Pada kesempatan yang lalu saya sudah menunjukkan bahwa dari sudut
kepentingan masyarakat adat penetapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja tidak memberikan pengaruh yang positif bagi
pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat ke depan. Beberapa
pasal yang berpihak terancam mandul karena adanya kerangka regulasi yang
sulit dipenuhi oleh masyarakat adat. Peluang terjadinya situasi yang lebih
buruk justru jauh lebih besar (Zakaria, 2021).2
Maka, tidak heran jika UUCK 11/2020 lahir di tengah hujan gugatan
berbagai pihak. Termasuk dari kalangan yang peduli dengan nasib
masyarakat adat.3
Mungkinkah?
Tidak Berubah
1 R. Yando Zakaria. Antropolog, pendiri dan peneliti pada Lingkar Pembaruan Desa dan
Agraria (KARSA) dan Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat. Keduanya berkedudukan di
Yogyakarta. Alamat kontak: r.y.zakaria@gmail.com; +62 812 2692 1897;
www.independent.academia.edu/YandoZakaria, sebagaimana dapat diakses pada
https://www.academia.edu/45070854/Menakar_Nasib_Masyarakat_Adat_Pasca_Undang_
Undang_Nomor_11_Tahun_2020_tentang_Cipta_Kerja
2 https://www.academia.edu/44969591/Minibus_law dan
https://www.academia.edu/45055227/Undang_Undang_Nomor_11_Tahun_2020_tentang_
Cipta_Kerja_dan_Masyarakat_Adat_Nasib_Baik_dan_Buruk_di_Tengah_Norma_yang_Berub
ah_dan_yang_Bertahan
3 lihat https://www.aman.or.id/wp-content/uploads/2020/10/SIARAN-PERS-Sikap-
AMAN-terhadap-UU-Omnibuslaw.pdf
4 https://uu-ciptakerja.go.id/wp-content/uploads/2021/02/RPP-tentang-
Penyelenggaraan-Pengadaan-Tanah-Bagi-Pembangunan-Untuk-Kepentingan-Umum.pdf
1
Meski begitu, pengakuan yang gamblang ini, sebagaimana yang telah terjadi
pada masa-masa sebelum UUCK 11/2020 diundangkan, belum akan
membuat nasib masyarakat adat menjadi lebih baik. Sebab, logika hukum
yang bersyarat dan bertingkat tetap bertahan. Padahal, sebagaimana telah
ditunjukkan oleh Zakaria, 20185 dan Zakaria, et.al., 20206, alih-alih
memenangkan kepentingan masyarakat adat, logika hukum ini malah
membunuh (kepentingan) masyarakat.
Pengaturan yang demikian itu seperti berbeda dengan pengaturan yang ada
sebelumnya. Sebagaimana diketahui substansi yang sama ini pernah diatur
dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 ayat (2) masyarakat hukum adat
yang berhak memperoleh ganti rugi/kompensasi adalah masyarakat hukum
adat yang sudah ditetapkan dengan peraturan daerah (cetak miring
ditambahkan).
5 R. Yando Zakaria, 2018. "Dinamika Pengakuan Hak Masyarakat Adat dalam Jeratan
Warisan Hukum Kolonial dan Perubahan Sosial", makalah yang pada Simposium
International Antropologi, Yogyakarta, Juni 2018.
6 R. Yando Zakaria, Paramita Iswari, Rikardo Simarmata, dan Edi Suprapto, 2020. Potensi
Integrasi Hutan Adat ke dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK): Laporan Final.
Yogyakarta: Kerjasama Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria dan European Forest
Institute.
7 Selain terdapat pada Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum; pengaturan yang sama
juga terjadi pada kasus Rancangan Peraturan Pemerintah Penyelesaian Ketidaksesuaian
antara Tata Ruang dengan Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah.
8 Ibid.
2
lapangan. Kerangka hukum yang ada saat ini hanya menyasar susunan
masyarakat hukum adat yang memiliki kewenangan publik dan privat secara
sekaligus. Seperti nagari dalam konteks Minangkabau, misalnya.
Padahal macam unit sosial di tingkat lapangan itu sangat beragam. Kecuali
yang memiliki kewenangan publik-privat lebih banyak lagi susunan
masyarakat adat yang bersifat privat saja (satuan-satuan sosial berdasarkan
hubungan kekerabatan). Masing-masing susunan masyarakat adat itu tentu
dengan sendirinya memiliki kapasitas yang beragam pula dalam mengakases
proses legislasi untuk menghasilkan peraturan daerah yang dibutuhkan.
Kecuali di beberapa daerah, penguasaan tanah adat saat ini lebih banyak
terkait pada susunan masyarakat adat yang bersifat privat ini ketimbang
yang bersifat publik-privat.9
Dalam kasus ganti rugi tanah adat untuk proyek pembangunan seperti yang
diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 boleh jadi akan
langsung habis. Bahkan tidak akan cukup untuk menghasilkan peraturan
daerah yang disyaratkan itu. Sebuah logika hukum yang sangat aneh.
9 Lebih lanjut Lihat R. Yando Zakaria, 2018. "Dinamika Pengakuan Hak Masyarakat Adat
dalam Jeratan Warisan Hukum Kolonial dan Perubahan Sosial", pertama kali disampaikan
di hadapan publik saat diskusi yang diselenggarakan Sekretariat Reforma Agraria dan
Perhutanan Sosial, Jakarta, 17 Mei 2018.
10 Dalam UUCK 11/2020, pengaturan yang sama terdapat dalam dua undang-undang.
Masing-masing adalah (1) Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Daerah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Daerah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam UUCK 11/2020 tetap berbunyi "Masyarakat Hukum
Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pengakuannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan"; dan (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019
tentang Sumber Daya Air Pasal 9 ayat (3) menyetakan bahwa "Hak Ulayat dari Masyarakat
Adat atas Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang
kenyataannya masih ada dan telah diatur dengan Peraturan Daerah".
3
Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang mengamanatkan pengaturan
pengakuan hak masyarakat adat atas tanah ulayat melalui peraturan
daerah. Kebijakan ini sama sekali tidak mengatur tentang perlunya
penetapan subyek melainkan mengatur langsung pengakuan obyek hak (atas
tanah adat/ulayat).11
11 Pada intinya pengaturan lebih lanjut pengakuan hak/tanah ulayat masyarakat adat
menurut Permenag/KaBPN 5/1999 ini diserahkan (baca: diatur lebih lanjut) melalui
Peraturan Daerah. Kebijakan ini kemudian menjadi dasar munculnya Peraturan Daerah
Kabupaten Kampar, Propinsi Riau Nomor 12 Tahun 1999 tentang Tanah Ulayat; Peraturan
Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat
Masyarakat Baduy; dan Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008
tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor
5 Tahun 1999 memang mengandung sejumlah kelemahan sehingga sulit diterapkan.
Alasan utamanya adalah karena tidak berlaku pada tanah-tanah yang sudah dbebani hak-
hak lain serta tidak berlaku bagi tanah-tanah ulayat yang berada di kawasan hutan. Lebih
jauh lihat Noer Fauzi, et.al., 2012. Kajian Kritis Atas Peraturan Menteri Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Kertas Kerja Epsitema, No. 01/2012.
Jakarta: Epistema Institute.
4
ini tanah ulayat akan didaftar di kantor pertanahan jika subyek haknya
sudah ditetapkan dengan peraturan daerah.12
Pada bagian Penjelasan untuk ayat (1) dinyatakan pula bahwa yang
dimaksud dengan "pemegang dasar penguasaan atas tanah" adalah pihak
yang memiliki alat bukti yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang
membuktikan adanya penguasaan yang bersangkutan atas tanah yang
bersangkutan, misalnya pemegang akta jual beli atas Hak Atas Tanah yang
belum dibalik nama, pemegang akta jual beli atas hak milik adat yang belum
12Namun, dengan menggantinya dengan kebijakan yang mengatur penerbitan sertifikat hak
komunal tidak menyelesaikan masalah yang ada. Hak/tanah ulayat tidaklah berwajah
tunggal. Hak ulayat ada yang bersifat publik-privat dan ada yang bersifat privat saja. Maka,
sejatinya dibutuhkan dua mekanisme pengakuan tanah ulayat itu. Pertama kebijakan yang
mendaftarkan tanah-tanah ulayat yang bersifat publik-privat dan kedua, mengatur
penerbitan sertifikat hak komunal alias tanah ulayat yang bersifat privat semata.
5
diterbitkan sertipikat (cetak miring ditambahkan) dan pemegang surat izin
menghuni. Bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan
tanah yang belum atau tidak dipunyai dengan Hak Atas Tanah, Ganti
Kerugian diberikan kepada pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain
yang berkaitan dengan tanah.
Demikian pula dengan pengaturan pada Pasal 41 ayat (3) yang menyatakan
bahwa "Dalam hal terdapat Objek Pengadaan Tanah yang berstatus tanah
ulayat, Instansi yang Memerlukan Tanah berkoordinasi dengan Pemerintah
Daerah setempat dengan melibatkan tokoh masyarakat adat untuk
mendapat kesepakatan dan penyelesaian dengan masyarakat yang
bersangkutan yang dituangkan dalam berita acara kesepakatan".
Langkah ke depan
Sebuah logika hukum baru untuk proses pengakuan hak masyarakat adat
atas tanah - dan hak-hak lain pada umumnya -- adalah suatu keniscayaan.
Logika yang ada sekarang mengingatkan kita pada apa yang pernah terjadi
pada masa kolonia Hindia Belanda itu. Ketika itu penduduk di bagi ke dalam
3 golongan: Orang Eropa (dan/atau penduduk berkulit putih lainnya), Orang
Timur Asing (Tionghoa, Arab, dan Asia Selatan misalnya), serta Bumiputra.
6
menemukan mekanisme kenegaraan yang mampu mengakomodasi
'kewarganegaraan yang lain', suatu sistem kewargaan yang berakar pada
tradisi itu ke dalam sistem ketatanegaraan yang ada.