Anda di halaman 1dari 7

ANALISIS KEBIJAKAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT

HUKUM ADAT DI KABUPATEN KETAPANG

READING COURSE

Disusun Oleh :

HELARIUS TRISNO

NIM : E2072212004

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK

2022
Analisis Kebijakan Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Di
Kabupaten Ketapang

A. PENDAHULUAN

Kabupaten Ketapang terluas di Kalimantan Barat yaitu 3124.07 Ha


atau sekitar 21,2% dari 14730.7 Ha total luas Kalbar. Di satu sisi, Kabupaten
Ketapang memiliki areal hutan terluas kedua 1.135.855 Ha setelah
Kabupaten Kapuas Hulu seluas 2.636.785 Ha (Provinsi Kalimantan Barat
dalam Angka, 2020).

Kawasan Hutan Negara seringkali tumpang tindih dengan pemukiman


penduduk. Sekadar contoh, analisis Tim GIS PPSDAK Pancur Kasih (2019),
9 kampung di wilayah Kec. Hulu Sungai yang total luasnya 111.298,17 Ha,
berdasarkan peruntukan tata ruang wilayahnya, maka 9.037,97 Ha (8,12%)
merupakan Area Penggunaan Lain (APL), 76.182,25 Ha (68,45%) adalah
Hutan Produksi Terbatas, 11.999,4 Ha (10,76%) merupakan Hutan Produksi,
dan 14.078, 72 Ha atau 17,65% adalah Hutan Lindung. Ini berarti seluas
91,88% dari total luas wilayah 9 kampung tersebut berada dalam Kawasan
Hutan Negara dan sisanya 8,12% berstatus APL yang dapat diakses oleh
masyarakat di dalam dan sekitarnya.

Dengan status Kawasan Hutan Negara—yang ditetapkan secara


sepihak oleh Negara—maka peruntukkannya bisa berubah menurut
(kepentingan) pemerintah. Ini menandai konflik tenurial (berbagai bentuk
perselisihan atau pertentangan klaim penguasaan, pengelolaan,
pemanfaatan, dan penggunaan kawasan hutan), rentan ancaman terhadap
sumber-sumber kehidupan Masyarakat Adat yang sangat tergantung dengan
hutan dan sumber daya alam sekitarnya.

Keberadaan Masyarakat Adat yang sebagian besar petani yang


bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan seringkali ditolak, dianggap
antara ada dan tiada. Akibatnya hak-hak penguasaan hutan dan
pengelolaan lahan yang (akan) diberikan oleh Negara kepada pemodal
(akan) berbenturan dengan keberadaan dan hak-hak Masyarakat Adat.Tak
bisa dibantah bahwa hutan dan sumber daya alam berabad-abad dan turun-
temurun menjadi sandaran mata pencaharian dan pekerjaan non-formal
Masyarakat Adat di daerah ini.

Sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Daerah Kabupaten


Ketapang Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat akhirnya memberikan peluang hukum bagi seluruh
masyarakat adat di berbagai daerah di Kabupaten Ketapang terutama untuk
menjaga hak-hak masyarakat hukum adat di Kabupaten Ketapang dari
berbagai kepentingan terhadap pengelolaan hutan dan sumber daya alam
yang diwariskan secara turun temurun oleh leluhurnya yang sentiasa
berbenturan dengan kawasan hutan Negara dan area konsesi perusahaan.

B. PERMASALAHAN DAN TUJUAN

UUD 1945, Pasal 18B ayat (2) menyatakan “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalam undang-undang.” Peraturan perundangan lainnya yang juga
mendukung kuatnya eksistensi masyarakat hukum adat lainnya adalah
dengan dikeluarkannya Putusan MK No 35/PUU-X/2012, Pasal 1 angka 6
Undang-Undang Kehutanan menyatakan hutan adat adalah hutan yang
berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Dan, Pasal 5 Ayat (1) “Hutan
negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan
adat.” Dari beberapa fakta yang telah terjadi di Kabupaten Ketapang dimana
kasus sering terjadinya konflik antara masyarakat adat dengan beberapa
perusahaan yang telah mengantongi hak atas ijin usaha pada area yang
juga telah diklaim oleh penduduk setempat sebagai warisan leluhur
msyarakat adat, pada akhirnya Pemerintah Kabupaten Ketapang menyadari
2 hal mendasar, pertama fakta adanya kekosongan hukum dalam
pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat; kedua menyadari
bahwa konflik di dalam Masyarakat Hukum Adat merupakan akibat dari
kekosongan hukum untuk pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum
Adat, maka dengan ini Pemerintah Kabupaten berusaha untuk membuat
kebijakan untuk melindungi hak-hak masyarakatnya dengan mengeluarkan
Peraturan Daerah Kabupaten Ketapang Nomor 8 Tahun 2020 tentang
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, dengan adanya
perda tersebut masyarakat hukum adat di Kabupaten Ketapang memiliki
peluang hukum yang semakin dekat untuk mengembalikan hak-hak adatnya
atas hutan.

C. PEMBAHASAN

Peraturan Daerah Kabupaten Ketapang Nomor 8 Tahun 2020


tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat pada Pasal
16 Huruf c menyatakan bahwa masyarakat hukum adat memiliki hak untuk
mendapatkan informasi yang lengkap dan akurat mengenai program
pembangunan yang ditawarkan oleh pemerintah dan pihak-pihak lain di luar
pemerintah yang akan berdampak luas pada tanah adat, wilayah adat,
sumber daya alam, dan budaya setempat, sedangkan pada Huruf d
menyatakan bahwa masyarakat hukum adat juga memiliki hak untuk
menolak bentuk-bentuk pembangunan yang dinilai tidak sesuai dengan
kebutuhan dan adat istiadat setempat, hal ini menunjukkan bahwa
Pemerintah Daerah Kabupaten Ketapang memberikan peluang kepada
masyarakat hukum adat untuk menolak kebijakan yang tidak berpihak pada
masyarakat adat. Beberapa kepastian hukum lainnya yang di atur pada
Peraturan Daerah Kabupaten Ketapang Nomor 8 Tahun 2020 tentang
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat juga di atur pada
Pasal 20 Ayat (3) dimana Pemerintah Daerah memberikan pendampingan
pada masyarakat hukum adat yang akan memperoleh kembali wilayah
adatnya dari penguasaan pihak luar dan lebih lanjut pada Pasal 22 ayat (2)
dan (3) menyatakan bahwa Jika tidak ada jalan keluar dalam penyelesaian
sengketa berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat
hukum adat Pemerintah Daerah membentuk tim penanganan sengketa yang
bersifat ad hoc berdasar keputusan Bupati. Dari serangkaian pasal yang
disajikan di atas menunjukkan bahwa adanya itikad baik Pemerintah
Kabupaten Ketapang dengan memberikan perhatian khusus terhadap
sengketa masyarakat hukum adat dilingkungan administratif wilayahnya.

Dalam melaksanakan pengakuan dan perlindungan masyarakat


hukum adat, menurut Peraturan Daerah Kabupaten Ketapang Nomor 8
Tahun 2020 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Bupati membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan mengeluarkan
surat keputusan. Panitia Masyarakat Hukum Adat terdiri dari: Sekretaris
Daerah sebagai ketua, Kepala Perangkat Daerah yang membidangi
pemberdayaan masyarakat, Kepala Bagian yang membidangi Hukum pada
Sekretariat Daerah sebagai anggota, Camat sebagai Anggota, Asisten, Staf
Ahli Bupati dan Kepala Perangkat Daerah terkait sebagai anggota dan
Unsur lainnya. Adapaun proses Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Hukum Adat dilakukan melalui: a. identifikasi Masyarakat Hukum Adat; b.
verifikasi Masyarakat Hukum Adat; dan c. penetapan Masyarakat Hukum
Adat. Identifikasi dengan mencermati: a. sejarah Masyarakat Hukum Adat; b.
Wilayah Adat; c. Hukum Adat; d. Harta kekayaan dan/atau benda adat; e.
kelembagaan/sistem pemerintahan adat; dan f. tradisi yang masih berlaku di
masyarakat. Adapun proses Identifikasi dilakukan oleh Camat dengan
melibatkan unsur pemerintah desa dan tokoh masyarakat setempat. Hasil
identifikasi dilakukan verifikasi dan validasi oleh Panitia Masyarakat Hukum
Adat. Bupati melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan
masyarakat hukum adat berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat
Hukum Adat dengan Keputusan Bupati.
Dari proses tersebut di atas disampaikan bahwa Bupati hanya bisa
mengeluarkan SK penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat
hukum adat jika telah mendapatkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum
Adat, kelemahannya apabila didalam proses verifikasi, Panitia Masyarakat
Hukum Adat kurang berpihak kepada masyarakat adat, maka proses
rekomendasi akan terhambat, bahkan di dalam proses identifikasi dan
verifikasi ini masyarakat adat tetap berpotensi konflik karena harus
berhadapan dengan area kawasan hutan negara dan area konsesi
perusahaan yang memang sudah sejak lama ditetapkan, yang pada
kenyataan dilapangan sudah tumpang tindih dengan wilayah adat yang ada
yg secara turun temurun dikelola oleh mereka. Beberapa kekurangan dari
produk hukum yang dikeluarkan ini juga terlihat pada Pasal 5 ayat (2) dan
(3) menyatakan bahwa jika dalam hal batas wilayah adat berbatasan dengan
komunitas lain, maka hasil pemetaan oleh prakarsa masyarakat hukum adat
atau Perangkat Daerah terkait tetap harus mendapatkan persetujuan dari
komunitas yang berbatasan dengan wilayah adat yang akan ditetapkan, dan
ini tetap berpotensi konflik tenurial. Potensi kelemahan lainnya juga terlihat
pada Pasal 11 ayat (2) huruf a Hak atas tanah adat, wilayah adat dan
sumber daya alam, meliputi: hak untuk memiliki, menguasai, menggunakan,
mengembangkan, dan mengendalikan sesuai dengan ketentuan hukum adat
dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dari pasal
tersebut tersirat bahwa kepemilikan wilayah masyarakat adat jika
berbenturan dengan aturan yang tidak berpihak maka akan berpotensi
digagalkan, yang mana diketahui bahwa begitu banyak kesepakatan diatur
sebelumnya hanya dibuat sepihak saja tanpa melibatkan masyarakat adat
yang sudah ada sebelumnya.
Jika di kaitkan dengan kasus di atas, menurut Jones (1984:166),
implementasi adalah seperangkat aktivitas yang ditujukan untuk
menempatkan sebuah program menjadi pengaruh (setof activities directed
toward putting a program into effect). Dalam hal ini keputusan yang di ambil
yang diwujudkan dalam sebuah program atau keputusan yang di ambil
membawa pengaruh, regulasi yang dibuat dicita-citakan akan membawa
pengaruh yang baik namun pada praktik dilapangan masih terdapat
beberapa hal yang mempengaruhi sehingga tidak sesuai seperti yang
diharapkan.
Menurut Jones (Nurdin, 2019: 15) Kegiatan-kegiatan tersebut
diklasifikasikan menjadi tiga pilar aktivitas, yaitu: Organisasi (organization),
penafsiran (interpretation), dan penerapan (application). Jika dilihat dari segi
Organisasi Pemerintah Kabupaten Ketapang telah mengorganisasikan
kepengurusan Panitia Hukum Adat namun tentu dari segi struktur juga
mempengaruhi, karena di dalam struktur sarat dipengaruhi berbagi
kepentingan yang berpengaruh pada keputusan yang dikeluarkan, secara
interprestasi sebenarnya implementor memahami segala permasalahan
yang terjadi serta dampak yang ditimbulkan, hendak nya perumusan
kebijakan tidak hanya disusun sepihak saja namun juga harus memiliki
kesepahaman yang sama antara pembuat kebijakan dengan pihak yang
terdampak peraturan sehingga bisa dengan sangat jelas membaca situasi
yang dihadapi beserta konsekuensinya. Pada tataran penerapan hendaknya
setelah regulasi tersusun dengan sangat rapi dan mengatur segala
kepentingan, perlu dirumuskan segala daya dan upaya agar segala
permasalahan dapat diatasi, sehingga terdapat rule yang jelas agar seluruh
perangkat yang terbentuk dapat berjalan pada arah yang dapat
menyelesaikan masalah.

D. SARAN DAN REKOMENDASI

Untuk mengurangi potensi konflik Pemerintah Kabupaten Ketapang harus


melaksanakan:

• Pemetaan seluruh wilayah adat yang ada di Kabupaten Ketapang


• Pemetaan Wilayah Hutan Negara yang ada di Kabuaten Ketapang
• Pemetaan seluruh areal wilayah yang mengantongi ijin konsesi pihak ke
3
• Pemetaan potensi konflik batas wilayah masyarakat hukum adat
• Melakukan koordinasi dan mencari solusi dengan kementerian terkait
perijinan usaha skala besar yang melibatkan wilayah hukum adat di
Kabupaten Ketapang.
• Jika semua status wilayah sudah jelas, baru kemudian Pemda Ketapang
mengatur regulasi terkait hak-hak kepemilikan atas wilayah hukum adat.

D. DAFTAR PUSTAKA

Nurdin, Encep Syarief. 2019. Teori-Teori Analisis Implementasi


Kebijakan Publik. Bandung: CV. Maulana Media Grafika.

Peraturan Daerah Kabupaten Ketapang Nomor 8 Tahun 2020 tentang


Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Anda mungkin juga menyukai