Anda di halaman 1dari 13

Analisis Hukum Hak Komunal Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang Terhadap

Hutan Adat Di Kabupaten Bulukumba


Ade Putra F Sumbara
Universitas Taruma Nagara
adeputrafsumbara@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Untuk mengetahui pelaksanaan hak Komunal
Masyarakat Hukum Adat Ammato Kajang terhadap Hutan Adat di Kabupaten Bulukumba dan
mengetahui Sejauh manakah Hak Komunal Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang
dilindungi oleh hukum. Metode penelitianayang di gunakan adalah penelitian Hukum Normatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pelaksanaan hak Komunal masyarakat adat Ammatoa
Kajang dilakukan atas kewenangan Ammatoa berdasarkan “pasang rikajang” yang merupakan
sumber Hukum untuk mengatur segala sendi kehidupan masyarakat adat Ammatoa Kajang yang
berhubungan dengan Tuhan (Turiek Arakna). Dan Hukum adat ammatoa kajang sangat
bergantung pada “Pasang Rikajang”, musyawarah ini efektif menyelesaikan masalah, dan hasil
musyawarah menjadi sumber lahirnya Perda Kabupaten Bulukumba Nomor 9 Tahun 2015
Tentang Pengukuhan, Pengakuan Hak, Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat.

Kata Kunci : Masyarakat, adat, Hutan adat


Legal Analysis of Communal Rights of the Ammatoa Kajang Customary Law Community
Against Customary Forests in Bulukumba District
Ade Putra F Sumbara
Taruma Nagara University
adeputrafsumbara@gmail.com

ABSTRACT
This study aims to find out the implementation of the communal rights of the Ammato
Kajang customary law community to customary forest in Bulukumba district and to find out to
what extent the communal rights of the Ammatoa Kajang customary law community are
protected by law. The research method used is Normative Law research. The results showed that
the implementation of the communal rights of the Ammatoa Kajang indigenous people was
carried out on the authority of the Ammatoa based on "pairs of rikajang" which is a source of law
to regulate all aspects of the life of the Ammatoa Kajang indigenous people who are related to
God (Turiek Arakna). And the customary law of the ammatoa kajang relies heavily on "Pasang
Rikajang", this deliberation effectively resolves the problem, and the results of the deliberation
become the source of the birth of the Bulukumba Regency Regional Regulation Number 9 of
2015 Concerning the Inauguration, Recognition of Rights, and Protection of the Rights of
Indigenous Peoples.
Keywords: Community, custom, customary forest
1. PENDAHULUAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDN RI 1945) pada
Pasal 33 ayat (3) mengatur bahwa "bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasasi oleh negara dan di pergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat"

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria


biasa disebut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dalam Pasal 2 juga mengatur tentang
hak menguasai dari negara yang intinya bahwa bumi air dan rang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

Selain terkandung dalam UUDN RI 1945 dan undang-undang agraria, menguasai juga
terkandung di peraturan kehutanan akan tetapi tidak menguntungkan warga hukum adat,
karena tidak memisahkan antara hutan adat dan hutan negara.

Tana merupakan tempat tinggal masyarakat adat, memberikan penghidupan kepada


masyarakat adat, tempt masyarakat adat ketika meninggal dunia dikebumikan dan tempt
tinggal para leluhur dari masyarakat adat. Makna tanah bagi masyarakat hukum adat
Ammatoa Kajang sangat kental akan "pasang ri Kajang" (pesan petuah orang Kajang) "jagai
linoa lollong bonena kammayatoppa langi 'ka, rupa tau siagang boronga" (jagalah dunia
beserta isinya, langit, umat manusia dan hutan).

Berbagai satuan masyarakat standar yang ada di Indonesia memiliki wilayah atau
wilayah adatnya masing-masing. Komunitas yang akrab mencari nafkah dari penggunaan
sumber daya alam yang ada dan terletak di daerah yang akrab. Sumber daya alam masyarakat
hukum biasa tidak hanya dianggap sebagai objek keuntungan ekonomi, tetapi juga
merupakan bagian integral dari kehidupan. Masyarakat adat selalu menjaga hubungan
sejarah dan spiritual dengan sumber daya alamnya sehingga budaya yang dimiliki
masyarakat adat dapat tumbuh secara turn temurun. Apabila suatu wilayah adat atau
kekayaan alam yang dikandungnya dilanggar oleh negara atau pihak lain, dapat
membahayakan kehidupan ekonomi dan keberadaan masyarakat adat itu sendiri.

Siring dengan berjalannya waktu, keberadaan wilayah bersama atau tanah-tanah yang
biasa disebut ulayat semakin berkurang bahkan hamper punah. Menurunnya eksistensi
masyarakat hukum adat dalam masyarakat hukum adat dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Satu adalah faktor kedudukan hak ulayat terevolusi oleh desakan kepentingan yang bersifat
perorangan. Tanah ulayat menjadi sasaran pengembangan desa yang memarginalkan hak-hak
komunal. Pasal 3 UUPA menjelasakan bahwa "pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang
serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan- peraturan lain yang lebih tinggi"

Ditetapkannya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan


Nasional Nomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah
Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu, yang
kemudian diubah dan digantikan dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Rung/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak
Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang berada dalam Kawasan
Tertentu, memunculkan jenis hak atas tanah bar yaitu hak komunal atas tanah, yang
kemudian berpengaruh terhadap hak-hak atas tanah masyarakat adat yang lama, salah
satunya adalah masyarakat hukum adat Ammatoa Kajang yang tinggal di Kecamatan Kajang
Kabupaten Bulukumba.

Masyarakat hukum adat Ammatoa Kajang telah mendapatkan perlindungan hukum


oleh Pemerintah Kabupaten Bulukumba pada tahun 2015 melalui Peraturan Daerah
Kabupaten Bulukumba No. 9 Tahun 2015 tentang Pengukuhan, Pengakuan Hak, dan
Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang. Perda ini mengatur bahwa
hak masyarakat hukum adat adalah hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat,
atau hak masyarakat atau individu atau hak yang berasal dari sistem sosial budayanya,
khususnya hak untuk mengelola tanah, tanah, dan sumber daya alam. penyelesaian sengketa
secara musyawarah mufakat memperoleh dukungan akar budaya yang hidup dan dihormati
dalam lalu lintas pergaulan sosial. Meskipun demikian perl disimak pernyataan yang
mengemukakan bahwa pertimbangan penyelesaian sengketa dalam masyarakat tradisional
melalui musyawarah lebih ditekankan untuk menjaga keharmonisan kelompok dan kadang-
kadang mengabaikan kepentingan dari pihak-pihak yang bersengketa.

Adanya Perda masyarakat adat Ammatoa Kajang tidak menjamin perlindungan hak
komunal masyarakat adat Ammatoa Kajang itu dapat dilihat pada permasalahan terkait hutan
adat mereka yang perlahan-lahan mulai diambil alih oleh perusahaan swasta yaitu PT.
LONDON SUMATRA (LONSUM). melalui Hak Guna Usaha (HGU) PT. LONSUM
menguasai wilayah adat Ammatoa Kajang seluas 2.500 hektar, tanpa melalui mekanisme
pengambilan keputusan bersama menurut hukum adat Ammatoa Kajang, sebagaimana diatur
pada Pasal 16 ayat 4 Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba yang mengatur bahwa
"Pemanfaatan tanah yang bersifat komunal/kolektif dan tanah perseorangan di wilayah adat
ole pihak lain hanya dapat dilakukan melalui mekanisme pengambilan keputusan bersama
berdasarkan hukum adat.

2. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum Empiris.
Penelitian hukum empiris adalah sebuah metode penelitian yang berupaya untuk melihat
hukum dalam artikel yang nyata atau dikatakan melihat, meneliti bagaimana bekerjanya
hukum di masyarakat, yang kemudian menggunakan pendekatan penelitian, jenis pendekatan
normatif. Adapun pengumpulan data dan informasi dilaksanakan di Kabupaten Bulukumba
Kecamatan Kajang. Sumber data utama yaitu hasil wawancara dengan masyarakat hukum
adat Ammatoa Kajang.
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1. Hak Komunal Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang Dilindungi dengan Hukum

Putusan Mahkamah Konstitusi no. 35/PUU-X/2012 tentang Revisi Undang-Undang


Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diundangkan pada 16 Mei 2013, merupakan
momen penting yang membuka babak bar dalam pengakuan masyarakat hukum adat di
negeri ini.

Putusan in semakin memperjelas bagaimana kriteria pengakuan masyarakat hukum


adat Tanggapan Kementerian Kehutanan atas putusan MK. 35/PUU-X/2012 dengan
menerbitkan Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor 1/Menhut I/2013. Salah satu ketentuan
dari surat edaran ini adalah pengakuan hutan adat harus dilakukan sesuai dengan peraturan
daerah. Sedangkan sesuai dengan U Kehutanan, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 35/PUU-X/2013, kawasan hutan terdiri dari hutan negara, hutan hak, dan hutan biasa.
Kementerian Kehutanan bertanggung jawab atas penciptaan kawasan hutan. Oleh karena itu,
Kementerian Kehutanan harus secara aktif mengambil langkah-langkah strategis dan teknis
untuk memenuhi kewajibannya memulihkan hak-hak masyarakat hukum adat dengan
mengembalikan hutan adat kepada masyarakat hukum adat.

Sejauh ini, hutan seluas 331 ha di kawasan hukum adat Ammatoa Kajang telah diakui
sebagai hutan dengan produktivitas terbatas daripada hutan konvensional. Pengakuan hutan
sebagai hutan produktif terbatas berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan. Pemerintah
Kabupaten Bulukumba telah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Hak Atas Tanah Wilayah dan Sumber Daya Alam.

Perda berdasarkan UU Kehutanan no. 41 Tahun 1999 pasal 67, menyatakan bahwa
masyarakat hukum adat, sepanjang benar-benar ada dan diakui keberadaannya, berhak
memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.

Menurut wawancara dengan Ramla Anak Ammatoa (pemimpin adat) pada 13 Januari
2022, mengakui bahwa tradisi kehutanan di kawasan adat Kajang Ammatoa sudah ada sejak
lama. Melalui peraturan daerah, kawasan hutan akan terselamatkan dari perambahan orang-
orang yang tidak bertanggung jawab, a berharap setelah peraturan daerah mengatur dan
memperkuatnya, hutan akan dikelola sesuai aturan di zona paling tradisional Ammatoa.

Pada tahun 2016 negara menetapkan wilayah adat Ammatoa kajang menjadi hutan adat
seluas 313,99 hektar, penetapan ini dikarenakan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 35 tahun 2012, putusan tersebut menghapus Negara didalam hutan adat putusan ini
mengembalikan hak hutan adat kepada masyarakat adat.
Menurut Peraturan Daerah Kababupaten Bulukumba Nomor 9 Tahun 2015 Pasal 15
tentang hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam, juga memuat pedoman sebagai dasar
hak untuk mengelola kekayaan alam, yaitu:

1. MHA Ammatoa Kajang berhak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam yang
dimiliki tau diduduki secara turn temurun dan/atau diperoleh melalui mekanisme
lain.
2. Sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi segala sesuatu
yang ada di permukaan maupun yang ada di dalam tanah.
3. Hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi hak untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan, dan menguasai
atas dasar milik leluhur dan/atau hak lainnya.
Dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara no. Keputusan No.
35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013 menetapkan bahwa hutan biasa adalah hutan yang
berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, yang menjadi salah satu dasar penetapannya.

Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU. X/2012 , hutan


berdasarkan statusnya sebagai berikut:

"Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adar'

Kata "negara" dihapuskan oleh MK sehingga bunyi Pasal 1 angka 6 menjadi "Hutan
adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat'.

Ammatoa selaku ketua adat masyarakat Ammatoa Kajang mengatakan bahwa:


masyarakat adat Ammatoa Kajang menyelesaikan dan mempertahankan wilayah adat kami
dengan menggunakan hukum adat sebagaimana "Pasang Rikajang" terkait perlindungan atau
kepastian kepemilikan hutan adat kami selalu melakukan a'borong yaitu berkumpul bersama
untuk menyelesaikan masalah akan tetapi kami sering menemukan hasil bahwa masyarakat
adat Ammatoa Kajang menempuh jalur hukum yaitu mengugat ke pengadilan dengan
dibantu oleh AMAN Sulawesi-Selatan.

Ramlah anak Ammatoa Ketua adat, mengatakan bahwa: Hutan adat Ammatoa Kajang
itu seluas 313,99 m2 yang telah mendapatkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Dan
Kehutanan Nomor: SK.6746/MENLHK- PSKL/KUM.1/12/2016 Tentang Penetapan Hutan
dat Ammatoa Kajang, jadi kewenangan masyarakat adat Ammatoa Kajang dalam
memanfaatkan sebagian atau seluruh wilayah hutan adat ammatoa Kajang itu sudah pasti
dilindungi oleh hukum nasional atupun hukum adat itu sendiri, terkait penyelesaian masalah
dengan PT. Lonsum yang sempat terjadi, masyarakat adat Ammatoa Kajang
menyelesaikannnya berdasarkan "Pasang Rikajang" yaitu dengan memanggil pihak terkait
untuk a'"borong atau berkumpul bersama membahas masalah tersebut, masyarakat Adat
Ammatoa Kajang juga sempat melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri Kabupaten
Bulukumba dengan dibantu ole AMAN Sulawesi Selatan dan LBH Kota Makassar, akan
tetapi pengadilan cenderung lambat menangani kasus tersebut, sekarang Alhamdulillah PT.
Lonsum sudah mengembalikan wilayah adat Ammatoa Kajang yang sempat di mantaatkan
oleh PT. Lonsum.

Menurut penulis hak masyarakat hukum adat ammatoa kajang dilindungi oleh hukum
nasional dan hukum adat itu sangat di perlukan oleh masyarakat adat dikarenakan mash
banyak orang-orang yang memiliki kepentingan pribadi yang akan merusak kelestarian
budaya dan hutan adat Ammatoa Kajang, hukum adat ammatoa kajang harus berdasarkan
"Pasang Rikajang", dan untuk memperkuat eksistensi hutan adat Ammatoa Kajang, pada
tahun 2016 hutan adat ammatoa kajang sudah ditetapkan dan dipetakan melalui Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor:
SK.6746/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016 Tentang Penetapan Hutan Adat Ammatoa
Kajang seluas 313,99 hektar jadi apabila ada kepentingan lain yang dapat merusak kawasan
hutan adat Ammatoa Kajang itu sudah melanggar aturan dan adanya kecurangan yang terjadi
antara pemerintah dan kelompok yang berkepentingan untuk menguasai wilayah masyarakat
hukum adat Ammatoa Kajang.

Dalam kasus seperti ini, sudah seharusnya aparat penegak hukum dan pemerintah
setempat menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat hukum adat, sesuai ketentuan
Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945. Dengan disahkannya hukum adat Ammatoa Kajang beserta
wilayah hukumnya, maka secara etika hukum, pemerintah daerah dan aparat penegak hukum
dapat menahan diri dan memberikan rang penegakan hukum adat yang berlaku dalam
wilayahnya. Penegakkan hukum adat juga didukung oleh beberapa instrumen hukum di
sektor perkebunan, antara lain Pasal 5 dan Pasal 56 UUPA Jo. Pasal 6 Ayat (2) UU No.
39/1999 tentang HAM Jo. Pasal 12 Ayat (1) UU No. 39/2014 tentang Perkebunan.

3.2. Pelaksanaan Hak Komunal Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang Terhadap
Hutan Adat Di Kabupaten Bulukumba
Masyarakat adat Ammatoa, dengan melestarikan hutannya, seolah menawarkan
secercah harapan bagi kelestarian lingkungan alam. Masyarakat adat Ammatoa yang
tinggal di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan mengelola sumber daya hutannya
secara lestari. Hal ini karena hubungan antara masyarakat hukum adat dengan lingkungan
hutannya dilandasi oleh pandangan hidup yang arif, yaitu penghormatan terhadap hutan
sebagai ibu yang harus dihormati dan dilindungi, yang masih ada dan mengelola sistem
pengelolaan hutan secara tradisional. metode. Sebagai masyarakat hukum adat yang ada,
masyarakat adat Ammatoa belum ditetapkan sebagai hutan bersama dalam peraturan
daerah.

Konservasi hutan di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan,


tidak lepas dari hukum adat yang dipatuhi dan dijaga oleh masyarakat adat Kajang, vaitu
pasang surut air laut.
Melalui mitranya, masyarakat hukum adat Ammatoa Kajang memahami bahwa
keberadaan mereka merupakan komponen dari suatu sistem yang secara sistemik terkait
dengan masyarakat. Turi"e A "Ra"na, pasang Ammatoa (leluhur pertama), dan tanah yang
telah diberikan oleh Turi"e A" Ra"na kepada nenek moyang mereka. Bagi masyarakat
Kajang, menjaga hutan adalah bagian dari ajaran Pasang, karena hutan adalah bagian dari
tanah titipan Turi"e A"Ra"na kepada leluhur suku kajang. Mereka meyakini bahwa di
dalam hutan terdapat kekuatan ghaib yang dapat mensejahterahkan dan sekaligus
mendatangkan bencana ketika hutan tersebut tidak dijaga kelestariannya. Kekuatan tersebut
menurut mereka berasal dari arwah leluhur masyarakat kajang yang senantiasa menjaga
kelestarian hutan agar terbebas dari niat-niat jahat manusia. Jika ada orang yang berani
merusak kawasan hutan, misalnya menebang poon dan membunuh hewan yang ada di
dalamnya, maka arwah para leluhur tersebut akan menurunkan kutukan. Kutukan tersebut
dapat berupa penyakit yang diderita oleh orang yang bersangkutan, atau juga
mengakibatkan berhentinya air yang mengalir di lingkungan tana toa kajang.

Masyarakat hukum adat Ammatoa disamping memiliki Pasang ri Kajang juga


memiliki Struktur lembaga adat Ammatoa yang dikenal sebagai appa' pa' gentunna anaya
na pa'tungkulu'na langi' (empat penggantung bumi dan penopang langit) yaitu:

1. Ada' yang harus tegas gattang)


2. Karaeng yang harus menegakkan kejujuran (lambusu)
3. (3) Sanro (dukun) yang harus pasrah apisona), dan
4. Guru yang harus sabar sa'bara).
Susana kehidupan masyarakat hukum adat Ammatoa penh dengan berbagai
pantangan dan pemali. Mereka meyakini bahwa salah satu pemali yang harus dijaga
kesakralannya adalah Pasang ri Kajang itu sendiri Karenanya, Pasang ri Kajang menurut
keyakinan komunitas adat Ammatoa berisi kebenaran yang pantang untuk diubah.
Kebenaran yang terkandung di dalamnya berlaku sepanjang jaman. Beberapa pantangan
dan pemali yang tidak boleh dilakukan di hutan adat Ammatoa yaitu larangan menebang
pohon, mengambil rotan dan tali, menangkap udang dan ikan, memburu satwa di Borong
Karama' dan mengganggu bani. Larangan-larangan tersebut di beri sanksi adat.

Menurut Penulis perlindungan hukum masyakat hukum adat ammatoa kajang dalam
melaksanakan hak-haknya terhadap hutan adat itu sudah sangat jelas dikarenakan
kementrian kehutanan dan pemerintah kabupaten bulukumba secara sah mengakui
keberadaan masyarakat hukum adat ammatoa kajang, akan tetapi sering kali perlindungan
hukum tersebut tidak sejalan dengan apa yang dituliskan di dalam peraturan perundang
undangan.

2. Pemanfaatan Hutan
Kehidupan masyarakat adat Ammatoa Kajang sangat dipengaruhi oleh kepercayaan
yang dianut yaitu Manuntungi Ada' yang bersumber dari "Pasang rikajang" berdasar pada
pesan-pesan suci dari Turiek Akra' naatau dari Tuhan Yang Maha Esa, yang mengandung
petuah, nasehat untuk hidup di dunia dan akhirat, yang sifatnya sacral dan hukumnya wajib
untuk dilaksanakan.

Pelaksanaan hak-hak masyarakat adat Ammatoa kajang, baik itu tanah, flora, fauna
dan sumber air yang berada dalam kawasan adat, dikelolah atas kewenangan Ammatoa
(ketua adat), masyarakat adat Ammatoa kajang memilih fungi lindung dan konservasi
dalam pengelolaan wilayah hutan adat mereka, bagi masyarakat adat Ammatoa Kajang
hutan punya arti penting.

Aturan pelaksanaan hak komunal atas hutan adat seperti untuk membuka mengambil
sumber alam yang ada di dalam hutan seperti kayu, rotan, madu, udang atau tumbuhan
lainnya dilakukan dengan cara bersama sama oleh masyarakat adat Ammatoa Kajang atas
izin Ammatoa, masyarakat adat Ammatoa Kajang memanfaatkan hutan tersebut untuk
keperluan acara adat, setelah sumber daya alam yang ada dalam hutan diambil, kemudian
masyarakat adat Ammatoa tidak mengambil sumber daya tersebut dengan jangka waktu
yang lama, hal ini bermanfaat agar semua masyarakat adat Ammatoa Kajang dapat
meminikmati dan menjaga hutan adat mereka.

Hak komunal masyarakat adat Ammatoa Kajang untuk memanfaatkan sumber air
yang ada dalam wilayah masyarakat adat Ammatoa Kajang, pertama masyarakat adat
Ammatoa Kajang meminta izin kepada Ammatoa dan bergotong royong untuk memasang
selang dari sumber air ke pemukiman masyarakat adat Ammatoa Kajang, masyarakat adat
Ammatoa Kajang memanfaatkan sumber air secara bergantian demi menjaga sift
kekeluargaan sesama masyarakat adat Ammatoa Kajang.

Wilayah adat Ammatoa Kajang mencakup luas 313,99 hektar berdasarkan keputusan
Menteri lingkungan hidup dan kehutanan Republik Indonesia, yang meliputi empat desa
yakni Tanah Towa, Pattiroang, Bonto Baji, dan Malleleng, dengan kondisi hutan adat yang
terfragmen, tapi ada yang luas mengelompok, dan memanjang. Keterkaitan hak-hak dalam
hukum adat dikarenakan sifat hukum adat adalah sebagai berikut :

a. Tradisional dengan berpangkal pada kehendak nenek moyangnya tau telah


disampaikan secara turun-temurun.
b. Berubah-ubah karena pengaruh kejadian dan keadaan sosial yang silih berganti.
c. Karena sumbernya tidak tertulis, hukum adat tidak kaku dan mudah menyesuaikan
diri.
Untuk memperkuat eksistensi hak komunal masyarakat hukum adat, Kementerian
Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Permen Nomor
10 tahun 201 6 tentang Tatacara Penempatan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum
Adat dan Masyarakat dalam Kawasan Tertentu

pelaksanaan hak-hak masyarakat adat Ammatoa Kajang di dalam hutan adat


masyarakat adat harus meminta izin kepada Ammatoa (ketua adat) kemudian dilaksanakan
dengan cara bersama-sama atau gotong royong dan dalam pelaksaananya harus sesuai
dengan aturan yang dikeluarkan oleh Ammatoa (ketua adat), kami sangat menjaga dan
melindungi masyarakat adat Ammatoa Kajang dari berbagai gangguan seperti baru-baru ini
kami mengawal kasus atas perampasan wilayah hutan adat yang dilakukan oleh PT.
Lonsum.

Hutan adat Ammatoa (Boronna I Bohe) dibagi menjadi tiga zona., yaitu:

Hutan Suci (Borong Karama') adalah kawasan pertama dari hutan biasa yang karena
pasang surut air laut (casipally). dilarang mask atau mengganggu flora dan fauna yang ada
di dalamnya. Hanya Ammatoa dan anggota adat yang bisa masuk ke Borong Karama jika
ada upacara adat (upacara pelantikan Ammatoa, Panganroang).

Bong Karama terbagi menjadi delapan bagian, yaitu: Borong Parasangeng Iraja,
Borong Pa, Rasangeng llau Borg Tappalang, Borong Kunzio, Borong Karanjang, Borong
Tunikeke, Tuju Erasaya dan Borg Pandingyang. Dikatakan bahwa jika seseorang dari luar
memasuki zona ini, orang itu tidak dapat pergi. Bahkan jika mereka bisa keluar, orang ini
akan mati Sama halnya dengan anjing, jika berhasil keluar, anjing tidak bias
menggonggong lagi.

di dalam. Hutan Perbatasan (Borong Battasaya), hutan ini merupakan zona kedua dari
Borong Karama. Antara Bong Karama dan Borong Battasaya dibatasi oleh jalan yang
digunakan oleh Ammatoa dan anggota adat untuk memasuki Borong Karama untuk upacara
ritual komunal. Battasaya Massal terletak di Hutan Parasangeng Iraja. Di Borong Battasaya,
komunitas ammatoa di Tana Camase-masea, serta Tana Powerya, diperbolehkan
mengambil kayu dengan syarat tertentu.

Borong Luaraia adalah hutan rakyat tapa hak milik. Hutan ini terletak di sekitar
taman umum Ke-Ammatoan dengan luas 100 ha. Dari hutan inilah masyarakat dapat
memenuhi kebutuhan kayunya dengan persyaratan yang sama seperti untuk pemanenan
kayu di Borong Battasaya.

Berdasarkan hal tersebut diatas, menurut penulis pelaksanaan hak komunal


masyarakat hukum adat ammatoa kajang terhadap hutan adat dilakukan tidak berdasarkan
aturan yang dikeluarkan ole mentri kehutanan maupun pemerintah kabupaten bulukumba,
akan tetapi masyarakat adat Ammatoa Kajang lebih path terhadap aturan yang dikeluarkan
oleh ammatoa (ketua adat) sebagaimana "Pasang Rikajang", kemudian dalam pelaksanaan
hak-hak masyarakat adat ammatoa kajang tidak boleh menggunakan alt teknologi dan
mengambil seperlunya saja untuk keperluan acara adat it dikarenakan untuk menjaga
kelestarian hutan adat Ammatoa Kajang. Hak komunal masyarakat adat Ammatoa Kajang
terlaksana dengan baik dikarenakan "Pasang Rikajang"..

4. KESIMPULAN

4.1. Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah disusun oleh penulis, dapat ditarik beberapa poin-poin
kesimpulan, yakni:

1. Pelaksanaan hak komunal masyarakat adat Ammatoa Kajang dilakukan atas


kewenangan Ammatoa berdasarkan "pasang rikajang" yang merupakan sumber
hukum yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat adat Ammatoa Kajang
yang berhubungan dengan Tuhan (Turiek Arakna).
2. Hukum adat ammatoa kajang sangat bergantung pada "Pasang Rikajang",
musyawarah ini efektif menyelesaikan masalah, dan hasil musyawarah menjadi
sumber lahirnya Perda Kabupaten Bulukumba No. 9 Tahun 2015 tentang
Penemuan, Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat dat Ammatoa Kajang dan
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No: SK.6746/MENLHK-
PSKL/KUM.1/12/2016 tentang definisi Hutan Konvensional Ammatoa Kajang

5. DAFTAR PUSTAKA
Buku :

Aminuddin Salle, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Kreasi Total
Media, Yogyakarta

Antony Allot, 1981. The Efectiveness of Law, Valparaiso University Law Review, (vol.15 Wiater)

Boedi Harsono, 2005. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan,

Djamanat Samosir. 2013. Hukum Adat Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di
Indonesia. Nuansa Aulia, Bandung.

Efendi Jonaedi. 2018. Metode Penelitian Hukum, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta

Husen Alting. 2010. dinamika hukum dalam pengakuan dan perlindungan hak masyarakat
hukum adat atas tanah. LaksBang PRESSindo, Yogyakarta.

Iman Soetiknjo, 1994. Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Lili Rasjidi, 2002. Pengantar Filsafat Hukum, Bandung : Mandar Maju,.


Maria S.W. Sumardjono, 2009. Tanah Dalam Presfektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya.
Kompas, Jakarta

Nugroho, 2015. Hukum Adat Hak Menguasau atas Sumber Daya Alam Kehutanan dan
Perlindungan Terhadap Masyarakat Hukum Adat, Refika Aditama. Bandung

Philipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia. Surabaya :Bina Ilmu

Satjipto Raharjo, 2000. Ilmu Hukum , Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Salim, H.S. 2006. Dasar-dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika.

Surojo Wignjodipor. 1983. pengantar dan asas-asas hukum adat. Gunung Agung, Jakarta.

Syarifah M. 2010. “eksistensi hak ulayat atas tanah dalam era otonomi daerah pada masyarakat
sekai dikabupaten bengkalis provinsi riau, Ilmu Hukum, Program Studi Magister
Kenotariatan,USU.

Taqwaddin. 2010. “penguasaan atas pengelolaan hutan adat oleh masyarakat hukum adat
(mukin) di provinsi aceh “. Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara.

Urip Santoso, 2009, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta

Zaidar. 2006. Dasar Filosofi Hukum Agraria Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan.

Jurnal
Maria SW Sumardjono, 2015. ihwal hak komunal atas tanah, arsip pusat dokumentasi dan
jaringan informasi hukum nasional kementrian hukum dan ham republic indonesia,
VIkolom 2-5.

Robert E. Rodes, 2004 “On the Historical School of Jurisprudence”, The American Journal of
Jurisprudence.

Z Makkawaru, H Taba, A Tira, , 2013. Penyelesaian Konflik Melalui Pelibatan Tokoh Adat.
Ngayah: Majalah Aplikasi IPTEKS - neliti.com (diakses Pada tanggal 4 November 2021)

Perundang-Undangan:
Peraturan Menteri No 10 tahun 2016 tentang Tata Cara Penempatan Hak Komunal Atas Tanah
Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Berada Dalam Kawasan Tertentu
menyebutkan bahwa “hak komunal atas tanah, yang selanjutnya disebut Hak Komunal,
adalah hak milik bersama suatu masyarakat hukum adat, atau hak milik bersama atas
tanah yang diberikan masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu.
Peraturan Daerah Kabupaten Kabupaten Bulukumba Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pengukuhan,
Pengakuan Hak, Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang

Internet :
http://e-jornal.unair.ac.id (diakses tanggal 15 Oktober 2021)
http://www.aman.or.id/apa-itu-hutan-adat/ (diakses tanggal 15 Oktober 2021)
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Kajang (diakses tanggal 15 Oktober 2021)
https://jkpp.org/2017/03/19/belajar-dari-pengelolaan-hutan-adat-ammatoa-kajang/ (diakses
tanggal 15 Oktober 2021)

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online (diakses pada tanggal 21 Oktober 2021).

Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.,


Aktualisasi Masyarakat Hukum Adat (MHA): Perspektif Hukum dan Keadilan terkait
dengan status MHA dan Hak-Hak Konstitusionalnya, Pusat Penelitian dan Pengkajian
Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Kepaniteraan dan Sekretariat
Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
2012.http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/contet infoumum/penelitian/pdf/2-
Penelitian%20MHA-upload.pdf (diakses tanggal 15 Oktober 2021)
Mahyuni, “Pengakuan Dan Penghormatan Negara Terhadap Masyarakat Adat Serta Hak-Hak
Tradisionalnya di Provinsi Kalimantan Selatan”. Makalah.
http://mahyunish.blogspot.com/2013/09/makalah-pengakuan-dan penghormatan. html
(diakses tanggal 15 Oktober 2021)

https://repository.unair.ac.id/69550/ (diakses tanggal 15 Oktober 2021)


https://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/1076/browse?
type=subject&value=Masyarakat+Adat (diakses tanggal 15 Oktober 2021)
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6522/tanah-ulaya (diakses tanggal 15
Oktober 2021)

Anda mungkin juga menyukai