Sejarah
Berawal dari Luhak Nan Tigo (Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak
Limapuluh Koto), masyarakat Minangkabau mulai menyebar hingga Padang yang dahulu
masih belum bersebut sebagai Padang, melainkan Rantau Nan Panjang Pesisir Barat. Dahulu,
wilayah Padang masih berupa pantai kosong yang berisi ilalang-ilalang tinggi di bibir sungai.
Yang meninggalinya hanyalah para nelayan luar yang singgah sementara selepas menjala
ikan. Sementara daratannya merupakan hutan rimba dengan pohon-pohon berbatang besar.
Penduduk atau gelombang pertama yang pindah ke daerah Padang dari Darek Kubung
Tigo Baleh (daerah Solok) sekitar abad ke 14 M. Menurut Marah Syarifudin Arifin, Padang
dihuni oleh anak dari penghulu nan ampek suku, yaitu Suku Caniago, Suku Tanjung, Suku
Jambak, dan Suku Melayu, yang menhuni wilyah perbukitan yang subur, seperti Pauh,
Kapalokoto, Andaleh Simpang Haru, Aie Cama, Alanglaweh, Gantiang. Kemudian, sekitar
tahun 1450, anak kemenakan dari penghulu nan ampek semakin banyak, sehingga sebagian
mulai menyebar hingga wilayah pesisir sampai ke seberang Batang Arau yang berada di balik
bukit.
Bundo Kanduang adalah seorang wanita yang sudah menikah dan memiliki
kedudukan yang tinggi dalam adat Minangkabau, dimana mereka diberi wewenang tinggi
untuk memimpin para perempuan beserta anak cucu yang berada dalam kaumnya. Bundo
Kanduang memiliki peran yang besar dalam suatu kaum, mereka diberi kepercayaan untuk
mngurus rumah gadang. Oleh karena itu peran mereka sangat penting, karena suatu kaum
dalam adat Minangkabau akan menjadi baik bila Bundo Kanduangnya juga baik.
Gambar 2: Surau
Surau adalah tempat ibadah masyarakat Minangkabau yang beragama islam. Namun,
surau berbeda dengan masjid yang kita kenal pada umumnya, ia memiliki perannya sendiri
dalam masyarakat tak hanya sebagai tempat ibadah. Surau juga berperan sebagai pusat
Kerapatan Adat Nagari atau KAN merupakan Lembaga yang menjaga kelestarian
adat dan budaya Minangkabau dalam ranah Nagari. KAN juga berperan sebagai Lembaga
peradilan di Nagari, seperti masalah sengketa pusako, pelanggaran adat, dan pelanggaran
syarak. Dalam KAN terdapar beberapa unsur, yaitu para penghulu, Manti atau Cadiak
Pandai dari kalangan intelektual, Malina atau Alim Ulama, dan Dubalang atau Penjaga
keamanan.
Gambar 4: Mairiak
Miriak adalah kegiatan untuk memisahkan bulir padi dari batangnya dengan
menggunakan kaki yang dilakukan secara bersama-sama. Tradisi ini banyak dilakukan pada
menggunakan malambuik atau mesin khusus untuk melepas bulir padi dari tangkainya.
Gambar 5: Malamang
Malamang tidaklah asli merupakan warisan budaya Minangkabau, melainkan dari ajaran
Syekh Burhanuddin, seorang pendakwah di Minangkabau. Saat itu beliau tengah berkunjung
ke sebuah tempat dan dijamu oleh penduduk setempat. Karena ragu akan kehalalan makanan
tersebut, karena pada masa itu masyarakat masih suka mengkonsumsi ular dan tikus, Sang
Syekh kemudian mencontohkan bagaimana cara membuat lemang sebagai hidangan atau
kudapan. Memasak lemang ini kemudian diikuti oleh surau-surau dan masyarakat sekitar, dan
Kecamatan Koto Tangah. Tampak disana perahu-perahu kecil yang digunakan untuk
Gambar 7: Pedagang
Masyarakat di ranah Minangkabau ini memiliki jiwa pedagang yang cukup tinggi,
persentase para pedagang yang berasal maupun berjualan di daerah minang dapat dikatakan
berada di angka yang cukup tinggi kedua setelah petani. Kemungkinan penyebabnya
dikarenakan oleh faktor ekologis yang dekat dengan laut sebagai tempat pelayaran
perdagangan, selain itu orang minang juga terkenal dengan kecakapannya dalam berdagang,
hingga membuat para pedagang Nusantara diisi oleh orang Minang yang sukses dalam
berdagang.