Anda di halaman 1dari 10

KEPASTIAN HUKUM PENYELESAIAN

SENGKETA TANAH
Sengketa Tanah

•Sejak zaman dahulu tanah telah menjadi sumber sengketa bagi manusia. Keberadaan tanah yang
jumlahnya tetap (terbatas) mengakibatkan perebutan terhadap hak atas tanah yang dapat memicu terjadinya
sengketa tanah yang berkepanjangan, bahkan pemilik tanah rela berkorban apa saja untuk mempertahankan
tanah yang dimilikinya. Sebagaimana dinyatakan oleh Mochammad Tauhid :

•“Soal agrarian (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal
dan sumber makanan bagi manusia. Perebutan terhadap tanah berarti perebutan makanan, tiang hidup
manusia. Untuk itu orang rela menumpahkan darah mengorbankan segala yang ada demi
mempertahankan hidup selanjutnya”.



Sengketa tanah adalah perselisihan tanah yang melibatkan badan hukum, lembaga atau
perseorangan dan secara sosio-politis tidak memiliki dampak luas.
Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau dikatakan sebagai sengketa hak atas
tanah yaitu : Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan suatu pihak (orang atau badan
hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah,
prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara
administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Secara garis besar tipologi kasus-kasus di bidang pertanahan
dapat dibagi menjadi lima kelompok :

•1. Kasus-kasus berkenaaan dengan penggarapan rakyat atas tanahtanah perkebunan, kehutanan
dan lain-lain.
•2. Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform.
•3. Kasus kasus berkenaan dengan ekses ekses penyediaan tanah untuk perkebunan.
•4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah.
• 5. Sengketa berkenaan dengan tanah ulayat.
Pada dasarnya sumber konflik pertanahan sekarang ini sering terjadi antara lain
disebabkan oleh :

•1. Pemilikan/penguasaan tanah yang tidak seimbang dan tidak merata


•2. Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan non pertanian
•3. Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah
•4. Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah (hak ulayat)
•5. Lemahnya posisi masyarakat pemegang hak atas tanah dalam pembebasan tanah
•6. Permasalahan pertanahan dalam penerbitan sertifikat yang antara lain Proses penerbitan sertipikat
tanah yang lama dan mahal, Sertipikat palsu, Sertipikat tumpang tindih, Sertipikat ganda, Pembatalan
sertifikat.


Faktor Penyebab Sengketa Tanah :

Masalah sengketa biasanya disebabkan oleh beberapa faktor yang bervariasi. Yang paling sering
terjadi yaitu masalah mengenai jual beli tanah. Ada beberapa faktor lain, diantaranya:
• Kurang jelasnya proses sertifikasi tanah
• Kurang memperhatikan proses administrasi sehingga mudah diklaim orang lain
• Keterbatasan sumber daya manusia
• Kebijakan yang belum optimal
• Pelaksanaan administrasi pertanahan yang kurang tertib

Penyelesaian Sengketa Tanah
• Penyelesaian sengketa tanah melalui Pengadilan (Litigasi)
Penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui Lembaga
pengadilan. Proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain. Selain itu,
penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah upaya-upaya
alternatif penyelesaian sengketa tidak membuahkan hasil.
Pengaduan bisa diajukan ke Pengadilan Umum, Pengadilan Tata Usaha maupun Pengadilan Agama,
tergantung jenis gugatan yang diajukan. Gugatan kasus tanah yang diajukan ke Pengadilan Umum
melingkup pada perkara perdata dan pidana, semntara gugatan yang dijukan ke Pengadilan Tata Usaha
umumnya berkaitan berkaitan dengan pembatalan sertipikat sebagai produk badan Tata Usaha Negara, dan
gugatan yang diajukan ke pengadilan agama biasanya berkenaan dengan gugatan terhadap tanah harta
bersama dalam perkawinan, warisan, dan sengketa tanah wakaf. Penyelesaian kasus Pertanahan lewat
Pengadilan statusnya bukan lagi sengketa, melainkan perkara Pertanahan.
• Penyelesaian Sengketa Secara Non-Litigasi
Selain melalui litigasi (pengadilan), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan melalui jalur
non-litigasi (di luar pengadilan), yang biasanya disebut dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) di
Amerika, di Indonesia biasanya disebut dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut APS)
“Alternatif Penyelesaian Perkara (APS) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi atau penilaian para ahli”.

Ketentuan mediasi diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No 1 Tahun
2016 (PERMA No.1/206) menggantikan Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008. Asas mediasi dapat
bersifat tertutup atau terbuka, tergantung kehendak pihak-pihak yang bersengketa.
Ketentuan mediasi diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No 1 Tahun 2016 (PERMA No.1/206)
menggantikan Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008. Asas mediasi dapat bersifat tertutup atau terbuka, tergantung kehendak
pihak-pihak yang bersengketa. Penjelasan di atas sesuai dengan isi Pasal 26 PERMA Nomor 1 dan 2 Tahun 2016, yang berbunyi :

1. Atas persetujuan para pihak dan/atau kuasa hukum, mediator dapat menghadirkan seseorang atau lebih ahli, tokoh
masyarakat, agama ataupun tokoh adat.

2. Para pihak harus terlebih dahulu mencapai kesepakatan tentang kekuatan mengikat atau tidak mengikat dari penjelasan
dan/atau penilaian para ahli dan/atau tokoh masyrakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1

Tujuan dari mediasi adalah penyelesaian masalah secara musyawarah dan kekeluargaan. Keuntungan penyelesaian sengketa
tanah melalui mediasi adalah tidak memakan banyak waktu, prosedur tidak berbelit-belit, aturan pembuktian tidak perlu, biaya ringan,
penyelesaian bersifat formal, proses penyelesaian bersifat konfidensial, hubungan para pihak bersifat kooperatif.


• Penyelesaian sengketa tanah melalui Badan Pertanahan
Nasional (BPN)

Kasus pertanahan timbul karena adanya klaim / pengaduan / keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi
kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin
mendapat penyelesaian secara administasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu.
Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan (Sertipikat/ Surat Pemberian
Hak Atas Tanah) ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Kasus Pertanahan meliputi beberapa macam antara lain, mengenai
masalah status tanah, masala kepemilikan, masalah bukti – bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah dengan melakukan
penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan. Dan dapat disimpulkan apakah pengaduan tersebut dapat diproses
lebih lanjut atau tidak. Agar kepentingan masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut
mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan dari keyakinannya memang harus di
status quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan
Pertanahan Nasional Tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.

Anda mungkin juga menyukai