Anda di halaman 1dari 9

Memahami Sengketa TanaHAN, Kabupaten Tinangkung, Sulawesi Tengahh: Peran

CAMAT dalam Penyelesaian Sengketa Perumahan di SALAKAN KELURA

Dhiandra Pasha Valencia

dpashavalencia462@gmail.com

Diandra Pasha Valencia dpashavalencia462@gmail.com pendahuluan Tanah


merupakan aset yang sangat berharga saat ini karena nilainya meningkat pesat. Tak
heran, situasi ini kerap menimbulkan konflik, salah satunya pengelolaan yang tidak
lengkap, seperti akta hak milik dan bukti jual beli. Konflik atau perselisihan dapat
timbul antara masyarakat itu sendiri atau dengan lembaga. Perselisihan adalah perbedaan
kepentingan individu atau lembaga pada objek yang sama, yang diwujudkan dalam
hubungan mereka. Menganalisis siapa dan mengapa mereka terlibat merupakan aspek
penting dalam mempelajari sistem kepemilikan lahan yang diperebutkan. Untuk itu
diperlukan pemahaman yang baik tentang siapa yang menjadi subyek sengketa.

Definisi sengketa tanah diatur dalam Undang-Undang Sengketa Tanah, Direktur


Jenderal Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 2011. Pasal tersebut menjelaskan
bahwa sengketa tanah yang melibatkan badan hukum, lembaga atau perorangan dan
sosial politik tidak memiliki cakupan yang luas. pengaruh. Singkatnya, tanah yang
disengketakan mengacu pada dua pihak yang memiliki perselisihan tentang kepemilikan
tanah, dan kedua pihak tersebut saling memperebutkan kepemilikan tanah. Sengketa
tanah merupakan kasus pertanahan yang dapat dikatakan sering terjadi di Indonesia.
Tanah seringkali menjadi sumber konflik tidak hanya antar individu, tetapi juga dengan
institusi. Selain menghabiskan banyak waktu dan tenaga, penyelesaian sengketa yang
buruk dapat menghabiskan banyak uang. Namun, konflik tetap harus diselesaikan.
Faktor penyebab sengketa tanah seringkali beragam. Yang paling umum adalah
masalah jual beli tanah, seperti yang terjadi di Desa Sarakam, yang akan diuraikan di
bawah ini. Faktor-faktor tersebut biasanya disebabkan oleh kurangnya kejelasan dalam
proses sertifikasi tanah, kurangnya perhatian pada proses administrasi sehingga mudah
diminta oleh orang lain, sumber daya manusia yang terbatas, kebijakan yang kurang
ideal, dan pengelolaan tanah yang tidak teratur (Ningrum, 2014).

Di antara sekian banyak sengketa tanah di Indonesia, warga Desa Sarakan di


Provinsi Sulawesi Tengah mengalami salah satunya. Pemerintah setempat menerima
laporan bahwa warganya terlibat dalam sengketa tanah antara Bapak Lampja dan Bapak
H. Adjun Mayuna. Masalah bermula ketika akad tidak sesuai dengan surat yang
menunjukkan telah terjadi transaksi jual beli.

Tujuan dari artikel ini adalah untuk menjelaskan penyebab terjadinya kasus
sengketa tanah di Desa Sarakan dan untuk menganalisis upaya-upaya pemerintah jalan
dan jalan setempat untuk menyelesaikan konflik tersebut. Artikel ini disusun
berdasarkan observasi dan wawancara dengan beberapa saksi selama Magang 1 di
Kecamatan Tinangkung yaitu Kepala Jalan Tinangkung, Kepala Desa Salakan, dan Surat
Keputusan Bapak sebagai salah satu saksi.

PEMBAHASAN

Gambaran umum Kelurahan Salakan


Kelurahan Salakan dengan jumlah penduduk sebesar 120.142 jiwa bertempat di
Kecamatan Tinangkung Wilayah Kecamatan Tinangkung juga meliputi Pulau
Bangkalan, Pulau Bakalanpauno, dan beberapa pulau lainnya. Batas wilayah Kecamatan
Tinangkung meliputi sebelah utara dengan Laut Maluku dan berseberangan dengan
wilayah Kabupaten Banggai (Kecamatan Mantoh) di daratan Sulawesi Tengah. Kondisi
sosial dan ekonomi masyarakat Tinangkung masih sangat bergantung pada alam.
Tepatnya di pesisir pantai dan masih mengandalkan nelayan sebagai mata pencaharian
utama.
Kelurahan Salakan memanfaatkan potensi sumber daya laut telah lama diandalkan
sebagai mata pencaharian utama. Mereka mayoritas menetap terutama di wilayah
pesisir, dan mencari nafkah dengan memanfaatkan potensi sumber daya laut untuk
melanjutkan kehidupannya. Permasalahan umum yang kerap terjadi di Kelurahan
Salakan Kecamatan Tinangkung adalah perekonomian yang kurang stabil. Masyarakat
yang kerap kali memikirkan nasib hidupnya dengan mengandalkan pekerjaan yang
hanya seorang nelayan. Banyak pula masyarakat yang tidak melanjutkan sekolahnya
setelah tamat dari Sekolah Dasar (SD).

Penyebab Sengketa Tanah di Kelurahan Salakan: Studi Kasus Sengketa antara


Bapak Lampuja dengan Bapak H. Adjun Mayuna

Sengketa berawal dari ketika Bapak H. Adjun Mayuna membeli lahan tanah
kosong yang bertempat di Kelurahan Salakan. Beliau membeli lahan tersebut dari
Bapak Mudel. Kemudian, pada suatu hari saat pihak Bapak Adjun mengukur tanah
tersebut ada pihak lain, yaitu Bapak Lampuja juga yang sedang mengukur tempat yang
sama. Akibatnya, terjadi pertikaian karena masing-masing dari kedua belah pihak
mengaku bahwa dia adalah pemilih dari tanah tersebut.

Masalah tersebut kemudian dibawa ke kantor kelurahan dan kecamatan. Sehingga,


pihak kecamatan berupaya untuk memberikan mediasi agar permasalahan ini dapat
ditemukan penyebabnya dan diselesaikan secara kekeluargaan. Pihak kecamatan
beranggapan bahwa telah terjadi tumpang tindih nama kepemilikan tanah.

Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kelurahan dan Kecamatan untuk


menyelesaikan Sengketa

Pihak kelurahan kecamatan mulai melakukan peninjauan dengan menghadirkan


dan mendengarkan keterangan para saksi-saksi dari masing-masing pihak. Dari
peninjauan pemeriksaaan diperoleh keterangan bahwa dalam transaksi jual beli tanah
tersebut kedua belah pihak hanya mengandalkan asas kepercayaan tanpa adanya bukti
surat jual beli tanah yang sah. Baik Bapak Adjun ataupun Bapak Lampuja tidak
memiliki surat yang sah dan jual beli lokasi tanah tersebut.
Pihak kecamatan juga meminta keterangan dari pihak penjual, yakni Bapak
Mudel, atas masalah ini. Dan pihak penjual pun mengaku dan membuat surat
pernyataan bahwa telah berbuat salah atas penjualan tanah kepada dua orang sekaligus.
Dalam proses upaya penyelesaian masalah ini maka diputuskan bahwa tanah yang
menjadi objek sengketa untuk sementara waktu dalam Penguasaan Pemerintah
(Kecamatan) sampai dengan adanya titik terang dari permasalahan sengketa tanah.

Pihak kecamatan pada awalnya meminta kedua belah pihak berdamai dengan
pertimbangan bahwa baik penggugat maupun tergugat tidak memiliki bukti penguasaan
hak atas tanah, baik itu berupa Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT), surat jual
beli maupun bukti Surat Penyerahan Penguasaan Tanah (SPT). Telah disarankan
berulang-ulang untuk berdamai agar kedua belah pihak sepakat bahwa tanah tersebut
sah milik sang tergugat yaitu Bapak Adjun sebagai pembeli pertama. Namun Bapak
Lampuja tidak menerima sehingga tidak terjadi kesepakatan dari para pihak.

Musyawarah dilaksanakan sebanyak empat kali mulai dengan mendengarkan


keterangan dari kedua belah pihak dan memberikan solusi terbaik untuk
penyelesaiannya. Pihak Bapak Lampuja bersikukuh bahwa dia tidak akan mundur
karena merasa telah membeli tanah tersebut pada Bapak Mudel.

Selanjutnya pihak kecamatan melakukan pendalaman terkait kasus ini dan


melakukan pemeriksaan lokasi sengketa yang bertempat di Desa Saiyong, dengan luas
tanah sekitar 1,5 Hektar tersebut. Setelah didalami, Camat Tinangkung menemukan
bahwa kasus sengketa ini pernah ditangani oleh camat sebelumnya dan satu-satunya
opsi yang ditawarkan kala itu adalah tanah tersebut diserahkan kepada pihak yang
pertama kali melakukan pembelian. Akan tetapi pada waktu itu, pihak Bapak Lampuja
tidak menerimanya. Merujuk pada dinamika waktu itu, maka Camat Tinangkung yang
saat ini menjabat melakukan pendekatan kepada kedua belah pihak agar keduanya
bersedia berdamai dan menerima opsi tersebut, dikarenakan keduanya sama-sama tidak
memiliki bukti penguasaan atas hak tanah berupa SKPT dan SPT.

Rapat terakhir dilaksanakan pada hari Selasa, 26 April 2022 pukul 09.00 WITA
s.d selesai di ruang rapat kantor camat Tinangkung yang dipimpin langsung oleh Bapak
Camat Tinangkung dan agenda yang akan dibahas adalah finalisasi mediasi sengekta
tanah. Dengan berbagai pendekatan yang dilakukan oleh camat, akhirnya kedua belah
pihak menerima opsi tersebut dan pihak penjual pun sudah memberikan surat
pernyataan di atas materai bahwa Bapak Adjun adalah pemilik sah tanah tersebut.

Adanya surat yang sudah ditandatangani di atas materai kedudukan hukum


semakin kuat. Tanah tersebut sudah menjadi milik saudara Adjun yang didukung juga
dengan adanya surat pernyataan dari saudara Mudel dan saksi-saksi. Rapat tersebut
berjalan dengan lancar dan kedua belah pihak pun sepenuhnya mau menerima hasil
keputusan dari rapat tersebut, karena sadar bahwa dia tidak memiliki bukti dan saksi
yang kuat.

Analisis Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui Musyawarah

Masyarakat dalam berkehidupan sosial hendaknya mementingkan nilai


musyawarah untuk mufakat yang merupakan cerminan dari proses mediasi. Masyarakat
harus betul-betul tahu bahwa mediasi adalah perundingan para pihak yang terpimpin
dan terorganisir oleh penengah yang netral dan imparsial seperti halnya melakukan
musyawarah yang dipimpin oleh seseorang yang dapat dipercaya mampu menyatukan
para pihak (Fuady, 2000). Terkait hal tersebut, penyelesaian sengketa dengan Bapak
Lampudja, Bapak H. Adjun Mayuna dan pihak pemerintah Kecamatan Tinangkung
lebih memilih penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu dengan musyawarah
mufakat, sebagaimana diketahui bahwa musyawarah mufakat merupakan cerminan
budaya bangsa kita.
Musyawarah merupakan sebuah hal yang dapat dilakukan untuk dapat
menyelesaikan sebuah permasalahan. Musyawah merupakan sebuah hal yang yang
wajib dikedepankan ketika sedang menghadapi konflik. Selain itu, dengan melakukan
musyawarah seseorang juga akan membawa perdamaian dan tidak akan menimbulkan
konflik yang lebih parah.
Kita semua sudah mengetahui bahwa sengketa mengenai kepemilikan lahan atau
rumah sudah menjadi permasalahan umum yang terjadi di Indonesia. Permasalahan
tersebut dapat membuat menimbulkan sebuah konflik yang berkepanjangan. Dengan
melalukan musyarawah dapat membantu agar menemukan titik terang dari konflik
tersebut. Hal tersebut juga dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di Kecamatan
Tinangkung Kabupaten Banggai Kepulauan.
Setiap ada warga yang mengalami konflik khususnya sengketa tanah mereka akan
melakukan rapat dan musyarawah untuk menemukan solusi yang tepat agar konflik
tidak membesar dan merugikan pihak yang lain. Hal tersebut dapat dibuktikan oleh
sebuah fakta bahwa saat ada dua warganya terlibat dalam sebuah permasalahan bapak
Camat langsung mengadakan rapat medisi untuk mencari jalan keluar dari permasalahan
tersebut.
Penyelesaian sengketa tanah diluar hukum atau biasa juga disebut non-litigasi
yaitu penyelesaian tanpa melibatkan media hukum, penyelesaian non-litigasi yaitu
menyerahkan suatu masalah pada pihak ketiga yang dipercayakan bisa netral tanpa
memihak kepada salah satu pihak sebelum mengetahui kebenarannya. (Wijaja, 2002)
Alternatif Penyelesaian Sengketa sudah lama terjadi di Indonesia, bukan hanya
sekali atau dua kali saja terjadi tetapi cara ini merupakan cara tradisional yang telah
digunakan sejak lama oleh masyarakat Indonesia. Alternatif ini sesuai dengan sila
keempat yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaran/perwakilan, yang dimana musyawarah mufakat adalah alternatif
penyelesaian yang digunakan sesuai dengan budaya di Indonesia (Safa’at, 2011).
Penyelesaian di luar pengadilan biasa juga disebut dengan istilah arbitrasi yaitu
penyelesaian suatu masalah tanpa melibatkan media hukum dengan mempercayai pihak
ketiga yang bersifat netral dan menyelesaikan masalah dengan kebijaksanaan (Margono,
2000). Cara musyawarah mufakat dipilih dengan alasan lebih efisien waktu dan juga
tidak memerlukan biaya yang tinggi. Jika menggunakan media hukum, waktu yang
diperlukan lama dikarenakan pengajuan kasus dan akan memakan biaya yang tinggi
untuk pihak pengadilan mengurus suatu kasus. Oleh karena itu, pihak pemerintah
Kecamatan Tinangkung memilih jalur di luar hukum ketika menangani kasus antara
Bapak Lampuja dan Bapak Adjun Mayuna. Dengan tujuan tetap mementingkan
kekeluargaan sehinnga kedepannya tidak menimbulkan dendam dari masing-masing
pihak.
Dari kasus di atas dapat disimpulkan bahwa musyawarah bisa menyelesaikan
sengketa tanah yang ada di kecamatan Tinangkung. Tentunya hal tersebut patut untuk
dicontoh daerah lain. Tidak semua permasalahan sengekta tanah harus masuk ke dalam
pengadilan. Camat yang ada di kecamatan Tinangkung memberikan sebuah pemahaman
bahwa setiap permasalahan yang ada di desa tersebut harus dilakukan secara
kekelurgaan. Hal tersebut merupakan langkah yang tepat dan tentunya hal tersebut parut
untuk di contoh wilayah lain, karena dibeberapa kota besar di Indonesia belum ada yang
menerapkan metode seperti itu rata--rata mereka akan menempuh jalur hukum.
Setiap permasalahan akan menemukan jalan keluar yang terbaik dan musyarawah
dapat memberikan jalan keluar yang terbaik untuk setiap permasalahan. Pada dasarnya
permasalahan sengketa tanah dapat diselesaikan secara kekeluargaan atau musyawarah
asalkan kedua belah pihak dapat saling mengahargai satu sama lain. Jika kedua belah
pihak menolak untun berdamai tentunya akan sulit untuk mendapat hasil yang sesuai.
Dalam menyelesaikan kasus sengketa tanah memang tidak semudah yang dibayangkan,
karena hal tersebut berkaitan dengan finansial yang tidak sedikit. Dari kasus-kasus
sebelumnya konflik sengketa tanah akan berakhir dipengadilan, tetapi melakukan
sebuah musyarawah merupakakan langkah yang tepat.

PENUTUP

Setelah melakukan magang 1 di kantor Camat Tinangkung Kecamatan


Tinangkung saya dapat menyimpulakan bahwa penyelesaian hukum mengenai sengketa
tanah dapat dilakukan secara musyawarah atau kekeluargaan. Hal tersebut telah
diungkap bahwa pada dasarnya musyawarah merupakan sebuah hal yang penting untuk
dapat menyelesaikan permasalahan. Dengan adanya musyarawah hasil sengketa tanah
akan menemukan titik terang dan dapat diselesaikan dengan damai.

Saran saya agar masyarakat lebih memilih menggunakan jalur penyelesaian


sengketa di luar pengadilan terlebih dahulu dikarenakan proses yang dijalani lebih cepat
dan tidak mengeluarkan biaya yang tinggi. Selanjutnya, jika tidak ditemukannya titik
temu (deadlock) dari permasalahan yang dihadapi, pihak yang memiliki konflik bisa
melanjutkannya dengan menempuh jalur hukum. Selain itu, yang tidak kalah
pentingnya adalah pentingnya setiap transaksi, terutama yang memiliki nilai yang tinggi
untuk diurus surat-menyurat secara administratif. Ini sangat penting sebagai upaya
mencegak konflik yang bisa timbul kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA

Ningrum, H. R. S. (2014). Analisis hukum sistem penyelesaian sengketa atas tanah


berbasis keadilan. Jurnal Pembaharuan Hukum, 1(2), 219-227

Safa’at, Rachmad. (2011). Advokasi Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Latar


belakang, konsep, dan implementasi. Malang: Surya Pena Gemilang

Margono, Suyud. (2000). Adr, Alternative Dispute Resolution Dan Arbitrase. Proses
Pelembagaan dan Aspek Hukum. Bandung: Ghalia Indonesia

Wijaja, Gunawan. (2002). Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta : Raja Grafindo


Persada

Fuady, Munir. (2000). Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis.


Bandung : Citra Aditya Bakti

Anda mungkin juga menyukai