Anda di halaman 1dari 7

Menakar Nasib Masyarakat Adat Pasca-Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2020 tentang Cipta Kerja1

Pada kesempatan yang lalu saya sudah menunjukkan bahwa dari sudut
kepentingan masyarakat adat penetapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja tidak memberikan pengaruh yang positif bagi
pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat ke depan. Beberapa
pasal yang berpihak terancam mandul karena adanya kerangka regulasi yang
sulit dipenuhi oleh masyarakat adat. Peluang terjadinya situasi yang lebih
buruk justru jauh lebih besar (Zakaria, 2021).2
Maka, tidak heran jika UUCK 11/2020 lahir di tengah hujan gugatan
berbagai pihak. Termasuk dari kalangan yang peduli dengan nasib
masyarakat adat.3

Menanggapi respon negatif publik, Pemerintah coba memperbaiki kinerjanya


melalui penyusunan peraturan pelaksanaan yang lebih diharapkan lebih
bersahabat. Hal-hal yang buruk dalam Undang-Undang coba diperbaiki
melalui seabreg Peraturan Pemerintahan yang diamanatkan.

Mungkinkah?

Tidak Berubah

Menurut Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah


untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum yang dapat diakses di situs
resmi pemerintah,4 subyek hukum yang berhak atas ganti rugi dalam proses
pengadaan tanah untuk proyek pembangunan bagi kepentingan umum salah
satunya adalah masyarakat hukum adat. Hal ini tampak pada Pasal 18 ayat
(2) yang menyatakan bahwa Pihak yang Berhak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri dari: (a) pemegang Hak Atas Tanah; (b) pemegang Hak
Pengelolaan; (c) nazhir untuk tanah wakaf; (d) pemegang alat bukti tertulis
hak lama; (e) masyarakat hukum adat (cetak miring ditambahkan); (f) pihak
yang menguasai Tanah Negara dengan itikad baik; (g) pemegang dasar
penguasaan atas tanah; dan/atau (h)pemilik bangunan, tanaman, atau
benda lain yang berkaitan dengan tanah.

1 R. Yando Zakaria. Antropolog, pendiri dan peneliti pada Lingkar Pembaruan Desa dan

Agraria (KARSA) dan Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat. Keduanya berkedudukan di
Yogyakarta. Alamat kontak: r.y.zakaria@gmail.com; +62 812 2692 1897;
www.independent.academia.edu/YandoZakaria, sebagaimana dapat diakses pada
https://www.academia.edu/45070854/Menakar_Nasib_Masyarakat_Adat_Pasca_Undang_
Undang_Nomor_11_Tahun_2020_tentang_Cipta_Kerja
2 https://www.academia.edu/44969591/Minibus_law dan

https://www.academia.edu/45055227/Undang_Undang_Nomor_11_Tahun_2020_tentang_
Cipta_Kerja_dan_Masyarakat_Adat_Nasib_Baik_dan_Buruk_di_Tengah_Norma_yang_Berub
ah_dan_yang_Bertahan
3 lihat https://www.aman.or.id/wp-content/uploads/2020/10/SIARAN-PERS-Sikap-

AMAN-terhadap-UU-Omnibuslaw.pdf
4 https://uu-ciptakerja.go.id/wp-content/uploads/2021/02/RPP-tentang-

Penyelenggaraan-Pengadaan-Tanah-Bagi-Pembangunan-Untuk-Kepentingan-Umum.pdf

1
Meski begitu, pengakuan yang gamblang ini, sebagaimana yang telah terjadi
pada masa-masa sebelum UUCK 11/2020 diundangkan, belum akan
membuat nasib masyarakat adat menjadi lebih baik. Sebab, logika hukum
yang bersyarat dan bertingkat tetap bertahan. Padahal, sebagaimana telah
ditunjukkan oleh Zakaria, 20185 dan Zakaria, et.al., 20206, alih-alih
memenangkan kepentingan masyarakat adat, logika hukum ini malah
membunuh (kepentingan) masyarakat.

Bertahannya logika hukum yang merugikan kepentingan masyarakat adat


ini tampak jelas pada Pasal 23. lengkapnya, pada ayat (1) disebutkan bahwa
"Masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2)
huruf e merupakan sekelompok orang yang menguasai tanah ulayat secara
turun-temurun dalam bentuk kesatuan ikatan asal usul leluhur dan/atau
kesamaan tempat tinggal di wilayah geografis tertentu, identitas budaya,
hukum adat yang masih ditaati, hubungan yang kuat dengan tanah dan
lingkungan hidup, serta sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi,
politik, sosial, budaya, dan hukum"; ayat (2) "Masyarakat hukum adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keberadaannya diperkuat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (cetak miring
ditambahkan); dan ayat (3) menyebutukan bahwa "Tanah ulayat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanah yang berada di
wilayah penguasaan kesatuan masyarakat hukum adat dan tidak dilekati
dengan sesuatu Hak Atas Tanah atau Hak Pengelolaan".7

Pengaturan yang demikian itu seperti berbeda dengan pengaturan yang ada
sebelumnya. Sebagaimana diketahui substansi yang sama ini pernah diatur
dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 ayat (2) masyarakat hukum adat
yang berhak memperoleh ganti rugi/kompensasi adalah masyarakat hukum
adat yang sudah ditetapkan dengan peraturan daerah (cetak miring
ditambahkan).

Padahal, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Zakaria, et.al. (2020),8 selain


ada logika hukum pengakuan bersyarat dan bertingkat/bertahap ini,
masalah lain yang dihadapi oleh peraturan perundang-undangan ini adalah
unit sosial sebagai subyek hak yang perlu ditetapkan melalui peraturan
daerah itu tidak kompatibel dengan realitas sosio-antropologis di tingkat

5 R. Yando Zakaria, 2018. "Dinamika Pengakuan Hak Masyarakat Adat dalam Jeratan

Warisan Hukum Kolonial dan Perubahan Sosial", makalah yang pada Simposium
International Antropologi, Yogyakarta, Juni 2018.
6 R. Yando Zakaria, Paramita Iswari, Rikardo Simarmata, dan Edi Suprapto, 2020. Potensi

Integrasi Hutan Adat ke dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK): Laporan Final.
Yogyakarta: Kerjasama Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria dan European Forest
Institute.
7 Selain terdapat pada Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan

Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum; pengaturan yang sama
juga terjadi pada kasus Rancangan Peraturan Pemerintah Penyelesaian Ketidaksesuaian
antara Tata Ruang dengan Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah.
8 Ibid.

2
lapangan. Kerangka hukum yang ada saat ini hanya menyasar susunan
masyarakat hukum adat yang memiliki kewenangan publik dan privat secara
sekaligus. Seperti nagari dalam konteks Minangkabau, misalnya.

Padahal macam unit sosial di tingkat lapangan itu sangat beragam. Kecuali
yang memiliki kewenangan publik-privat lebih banyak lagi susunan
masyarakat adat yang bersifat privat saja (satuan-satuan sosial berdasarkan
hubungan kekerabatan). Masing-masing susunan masyarakat adat itu tentu
dengan sendirinya memiliki kapasitas yang beragam pula dalam mengakases
proses legislasi untuk menghasilkan peraturan daerah yang dibutuhkan.
Kecuali di beberapa daerah, penguasaan tanah adat saat ini lebih banyak
terkait pada susunan masyarakat adat yang bersifat privat ini ketimbang
yang bersifat publik-privat.9

Dalam kasus ganti rugi tanah adat untuk proyek pembangunan seperti yang
diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 boleh jadi akan
langsung habis. Bahkan tidak akan cukup untuk menghasilkan peraturan
daerah yang disyaratkan itu. Sebuah logika hukum yang sangat aneh.

Akan mengulang pengalaman masa lalu

Pasal 23 ayat 2 yang telah dikutipkan di atas memang tidak langsung


menyebutkan penetapan keberadaan masyarakat adat melalui peraturan
daerah melainkan menyebutnya 'sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan'. Pertanyaannya adalah peraturan perundang-
undangan yang mana yang akan diacu? UUCK 11/2020 sendiri tidak
mengatur hal ini.10

Dikuatirkan, merujuk pada pengalaman masa lalu, frasa 'sesuai dengan


ketentuan peraturan perundang-undangan' akan diartikan sebagai
'ditetapkan dengan peraturan daerah. Kekuatiran ini bukannya tanpa alasan.
Sebagaimana diketahui, hingga masa reformasi, tidak/atau belum ada
peraturan perundang-undangan yang menindaklajuti amanat Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria terkait
pengakuan atas hak masyarakat adat atas tanah ulayatnya. Baru pasca-
reformasi muncul Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak

9 Lebih lanjut Lihat R. Yando Zakaria, 2018. "Dinamika Pengakuan Hak Masyarakat Adat

dalam Jeratan Warisan Hukum Kolonial dan Perubahan Sosial", pertama kali disampaikan
di hadapan publik saat diskusi yang diselenggarakan Sekretariat Reforma Agraria dan
Perhutanan Sosial, Jakarta, 17 Mei 2018.
10 Dalam UUCK 11/2020, pengaturan yang sama terdapat dalam dua undang-undang.

Masing-masing adalah (1) Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Daerah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Daerah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam UUCK 11/2020 tetap berbunyi "Masyarakat Hukum
Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pengakuannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan"; dan (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019
tentang Sumber Daya Air Pasal 9 ayat (3) menyetakan bahwa "Hak Ulayat dari Masyarakat
Adat atas Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang
kenyataannya masih ada dan telah diatur dengan Peraturan Daerah".

3
Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang mengamanatkan pengaturan
pengakuan hak masyarakat adat atas tanah ulayat melalui peraturan
daerah. Kebijakan ini sama sekali tidak mengatur tentang perlunya
penetapan subyek melainkan mengatur langsung pengakuan obyek hak (atas
tanah adat/ulayat).11

Namun, logika hukum tersebut berubah seiring dengan munculnya Putusan


Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 yang antara lain mengukuhkan
keberadaan Pasal 67 ayat 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang menyatakan bahwa "Pengukuhan keberadaan dan
hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Daerah".

Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5


Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat pun kemudian dicabut dan diganti dengan Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan
Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu, yang setahun kemudian
diganti lagi dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas
Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam
Kawasan Tertentu.

Selanjutnya, tanpa sempat digunakan secara luas, kecuali untuk beberapa


sedikit kasus saja, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas
Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam
Kawasan Tertentu ini pun kemudian dicabut dan digantikan oleh Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 18 Tahun 2019 tentang
Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
yang kembali mengatur tentang pengakuan tanah ulayat. Namun, mengikuti
logika Pasal 67 ayat (2) jo Putusan MK 35 Tahun 2012, menurut kebijakan

11 Pada intinya pengaturan lebih lanjut pengakuan hak/tanah ulayat masyarakat adat

menurut Permenag/KaBPN 5/1999 ini diserahkan (baca: diatur lebih lanjut) melalui
Peraturan Daerah. Kebijakan ini kemudian menjadi dasar munculnya Peraturan Daerah
Kabupaten Kampar, Propinsi Riau Nomor 12 Tahun 1999 tentang Tanah Ulayat; Peraturan
Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat
Masyarakat Baduy; dan Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008
tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor
5 Tahun 1999 memang mengandung sejumlah kelemahan sehingga sulit diterapkan.
Alasan utamanya adalah karena tidak berlaku pada tanah-tanah yang sudah dbebani hak-
hak lain serta tidak berlaku bagi tanah-tanah ulayat yang berada di kawasan hutan. Lebih
jauh lihat Noer Fauzi, et.al., 2012. Kajian Kritis Atas Peraturan Menteri Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Kertas Kerja Epsitema, No. 01/2012.
Jakarta: Epistema Institute.

4
ini tanah ulayat akan didaftar di kantor pertanahan jika subyek haknya
sudah ditetapkan dengan peraturan daerah.12

Pasal-pasal yang menguatkan

Tidak, atau tepanya belum, berubahnya logika pengakuan hak masyarakat


adat atas tanah adat ini dalam Peraturan Pemerintah tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan
Umum tentu sangat disayangkan. Sebab, dalam beberapa kesempatan,
terlihat ada niat baik untuk memenangkan kepentingan masyarakat adat ini.
Misalnya, sebagaimana diatur pada Pasal 22 ayat (2) alat bukti penguasaan
tanah secara adat tidak lagi formalistik dan positivistik. Disebutkan, "Dalam
hal alat bukti tertulis hak lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
ditemukan atau tidak berlaku lagi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, pemilikan atau penguasaan dapat dibuktikan dengan
pernyataan tertulis dari yang bersangkutan dan keterangan dari orang yang
dapat dipercaya dan disaksikan oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi".
Selanjutnya, pada bagian Penjelasan untuk Pasal 22 ayat (2) ini dijelaskan
bahwa "Saksi merupakan orang yang dapat dipercaya, bisa karena fungsinya
sebagai tetua adat setempat (cetak miring ditambahkan) dan/atau penduduk
yang sudah lama bertempat tinggal di Desa/Kelurahan letak tanah yang
bersangkutan dan tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang
bersangkutan sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan vertikal
maupun horizontal".

Demikian pula dengan pengaturan yang ada pada Pasal 25 yang


selengkapnya berbunyi: (1) Pemegang dasar penguasaan atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf g merupakan pihak
yang memiliki alat bukti yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang
membuktikan adanya penguasaan yang bersangkutan; (2) Dasar penguasaan
atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan alat
bukti penguasaan, berupa: (a) akta jual beli atas hak tanah yang sudah
bersertipikat yang belum dibalik nama; (b) akta jual beli atas hak milik adat
yang belum diterbitkan sertipikatnya (cetak miring ditambahkan); (c) surat
izin menghuni; (d) risalah lelang; (e) akta ikrar wakaf, akta pengganti akta
ikrar wakaf, atau surat ikrar wakaf; atau (f) bukti penguasaan lainnya.

Pada bagian Penjelasan untuk ayat (1) dinyatakan pula bahwa yang
dimaksud dengan "pemegang dasar penguasaan atas tanah" adalah pihak
yang memiliki alat bukti yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang
membuktikan adanya penguasaan yang bersangkutan atas tanah yang
bersangkutan, misalnya pemegang akta jual beli atas Hak Atas Tanah yang
belum dibalik nama, pemegang akta jual beli atas hak milik adat yang belum

12Namun, dengan menggantinya dengan kebijakan yang mengatur penerbitan sertifikat hak
komunal tidak menyelesaikan masalah yang ada. Hak/tanah ulayat tidaklah berwajah
tunggal. Hak ulayat ada yang bersifat publik-privat dan ada yang bersifat privat saja. Maka,
sejatinya dibutuhkan dua mekanisme pengakuan tanah ulayat itu. Pertama kebijakan yang
mendaftarkan tanah-tanah ulayat yang bersifat publik-privat dan kedua, mengatur
penerbitan sertifikat hak komunal alias tanah ulayat yang bersifat privat semata.

5
diterbitkan sertipikat (cetak miring ditambahkan) dan pemegang surat izin
menghuni. Bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan
tanah yang belum atau tidak dipunyai dengan Hak Atas Tanah, Ganti
Kerugian diberikan kepada pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain
yang berkaitan dengan tanah.

Demikian pula dengan pengaturan pada Pasal 41 ayat (3) yang menyatakan
bahwa "Dalam hal terdapat Objek Pengadaan Tanah yang berstatus tanah
ulayat, Instansi yang Memerlukan Tanah berkoordinasi dengan Pemerintah
Daerah setempat dengan melibatkan tokoh masyarakat adat untuk
mendapat kesepakatan dan penyelesaian dengan masyarakat yang
bersangkutan yang dituangkan dalam berita acara kesepakatan".

Langkah ke depan

Sebuah logika hukum baru untuk proses pengakuan hak masyarakat adat
atas tanah - dan hak-hak lain pada umumnya -- adalah suatu keniscayaan.
Logika yang ada sekarang mengingatkan kita pada apa yang pernah terjadi
pada masa kolonia Hindia Belanda itu. Ketika itu penduduk di bagi ke dalam
3 golongan: Orang Eropa (dan/atau penduduk berkulit putih lainnya), Orang
Timur Asing (Tionghoa, Arab, dan Asia Selatan misalnya), serta Bumiputra.

Sebagai penduduk kelas tiga tentu Bumiputra tentu saja mengalami


sejumlah pembatasan. Salah satu pembatasan itu adalah, agar hak
keperdataan golongan Bumiputra atas tanah dapat diakui dan mendapat acte
van eigendom (sertifikat hak milik), subyek hukumnya terlebih dahulu harus
mendapatkan keputusan (besluit) dari Pemerintah cq. Departemen Dalam
Negeri. Pada masa itu surat keputusan penyamaan kedudukan hukum
kepada orang Bumiputra itu dapat diberikan bilamana orang yang
bersangkutan memenuhi lima syarat: (a) berhasil menunjukkan bahwa dia
bisa berbahasa Belanda dengan fasih seperti halnya orang Belanda; (b)
berpakaian seperti orang Belanda; (c) bergaul dalam komunitas Belanda; (d)
kemungkinan memperlancar usaha perdagangan orang Belanda; dan (e)
sedapat mungkin beragama sama dengan orang Belanda, yaitu Kristen.

Politik diskriminatif terhadap masyarakat adat sudah saatnya diakhiri.


Masyarakat adat yang sejak sebelum Republik Indonesia lahir dan yang telah
beranak-pinak di wilayah kedaulatan pasca-proklamasi 17 Agustus 1945
sejatinya adalah warga negara Republik Indonesia. Berbeda dengan dengan
konsep warga negara yang berlaku umum, warga negara RI yang
bersangkutan juga telah mengembangkan dan/atau menjadi bagian dari
sistem sosial, ekonomi, politik, budaya, dan hukum tertentu, yang secara
ekplisit telah diakui oleh konstitusi (Psal 18B ayat (2) dan Pasal 28i ayat (3)).

Dengan sistem-sistem (pra-negara) itu, meminjam kaca mata Clifford Geertz,


warga negara yang bersangkutan adalah juga warga yang melampaui hak-
hak pribadinya sebagai warga negara suatu negara modern (modern state),
dengan menjadi bagian atau menjadi warga dalam suatu sistem komunalitas
yang khas dari suatu tatanan sosial yang berasal dari tradisi masa lampau
(old tradition/old society). Dengan kata lain, yang diperlukan saat ini adalah

6
menemukan mekanisme kenegaraan yang mampu mengakomodasi
'kewarganegaraan yang lain', suatu sistem kewargaan yang berakar pada
tradisi itu ke dalam sistem ketatanegaraan yang ada.

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengubah politik hukum


pengakuan yang berbasis pendekatan politik (yang tergambarkan dalam
logika hukum pengakuan yang bertahap dan bertingkat sebagaimana telah
dijelaskan di atas) menjadi politik hukum yang lebih ramah dan berorientasi.
Betapapun, apa yang kemudian disebut sebagai masyarakat (hukum) adat
itu tidak lain tidak bukan merupakan sistem pengelompokan sosial yang
telah terlembaga sedemikia rupa. Sehingga tidaklah logis untuk menguji
keberadaannya melalui suatu proses politik.

Dari kaca mata pendekatan soio-antropologis, yang disebut masyarakat


(hukum) adat itu 'punya nama dan jelas alamatnya'. Sebutlah susunan
masyarakat nagari, suku, dan kaum dalam konteks Orang Minangkabau.
Sehingga agak mustahil ada nagari, suku, atau kaum jadi-jadian. Paling-
paling, yang mungkin terjadi, tidak diakuinya eksistensi suatu nagari oleh
nagari yang lain, karena, boleh jadi, proses pemekarannya belum berjalan
sesuai dengan tradisi. Jika ini terjadi juga bukan otoritas politik yang berhak
menentukan kebenarannya melainkan diselesaikan oleh mekanisme-
mekanisme adat-istiadat yang berlaku di daerah yang bersangkutan.

Langkah kedua, alih-alih berorentasi pada pengakuan subyek, menimbang


begitu banyaknya hak masyarakat adat yang diakui, kebijakan mendatang
itu lebih baik berorientasi pada proses pengadministrasian pengakuan
berbagai hak (terutama yang strategis). Toh, menurut pandangan politik
hukum terentu, pengakuan atas keberadaan subyek masrakat adat itu
sudah ada di kontitusi (pengakuan secara deklaratoir) dan tidak perlu proses
pengakuan yang konstitutif. Yang diperlukan adalah proses
pengadministrasian akibat adanya pengakuan secara deklaratoir itu.
Pengakuan subyek, yang beragam dan tergantung pada jenis hak yang akan
diadminitrasikan pengakuannya, melekat pada proses pengakuan hak yang
bersangkutan. Tidakk perlu ada proses penetapan subyek hak.

Langkah ketiga, karena soal pengakuan hak masyarakat adat ini


menyangkut kepentingan lebih dari separuh warga negara maka proses
pengadministrasian pengkauan hak-hak masyarakat adat itu haruslah
sedekat mungkin kepada masyarakat adat. Untuk itu desentraliasi
kewenangan hingga ke tingkat kabupaten/kota adalah suatu keniscayaan.
Ini pun bukanlah sesuatu yang baru karena telah terjadi dalam sistem
birokrasi negara saat ini. Misalnya, penerbitan sertifikat hak milik telah
didesentralisasikan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Masyarakat adat
mukanlah mahluk ruang angkasa yang menakutkan hingga perlu dijaga oleh
parlemen daerah atau bahkan keputusan politik di tingkat Menteri.

Dengan perubahan paradigma sebagaimana yang disarankan dalam tiga


langkah yang diusulkan di ataslah perbaikan nasib masyarakat adat di negeri
ini bisa diharapkan. Semoga.***

Anda mungkin juga menyukai