Etnis Minang juga telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu
dengan adanya kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum.
Prinsip adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syarak, syarak
basandi Kitabullah(Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur’an) yang berarti adat
berlandaskan ajaran Islam. Etnis ini juga sangat menonjol di bidang perniagaan, sebagai
profesional dan intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan
Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis. Hampir separuh jumlah keseluruhan
anggota masyarakat ini berada dalam perantauan.
Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan
suatu legenda khas Minang yang dikenal di dalam tambo. Dari tambo yang diterima secara turun
temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari keturunan Iskandar
Zulkarnain. Walau tambo tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih kepada legenda
berbanding fakta serta cendrung kepada sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik
masyarakat banyak. Namun kisah tambo ini sedikit banyaknya dapat dibandingkan dengan
Sulalatus Salatin yang juga menceritakan bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus
wakilnya untuk meminta Sang Sapurba salah seorang keturunan Iskandar Zulkarnain tersebut
untuk menjadi raja mereka.
Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda)
yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500–2.000
tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera,
menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi
kampung halaman orang Minangkabau. Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk
semacam konfederasi yang dikenal dengan nama luhak, yang selanjutnya disebut juga dengan
nama Luhak Nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah
Data. Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, kawasan luhak tersebut menjadi daerah teritorial
pemerintahan yang disebut afdeling, dikepalai oleh seorang residen yang oleh masyarakat
Minangkabau disebut dengan nama Tuan Luhak.
Awalnya penyebutan orang Minang belum dibedakan dengan orang Melayu, namun
sejak abad ke-19, penyebutan Minang dan Melayu mulai dibedakan melihat budaya matrilineal
yang tetap bertahan berbanding patrilineal yang dianut oleh masyarakat Melayu umumnya.
Kemudian pengelompokan ini terus berlangsung demi kepentingan sensus penduduk maupun
politik.
Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan
budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang
dikenal dengan istilah Tali nan Tigo Sapilin. Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu
dalam posisi yang sama tingginya. Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan
egaliter, semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.
Adat Minang sarat dengan formalitas dan interaksi yang dikemas sedemikian rupa
sehingga acara puncaknya tidak sah, tidak valid, jika belum disampaikan dengan bahasa formal
yang disebut pasambahan. Acara-acara adat, mulai dari yang simple seperti mamanggia, yaitu
menyampaikan undangan untuk menghadiri suatu acara, hingga yang berat seperti pengangkatan
seseorang menjadi Pangulu, selalu dilaksanakan dengan sambah-manyambah.
Sirih dan pinang adalah lambang formalitas dalam interaski masyarakat Minangkabau.
Setiap acara penting dimulai dengan menghadirkan sirih dan kelengkapannya seperti buah
pinang, gambir, kapur dari kulit kerang. Biasanya ditaruh diatas carano yang diedarkan kepada
hadirin. Siriah dan pinang dalam situasi tertentu diganti dengan menawarkan rokok.
Makna sirih adalah secara simbolik, sebagai pemberian kecil antara pihak-pihak yang
akan mengadakan suatu pembicaran. Suatu pemberian dapat juga berupa barang berharga,
meskipun nilai simbolik suatu pemberian tetap lebih utama daripada nilai intrinsiknya. Dalam
pepatah adat disebutkan, siriah nan diateh, ameh nan dibawah. Dengan sirih suatu acara sudah
menjadi acara adat meskipun tidak atau belum disertai dengan pasambahan kato. Sirih dan
pinang juga mempunyai makna pemberitahuan, adat yang lahiriah, baik pemberitahuan yang
ditujukan pada orang tertentu atau pada khalayak ramai.
Satu lagi unsur adat Minang yang penting dan paling meluas penerapannya adalah baso-
basi: bahkan anak-anak harus menjaga baso-basi. Tuntuan menjaga baso-basi mengharuskan
setiap invidu agar berhubungan dengan orang lain, harus selalu menjaga dan memelihara kontak
dengan orang disekitarnya secara terus-menerus. Seseorang orang Minang tidak boleh
menyendiri.
Baso-basi diimplementasikan dengan cara yang baku. Walaupun tidak dapat dikatakan
formal, baso-basi berfungsi menjaga forms, yaitu hubungan yang selain harmonis juga formal
antara setiap anggota masyarakat nagari, dan menjamin bahwa setiap orang diterima dalam
masyarakat itu, dan akan memenuhi tuntutan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat yang
berlaku di nagari itu.
Adat minang ini terbagi ke dalam 4 bagian atau dalam bahasa minang sering disebut
‘Adaik nan Ampek‘ atau adat yang empat, diantaranya :
Adalah ketentuan hukum, sifat yang terdapat pada alam benda, flora dan fauna, maupun
manusia sebagai ciptaan-Nya (Sunatullah). Adat nan sabana Adat ini adalah sebagai sumber
hukum adat Minangkabau dalam menata masyarakat dalam segala hal. Dimana ketentuan alam
tersebut adalah aksioma tidak bisa dibantah kebenarannya.erupakan kasta adat yang paling
tinggi atau utama. Adat ini tidak dapat dirubah sampai kapanpun. Dengan kata lain, adat ini
merupakan harga mati pada seluruh masyarakat Minangkabau. Alam sebagai ciptaan-Nya bagi
nenek moyang orang Minangkabau yakni Datuak perpatiah nan sabatang dan datuak
ketumanggungan diamati, dipelajari dan dipedomani dan dijadikan guru untuk mengambil
iktibar ,sepertiyang disebutkan dalam pepatah-petitih Adat :Panakiak pisau sirawik, ambiak
galah batang lintabuang,silodang ambiakkan niru, nan satitiak jadikan lawik,nan sakapa jadikan
gunuang, Alam Takambang Jadi Guru.
Adat ini dinyatakan dalam kato pusako (kata pusaka) “indak lakang karano paneh, indah
lapuak karano hujan, dicabuik indak mati, diasak indah layua” (tidak lekang karena panas, tidak
lapuk karena hujan, dicabut tidak mati, dipindahkan tidak layu).
Ketika agama Islam masuk ke Minangkabau, ia diterima sebagai aturan dalam kehidupan
umat. Ajaran islam berdasarkan kepada wahyu Allah, diakui sebagai sesuatu yang pasti
sebagaimana pastinya kenyataan yang berlaku dalam alam. Dengan demikian Islam diterima
sebagai ajaran yang dapat berjalan bersama-sama dengan adat Minangkabau. Hal ini sesuai
dengan pernyataan kato pusako (kata pusaka) Minangkabau sebagai berikut:
Syarak mangato,
Adat mamakai.
Syarak mangato,
Syarak berkata,
Adat mamakai.
Adat memakai
Merupakan sebuah aturan yang disepakati setelah melalui sebuah pengkajian dan
penelitian oleh para leluhur, nenek moyang ataupun orang minang zaman dahulu. Contoh prinsip
adat ini adalah bahwa orang minang wajib memakai kekerabatan dengan mengambil pesukuan
dari garis ibu dan nasab keturunan dari ayah.
1. Ibunya ibu.
2. Saudara perempuan dan laki-laki ibunya ibu.
3. Saudara laki-laki ibu.
4. Anak laki-laki, perempuan saudara perempuan ibu ibunya ego.
5. Saudara laki-laki dan perempuan ego.
6. Anak laki-laki dan perempuan saudara perempuan ibu.
7. Anak laki-laki dan perempuan saudara perempuan ego.
8. Anak laki-laki dan perempuan anak perempuan saudara perempuan ibunya ibu.
Kesatuan keluarga kecil seperti di atas disebut paruik, pada sebagian masyarakat ada
kesatuan yang disebut kampueng yang memisahkan paruik dengan suku. Kepentingan keluarga
diurus oleh laki-laki yang bertindak sebagai niniek mamak. Dalam hal jodoh masyarakat
Minangkabau memilih dari luar suku, tetapi pola itu kini mulai hilang. Bahkan akibat pengaruh
dunia modern, perkawinan endogami lokal tidak lagi dipertahankan.
Peraturan hidup sehari-hari. Kalau hidup tanpa aturan bagi orang Minang namanya “tak
beradat”. Jadi aturan itulah yang adat. Adat itulah yang menjadi pakaian sehari-hari atau menjadi
sebuah kebiasaan dalam masyarakat. Bagi orang Minang, duduk dan berdiri selalu beradat,
Berbicara beradat, Berjalan beradat, makan dan minum beradat, bertamu beradat, bahkan,
menguap dan batuk pun bagi orang Minang beradat.
Adat yang semacam ini, mungkin dapat kita sebut dengan adat sopan santun dalam
kehidupan sehari-hari. Apakah ada orang Minang hanya mengatur sopan santun dalam pergaulan
saja? Jawabanya pastilah tidak. Masih banyak aturan-aturan lain yang terdapat dalam adat
Minang, justru mengatur hal-hal yang sangat mendasar.
Contoh beradat dalam Minang itu misalnya:
1. Batahnyo lapeh orak ‘bertanya lepas lelah’
2. Berundiang sudah makan ‘berunding sesudah makan’
Kalau orang Minang kedatangan tamu, tuan (nyonya) rumah biasanya mempersilahkan tamu
itu duduk lebih dahulu. Nyonya rumah langsungmenyuguhkan minuman pelepas lelah. Setelah
rasa haus dan dahaga si tamu hilang, barulah si nyonya rumah bertanya tentang maksud
kedatangannya.
Begitu pula bila kita sedang menunggu kedatangan rombongan tamu yang sudah kita ketahui
maksud kedatanganya, misalnya untuk merundingkan perkawinan, maka rombongan tamu itu
langsung disuguhi minuman pelepas lelah, kemudian biasanya diajak makan (biasanya makan
malam). Setelah selesai makan, barulah diajak berunding mengenai pelaksanaan pekerjaan yang
akan dilakukan. Begitulah kira-kira aturan yang dipakai dalam hal “bertanya”, “berunding”
menurut adat Minang.
Hampir seluruh masyarakat Minangkabau menganut agama Islam, walaupun sebagian
besardari mereka hanya menganut agama sebagai simbolis tanpa melakukan ibadah
dankewajibannya. Boleh dikatakan mereka tidak mengenal unsur-unsur kepercayaan lain
selainyang diajarkan oleh agama Islam. Walaupun demikian masih banyak juga orang
yangpercaya akan hal-hal yang tidak diajarkan oleh Islam, seperti hantu-hantu dan
kekuatangaib.Selain itu, banyak orang menganggap bahwa sistem matrilineal yang dianut
masyarakatMinangkabau bertentangan dengan aturan Islam yang menekankan sistem
patrilineal.Padahal sesungguhnya terdapat banyak kesamaan antara faham Islam dengan
fahamMinangkabau.Berikut ini merupakan contoh dari beberapa kesamaan faham Islam dan
Minangkabau: