Anda di halaman 1dari 8

I.

Penyelesaian Sengketa Tanah Adat di Masyarakat Suku Dayak


Pada Tahun 1998 Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah sudah menetapkan
Peraturan Daerah No. 14 tahun 1998 tentang Kedamangan di Provinsi Daerah Tingkat I
Kalimantan Tengah, akan tetapi karena Pengaturan Daerah ini dinilai sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhan daerah otonom maka pada tanggal 18
Desember 2008, Peraturan Daerah tersebut dicabut dan digantikan dengan Peraturan Daerah
Provinsi Kalimantan Tengah No.16 tahun 2008 tentang “Kelembagaan Adat Dayak di
Kalimantan Tengah”, yang mengatur tentang “Kelembagaan Adat dayak, Kedudukan, Tugas
dan Fungsi Damang Kepala Adat, termasuk Kewenangan, Masa Jabatan dan
Pemberhentiannya, dan Pemilihannya Hak Adat dan Hukum Adat Dayak”.
Kemudian pada tanggal 25 Juni2009 ditetapkan Peraturan Gubernur Kalimantan
Tengah No. 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat atas Tanah di Provinsi
KalimantanTengah. Dalam Peraturan Gubernur ini ditentukan tanah adat adalah tanah beserta
isinya yang berada di wilayah kedamangan dan atau wilayah Desa/Kelurahan yang dikuasai
berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun bukan hutan dengan luas dan batas yang
jelas, baik milik perorangan maupun milik bersama yang keberadaannya diakui oleh damang
kepala adat (Pasal 1 angka 12). Ada 2 macam tanah adat yang diakui dalam Peraturan
Gubernur ini yaitu : Tanah Adat milik bersama, adalah tanah warisan leluhur turun temurun
yang dikelola dan dimanfaatkan bersama-sama oleh para ahli waris sebagai sebuah
komunitas, dalam hal ini dapat disejajarkan maknanya dengan Hak Ulayat (Pasal 1 angka
13). Tanah adat milik perorangan, adalah tanah milik pribadi yang diperoleh dari membuka
hutan atau berladang, jual beli, hibah atau warisan secara adat, dapat berupa kebun atau tanah
yang ada tanaman tumbuhnya maupun tanah kosong (Pasal 1 angka 14). Disamping dua
macam tanah adat tersebut diatas dikenal juga adanya hak-hak adat diatas tanah, yang
dirumuskan sebagai hak bersama atau hak perorangan untuk mengelola, memungut dan
memanfaatkan sumber daya alam dan atau hasil-hasilnya, di dalam maupun di atas tanah
yang berada di dalam hutan di luar tanah adat (Pasal 1 angka 15).
Dalam Peraturan Gubernur ini diatur bagaimana pengelolaan tanah adat harus
dilakukan termasuk kewenangan lembaga kedamangan yang kelihatannya mempunyai ruang
lingkup yang cukup. Begitu juga diatur tentang tata cara memperoleh Surat Keterangan Tanah
(SKT) tentang tanah adat dan hak-hak adat atas tanah yang menjadi kewenangan lembaga
permusyawaratan adat baik pada tingkat kecamatan ataupun desa/kelurahan. Dalam
penyelesaian sengketa tanah adat di Kalimantan Tengah diatur dalm Peraturan Daerah No. 16
tahun 2008 Bab X tentang Penyelesaian Sengketa (Pasal 27-31). Dalam peraturan ini
ditentukan bahwa “Penyelesaian secara adat adalah penyelesaian pertama dan bersifat final”
tetapi bilamana kita perhatikan ketentuan tersebut tidak menutup kemungkinan untuk
dilakukan penyelesaian secara formal atau melalui proses hukum formal yaitu
melalui proses peradilan. Pasal 27 ayat (1) menentukan bahwa sengketa adat yang diajukan
kepada kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat baik dalam tingkat Desa/Kelurahan maupun
pada tingkat kecamatan wajib untuk diterima, diproses dan diputuskan. Pasal 28 ayat (1)
menentukan segala perselisihan sengketa dan pelanggaran hukum adat yang telah didamaikan
dan diberi sanksi adat melalui keputusan kerapatan mantir/let perdamaian adat tingkat
kecamatan adalah bersifat final dan mengikat. Selanjutnya
dalam pasal 29 ditentukan bahwa keputusan adat yang telah dijatuhkan kepada pihak-pihak
yang bersengketa atau yang melanggar hukum adat, dapat dijadikan
bahan pertimbangan bagi aparat penegak hukum dalam penyelesaian suatu perkara. Dan
dalam Pasal 31 ayat (2) disebutkan bahwa “Dalam penyelesaian perkara dipengadilan,
Damang Kepala Adat dapat dijadikan saksi ahli dalam perkara-perkara dimaksud, sepanjang
perkara tersebut telah diputus oleh Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat yang
bersangkutan. Bernhard Limbong dalam tulisannya menyebutkan ada tiga
perselisihan berkenaan dengan persoalan tanah yaitu “Sengketa Pertanahan, Konflik
Pertanahan dan Perkara Pertanahan”. Menurut Bernhard, sengketa tanah dapat berupa
sengketa administrasi, sengketa perdata, dan sengketa pidana terkait dengan pemilikan,
transaksi, pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan dan sengketa hak ulayat
(Limbong, 2012).
Mengenai istilah “Perkara Pertanahan” dalam keputusan Kepala BPN
No. 34 Tahun 2007, Perkara adalah sengketa dan atau konflik pertanahan
yang penyelesaiannya dilakukan melalui badan peradilan. Sedangkan dalam Peraturan Kepala
BPN RI No. 3 Tahun 2011 merumuskan perkara pertanahan
adalah perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilan
atau putusan lembaga peradilan yang masih dimintakan penanganan perselisihan di BPN RI.
Penyelesaian sengketa pertanahan melalui peradilan adalah satu hal yang unik karena tidak
hanya dilakukan dilingkungan Peradilan Umum (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi)
tetapi juga di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (Pengadilan TUN dan PT. TUN) serta
di lingkungan Peradilan Agama (PA dan PTA), kondisi mana antara lain menyebabkan
banyaknya perkara pertanahan yang masuk ke Mahkamah Agung untuk diperiksa dan diadili
pada pemeriksaan tingkat kasasi atau peninjauan kembali. Perkara pertanahan di lingkungan
Peradilan Umum adalah semua perkara perdata dan perkara pidana dikalangan semua
penduduk sejak perkara pemilikan dan atau penyerobotan tanah atau perampasan tanah.
Dalam kaitan dengan pendaftaran tanah dimana kantor Badan Pertanahan Nasional (PBN)
mengeluarkan alat bukti hak atas tanah atau sertifikat tanah, yang berarti sertifikat tanah itu
adalah Keputusan Tata Usaha Negara maka Pengadilan Umum tidak berwenang untuk
membatalkan sertifikat tersebut dan hal ini menjadi kewenangan Peradilan TUN sehingga
dalam praktik Pengadilan Negeri hanya bisa memutuskan sertifikat tanah tidak mempunyai
kekuatan hukum karena ia tidak berwenang untuk membatalkannya. Perkara pertanahan juga
dijumpai di Lingkungan Peradilan Agama sepanjang menyangkut perkara warisan tanah dan
hibah tanah
dikalangan penduduk yang beragama islam, selain itu juga Pengadilan Agama mempunyai
kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara wakaf yang pada umumnya juga
banyak bersangkut paut dengan tanah. Penyelesaian sengketa tanah adat pada saat sekarang
merupakan kewenangan dari Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri). Satu contoh perkara
tanah di Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara Kalimantan Tengah,
menyangkut penguasaan tanah yang di peroleh melalui pembukaan hutan masa lalu yang
menjadi sengketa diantara keturunannya. Tanah tersebut tidak terdaftar dalam artian tidak ada
bukti sertifikat tanah tetapi masing-masing mempunyai bukti surat pernyataan kepemilikan
tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Desa, dan juga tidak ada bukti adat dari Damang Kepala
Adat setempat. Sengketa diajukan ke Pengadilan Negeri Muara Teweh dan diputus oleh
Pengadilan Negeri No. 25/Pdt.G/20011/PN.MTW tanggal 19 Januari 20012 menetapkan tolak
gugatan Penggugat seluruhnya. Penggugat mengajukan banding,
dalam pemeriksaan tingkat banding Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah dalam putusan
tanggal 24 Juli 2012 No.17/Pdt/2012/PT.PR menguatkan putusan Pengadilan Negeri.
Penggugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung,
dengan pertimbangan pemohon kasasi tidak memberikan alasan yang cukup untukdapat
diterima dan tidak menunjukan secara tepat adanya kesalahan penerapan hukum dalam
putusan yang dimohonkan kasasi, sedangkan Judex Factie (Pengadilan Negeri dikuatkan
Pengadilan Tinggi) sudah menerapkan Hukum secara tepat dan benar. Mahkamah Agung
dalam putusan No. 220 K/Pdt/2013 tanggal 30 Oktober 2013 menetapkan
menolak permohonan kasasi dan penggugat. Persoalan yang dihadapi bahwa kompetensi
mengadili sudah dianggap tepat pada Lingkungan Peradilan Umum. Fakta yang terungkap
Penggugat tidak dapat membuktikan dalil gugatan tentang kepemilikan tanah sengketa karena
tidak ada bukti-bukti yang bersifat pasti. Memang ada surat keterangan kepemilikan tanah
yang dibuat oleh Kepala Desa tetapi surat tersebut bertentangan dengan keterangan saksi di
bawah sumpah yang harus dianggap lebih utama dalam proses pembuktian.
Dan kasus seperti ini yang banyak dijumpai di daerah-daerah.

II. Sistem Perkawinan Masyarakat Adat Dayak


Aturan adat pada masyarakat suku dayak ransa seorang pria yang di katakan sudah
dewasa atau dengan kata lain yang umurnya sudah cukup untuk kawin dengan seorang wanita
paling tidak umurnya tujuh belas tahun keatas. Sedangkan pada seorang wanita batas umur
boleh kawin minimal enam belas tahun keatas, karena pada usia tersebut baik pria maupun
wanita dalam hukumadat dayak ransa sudah di anggap cukup dewasa.
Maka melihat dari umur tersebut hukum adat yang berlaku di masyarakat tersebut
boleh melangsungkan perkawinan yang sah sesuai dengan adat yang ada. Namun bagi
masyarakat adat dayak ransa dalam melangsungkan perkawinan antara seorang pria dan
seorang wanita umur bukanlah suatu penilaian atau keriteria tertentu, pada intinya seseorang
baik pria maupun wanita harus siap untuk kawin dan menjalani masa depan keluarga. Artinya
seorang pria dan seorang wanita dapat melangsungkan perkawinannya tanpa ada paksaan,
tetapi siap dalam membangun, membina rumah tangga dan bertanggung jawab dalam
keluarga rumah tangga mereka.
Pada umumnya apabila seorang pria yang ingin melamar seorang wanita yang dalam
bahasa ransanya betonyak (meminang) seorang pria harus mempersiapkan terlebih dahulu
perlengkapan yang notabenenya berupa barang yang nantinya harus diserahkan kepada pihak
perempuan, yang di maksud dengan barang-barang yang di serahkan dari pihak laki-laki
kepada perempuan, yang sekiranya berupa alat-alat perlengkapan yang biasa dan layak di
pakai seorang wanita misalnya; seperti kain, handuk, celana, baju, alat-alat mandi seperti
sabun dan sejenisnya juga berupa kosmetik dan lain-lain. Jadi pertama-tama yang harus di
persiapkan seorang pria apabila ingin melamar seorang wanita barang-barang yang sudah di
sebutkan di atas harus benar-benar ada dan itu akan menguatkan bahwa seorang pria/laki-laki
tersebut benar-benar sudah siap untuk kawin serta bertanggung jawab.
Ketika sudah di pastikan bahwa seorang pria menyanggupi permintaan sebagai
persyaratan utama yang sudah di anggap terpenuhi oleh seorangTemenggung (kepala
adat/ketua adat) dengan mempertimbangkan keabsahannya demi memenuhi syarat, maka
proses dari betonyak (pelamaran) tersebut bisa di lanjutkan. Walaupun dalam
proses betonyak (pelamaran) tersebut tidak berjalan mulus, dalam arti ketika seorang wanita
tidak menerima lamaran seorang pria secara otomatis barang tersebut tetap di berikan ke
pihak perempuan dan tidak di kembalikan lagi pada laki-laki yang melamar tersebut. Karena
atas dasar apa yang sudah di perdengarkan ke masyarakat lain, bahwasanya seorang pria akan
melamar seorang wanita, maka di situ terjadi adatbasa sopan santun, artinya jika orang akan
melangsungkan perkawinan bagi suku dayak ransa itu merupakan hal yang sangat sakral dan
bukan hal yang main-main, apabila dalam penyelenggarannya perkawinan itu batal maka
secara tidak langsung dari pihak keluarga merasa adanya tekanan batin atau di kucilkan
dalam hal ini berkaitan dengan perasaan si keluarga perempuan.
Adapun syarat-syarat lain yang biasa di lakukan ketika betonyakberkaitan dengan
tempat seorang pria yang ingin melamar seorang wanita terutama pihak dari laki-laki harus
datang di tempat kediaman (domisili) si perempuan. Dari syarat yang telah di kemukakan di
atas, adapun syarat lain seorang pria maupun wanita yang akan melangsungkan pelamaran
keduanya tidak terikat pada yang lain, maksudnya pria atau wanita tersebut ketika akan
berlangsungnya pelamaran maka di pastikan keduanya sama-sama bebas dari ikatan atau
hubungan dengan laki-laki maupun perempuan lain.
Masa Pertunangan (Tunang/meminang)
Setelah melakukan proses betonyak (pelamaran) pada perkawinan tersebut keduanya
sudah sah dan lamaran pria di terima oleh wanita maka tahap selanjutnya adalah kedua belah
pihak membuat perjanjian atau kesepakatan untuk betunang (pertunagan). Dalam
hukum adat ransa apabila seorang pria melamar seorang wanita dan lamaran tersebut di
terima, tidak bileh serta-merta di nikahkan akan tetapi harus ada masa-
masa tunang (pertunangan).
Masa pertunangan bervariasi maksudnya tenggang waktu untuk di nikahkan kedua
mempelai tergantung kesepakatan antara pihak laki-laki dan perempuan. Masa tenggang
waktu perkawinan mempelai menurut adat setempat minimal tiga bulan dan paling lama
maksimal satu tahun harus dinikahkan, karena menurut adat yang di yakini di
masyarakat ransa pertunangan merupakan sesuatu keharusan agar para pihak seorang pria
dan seorang wanita maupun keluarga kedua belah pihak tersebut saling mengenal satu sama
lainnya. Dengan di beri waktu untuk mengenal lebih jauh dan lebih dalam lagi masing-
masing para pihak yang terikat dalam hal ini ialah pertunangan.
Pada adat perkawinan masyarakat suku dayak ransa, tuning (pertunagan)
merupakam keharusan, agar pendekatan secara kekerabatan dan kekeluargaan antara pihak
laki-laki dengan pihak perempuan terjalin hubungan yang harmonis. Jika tidak ada proses
pertunangan yang di khawatirkan adalah muncul suatu kejanggalan-kejanggalan dari para
pihak, maka dari itu dengan adanya tunang (pertunangan) pihak yang mengikatkan diri
khususnya pria dan wanita di harapkan saling menjaga hubungannya supaya tidak terjadi hal-
hal yang tidak di inginkan sebelum pernikahan berlangsung.
Proses Pelaksanaan Perkawinan
Dari betonyak (pelamaran) kemudian betunang (pertunangan) sampai menjelang hari
pernikahan, berbagai proses di lalui dan tahap demi tahap yang di lewati, pada
perkawinan suku ransa berlangsungnya suatu upacara pernikahan biasanya pada bulan enam.
Upacara adat perkawinan kebayakan di lakukan pada masa pegoai adant dayak (gawai adat
dayak/pesta adat dayak) yaitu pesta yang di lakukan secara serentak atau bersamaan dengan
tetangga yang ada di sekitarnya.
Jadi pesta pernikahan atau perkawinan pada umumnya kebanyakan di lakukan pada
saat gawai dayak atau pesta adat tiba yaitu setelah selesai musim panen padi, mengapa
demikian karena pesta tersebut hanya di selenggarakan satu tahun sekali. Berlangsungnya
upacara perkawinan bersama dengan meramaikan perayaan adat gawai dayak itu secara tidak
langsung akan meringankan biaya perkawinan, maka dari itu perkawinan suku dayak ransa
dominan berlangsung atau bertepatan dengan perayaan adat gawai musim panen telah usai.
Dalam tradisi upacara perkawinan adat ransa ada beberapa kali tahap dalam perkawinan
yaitu:
 Perkawinan pertama
Perkawinan pertama ialah di mana serorang pria yang belum pernah menikah artinya baru
pertama kali kawin begitu juga sebaliknya seorang wanita juga baru kawin, akat nikah
dilaksanakan atau berlangsungnya suatu perkawinan bertempatkan di domisili perempuan.
Karena menurut adat setempat khususnya pada suku ransa dalam melangsungkan perkawinan
harus di domisili perempuan dan tidak mungkin di nikahkan di domisili laki-laki, sebab kalau
seandainya itu terjadi di mana kehormatan seorang wanita yang seolah-olah menjual harga
diri.
 Perkawinan ke dua atau menoik
Setelah terselenggaranya suatu perkawinan terdahulu/pertama, ada perkawinan kedua yang di
laksanakan di domisili laki-laki yang di sebut dengan menoik.Upacara perkawinan ini
merupakan suatu balasan dari orang tua laki-laki dan berlangsungnya upacara perkawinan ini
bertempat (didomisili) laki-laki, karena mereka menganggap menoik itu adalah suatu
kehormatan bagi pihak keluarga tersebut jika terselenggarakannya perkawinan (menoik).
Sebab kalau menoikbagi orang tua laki-laki merupakan menyambut kedatangan seorang
menantu yang masuk kedalam bagian keluarga mereka yang baru. Menoik tidak di tentukan
kapan waktunya, dan itu bisa di laksanakan kapan saja walau pun mereka sudah punya anak
juga masih tetap bisa di lakukukan, karena menoikadalah perkawinan yang di pertanggung
jawab kan orang tua laki-laki yang artinya semua beban perkawinan di biayai orang tua
tersebut.
 Perkawinan sakramen
Perkawinan ini adalah perkawinan yang di sahkan oleh agama dan di sakralkan oleh gereja.
Walau pun mereka memiliki adat yang sangat kental namun kepercayaan mereka tetap ada
yaitu percaya akan agama atau Tuhan, karena bagisuku ransa kepercayaan akan agama atau
Tuhan harus di imbangi dengan kepercayaan terhadap tradisi adat yang berlaku dan keduanya
tetap sama-sama dijalankan. Dalam perkawinannya terhadap agama pun mereka tidak
mengabaikan, karena setelah melaksanakan perkawinan adat suku ini tetap melangsungkan
perkawinan di gereja atau perkawinan sakaramen. Kerena bagaimana pun mereka adalah
bagian dari bangsa Indonesia di mana seseorang bangsa Indonesia itu sendiri harus tunduk
kepada aturan-aturan dan norma-norma hukum yang berlaku di negeri ini.

III. Ketentuan Pembagian Harta Beda/Warisan Ketika Bercerai


Ketentuan adat tentang pembagian harta benda dalam kasus perceraian dapat
diterangkan sebagai berikut di bawah ini.

1. Retaaq rempuk (harta bersama), yaitu harta benda yang diperoleh secara bersama-
sama oleh suami-istri selama berumah tangga. Apabila terjadi perceraian, maka harta
benda ini harus dibagi atas dasar kesepakatan bersama.
2. Retaaq mento, yaitu harta benda yang diperoleh suami-istri semasa belum menikah,
misalnya harta warisan dari orang tua perempuan atau orang tua laki-laki. Apabila
terjadi perceraian, maka pembagiannya adalah sebagai berikut: (a) harta benda
tersebut tetap menjadi milik laki-laki (suami), apabila harta itu didapatkan sebelum
menikah atau warisan dari orang tuanya; dan (b) harta benda itu tetap menjadi milik
perempuan (isteri), apabila barang atau harta itu didapatkan sebelum menikah atau
warisan dari orang tuanya.
3. Jika terjadi perebutan harta warisan antara anak-anak yang masih bersaudara
kandung, maka ketentuannya adalah sebagai berikut: (a) anak laki-laki berhak atas
harta warisan (retaaq mento) ayahnya; dan apabila tidak mempunyai anak laki-laki,
maka warisan ini dikembalikan kepada keluarganya yang laki-laki; dan (b) anak
perempuan berhak atas harta warisan (retaaq mento) ibunya, dan apabila tidak
mempunyai anak perempuan, maka warisan ini dikembalikan kepada keluarga yang
perempuan.

Anda mungkin juga menyukai