Anda di halaman 1dari 4

Tugas 1

Nama : Sofianah
Nim : 049004026

1. Administrasi pertanahan merupakan bagian penting dari upaya pemerintah untuk


mengatur dan mengelola sumber daya pertanahan, termasuk untuk mencegah dan
menyelesaikan konflik agraria. Namun, secara keseluruhan, tidak dapat dikatakan bahwa
administrasi pertanahan dapat sepenuhnya mencegah dan menyelesaikan konflik agraria,
karena masih banyak faktor lain yang dapat memicu konflik tersebut.
Beberapa faktor yang dapat memicu konflik agraria antara lain, ketidakjelasan
kepemilikan dan hak atas tanah; sengketa antara pihak yang berkepentingan; dan adanya
penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat atau pihak-pihak yang terkait.
Oleh karena itu, upaya pemerintah melalui administrasi pertanahan harus dilakukan secara
hati-hati dan sistematis, dengan memperhatikan berbagai faktor yang dapat memicu konflik
tersebut. Beberapa langkah yang dapat dilakukan melalui administrasi pertanahan untuk
mencegah dan menyelesaikan konflik agraria antara lain, yaitu :

a. Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat tentang hak-hak mereka


terkait dengan tanah dan pertanahan, serta prosedur hukum yang terkait.
b. Memastikan bahwa proses pendaftaran tanah dan sertifikasi dilakukan secara
transparan dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
c. Menyelesaikan sengketa secara damai melalui mediasi atau arbitrase, dengan
mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terlibat.
d. Melakukan pengawasan terhadap penyalahgunaan kekuasaan atau tindakan korupsi
yang terkait dengan pertanahan.

Dalam hal ini, administrasi pertanahan dapat menjadi salah satu upaya dalam mencegah dan
menyelesaikan konflik agraria. Namun, upaya ini harus didukung oleh berbagai faktor lain,
seperti penegakan hukum yang efektif, penyelesaian masalah sosial dan ekonomi dari
masyarakat yang terkait dengan pertanahan tersebut. Misalnya, memastikan bahwa kebijakan
pengelolaan pertanahan tidak merugikan masyarakat yang telah lama menggarap tanah
tersebut.
Selain itu, upaya penyelesaian konflik agraria juga harus dilakukan dengan
mempertimbangkan aspek keadilan dan keberlanjutan. Penyelesaian konflik yang hanya
menguntungkan salah satu pihak atau merusak lingkungan dapat menimbulkan konflik baru
di masa depan.
Dalam hal ini, administrasi pertanahan dapat memainkan peran penting dalam
menjaga ketertiban dan keamanan serta menghindari terjadinya konflik agraria.

2. Mendirikan bangunan tanpa memperhatikan rencana tata ruang wilayah dapat


menimbulkan akibat hukum yang serius. Salah satu akibat hukumnya adalah tindakan
pembongkaran atau penghancuran bangunan tersebut oleh pihak pihak. Hal ini berdasarkan
Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang
menyatakan bahwa :
"Pembangunan dan/atau penggunaan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang
telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dapat dikenakan sanksi berupa
perintah penghentian kegiatan dan/atau perintah pemulihan fungsi dan tata guna tanah
dan/atau perintah pembongkaran bangunan dan /atau penyegelan bangunan."
Selain itu, pemilik bangunan juga dapat dikenakan sanksi pidana berupa denda
dan/atau penjara sesuai dengan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang yang menyatakan bahwa:
“Setiap orang yang melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan Pasal 72 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”
Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap individu atau pihak yang akan mendirikan
bangunan untuk memperhatikan rencana tata ruang wilayah yang telah ditetapkan oleh
pemerintah setempat untuk mencegah terjadinya tindakan yang melanggar hukum dan dapat
merugikan masyarakat dan lingkungan sekitar.
Akibat hukum dari melanggar ketentuan tata ruang dan tata wilayah dengan
membangun bangunan tanpa izin atau melanggar izin yang sudah diberikan, biasanya akan
dikenakan sanksi administratif dan/atau pidana. Sanksi administratif dapat berupa teguran
tertulis, pembongkaran bangunan, dan/atau denda. Sementara itu, sanksi pidana dapat berupa
pidana kurungan atau denda. Pasal 116 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, mengatur bahwa:
"Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112,
Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, dan Pasal 117 dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah)."
Selain itu, pihak berwenang juga berhak melakukan tindakan pembongkaran
bangunan yang telah dibangun secara ilegal dan melanggar tata ruang dan tata wilayah, sesuai
dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku.

3. Konsep pengaturan mengenai hubungan hak ulayat masyarakat hukum adat dengan
hak menguasai negara di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan,
antara lain UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA),
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Menurut UUPA, tanah dan air di Indonesia dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, masyarakat hukum adat mempunyai
hak ulayat atas tanah dan air yang telah diakui dan dilindungi oleh negara atas dasar adat
istiadat yang telah berlangsung turun-temurun di suatu daerah tertentu.
Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak ulayat masyarakat
hukum adat diakui sebagai hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara. Masyarakat
hukum adat memiliki hak untuk mempertahankan adat istiadat dan tradisi mereka, termasuk
hak atas tanah dan sumber daya alam yang terdapat di dalamnya.
Sementara itu, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memberikan pengakuan
dan perlindungan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat atas hutan adat. UU ini
mengatur bahwa masyarakat hukum adat mempunyai hak atas hutan adat, yaitu hutan yang
selama berabad-abad dihuni dan dikelola oleh masyarakat hukum adat.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah
diwajibkan untuk mengakui dan menghormati hak ulayat masyarakat hukum adat atas tanah
dan sumber daya alam yang terdapat di dalamnya. Pemerintah daerah juga diwajibkan untuk
melindungi hak ulayat tersebut dan mempertahankan adat istiadat masyarakat hukum adat.
Secara keseluruhan, konsep pengaturan mengenai hubungan hak ulayat masyarakat
hukum adat dengan hak menguasai negara adalah meskipun negara memiliki hak menguasai
tanah dan sumber daya alam, hak ulayat masyarakat hukum adat harus diakui dan dilindungi
oleh negara atas dasar adat istiadat yang telah berlangsung turun-temurun di suatu daerah
tertentu.
Dalam konteks Indonesia, hubungan antara hak ulayat masyarakat hukum adat dengan
hak menguasai negara telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (PDPPA). Pasal 5 ayat (2) dari UU ini menyatakan bahwa :
"Negara mengakui dan menghormati hak-hak rakyat adat atas tanah ulayatnya
menurut hukum adat yang berlaku, selama masih hidup dan diperlukan untuk bertani dan
bertempat tinggal."
Namun, seiring berjalannya waktu dan semakin kompleksnya persoalan agraria di
Indonesia, maka diperlukan upaya pengembangan dan peningkatan perlindungan hak ulayat
masyarakat hukum adat. Hal ini diwujudkan dalam berbagai regulasi dan kebijakan
pemerintah, seperti UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Selain itu, pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah (PP) No. 40 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan, yang
menegaskan pentingnya pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan hak ulayat masyarakat
hukum adat dalam pengelolaan hutan di Indonesia.

Sumber :
 Badan Pertanahan Nasional. (2021). Pedoman Teknis Penyelesaian Sengketa Agraria
Melalui Jalur Hukum. Jakarta: Badan Pertanahan Nasional.
 Aziz, R. A. (2021). Administrasi Pertanahan dan Penyelesaian Konflik Agraria di
Indonesia. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 28(1), 23-42.
 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/7210/UU%2026%20Th%202007.pdf
 "Sanksi bagi pelanggaran tata ruang dan tata wilayah," hukumonline.com, diakses
pada 3 Mei 2023.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt56fae03e6ecf7/sanksi-bagi-
pelanggaran-tata-ruang-dan-tata-wilayah/
 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
 PP No. 40 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan.
 Riwanto Tirtosudarmo. 2018. "Hak Ulayat, Kekuasaan, dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam: Dilema Agraria di Indonesia". Jurnal Sosiologi Reflektif, Vol. 12, No. 1.
Hal. 33-51.
 https://dikasihinfo.com

Anda mungkin juga menyukai