o
o
peradaban sejarah. Perjalanan sejarah masaa lalu Maluku Utara mempunyai empat kerajaan terpenting di Nusantara, yaitu kerajaan Ternate, Tidore, Bacan dan
Jailolo.
Maluku Utara populer sebagai sentra penghasil rempah-rempah semenjak sekitar era ke-15 memunculkan interaksi perdagangan yang menghadapkan Maluku
Utara dengan bangsa-bangsa lainnya. Cengkeh pada ketika itu merupakan komoditas perdagangan yang banyak dicari oleh para pedagang dari luar. Untuk
menghindari persaingan perdagangan dibangunlah prinsip-prinsip kerukunan kekeluargaan di antara para raja.
Prinsip kerukunan kekeluargaan ini digambarkan dalam suatu mitos sebagaimana yang tercantum dalam Hikayat Ternate yang ditulis oleh Naidah pada era ke-
19. Menurut mitos itu, menjadi keempat kerajaan tersebut merupakan keturunan seorang ulama dari Timur Tengah berjulukan Jafar Sadek yang menikah dengan
seorang bidadari, setempat Nur Sifa. Kerukunan keempat kerajaan tersebut mulai pecah dan berkembang menjadi persaingan ketika Portugis dan Spanyol tiba di
Maluku Utara. Pada tahun 1512, Ternate bekerjasama dengan Portugis sementara Tidore bekerjasama dengan Spanyol.
Rumah adat Sasadu merupakan rumah adat yang diwariskan oleh leluhur suku Sahu di Pulau Halmahera Barat, Maluku Utara.
Sasadu berasal dari kata Sasa – Sela – Lamo atau besar dan Tatadus – Tadus atau berlindung, sehingga Sasadu mempunyai arti
berlindung di rumah besar. Rumah adat Sasadu mempunyai bentuk yang mudah atau sederhana yaitu berupa rumah
panggung yang dibangun memakai materi kayu sebagai pilar atau tiang penyangga yang berasal dari batang pohon sagu,
anyaman daun sagu sebagai epilog atap rumah adat dan mempunyai dua pijakan tangga terletak di sisi kiri dan kanan.
Pada rumah adat Sasadu terdapat dua ujung atap kayu yang diukir dan mempunyai bentuk haluan dan buritan bahtera yang
terdapat pada kedua ujung atap. Bubungan tersebut melambangkan bahtera yang sedang berlayar alasannya ialah suku Sahu
merupakan suku yang suka berlayar mengarungi samudera. Selain itu pada bubungan atapnya digantungkan dua buah bulatan
yang dibungkus ijuk. Bulatan itu menggambarkan simbol dua kekuatan supranatural yaitu kekuatan untuk membinasakan dan
kekuatan untuk melindungi.
Rumah adat Hibualamo didirikan kembali sebagai symbol perdamaian pasca konflik SARA pada tahun 1999 - 2001. Oleh
alasannya ialah itu pembangunannya pun mengalami perkembangan dibandingkan bentuk aslinya yang berupa rumah
panggung. Bentuk orisinil rumah adat ini berada di Pulau Kakara, Halmahera Utara dan biasa disebut Rumah adat Hibualamo
Tobelo
Bangunan rumah adat Hibualamo dibangun dengan banyak symbol yang mempunyai arti tersendiri yang bekerjasama dengan
persatuan. Konstruksi rumah adat ibarat bahtera yang mencerminkan kehidupan kemaritiman suku Tobelo dan Galela yang
ada di pesisir. Bangunannya mempunyai bentuk segi 8 dan mempunyai 4 pintu masuk yang menyampaikan simbol empat
arah mata angin dan semua orang yang berada didalam rumah adat saling duduk berhadapan yang menyampaikan kesetaraan
dan kesatuan.
Pada rumah adat Hibualamo terdapat 4 warna utama yang masing – masing mempunyai arti. Warna merah mencerminkan
kegigihan usaha komunitas Canga, warna kuning mencerminkan kecerdasan, kemegahan dan kekayaan. Warna hitam
mencerminkan solidaritas dan warna putih mencerminkan kesucian.
2. Pakaian Adat
Berbicara wacana budaya Maluku Utara, pada kesempatan kali ini kami akan mengulas salah satu peninggalan kebudayaan yang berupa pakaian adat. Pakaian adat
Maluku Utara selain berkhasiat sebagai pemenuhan kebutuhan fisik sandang, juga sanggup berfungsi sebagai status sosial pemakainya, mengingat terdapat
perbedaan-perbedaan yang spesifik dalam hukum pengenaan pakaian adat tersebut berdasarkan kedudukan pemakainya dalam strata sosial.
Sedikitnya kami telah merangkum 4 jenis pakaian adat Maluku utara berdasarkan kelas sosial pemakainya. Keempat jenis pakaian tersebut antara lain pakaian adat
sultan dan permaisuri, pakaian adat bangsawan, pakaian adat dewasa putra putri, dan pakaian adat rakyat biasa.
kebesarannya. Pakaian untuk sultan berjulukan Manteren Lamo. Pakaian adat Maluku Utara ini terdiri dari jas tertutup berwarna merah dengan 9 kancing besar
yang terbuat dari perak, dan ujung tangan, leher, serta saku jas bab luar dihiasi dengan bordir dan pernik keemasan.Warna merah pada jas melambangkan
keperkasaan dan kekuasaan sang sultan. Pakaian ini dikenakan dengan bawahan celana panjang berwarna hitam dan tutup kepala atau destar khusus mirip yang
Pakaian istri sultan atau sang permaisur berjulukan Kimun Gia. Pakaian ini ialah kebaya yang dibentuk dari kain satin putih yang dipadukan dengan bawahan
berupa kain songket yang diikat dengan ikat pinggang emas. Selain itu, permaisuri juga akan mengenakan aksesoris lainnya sebagai pernik hiasan. Akeseoris
tersebut antara lain selendang, konde pada sanggul, kalung, serta bros dan peniti yang dibentuk dari berlian, intan, atau emas.
bermacam-macam kelengkapan lainnya mirip yang sanggup dilihat pada gambar. Sementara untuk para perempuan bangsawan, pakaian yang dikenakan berupa
dewasa putra disebut baju koja. Baju ini ialah perpaduan jubah panjang berwarna biru atau kuning muda yang melambangkan jiwa muda, serta bawahan celana
panjang hitam atau putih dan tutup kepala berjulukan toala polulu. Sementara pakaian adat untuk dewasa putri ialah perpaduan kebaya dan kain songket yang
dilengkapi dengan bermacam-macam aksesoris mirip kalung rantai emas (taksuma), anting susun dua, serta bantalan kaki berjulukan tarupa.
para laki-laki maupun para wanitanya. Sayangnya jenis pakaian ini sudah sangat sulit ditemukan ketika ini.
3. Tari daerah
A.Tari Gumatere
T ari Gumatre ialah homogen tarian tradisional masyarakat Maluku Utara yang dimaksudkan untuk meminta petunjuk atas suatu problem ataupun fenomena
alam yang sedang terjadi. Tarian ini dibawakan oleh 30 orang penari laki-laki dan wanita.
Penari laki-laki memakai tombak dan pedang sedangkan penari perempuan memakai lenso. Yang unik dari tarian ini ialah salah seorang penari akan memakai kain
hitam, nyiru dan lilin untuk ritual meminta petunjuk atas suatu kejadian. Gumatere merupakan tarian tradisional rakyat Morotai.
B. Tarian Cakalele
T arian Cakalele ini merupakan tarian perang yang ketika ini dipertunjukan pada ketika menyambut tamu agung yang tiba ke daerah tersebut . Tarian Cakalele ini
tersebut dimainkan oleh beberapa laki-laki yang biasanya memakai Parang dan Salawaku sedangkan perempuan biasa memakai Lenso (sapu tangan). tarian
memindahkan kapal kayu yang telah jadi dibentuk dari gunung ke pantai . Tarian tersebut juga digunakan untuk memindahkan kapal yang sudah kandas di laut.
Bahkan untuk para raja-raja tarian bambu gila ini juga digunakan untuk melawan para musuh yang tiba untuk menyerang . Dan kini tarian tersebut dijadikan
sebagai hiburan pada ketika ada program adat dan pesta . Tarian tersebut memakai bambu yang berukuran kira - kira 10 - 15 meter . Sebelum tarian ini dimulai
pertama-tama pawang akan mengkremasi kemenyan atau dupa terlebih dahulu dengan diirngi pembacaan doa biar diberikan keselamatan hingga selesai
memainkan. Setelah itu bambu tersebut berguncangan dengan perlahan semakin usang bambu tersebut akan semakin kencang.
D. Tarian Lenso
T arian Lenso ialah tarian muda-mudi dari daerah Minahasa (sulut) dan daeah Maluku,Tarian ini biasanya di bawakan secara ramai-ramai jikalau ada Pesta. Baik
Pesta Pernikahan, Panen Cengkeh, Tahun Baru dan acara lainnya. Tarian ini juga sekaligus ajang Pencarian jodoh bagi mereka yang masih bujang. Lenso artinya
Saputangan. Istilah Lenso, hanya digunakan oleh orang-orang (masyarakat di daerah Sulut, sebagian Sulteng dan daerah lain di Indonesia Timur)
sendiri bermakna ‘semangat pantang’. Tarian ini sudah ada semenjak ratusan tahun yang lalu, lo! Tarian ini menggambarkan usaha masyarakat Kayoa, di
Kabupaten Halmahera Selatan di zaman dahulu. Di tahun 1570-1583 terjadi penyerbuan ke Benteng Nostra Senora del Rosario (Benteng Kastela), diujung Selatan
Ternate oleh Sultan Babullah (Sultan Ternate ke-24) dan pasukannya. Penyerbuan ini bertujuan untuk mengambil mayat ayah handa Sultan Babullah, yaitu Sultan
Khairun yang dibunuh oleh tentara Portugis. Pertempuran itu menandai kebangkitan usaha rakyat Kayoa terhadap penjajah dengan mengepung benteng tersebut
dimaknai sebagai perang pembebasan dari Portugis hingga jatuhnya tahun 1575. Pada masa berikutnya Kesultanan Ternate menjadi penguasa 72 pulau
berpenghuni di wilayah timur Nusantara hingga Mindanao Selatan di Filipina dan Kepulauan Marshall. Pakaian yang dikenakan dalam tarian ini ialah pakaian
berwarna putih dan kain sambungan mirip rok berwara-warni, yaitu merah, hitam, kuning, dan hijau. Setiap penari mengenakan ikan kepala waena kuning (taqoa)
yang merupakan symbol seorang prajurit perang. Perlengkapan yang digunakan ialah berupa pedang (ngana-ngana) dari bambu berhiaskan daun palem (woka)
berwarna merah, kuning dan hijau, serta dipasangkan kerincing atau biji jagung di dalamnya. Selain itu, para penari juga membawa perisai (salawaku).
Musik pengiring tarian ini ialah gendang (tifa), gong (saragai), dan gong yang berukuran kecil (tawa-tawa). Gerakan di tarian ini menggambarkan terlihat mirip
menyerang, mengelak dan menangkis. Jumlah penari soya-soya sendiri tidak ditentukan. Bisa hanya empat orang dan bahkan hingga ribuan penari. Masyarakat
Maluku Utara sangat menjaga kelestarian tarian ini. Oleh alasannya ialah itu, bawah umur di wilayah Maluku Utara sudah diajari Tari Soya-soya semenjak kecil.
4. Senjata Tradisional
Senjata Parang dan Sawalaku, digunakan pada ketika berperang, berburu binatang serta digunakan penari laki-laki pada tarian caklele.
5. Suku
Beraneka ragam suku yang terdapat di Maluku Utara, yakni Suku Loloda, Tobaru, Sawai, Ternate, Makian Barat, Makian Timur, Pagu, Siboyo, Gane, Ange, Suku Arab
Bahasa ibu orang Ternate ialah Bahasa Ternate, yang banyak memengaruhi bahasa Melayu Maluku Utara, yakni bahasa persatuan di Maluku
Utara. Mata pencaharian orang Ternate, terutama ialah bertani dan melaut (mencari ikan). Komoditas pertanian yang populer dari daerah ini ialah
cengkeh, kelapam dan pala. Orang Ternate juga dikenal sebagai pelaut yang ulung. Menurut sensus 2010, 97% suku ternate memeluk Islam,
Suku Moro
o Suku Moro, ialah suatu suku yang konon berdasarkan mitos pernah hidup di pulau Morotai, salah satu pulau di kepulauan Halmahera Utara
provinsi Maluku Utara Indonesia.Masyarakat kepulauan Halmahera meyakini bahwa suku Moro pernah berdiam di pulau Morotai, salah satu
pulau di kepulauan Halmahera Utara. Pada masa kemudian terdapat sebuah kerajaan berjulukan Kerajaan Jailolo yang diperintah oleh seorang
raja yang adil dan bijaksana. Namun ketika masuknya Portugis pada 15, Kerajaan Jailolo yang rakyatnya ialah suku Moro, terdesak ke dalam
hutan Morotai. Setelah itu suku Moro ini mirip raib di dalam hutan. Ada sebuah anggapan bahwa suku Moro pindah ke pulau lain, yang
diperkirakan ke Filipina. Tapi kisah masyarakat Halmahera wacana suku Moro tetap menjadi dongeng hangat di kalangan masyarakat Halmahera
hingga ketika ini. Beberapa tua-tua adat (pemuka adat atau orang yang dituakan di Morotai), menyampaikan bahwa suku Moro ialah penduduk
orisinil pulau morotai. Tidak diketahui apakah suku Moro di Morotai ada relasi dengan suku Moro di Filipina. Belum pernah ada penelitian
6. Bahasa Daerah
Bahasa Melayu Utara atau Melayu Ternate.
7. Lagu Daerah:
Lagu Borero dan Moloku Kie Raha.
Anda gres saja membaca artikel dengan judul Kebudayaan Provinsi Maluku Utara , Semoga