Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

SEJARAH BUDAYA BUTON

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah :

Studi Sosial Budaya Masyarakat Buton

Dosen pembimbing :

Dr. Hamzah, M.I.Kom

Disusun oleh :

Ikawati (151901012)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BUTON

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PRODI ILMU KOMUNIKASI

2021
Kata Pengantar

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah tentang sejarah suku Buton dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Studi Sosial Budaya Masyarakat Buton .
Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang sejarah Buton bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Hamzah selaku dosen mata kuliah ini. Penulis
menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang
membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Baubau, 22 maret 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada umumnya tiap-tiap daerah di Indonesia memiliki seni, sastra, bahasa lisan, dan tulisan, adat
istiadat, tata cara dan tata krama pergaulan, dan nilai-nilai kehidupan yang beranekaragam.
Semuanya itu merupakan gambaran kekayaan budayah daerah di Indonesia dari masa ke masa.
Oleh karena berkembangnya zaman dari masa tradisional ke masa moderen seperti sekarang ini,
maka semua unsur budaya tersebut berangsur-angsur berkurang bahkan punah . Berangkat dari
kenyataan itu, maka sangatlah pantas jika hal-hal yang berkaitan dengan tradisi harus selalu
dipertunjukan agar kelestariannya tetap terjaga. Tradisi di Indonesia yang menjadi bagian dari
seni adalah nyanyian rakyat Walau pada kenyataannya, nyanyian ini bukan merupakan bagian
dari seni musik secarah utuh, sebagian kecil nyanyian ini dapat menyumbangkan sesuatu yang
bermakna dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam hal ajaran moral. Saat ini di Sulawesi
Tenggara khususnya pada masyarakat kabupaten Buton kegiatan nyanyian rakyat masih dapat
kita jumpai walaupun dari sisi kuantitas sudah banyak berkurang penggunanya. Tentu hal
tersebut terjadi karena adanya akulturasi tradisi yang didalamnya tidak terjadi adanya
pemertahanan. Berangkat dari fenomena tersebut, munculah petak-petak kehidupann masyarakat
yang berakibat pada kecenderungan pola hidup sendiri-sendiri yang terbungkus dalam bentuk
dan makna nyanyian rakyat Muna berdasarkan status sosial.

Oleh karena itu tidaklah heran jika di Indonesia kita mendengar banyak budaya lisan maupun
tulisan tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Satu hal yang harus kita sadari bahwa
kebiasaan-kebiasaan yang sudah menjadi tradisi di Indonesia antara daerah yang satu dengan
daerah yang lainnya sangat jauh berbeda baik dari segi bentuk maupun prosesi pelaksanaannya.
Kenyataan itu, tentu disebabkan oleh banyaknya daerah kepulawan yang ada di indonesia.
Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang banyak memiliki daerah-
daerah kecil dan tentunya memiliki adat dan kebiasaan masing-masing pula. Salah satu daerah
yang dimaksud adalah kabupaten Buton . Di kabupaten Buton, banyak sisi yang berkaitan
dengan hiburan rakyat. Ada hiburan yang dapat menyenangkan hati semua orang dewasa, ada
hiburan khusus untuk anak-anak yang dapat mengobati rasa lelah karena aktifitas kesehariannya
membantu orang tua di kebun, bahkan adapula hiburan rakyat yang khusus dilakukan oleh
wanita yang sudah dipersunting dan sudah mempunyai momongan. Salah satu hiburan yang
dimaksud adalah kabanti atau nyanyian rakyat.
BAB 2

PEMBAHASAN

1. Asal muasal penamaan Buton hingga terbentuk sebagai Kesultanan

Nama Buton berasal dari nama sejenis pohon, yaitu pohon butun (Barringtonia asiatica).
Pohon butun tumbuh secara bebas di kawasan pelabuhan, pelayaran dan perdagangan yang
berada di pesisir selatan Pulau Buton. Pohon butun banyak digunakan oleh masyarakat Buton
pada tradisi membuat upacara yang dikenal sebagai kaepeta. Masyarakat setempat menggunakan
daun pohon butun sebagai ganti piring untuk makan dalam upacara tersebut. Daun pohon butun
digunakan pula sebagai bahan dasar membuat ketupat yang seukuran buah butun oleh
masyarakat setempat. Penamaan Buton merupakan penyerapan bahasa Melayu dari kosakata
butun. Sumber-sumber historiografi lokal Buton mendukung asal-usul nama Buton dengan
menyatakan bahwa Kerajaan Buton didirikan oleh empat orang imigran yang berasal dari
kawasan Johor yang merupakan wilayah suku Melayu

Buton adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah tenggara Pulau Sulawesi. Pada zaman
dahulu di daerah ini pernah berdiri kerajaan Buton yang kemudian berkembang menjadi
Kesultanan Buton.

Buton dikenal dalam Sejarah Indonesia karena telah tercatat dalam naskah Nagarakertagama
karya Prapanca pada Tahun 1365 Masehi dengan menyebut Buton atau Butuni sebagai Negeri
(Desa) Keresian atau tempat tinggal para resi dimana terbentang taman dan didirikan lingga serta
saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Nama Pulau Buton juga telah dikenal sejak
zaman pemerintahan Majapahit. Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau
Buton

Cikal bakal negeri Buton untuk menjadi sebuah Kerajaan pertama kali dirintis oleh kelompok
Mia Patamiana (si empat orang) yaitu Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati yang oleh
sumber lisan mereka berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke – 13.

Mereka mulai membangun perkampungan yang dinamakan Wolio (saat ini berada dalam
wilayah Kota Bau-Bau serta membentuk sistem pemerintahan tradisional dengan menetapkan 4
Limbo (Empat Wilayah Kecil) yaitu Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu yang
masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang Bonto sehingga lebih dikenal dengan
Patalimbona. Keempat orang Bonto tersebut disamping sebagai kepala wilayah juga bertugas
sebagai pelaksana dalam mengangkat dan menetapkan seorang Raja. Selain empat Limbo yang
disebutkan di atas, di Buton telah berdiri beberapa kerajaan kecil seperti Tobe-tobe, Kamaru,
Wabula, Todanga dan Batauga. Maka atas jasa Patalimbona, kerajaan-kerajaan tersebut
kemudian bergabung dan membentuk kerajaan baru yaitu kerajaan Buton dan menetapkan Wa
Kaa Kaa (seorang wanita bersuamikan Si Batara seorang turunan bangsawan Kerajaan
Majapahit) menjadi Raja I pada tahun 1332 setelah mendapat persetujuan dari keempat orang
bonto/patalimbona (saat ini hampir sama dengan lembaga legislatif).

Dalam periodisasi Sejarah Buton telah mencatat dua Fase penting yaitu masa Pemerintahan
Kerajaan sejak tahun 1332 sampai pertengahan abad ke – 16 dengan diperintah oleh 6 (enam)
orang raja diantaranya 2 orang raja perempuan yaitu Wa Kaa Kaa dan Bulawambona. Kedua raja
ini merupakan bukti bahwa sejak masa lalu derajat kaum perempuan sudah mendapat tempat
yang istimewa dalam masyarakat Buton. Fase kedua adalah masa Pemerintahan Kesultanan sejak
masuknya agama Islam di Kerajaan Buton pada tahun 948 Hijriah ( 1542 Masehi ) bersamaan
dilantiknya Laki La Ponto sebagai Sultan Buton I dengan Gelar Sultan Murhum Kaimuddin
Khalifatul Khamis sampai pada Muhammad Falihi Kaimuddin sebagai Sultan Buton ke – 38
yang berakhir tahun 1960.

Raja-raja Buton

1. Ratu ke I Wa Kaa Kaa

2. Ratu ke II Bulawambona

3. Raja ke III Bataraguru

4. Raja ke IV Tua Rade

5. Raja ke V Mulae

6. Raja ke VI La Kilaponto / Timbang Timbaga / Halu Oleo / Murhum

Sultan-Sultan Buton

1. Sultan Murhum (1491-1537),dengan gelar Sultan Kaimuddin

2. Sultan La Tumparasi (1545-1552) dengan gelar Sultan Kaimuddin,

3. Sultan La Sangaji (1566-1570) dengan gelar Sultan Kaimuddin,

4. Sultan La Elangi (1578-1615) dengan gelar Sultan Dayanu Iksanuddin,

5. Sultan La Balawo (1617-1619)

6. Sultan La Buke (1632-1645)

7. Sultan La Saparagau (1645-1646)

8. Sultan La Cila (1647-1654)


9. Sultan La Awu (1654-1664) dengan gelar Sultan Malik Sirullah,

10. Sultan La Simbata (1664-1669) dengan gelar Sultan Adilil Rakhiya,

11. Sultan La Tangkaraja (1669-1680) dengan gelar Sultan Kaimuddin,

12. Sultan La Tumpamana (1680-1689) dengan gelar Sultan Zainuddin,

13. Sultan La Umati (1689-1697)

14. Sultan La Dini (1697-1704) dengan gelar Sultan Syaifuddin,

15. Sultan La Rabaenga (1702)

16. Sultan La Sadaha (1704-1709) dengan gelar Sultan Syamsuddin,

17. Sultan La Ibi (1709-1711) dengan gelar Sultan Nasraruddin,

18. Sultan La Tumparasi (1711-712) dengan gelar Sultan Muluhiruddin Abdul Rasyid,

19. Sultan La Ngkarieri (1712-1750) dengan gelar Sultan Sakiyuddin Duurul Aalam,

20. Sultan La Karambau (1750-1752)Sultan Himayatuddin Ibnu Sultaani Liyaauddin Ismail

21. Sultan Hamim (1752-1759) dengan gelar Sultan Sakiyuddin,

22. Sultan La Seha (1759-1760) dengan gelar Sultan Rafiuddin,

23. Sultan La Karambau (1760-1763)Sultan Himayatuddin Ibnu Sultaani Liyaauddin Ismail

24. Sultan La Jampi (1763-1788) dengan gelar Sultan Kaimuddin,

25. Sultan La Masalalamu (1788-1791)

26. Sultan La Kaporu (1791-1799) dengan gelar Sultan Muhuyuddien Abdul Gafur,

27. Sultan La Badaru (1799-1822) dengan gelar Sultan Dayanu Asraruddin.

28. Sultan La Dani (1823-1824)

29. Sultan Muh. Idrus Kaimuddin (1824-1851)

30. Sultan Muh. Isa (1851-1861)

31. Sultan Muh. Salihi (1871-1886)

32. Sultan Muh. Umar (1886-1906)

33. Sultan Muh. Asikin (1906-1911)


34. Sultan Muh. Husain (1914)

35. Sultan Muh. Ali (1918-1921)

36. Sultan Muh. Saifu (1922-1924)

37. Sultan La Ode Muh. Hamidi (1928-1937)

38. Sultan La Ode Falihi Qaimuddin (1937-1960)

39. Sultan Drs. H. La Ode Manarfa (Putra Sultan La Ode Falihi Qaimuddin, Pelaksana Sultan
Buton sejak Sultan Falihi Qaimuddin mangkat) (1960 - 2002)

40. Sultan La Ode Muhammad Jafar (Mei 2012-19 Juli 2013)

41. Sultan dr. H. La Ode Muhammad Izat Manarfa, M.Sc (13 Des. 2013 – Sekarang)

2. Asal Usul Nama Khas Masyarakat Buton

Lalu siapakah sesungguhnya yang dimaksud dengan orang Buton?

Untuk menjawab pertanyaan ini memang tidak mudah, karena harus terlebih dahulu dilakukan
pemetaan pendekatan yang digunakan. Selama ini pendekatan yang digunakan untuk menyebut
dan menentukan etnik Buton banyak ditinjau dari segi wilayah kekuasaan dan geografis. Dari
segi wilayah kekuasaan, secara historis Buton adalah merupakan sebuah kekuasaan kesultanan
yang meliputi seluruh daratan Buton, Muna, Kabaena, Wawonii, Kepulauan tukang Besi dan
beberapa bagian daerah yang terletak di daratan besar Sulawesi Tenggara.

Tentang asal-usul nama depan “La” bagi pria dan “Wa” bagi wanita, tidak ada catatan sejarah
yang menulis dan menerangkannya. Adapun dugaan bagi sebagian orang sebagai mana yang
ditulis oleh Muluk, bahwa “La” berarti laki-laki dan “Wa” berari wanita2 , merupakan
pernyataan yang mengandung kesangsian sebab penggunaan nama “La” dan “Wa” sudah terjadi
jauh sebelum orang-orang Buton pandai berbahasa Indonesia. Terbukti bahwa raja pertama yang
memerintah kerajaan Buton tahun 1332 yaitu Raja Putri Wa Kaa Kaa belum berbahasa
Indonesia. Demikian juga dengan penyataan bahwa La merupakan singkatan dari Laa ilaha
Ilallah dan Wa berarti Waasyhaduanna Muhammadarrasulullah, ini juga tidak bisa dibuktikan
karena jauh sebelum masuknya Islam di Buton (tahun 1542), masyarakatnya sudah
menggunakan “La” dan “Wa” yang berfungsi sebagai penanda jender. Terbukti Sultan Buton
Pertama, La Kilaponto, sudah memakai nama ini sebelum memeluk agama Islam. Demikian juga
dengan dugaan bahwa mungkin nama-nama ini terpengaruh oleh nama orang-orang Portugis
yang menjajah Buton, pernyataan ini susah juga untuk dipercayai karena jauh sebelum Portugis
masuk di Buton sudah hidup orang-orang yang menggunakan nama-nama seperti ini, contoh La
Karembeu dan La Ketimanuru (panglima perang kerajaan yang gigih menentang Portugis)3
Nama depan La dan Wa merupakan bahasa ciri khas masyarakat Buton yang tidak ditemukan di
manapun, sebagai warisan budaya yang unik yang seharusnya perlu dijaga kelestariannya. Akan
tetapi sayang sekali warisan budaya yang sangat bernilai ini sekarang sudah berada diambang
kepunahan. Ia tidak mampu melawan pengaruh perkembangan zaman dan tidak mampu bertahan
ditengah badai modernisasi yang meluluhlantakkan segalanya.

Musnahnya budaya nama-nama tradisional Buton merupakan proses yang terjadi secara
perlahan-lahan.hingga akhirnya hilang sama sekali pada tahun 2015-an. Hal ini dapat dilihat dari
generasi yang lahir sebelum tahun itu sangat sedikit yang menggunakan nama berciri khas
daerah itu; hingga akhirnya mulai pada tahun 2011 sudah benar-benar tidak muncul lagi. Kini
masyarakat Buton kehilangan identitas daerahnya sehingga tidak mudah dikenal hanya
berdasarkan nama sebagaimana mudahnya mengenal orang Maluku atau orang Batak yang tetap
setia menggunakan nama marga di belakang nama mereka.

Warisan budaya yang semestinya patut dibanggakan dan dilestarikan itu luntur karena pengaruh
pergaulan, modernisasi, dan perasaan rendah diri masyarakatnya. Nama-nama warisan budaya
leluhur itu dipastikan dalam sepuluh atau dua puluh tahun mendatang ketika generasi tua yang
masih menggunakan nama tradisional itu berakhir hidupnya maka gong kematian nama-nama
tradisional masyarakat Buton pada saat itulah harus ditabu pertanda matinya sebuah kebudayaan
rakat Buton pada saat itulah harus ditabu pertanda matinya sebuah kebudayaan. Oleh karena itu
maka perlu upaya dari pemerintah daerah untuk mengangkat isu ini sebagai sesuatu yang sangat
penting untuk dilestarikan. Akan tetapi masalah yang akan muncul adalah apakah masyarakat
masih suka untuk menamakan anaknya yang baru lahir dengan nama yang menurut pandangan
orang Buton sendiri sudah kuno dan ketinggalan zaman itu? Inilah sebuah realitas budaya yang
terkikis oleh gelombang peradaban modern yang didasari oleh penyakit phobia tergila-gila
dengan budaya negara lain yang dianggap maju dan merasa minder, rendah dan hina untuk
menampilkan budaya sendiri. Inilah karakteristik bangsa tertinggal yang kehilangan kepercayaan
dirinya yang menganggap segala sesuatu yang berbau kebarat-baratan itu indah, canggih, modern
dan cenderung memandang rendah dan hina milik sendiri. Sesungguhnya jikalau direnungkan,
menggunakan nama-nama negara lain merupakan bentuk penjajahan dan kezaliman terhadap diri
sendiri dengan alasan apapun juga karena nama khas masyarakat Buton adalah hak milik orang
Buton dan tak seorangpun warga Timur Tengah atau Eropah yang mau menggunakan nama
Buton. Kalau bukan orang Buton sendiri yang mau melestarikan budaya ini maka tidak mungkin
orang lain yang akan melakukannya. Akan tetapi yang aneh adalah justru orang Buton mau
menggunakan nama orang Timur Tengah dan nama orang Eropah padahal belum tentu nama-
nama itu jauh lebih baik dari nama khas Buton.

Batas-batas kerajaan/kesultanan Buton adalah :

Di Utara berbatasan dengan kerajaan Luwu. Laiwui dan pulau Wawoni yang merupakan daerah
pengaruh kerajaan Ternate: 5 6 Sebelah Timur berhatasan dengan laut Banda selat Maluku:
Sebelah Selatan berbatasan dengan laut Flores: sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Bone.
Wilayah kerajaan Buton tersebut terletak pada 121 40' Bujur Timur dan 124 50' Bujur Timur
serta 4 2' Lintang Sclatan dan 6 20' Lintang Selatan. Dengan batas-batas kerajaan tersebut maka
wilayah Buton langsung berhubungan dengan laut Flores. Laut Banda dan laut Seram sehingga
keadaan lautnya banyak dipengaruhi oleh laut-laut tersebut. Seperti diketahui laut-laut itu sangat
dipengaruhi angin muson Barat dan angin muson Timur. Disamping itu perairan Buton
dipengaruhi teluk Bone dan teluk Tolo. Wilayahnya terdiri dari pulau-pulau sehingga terdapat
banyak sekali. Didekat garis pantai terdapat banyak gosong dan karang serta muara-muara
sungai. Wilayah kekuasaan yang relatif luas itu dahulu berawal dari suatu areal yang sangat kecil
saja di pulau Buton.

3. Busana dan pernak-pernik adat Buton

 Kampurui biasa juga disebut destar atau ikat kepala. Kampurui ini memiliki makna
sebagai sebagai tanda kebesaran diibaratkan sebagai jelmaan sang surya atau matahari
yang bersinar menyinari alam raya. Simbol tersebut melambangkan sifat seseorang yang
jujur, bijak, lemah lembut hatinya. Penggunaan kampurui ini sangat berkaitan dengan
masa Kesultanan Buton dalam memerintah. Pakaian ini dipakai oleh seorang bangsawan
seperti Kesultanan Buton dalam menangani arabu. Pada umumnya bia samasili ini
berwarna hitam dengan motif kotakkotak berwarna putih. Motif kotak kotak putih
tersebut berupa benang perak (Kumbaea: bahasa Buton). Pengantin laki-laki yang
mengenakan sarung bia samasili tampak lebih sopan dan berwibawa.
 Baju jubah Ajo Tandaki merupakan baju dari suku Buton, dan biasanya digunakan untuk
pria saat sunat atau saat pria akan menikah, dan Baju Ajo Tandaki yang mirip dengan
ihram haji ini memiliki corak warna hitam yang kemudian dililitkan ke sekujur tubuh
pemakainya.
Selain itu, Baju Ajo Tandaki di padukan dengan Tandaki (semacam mahkota) yang
dibentuk dengan berbagai macam hiasan, kemudian ikat pinggang dengan kalimat tauhid,
serta sebilah keris.
 Sebagai pejabat Sara Kidina, para Moji juga memiliki tongkat yang selalu mereka bawa
selama berkaitan dengan tugas-tugasnya yaitu katuko. Katuko adalah tongkat yang
terbuat dari kuningan
Jabatan Dalam Sara Kidina Jabatan pada Sara Kidina sangat berperan penting dalam
pembagian tugas para pejabatnya.
Secara umum salah satu tugas yang diemban oleh Sara Kidina adalah dengan ilmu
agamanya diharapkan mampu membentengi atau melindungi negeri (pulau Buton) dari
segala huru-hara yang datang baik dari dalam maupun dari luar Pulau Buton. Mengingat
begitu penting dan kompleksnya tugas Sara Kidina maka sara Kidina memiliki pejabat-
pejabat dengan kualifikasi yang sangat ketat dalam lembaganya. Pejabat-pejabat ini
diangkat berdasarkan keturunan dan strata yang melekat pada dirinya. Pejebat-pejebat
yang dimaksud yaitu: Moji Moji adalah jabatan yang diduduki oleh golongan walaka.
Moji berjumlah 12 orang. Setiap Moji diberi gelar maa setelah ia resmi menjabat. Gelar
ini bisa berdasarkan nama pribadi, nama anak ataupun nama cucu yang telah melekat
pada dirinya. Misalnya, ketika pejabat Moji itu memiliki anak bernama Toni maka bila ia
mau ia bisa bergelar maatoni. Beberapa dari Moji mendapat tugas tambahan diataranya
sebagai: Tungguna Aaba, yaitu juru bicara atau bisa diartikan sebagai humas dari sara
kidina. Jumlah Moji yang menduduki jabatan ini dua orang, Tungguna Toba, yaitu Moji
yang menjalankan fungsi-fungsi bendahara dan berjumlah dua orang.Tungguna Bula,
yaitu Moji yang bertugas menjaga waktu dan terdiri atas dua orang Moji. Merekalah yang
menentukan kapan memasuki bulan Ramadhan, kapan merayakan Idul Fitri dan lain
sebagainya. Sebagai pejabat Sara Kidina, para Moji juga memiliki tongkat yang selalu
mereka bawa selama berkaitan dengan tugas-tugasnya. Tongkat ini memiliki kepala yang
terbuat kuningan.

 Tenun merupakan teknik dalam pembuatan kain yang dibuat dengan menggabungkan
benang secara memanjang dan melintang sehingga membentuk motif tertentu. Kain
tenun biasanya terbuat dari serat kayu, kapas, sutra, dan lainnya. Salah satu kain tenun
khas Indonesia ialah tenun Buton.

Kerajinan tenun dari Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, biasanya menggambarkan


objek alam yang mereka temukan di sekitarnya. Tenun Buton juga kaya akan warna-
warna. Inilah yang menjadi kekhasan kerajinan tenun tersebut.

Motifnya pun bermacam-macam, ada yang bercorak ramai dan sudah mengalami
penyesuaian dengan zaman, ada juga yang diambil dari corak kuno. Salah satu corak
yang cukup tua ialah motif salur besar dan kecil yang berselang-seling.

Kerajinan tenun dari Kabupaten Buton, biasanya menggambarkan obyek alam yang
mereka temukan di sekitarnya. Tenun Buton juga kaya akan warna yang menjadi ciri
khasnya.

Ada juga yang fungsinya sebagai penunjuk strata sosial dalam masyarakat Buton seperti
motif Kasopa yang sederhana, biasa dipakai oleh perempuan kebanyakan. Ada pula
motif yang lebih rumit, Kumbaea, yang didominasi warna perak dan biasanya dipakai
oleh perempuan dari golongan bangsawan dengan gelar Wa Ode.

Kain Tenun Buton digunakan dalam setiap upacara adat dan ritual keagamaan. Menurut
masyarakat Buton, jika kain tenun tersebut tidak disertakan dalam setiap upacara adat dan
ritual maka hakikat dan nilai dari upacara dan ritual tersebut dinilai kurang sakral.

Selain sebagai perekat sosial, tenun Buton juga dianggap mampu menjadi identitas diri,
karena bagi orang Buton, pakaian tidak hanya sebagai pelindung tubuh dari terik
matahari dan dinginnya malam. Misalnya hanya dengan melihat pakaian yang dikenakan
oleh perempuan Buton, kita bisa mengetahui status pernikahan juga strata sosialnya.

Lekatnya tenun bagi masyarakat Buton membuat mereka merasa perlu melestarikannya.
Sebab itu, warga asli Buton biasanya telah diajarkan cara menenun sedini mungkin.
Bahkan konon keluarga kerajaan dan para bangsawan pun mahir menenun.

Jika ingin memilikinya, Anda bisa membelinya di pusat kerajinan Tenun Buton di Kota
Baubau, Sulawesi Tenggara. Membelinya di toko daring pun sah saja jika dapat
memastikan produk tersebut asli. Tenun Buton biasa dijual mulai dari harga Rp150 ribu
tergantung tingkat kerumitan dan kemewahannya.

4. 7 Tradisi ilmu komunikasi dalam buku karya Stephen W.Littlejohn

1. TRADISI SOSIO-PSIKOLOGI (Komunikasi sebagai pengaruh antar pribadi)

Tradisi sosio-psikologi merupakan contoh dari perspektif ilmiah atau objektif. Dalam tradisi ini,
kebenaran komunikasi dapat ditemukan dengan dapat ditemukan dengan teliti – penelitian yang
sistematis. Tradisi ini melihat hubungan sebab dan akibat dalam memprediksi berhasil tidaknya
perilaku komunikasi. Carl Hovland dari Universitas Yale meletakkan dasar-dasar dari hal data
empiris yang mengenai hubungan antara rangsangan komunikasi, kecenderungan audiens dan
perubahan pemikiran dan untuk menyediakan sebuah kerangka awal untuk mendasari teori.

2. TRADISI SIBERNETIKA (Komunikasi untuk memproses informasi)

Tradisi sibernetika memandang komunikasi sebagai mata rantai untuk menghubungkan bagian-
bagian yang terpisah dalam suatu sistem. Merupakan tradisi sistem-sistem kompleks yang di
dalamnya banyak orang saling berinteraksi, memengaruhi satu sama lainnya. Perspektif
sibernetika dibutuhkan dalam memahami kedalaman dan kompleksitas dinamika dalam
berkomunikasi, misalkan memahami pola hubungan berinteraksi dalam sebuah keluarga.

3. TRADISI RETORIKA (Komunikasi sebagai seni berbicara didepan umum)

Awalnya retorika berhubungan dengan persuasi, sehingga dimakanai sebagai seni penyusunan
argumen dan pembuatan naskah pidato. Lantas berkembang meliputi proses “adjusting ideas to
people and people to ideas” dalam segala jenis pesan. Fokus dari retorika telah diperluas bahkan
lebih mencakup segala cara manusia dalam menggunakan simbol untuk memengaruhi
lingkungan di sekitarnya dan untuk membangun dunia tempat mereka tinggal.Ada enam
keistimewaan karakteristik yang berpengaruh pada tradisi komunikasi retorika, yaitu : (1) sebuah
keyakinan yang membedakan manusia dengan hewan dalam kemampuan berbicara, (2) sebuah
kepercayaan diri dalam berbicara didepan umum dalam sebuah forum demokrasi, (3) sebuah
keadaan dimana seorang pembicara mencoba mempengaruhi audiens melalui pidato persuasif
yang jelas, (4) pelatihan kecakapan berpidato adalah landasan dasar pendidikan kepemimpinan,
(5) sebuah tekanan pada kekuasaan dan keindahan bahasa untuk merubah emosi orang dan
menggerakkannya dalam aksi, dan (6) pidato persuasi adalah bidang wewenang dari laki-laki.

4. TRADISI SEMIOTIKA (Komunikasi sebagai proses berbagi makna melalui tanda)

Semiotika adalah ilmu mempelajari tanda. Tanda adalah sesuatu yang dapat memberikan
petunjuk atas sesuatu. Kata juga merupakan tanda, akan tetapi jenisnya spesial. Mereka disebut
dengan simbol. Banyak teori dari tradisi semiotika yang mencoba menjelaskan dan mengurangi
kesalahpahaman yang tercipta karena penggunaan simbol yang bermakna ambigu. Ambiguitas
adalah keadaan yang tidak dapat dihindarkan dalam bahasa, dalam hal ini komunikator dapat
terbawa dalam sebuah pembicaraan dalam suatu hal akan tetapi masing-masing memiliki
interpretasi yang berbeda akan suatu hal yang sedang dibicarakan tersebut. Tradisi ini
memperhatikan bagaimana tanda memediasi makna dan bagaimana penggunaan tanda tersebut
untuk menghindari kesalahpahaman, daripada bagaimana cara membuat tanda tersebut.

5. TRADISI SOSIO-KULTURAL (Komunikasi adalah ciptaan realitas sosial)

Pendekatan sosikultural terhadap teori komunikasi menunjukkan cara pemahaman kita terhadap
makna, norma, peran dan peraturan yang dijalankan secara interaktif dalam komunikasi. Teori
ini mengeksplorasi dunia interaksi yang dihuni manusia, menjelaskan bahwa realitas bukanlah
seperangkat susunan di luar kita, tetapi dibentuk melalui proses interaksi dalam kelompok,
komunitas dan budaya.

6. TRADISI KRITIS (Komunikasi sebagai cerminan tantangan atas percakapan yang


tidak adil)

Tradisi kritik menyangkut bagaimana kekuatan dan tekanan serta keistimewaan sebagai hasil
dari bentuk-bentuk komunikasi tertentu dalam masyarakat. Tradisi kkritik berlawanan dengan
banyak asumsi dasar tradisi lainnya. Sebab sangat dipengaruhi oleh karya-karya di Eropa,
feminisme Amerika dan kajian-kajian postmodernisme dan postkolonialisme.

Tradisi kritis muncul di Frankfurt School Jerman, yang sangat terpengaruh dengan Karl marx
dalam mengkritisi masyarakat. Dalam penelitian yang dilakukan Frankfurt School, dilakukan
analisa pada ketidaksesuaian antara nilai-nilai kebebasan dalam masyarakat liberal dengan
persamaan hak seorang pemimpin menyatakan dirinya dan memperhatikan ketidakadilan serta
penyalahgunaan wewenang yang membuat nilai-nilai tersebut hanya menjadi isapan jempol
belaka. Kritik ini sangat tidak mentolelir adanya pembicaraan negatif atau akhir yang pesimistis.

7. TRADISI FENOMENOLOGI (Komunikasi sebagai pengalaman diri dengan orang lain


melalui percakapan)
Tradisi fenomenologi menekankan pada persepsi orang dan interpretasi setiap orang secara
subjektif tentang pengalamannya. Para fenomenologist menganggap bahwa cerita pribadi setiap
orang adalah lebih penting dan lebih berwenang daripada beberapa hipotesis penelitian atau
aksioma komunikasi. Akan tetapi kemudian timbul masalah dimana tidak ada dua orang yang
memiliki kisah hidup yang sama.

Menurut dari pemahaman saya mengenai materi 7 tradisi ilmu komunikasi dalam buku Stephen
W.Littlejohn yang berkaitan dengan Studi Sosial Budaya Masyarakat Buton adalah Tradisi
Sosio-Kultural karena sosiokultural komunikasi adalah sosiolingistik atau kajian bahasa dan
budaya. Hal yang penting dalam tradisi ini adalah bahwa manusia menggunakan bahasa secara
berbeda dalam kelompok budaya dan kelompok sosial yang berbeda. Bukan hanya media netral
untuk menghubungkan manusia, bahasa juga masuk ke dalam bentuk yang menentukan jati diri
kita sebagai makhluk sosial dan berbudaya.

Contohnya:

Orang di desa itu akan lebih menghormati orang tua, kalau di kota orang yang mempunyai
kekuasaan dan berduit lah yang dihormati. dan kalo orang moderen itu adalah orang yang
mengetahui informasi lah yang di hormati.
BAB 3

PENUTUP

Kesimpulan

 Nama Buton berasal dari nama sejenis pohon, yaitu pohon butun (Barringtonia asiatica).
Pohon butun tumbuh secara bebas di kawasan pelabuhan, pelayaran dan perdagangan
yang berada di pesisir selatan Pulau Buton. Pohon butun banyak digunakan oleh
masyarakat Buton pada tradisi membuat upacara yang dikenal sebagai kaepeta.
Masyarakat setempat menggunakan daun pohon butun sebagai ganti piring untuk makan
dalam upacara tersebut. Daun pohon butun digunakan pula sebagai bahan dasar membuat
ketupat yang seukuran buah butun oleh masyarakat setempat. Penamaan Buton
merupakan penyerapan bahasa Melayu dari kosakata butun. Sumber-sumber historiografi
lokal Buton mendukung asal-usul nama Buton dengan menyatakan bahwa Kerajaan
Buton didirikan oleh empat orang imigran yang berasal dari kawasan Johor yang
merupakan wilayah suku Melayu

 Kabupaten Buton memiliki wilayah daratan seluas ± 2.488,71 km² atau 248.871 ha dan


wilayah perairan laut diperkirakan seluas ± 21.054 km², berbatasan dengan:
Utara Kabupaten Buton Utara
Timur Kabupaten Wakatobi
Selatan Laut Flores Kabupaten Buton Selatan
Barat Kota Baubau
 Pada dasarnya setiap kebudayaan memiliki ciri khas tersendiri bagi masyarakat
pendukungnya. Begitu pula dengan hasil budaya berupa pakaian adat atau tradisional
yang ada di Buton. Pakaian adat itu tentu saja tidak dipakai begitu saja, tetapi memiliki
fungsi dan makna tersendiri. Begitu pula dengan aksesori yang digunakan, baik warna
maupun bahan, jumlahnya mempunyai aturan tersendiri dalam pemakaiannya. Begitu
pula dalam pemakaiannya bergantung pada golongan stratifikasi sosial masyarakat, baik
kaum bangsawan, pejabat, maupun rakyat biasa, termasuk pakaian dalam adat
perkawinan.
 Kajian tentang perspektif Tujuh Tradisi dalam Teori Komunikasi ini telah membuka
sebuah ruang baru bagi kita untuk mendiskusikan perbedaan-perbedaan dan persamaan-
persamaan yang ada dalam teori-teori komunikasi tanpa memunculkan sekat-sekat
keilmuan yang bersifat multidisiplin. Keberadaan cara pandang yang diberikan Craig
kemudian diikuti Littlejohn dan Griffin diharapkan dapat memicu pemikiran-pemikiran
baru bagi kita yang mempelajari ilmu komunikasi dalam melihat teori komunikasi

Saran
Penulis berharap dengan adanya makalah ini kita dapat memahami dengan seksama arti dari
belajar sejarah Buton, selanjutnya kami berharap bahwa pembaca dapat mengaplikasikannya
kedalam kehidupan bermasyarakat.
DAFTAR ISI

1. ^ Drs. R. Soekmono, (1973 edisi cetak ulang ke-5 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan
Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 37.
2. ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the
Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. hlm. pages 171. ISBN 981-4155-
67-5.
^ http://regional.kompas.com/read/2008/12/28/08593188/Puncak.Sanga.Likur.Tempat.Ri
tual.1.Sura

3. Chalik, Husein A, et. al. 1992/1993. Pakaian Adat Tradisional Daerah Provinsi 265
Pangadereng: jurnal hasil penelitian ilmu sosial dan humaniora, Vol. 6 No. 2, Desember
2020: hlm. 254 - 266 Sulawesi Tenggara. Kendari: Bagian Proyek Penelitian Pengkajian dan
Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Sulawesi Tenggara

https://nugrahafarhan.wordpress.com/2015/10/04/pengantar-ilmu-komunikasi-cerita-orang-mendorong-
batu/

Anda mungkin juga menyukai