beberapa ciri
khas budaya yang hampir semua suku di Kabupaten Alor memilikinya yaitu
diantaranya adalah penggunanaan “Moko” untuk mas kawin atau belis dari mempelai
laki-laki ke perempuan dan tarian “Lego-lego”. Mas kawin yang berlaku dikalangan
suku di Kabupaten Alor berbeda halnya dengan suku-suku lain di wilayah Provinsi
NTT yang biasanya menggunakan binatang piaraan. Masyarkat Kabupaten Alor
menggunakan benda peninggalan nenek moyang mereka sebagai mas kawin, yaitu
Moko. Penggunaan moko sebagai mas kawin telah berlangsung selama ratusan tahun.
Menurut para arkeolog, moko mulai digunakan oleh masyarakat setempat, sejak abad
14 masehi. Nenek moyang mereka mengawali penggunaan moko sebagai alat tukar,
maupun sebagai alat kesenian dalam upacara adat, kemudian pada abad 17
masehi, moko digunakan oleh nenek moyang mereka sebagai mas kawin.. Menurut
masyarakat sekitar, benda berupa genderang ini sudah ada di masyarakat secara
turun-temurun dan tidak bisa dibuat ulang. Diperkirakan berupa benda dari zaman
perundagian. Namun belum diketahui pasti asalnya dari mana, ada yang
mengatakan dari India, Tiongkok, Vietnam, dan lainnya. Artinya, benda ini
jumlahnya terbatas di kalangan masyarakat.

Dalam pernikahan adat di Alor, moko adalah benda wajib ada untuk diberikan.
Kehadiran benda ini dalam pernikahan adalah identitas diri masyarakat Alor yang
tak bisa ditawar.

Diperkirakan, mulai dari abad ke-19 masyarakat Alor mulai menggunakan moko
sebagai salah satu unsur dalam pernikahan. Awalnya digunakan sebagai benda yang
diberikan pihak lelaki untuk keluarga perempuan sebagai penghormatan.
Jumlahnya tergantung permintaan pihak perempuan. Selain itu perkawinan dapat
pula terjadi tanpa harus membayar belis secara kontan, untuk itu si suami harus
mengabdi beberapa lama untuk lingkungan asal isterinya. Ada pula yang disebut
perkawinan tukar gadis, dimana laki-laki yang tidak mampu membayar belis
menyerahkan saudara perempuannya untuk dikawini pula oleh laki-laki pihak
keluarga asal isterinya. Jalan pintas yang ditempuh seorang laki-laki untuk
menghindari semua kewajiban belis tersebut biasanya dengan melarikan si gadis.
Namun tetap ada sanksinya.

C. Sistem Sosial
Penduduk Kabupaten Alor dengan latar belakang suku yang berbeda-beda, baik suku asli
yang berjumlah 50 suku asli maupun suku pendatang dari luar wilayah Kabupaten Alor.
Dalam hubungannya dengan interaksi sosial, baik antar suku asli maupun suku pendatang,
menunjukkan hubungan yang sangat harmonis karena ada keterikatan budaya dan
fungsional yang saling memutuhkan dalam suatu jalinan persaudaraan dan kekeluargaan.
Dalam hubungannya dengan keterkaitan budaya, penduduk Alor sejak lama dalam
menjalani kekerabatan sosial antar suku-suku asli maupun suku-suku tetangga diluar Pulau
Alor, telah tertanam nilai-nilai kekerabatan sosial yang dikenal dengan ”hubungan BELA”
dan ”hubungan EGALATARIAN”. Kedua nilai kekerabatan sosial tersebut masih
dijunjung tinggi sampai saat ini sebagai salah satu modal sosial yang memiliki kekuatan
dalam mempersatukan suku, agama, adat istiadat dalam kehidupan sosial masyarakat di
Alor. Kemudian keterkaitan fungsional antar suku asli dan suku pendatang yang selalu
terpeliharan keharmonisannya, karena suku asli memandang suku pendatang sebagai
pembawa inovasi dan pasar input dan pasar output produk suku asli yang masih
berorientasi produk tradisional.
Dalam kehidupan sehari-hari toleransi antar suku dan agama yang berbeda di Kabupaten
Alor sudah terbangun sejak dahulu, terbukti dengan catatan sejarah setiap adanya kegiatan
yang melibatkan suku atau umat agama tertentu akan mendapat bantuan dari suku dan
umat agama lainnya. Sebagai contoh dalam pembangunan gereja, seringkali umat muslim
terlibat aktif sebagai tukang bangunan atau sebagai tukang masaknya, begitu juga
sebaliknya dalam pembangunan masjid tentunya umat Kristen tidak tinggal diam, mereka
berperan sebagai tukang bangunan dan tukang masak untuk mendukung pembangunan
masjid tersebut. Hal yang sama terjadi juga pada perayaan keagamaan dan pembangunan
rumah adat suku tertentu. Ini menunjukkan Pemikiran masyarakat Alor yang penuh dengan
rasa persaudaraan dan toleransi yang tinggi, bahwa menurut mereka masyarakat berasal
dari satu tuhan yang sama dan tidak adanya prasangka buruk bahwa antar agama akan
mengancam eksistensi agama lainnya.
Masyarakat Alor percaya ada semacam nilai holistis yang muncul diantara mereka, yaitu
nilai kemanusiaan yang menyatukan alam semesta dan manusia terkait dengan itu mereka
berpendapat bahwa sang pencipta, alam semesta dan manusia menjadi satu kesatuan yang
total dan tidak bisa diubah atau bersifat mutlak.

D. Kebudayaan Fisik
1. Bahasa
Nusa Tenggara Timur memiliki keanekaragaman bahasa dan suku bangsa/ etnis.
Dengan latar belakang geografis yang terdiri dari berbagai pulau, maka ragam bahasa
dan etnisnya pun menyebar.
Untuk Pulau Alor dan pulau-pulau di sekitarnya, penduduk setempat menggunakan
bahasa Tewo Kadebang, Blagar, Lamuan Abui, Adeng, Katola, Taangla, Pui, Kolana,
Kui, Pura Kang Samila, Kule, Aluru, Kayu Kaileso. Di Kabupaten Alor terdapat aneka
ragam bahasa lokal kesenian tradisional, upacara adat dan kearifan lokal. Secara
linguistik Alor memang bermacam-macam. Sebuah survey terkini yang dilakukan
oleh peneliti-peneliti dari Universitas Leiden – Belanda, menunjukan bahwa di
Kepulauan Alor terdapat kira-kira 14 rumpun bahasa. Kebanyakan dari bahasa-bahasa
tersebut berhubungan dengan bahasa-bahasa Papua, kecuali bahasa yang dipakai oleh
beberapa komunitas nelayan di daerah pesisir yang umumnya diakui sebagai bahasa
Alor, bahasa yang memiliki hubungan dengan bahasa Lamaholot, salah satu bahasa
dalam rumpun bahasa Austronesia yang dipakai di Flores timur
Kabupaten Alor yang terdiri atas keragaman suku asli, tidak terlepas dari kekayaan
etnolinguistik (56 bahasa ibu) yang dikelompokan dalam 13 rumpun bahasa, yang satu
sama lainnya sangat berbeda untuk dimengerti. Sehingga dalam interaksi sosial antar
penduduk di Kabupaten Alor selalu menggunakan Bahasa Indonesia sebagai satu-
satunya bahasa komunikasi antar suku-suku di Alor.

2. Sistem Organisasi Sosial


a. Sistem Kekerabatan
Kekerabatan adalah suatu relasi yang membawa setiap orang untuk berhimpun
guna hidup bersama secara harmonis karena tali persaudaraan atas dasar
keturunan darah atau perkawinan. Kekerabatan juga mempengaruhi pergaulan
dan relasi antar etnis, budaya yang mendorong 8 orang dalam komunitas dimana
orang hidup dalam lingkungan tertentu saling membantu, saling menolong yang
menimbulkan semangat persaudaraan yang intens terutama dalam peristiwa-
peristiwa gembira dan peristiwa-peristiwa tatkala menghadapi bencana dan
peristiwa duka.
Pola system kekerabatan yang telah lama dibina oleh masyarakat di Kabupaten
Alor adalah sistem "Kakak-Adik (Kakang-Aring), Opung-Anang, Bineng-Wia,
Gunung-Pante, dan lain sebagainya. Pola hubungan kekerabatan yang ada di
Kabupaten Alor ini hampir mirip dengan pola hidup bersaudara yang ada di pulau
Ambon dalam bentuk pela, gandong, adik-kakak, ina nara, ama Sali, kai wai,
sobat dan sebagainya dengan cita rasa persaudaraan yang tinggi, sehingga mereka
bisa hidup saling menghargai, saling tolong menolong atau saling berbagi dan
saling melindungi dalam sebuah tabiat adat yang khas.
Realisasi dari system kekerabatan seperti itu dalam kehidupan sehari-hari dapat
dilihat dari bentuk interaksi sosial antara sesama; dimana :
1) Seorang kakak (Kakang-Tata), baik sedarah (tale tou, ateng tou, wurong tou),
sepersusuan (taka tou tenung tou), maupun sesuku (pake tou hanga tou) akan
bertanggungjawab penuh terhadap adiknya (Ka'uAring) dalam segala hal.
sebaliknya seorang adik (Ka'u-Aring) berkewajiban untuk mentaati
kakaknya (Kakang-Tata) dalam segala hal selama perintah itu tidak
bertentangan dengan norma-norma agama dan adat istiadat yang berlaku.
2) Seorang lpar (opung) dan lsteri Rumah (wia), masing-masing akan senantiasa
mendengar dan memahami suara lisan dan suara hati masing-masing pihak.
Maksudnya bahwa, jika seorang opung (ipar) menginginkan saudari
perempuan (wia) dari opung yang lain maka tidak ada istilah menolak. Sebab
bila menolak keinginan dari opung dan kemudian kawin dengan orang lain
yang bukan tergolong opung yang sebenarnya, maka rumah tangga yang
dibangun diyakini tidak akan bahagia karena selalu dihadapkan dengan
dinamika rumah tangga yang tidak harmonis. Di sinilah seringkali terjadinya
kontras antara ketentuan agama tentang kawin paksa. Bahkan dalam
kehidupan masyarakat Alor bahwa, perkawinan yang melangkahi keinginan
opung ini sulit mendapatkan "keturunan" sebagai akibat dari pelanggaran
terhadap system kekerabatan yang telah diwariskan oleh para leluhur
terdahulu.
3) Istilah Gunung-Pante adalah satu istilah dalam system kekerabatan yang
mungkin hanya dimiliki oleh masyarakat di Kabupaten Alor. Dimana istilah
Gunung (Non Muslim) dan pante (Muslim) memiliki hubungan darah yang
melahirkan pola kekerabatan tersendiri sebagai salah satu akibat dari kawin-
mawin. Karena itu jangan heran atau kaget bila di Kabupaten Alor ada
beberapa marga yang berada di gunung dan pante sekaligus; seperti marga
Blegur, Mau, Subang, Djaha, Dopong, Gomang, Beli, Duka, Lobang dan lain
sebagainya. Sistem kekerabatan seperti ini sangat menghargai perbedaan
agama yang dianut sehingga keluarga di gunung akan sangat sibuk bila ada
urusan keluarga pante dan sebaliknya. Kesibukan itu meliputi segala
persiapan dan kebutuhan yang berkenaan dengan kegiatan keagamaan dari
kedua belah pihak yang semarga walaupun berbeda agama.

b. Sistem Pelapisan Sosial


Perbedaan status sosial dalam masyarakat merupakan satu gejala umum yang
terdapat dalam hampir semua masyarakat. Demikian juga halnya dengan
masyarakat Alor. Dalam masyarakat ini juga mengenal lapisan-lapisan sosial
yang memisahkan anggota masyarakat satu dengan yang lainnya.Masyarakat
Alor terkhususnya yang berada di Aimoli mengenal tiga lapisan masyarakat,
yaitu:
1) Lapisan bangsawan/ raja (aneng/afen).
2) Lapisan menengah (yang di bagi atas tiga bagian:kapitan,hukung,marang).
3) Lapisan rakyat biasa (serang).
Susunan masyarakat pada lapisan pertama dan kedua merupakan dewan adat
yang mempunyai tugas masing-masing di bawah pimpinan ketua adat.
Raja/aneng (ketua adat) adalah pucuk pimpinan adat di tempat itu; keputusan
adat yang tertinggi berada di tangannya. Dalam tugas-tugas keagamaan
maupun kemasyarakatan, marang turut memegang peranan yang lebih penting
samping raja (aneng/afen). Dalam upacara-upacara keagamaan,marang turut
memegang peranan yang lebih penting, terutama menolak bala atau menolak
gangguan roh-roh jahat. Marang dikenal sebagai imam adat yang juga
mempunyai peranan dalam hal-hal kemasyarakatan, misalnya dalam upacara
penobatan seseorang dalam suku

3. Sistem Pengetahuan
Mata pencaharian masyarakat Kabupaten Alor mayoritas sebagai petani lahan kering
atau sawah tadah hujan dan perkebunan. Dalam mengelola lahan pertaniannya, petani-
peladang Alor mempunyai pengetahuan mengenai sistem kosmologi pertanian yang
dikenal dengan “tahun genap” dan “tahun ganjil” untuk menandai keberhasilan
kegiatan di ladang. Penentuan tahun genap-ganjil ini dapat dilihat dari tanda-tanda
tertentu.
Tahun Genap Tahun Ganjil
 Banyak hasil panen, tidak banyak  Tanaman banyak dimakan sampai
hama. habis oleh hama-hama.
 Hama yang muncul hanya tikus biasa,  Tikus yang datang pada tahun ini
mereka makan langsung ke buahnya. ukuran tubuhnya lebih besar (dua
 Menanam padi, jagung, ubi dalam telapak tangan melingkar),
jumlah yang besar sebagai cadangan kepalanya kecil tapi panjang. Tikus
selama dua tahun atau tiga tahun. ini makan dari batang sampai ke
 Ada bintang terang seperti segitiga buahnya
muncul di arah timur.  Selain tikus juga ada belalang, ulat,
 Bunga mangga yang keluar pada dan gagak. “Gagak kalau di usir
awal oktober seperti ini banyak malah marah”, katanya.
buahnya dan kemiri juga banyak. Di  Bintang terang berbentuk segitiga
samping itu, pohon asam juga muncul di arah barat
berbuah banyak.  Buah mangga biasanya sudah
banyak ulatnya, atau berbuah tetapi
hanya sedikit

Masyarakat petani-peladang di Alor, meskipun sudah mengetahui ada tahun ganjil


dan tahun genap, mereka tetap mengusahakan perintisan ladang setiap tahun.
Alasan yang mereka kemukakan ketika mereka menanam di tahun ganjil, ialah
hasil panen tersebut digunakan untuk persiapan bibit di tahun genap. Hal ini harus
dilakukan untuk mendapatkan kualitas bibit yang bagus.

4. Sistem Teknologi
a. Arsitektur Rumah Adat Alor
Bentuk dasar rumah adat alor ini adalah berbentuk limas.rumah adat alor ini
beratap daun kelapa,selalu di topang oleh 4 pilar dalam bingkay pohon asam,dan
berdinding anyaman bambu.sedangkan rumah adat alor yang di sebut rumah
gudang memiliki bentuk yang aga berbeda rumah adat gudang berbentuk
persegi,ditopang oleh empat buah tiang.Dari luar rumah ini terlihat tidak
berdinding.bentuknya lebih seperti balai-balai,namun begian loteng inilah yang
menjadi tempat beristrahat pemilik rumah tersebut.
b. Kain tenun khas Alor
Salah satu provinsi yang dikenal memiliki kain tenun dengan motif yang begitu
kaya adalah Nusa Tenggara Timur (NTT). Setiap suku memiliki ragam hias
tenunan, yang menampilkan berbagai tokoh mitos, binatang, tumbuhan, dan motif
abstrak yang dijiwai dari penghayatan akan alam semesta. di Alor dapat
ditemukan hampir sekitar 81 motif tenun. Kain tenun yang dikembangkan oleh
setiap suku di NTT ini merupakan seni kerajinan tangan yang diajarkan secara
turun-temurun kepada anak-cucu. Kain tenun ini secara adat dan budaya memiliki
banyak fungsi, antara lain sebagai busana sehari-hari, busana untuk tarian atau
upacara adat, sebagai mas kawin, alat penghargaan dalam upacara kematian, alat
pembayar denda adat, alat tukar (uang), perlambang strata sosial seseorang, alat
penghargaan kepada tamu, sampai alat untuk menolak bencana. Dalam
masyarakat NTT, kain tenun dianggap sebagai harta kekayaan yang bernilai
tinggi karena kain ini pembuatannya sangat sulit dan membutuhkan waktu lama/

Sejak dahulu hingga sekarang, kain tenun Alor terkenal dengan keindahan motif.
Bahkan, aneka warna yang dihasilkan berasal dari tumbuhan. Para perajin kain
tenun di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, tak hanya pandai menenun. Mereka
pun pandai memintal benang. Pemrosesan dari kapas hingga menjadi kain,
ternyata membutuhkan waktu hingga lima bulan lamanya.
Prosesnya diawali dengan membersihkan kapas dengan alat yang disebut beneha
kapo klukung. Selanjutnya kapas dipintal menjadi benang. Setelah menjadi
benang baru diberi warna sesuai selera. Adapun zat pewarna yang digunakan
bukan dari bahan kimia, tapi dari tumbuh-tumbuhan.
Warna hijau dihasilkan dari daun pepaya, kuning dari kunyit dan hitam dari daun
nila. Ada 30 jenis warna bisa dihasilkan dari tetumbuhan yang hidup di Pulau
Alor. Proses pewarnaan pun memakai cara tradisional, seperti digoreng di atas
kuali atau penggorengan.
Kain yang telah diberi bermacam-macam warna ini kemudian ditenun menjadi
selendang atau sarung dengan motif khas Pulau Alor, antara lain rumah adat dan
moko.

5. Sistem Ekonomi
Mata pencaharian orang Alor pada dasarnya adalah perladangan berpindah dengan
teknik tebang dan bakar. Tanaman pokoknya adalah jagung, diikuti oleh tanaman
padi, ubi kayu, sorgum, dan kacang-kacangan. Selain itu mereka masih melakukan
pekerjaan tambahan tradisional lain, seperti berburu, menangkap ikan, meramu hasil
hutan, dan membuat barang-barang anyaman untuk dibarter. Sama seperti berbagai
kegiatan hidup penting lainnya, kegiatan mata pencaharian ini juga mereka atur sesuai
dengan hukum adat. Saat ini masyarakat Kabupaten Alor mayoritas bekerja sebagai
petani lahan kering atau sawah tadah hujan dan perkebunan, disusul sebagai nelayan,
pedagang dan Pegawai Negeri Sipil.

6. Sistem Religi
Sebelum masuknya agama-agama besar di Alor, penduduk Alor menganut paham
animisme dan dinamisme. Mereka menyembah matahari (Larra/Lera), bulan
(Wulang), sungai (Neda/dewa air), hutan (Addi/dewa hutan), dan laut (Hari/dewa
laut). Saat ini mayoritas penduduk Alor adalah penganut agama Kristen Protestan,
Islam, Katolik dan Hindu. Menurut catatan Sejarah, Agama Islam masuk pertama kali
di wilayah Kabupaten Alor yaitu sekitar tahuan 1522, ditandai dengan kehadiran
mubaligh dari Kesultanan Ternate melalui Desa Gelubela (sekarang Baranusa) di
Pulau Pantar yang sampai dengan saat ini masyarakat wilayah tersebut masih
beragama Islam. Agama Kristen pertama kali masuk Alor pada masa administrasi
Controleur Bouman pada tahun 1908 ketika seorang pendeta berkebangsaan Jerman,
D.S. William-Bach, tiba dengan kapal Canokus dan kemudian kegiatan penyebaran
agama Kristen dari Pantai Dulolong. Gereja pertama di Alor dibangun pada tahun
1912, dinamai Gereja Kalabahi (sekarang dikenal sebagai Gereja Pola). Dalam
pengerjaan gereja tersebut dilakukan bersama-sama antara para Tukang dari umat
muslim dengan umat Kristen, ini merupakan bukti dari adanya toleransi antar-umat
beragama di Alor sejak dulu.

7. Kesenian
a. Tarian Khas Alor
Salah satu tarian dari Alor yang terkenal adalah tarian Lego-Lego. Tari Lego-Lego
menurut beberapa sumber merupakan tarian tradisional Suku Abui, suku yang
mendiami kampung tradisional Takpala, terletak di Kabupaten Alor, Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Namun pada kenyataannya hampir semua suku di Kabupaten
Alor melakukan tarian Lego-lego yang merupakan tarian yang merupakan lambang
kekuatan persatuan dan persaudaraan warga Suku Abui ini dilakukan secara massal
dengan bergandengan tangan dan bergerkan secara melingkar. Para penari
memakai busana adat, sementara rambut kaum perempuan dibiarkan terurai. Di
kaki para penari dipasang gelang perak yang akan memantulkan bunyi gemerincing
jika digerakkan. Tetabuhan gong dan gendang dari kuningan atau moko mengiringi
polah para penari yang bergerak rancak sambil mengumandangkan lagu dan pantun
dalam bahasa adat setempat. Tari Lego-Lego dilakukan dengan mengelilingi tiga
batu bersusun yang disebut mesbah, benda yang disakralkan dalam tradisi Suku
Abui. Biasanya, Lego-Lego ditarikan selama semalam suntuk.
b. Alat musik tradisional suku Alor
Alor mempunyai alat musik khas yang mirip gendang yang disebut dengan Moko.
Secara fisik, Moko berbentuk seperti drum dengan diameter 40cm-60cm dan tinggi
80cm-100cm. Benda ini terbuat dari perunggu atau logam. Di sekujur tubuhnya
terdapat hiasan tradisional yang disinyalir menyerupai motof hiasan di zaman
kebudayaan Dongson, Vietnam utara

Orang Alor bisa membedakan dengan sangat baik setiap jenis Moko berdasarkan
ragam hias, bentuk dan ukurannya. Secara umum Moka dapat dibedakan menjadi
dua. Moko ynag diproduksi sebelum ada pengaruh Hindu di Indonesia dan Moko
yang diproduksi sesudah ada pengaruh Hindu.
Moko adalah benda masa silam yang lahir dari tangan terampil nenek moyang. Di
zamannya, ia berfungsi sebagai alat musik tradisional yang digunakan pada waktu
upacara adat dan acara kesenian lainnya. Selain itu Moko juga dipakai alat tukar-
menukar barang. Dan yang tertinggi, Moko juga digunakan sebagai Mas Kawin
untuk meminang calon mempelai perempuan serta sebagai symbol status social
masyarakat ALor.
Seorang peneliti Asing, Cora Dubois, menjelaskan empat fungsi Moko. Pertama,
Moko sebagai simbol status sosial. Pemilki jumlah dan jenis Moko tertentu
menunjukan status sosial sesorang dalam masyarakat. Misalnya MokoMalei
Tana atau Moko Itkira. Kepemilikan Moko ini menunjukan status sosial yang
cukup tinggi dan terpandang. Bahkan oarng yang memiliki Moko ini dalam jumlah
tertentu akan cukup berpengaruh dalam setiap kepemimpinan tradisional.
Kedua, Moko sebagai peralatan belis atau mas kawin. Seorang pria yang hendak
menikah harus menyerahkan sejumlah Moko kepada keluarga perempuan calon
isteri. Kaum bangsawan menggunakan Moko Malei Tanasebagai mas kawin.
Orang biasa menggunakan Moko Malei Utangpei yang disebut delapan bobak.
Ketiga, Moko sebagai alat tukar ekonomi. Sejak dahulu orang Alor mengenal
Moko sebagai alat tukar seperti uang. Dalam hal ini Moko dapat ditukar dengan
barang tertentu secara barter. Hal inilah yang kemudian menyebabkan inflasi pada
jaman pemerintahan kolonial Belanda sehingga Belanda membuat sistem baru
dengan membatasi peredaran Moko. Keempat, Moko sebagai alat musik. Moko
dapat menggantikan fungsi tambur yang terbuat dari kayu dan kulit hewan Alat
musik gong dan Moko biasanya dimainkan untuk pengiring tari-tarian. Dalam
perspektif orang Alor, gong yang berbentuk plat dalam posisi telungkup adalah
lambang kewanitaan. Sedangkan Moko berbentuk bulat dalam posisi berdiri adalah
lambang kejantanan
Masyarakat Alor sangat percaya bahwa moko berasal dari tanah dan hanya dimiliki
para bangsawan karena nilainya yang sangat tinggi. Oleh karena itu hampir bisa
dipastikan tidak ada masyarakat adat di Nusantara yang mengoleksi moko dalam
jumlah banyak seperti suku-suku di Alor.

c. Syair daerah
Selain tarian Lego-Lego dan Moko sebagai bentuk kesenian Alor, terdapat pula
syair-syair lagu daerah seperti Leoro piringsina tanah moko jawa, Raja mauboli,
Bungamelangkiki, Simane dan Nea serta semboyan pemersatu ”Taramiti
Tominuku” (bersehati kita teguh, bersama kita bisa), ”Webuk Wangkape” (yang
jauh/berbeda diikat menjadi dekat/ satu), Kuli Mati-mati Haki Tiwang Lewo
(Semangat bersama membangun daerah dari jauh/rantauan), Dike Date Ite Lewo
Tanah (Semangat membangun kemandirian dari potensi sendiri), dan lain-lain

8. Makanan Khas
a. Jagung titi
Bisa dibilang inilah popcorn khas Nusa Tenggara Timur. Sebab jagung yang
disangrai kemudian dipipihkan ini rasanya sangat mirip popcorn namun berbentuk
layaknya emping. Jagung titi biasa cocok dijadikan camilan untuk menemani
minum kopi atau teh.

b. Jagung Bose
Berbeda dengan jagung titi yang kering, jagung bose ini berkuah. Bulir jagung
dimasak dengan cara direbus, kemudian dimasak dengan santan dan kacang.

c. Kenari
Kenari juga merupakan salah satu ciri khas cemilan masyarakat alor. Biasanya
Jagung titi dimakan dengan biji kenari yang sudah dikupaskulitnya.
d. Kue Rambut
Kue rambut terbuat dari campuran adonan tepung dan gula lempeng (gula lontar),
kemudian digoreng menggunakan alat dan teknik tertentu sehingga menghasilkan
kue bertekstur suwir-suwir seperti rambut.

e. Ikan kuah asam


Untuk yang satu ini sangat patut dicoba saat berkunjung ke Alor. Rasa sup sangat
segar, dengan penggunaan asam muda. Biasanya dimasak dengan kepala ikan agar
semakin gurih. Asam muda dan tambahan kemangi membuat hidangan ini sama
sekali tak amis.
f. Sayur bunga pepaya dan ubi jantung pisang
Dua sayur ini adalah jenis hidangan sayur yang paling banyak ditemui saat makan
di Alor. Biasanya disandingkan dengan ikan bakar yang segar. Orang Alor gemar
makan sayuran dan handal membuat sambal yang pedas.

Anda mungkin juga menyukai