Anda di halaman 1dari 6

FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK

HELARIUS TRISNO
E2072212004
PENINGKATAN AKUNTABILITAS KINERJA

1. KEBIJAKAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT


KABUPATEN KETAPANG

2. Tujuan dan Sasaran


 Memberikan peluang hukum penetapan Masyarakat Hukum Adat di berbagai
daerah di Kab. Ketapang
3. Instrumen yang digunakan:
 Perda Nomor 8 Tahun 2020 Tentang Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat
Hukum Adat
4. Dampak Positif:

LATAR BELAKANG

Kabupaten Ketapang terluas di Kalimantan Barat yaitu 3124.07 Ha atau sekitar 21,2% dari
14730.7 Ha total luas Kalbar. Di satu sisi, Kabupaten Ketapang memiliki areal hutan
terluas kedua 1.135.855 Ha setelah Kabupaten Kapuas Hulu seluas 2.636.785 Ha
(Provinsi Kalimantan Barat dalam Angka, 2020). 

Kawasan Hutan Negara seringkali tumpang tindih dengan pemukiman penduduk. Sekadar
contoh, analisis Tim GIS PPSDAK Pancur Kasih (2019), 9 kampung di wilayah Kec. Hulu
Sungai yang total luasnya 111.298,17 Ha, berdasarkan peruntukan tata ruang wilayahnya,
maka 9.037,97 Ha (8,12%) merupakan Area Penggunaan Lain (APL), 76.182,25 Ha
(68,45%) adalah Hutan Produksi Terbatas, 11.999,4 Ha (10,76%) merupakan Hutan
Produksi, dan 14.078, 72 Ha atau 17,65% adalah Hutan Lindung. Ini berarti seluas
91,88% dari total luas wilayah 9 kampung tersebut berada dalam Kawasan Hutan Negara
dan sisanya 8,12% berstatus APL yang dapat diakses oleh masyarakat di dalam dan
sekitarnya.

FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK


Dengan status Kawasan Hutan Negara—yang ditetapkan secara sepihak oleh Negara—
maka  peruntukkannya bisa berubah menurut (kepentingan) pemerintah. Ini menandai
konflik tenurial  (berbagai bentuk perselisihan atau pertentangan klaim penguasaan,
pengelolaan, pemanfaatan, dan penggunaan kawasan hutan), rentan ancaman terhadap
sumber-sumber kehidupan Masyarakat Adat yang sangat tergantung dengan hutan dan
sumber daya alam sekitarnya. 

Keberadaan Masyarakat Adat yang sebagian besar petani yang bermukim di dalam dan
sekitar kawasan hutan seringkali ditolak, dianggap antara ada dan tiada. Akibatnya hak-
hak penguasaan hutan dan pengelolaan lahan yang (akan) diberikan oleh Negara kepada
pemodal (akan) berbenturan dengan keberadaan dan hak-hak Masyarakat Adat.Tak bisa
dibantah bahwa hutan dan sumber daya alam berabad-abad dan turun-temurun menjadi
sandaran mata pencaharian dan pekerjaan non-formal Masyarakat Adat di daerah ini.

DASAR HUKUM YANG MENGUATKAN:

• UUD 1945, Pasal 18B ayat (2) menyatakan “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

• Putusan MK No 35/PUU-X/2012, Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Kehutanan


menyatakan hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum
adat. Dan, Pasal 5 Ayat (1) “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, tidak termasuk hutan adat.”

Pemerintah Kab. Ketapang menyadari 2 hal mendasar:

• pertama fakta adanya kekosongan hukum dalam pengakuan dan perlindungan


Masyarakat Hukum Adat;

• kedua menyadari bahwa konflik di dalam Masyarakat Hukum Adat merupakan


akibat dari kekosongan hukum untuk pengakuan dan perlindungan Masyarakat
Hukum Adat.

“DENGAN ADANYA PERDA TERSEBUT MASYARAKAT HUKUM ADAT DI


KABUPATEN KETAPANG MEMILIKI PELUANG HUKUM YANG SEMAKIN DEKAT
UNTUK MENGEMBALIKAN HAK-HAK ADATNYA ATAS HUTAN”

FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK


Pasal 16 :

• Huruf c;

hak untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan akurat mengenai program
pembangunan yang ditawarkan oleh pemerintah dan pihak-pihak lain di luar pemerintah
yang akan berdampak luas pada tanah adat, wilayah adat, sumber daya alam, dan
budaya setempat;

• Huruf d;

hak untuk menolak bentuk-bentuk pembangunan yang dinilai tidak sesuai dengan
kebutuhan dan adat istiadat setempat.

“MEMILIKI HAK UNTUK MENOLAK KEBIJAKAN YANG TIDAK BERPIHAK PADA


MASYARAKAT ADAT”.

Pasal 20 :

• Ayat (3);

Pemerintah Daerah memberikan pendampingan pada masyarakat hukum adat yang akan
memperoleh kembali wilayah adatnya dari penguasaan pihak luar.

Pasal 22

• ayat (2) dan (3);

Jika tidak ada jalan keluar dalam penyelesaian sengketa berkaitan dengan pelanggaran
terhadap hak-hak masyarakat hukum adat Pemerintah Daerah membentuk tim
penanganan sengketa yang bersifat ad hoc berdasar keputusan Bupati.

(ADA PERHATIAN KHUSUS PEMDA TERHADAP SENGKETA MASYARAKAT HUKUM


ADAT)

FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK


5. Analisis Kekurangan Produk Hukum

Dalam melaksanakan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, Bupati


membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan surat keputusan.

Panitia Masyarakat Hukum Adat terdiri dari:

 Sekretaris Daerah sebagai ketua


 Kepala Perangkat Daerah yang membidangi pemberdayaan masyarakat sebagai
 Kepala Bagian yang membidangi Hukum pada Sekretariat Daerah sebagai anggota
 Camat sebagai Anggota
 Asisten, Staf Ahli Bupati dan Kepala Perangkat Daerah terkait sebagai anggota
 Unsur lainnya

Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dilakukan melalui:

a. identifikasi Masyarakat Hukum Adat;

b. verifikasi Masyarakat Hukum Adat; dan

c. penetapan Masyarakat Hukum Adat.

• Identifikasi dengan mencermati: a. sejarah Masyarakat Hukum Adat; b. Wilayah


Adat; c. Hukum Adat; d. Harta kekayaan dan/atau benda adat; e.
kelembagaan/sistem pemerintahan adat; dan f. tradisi yang masih berlaku di
masyarakat.

• Identifikasi dilakukan oleh Camat dengan melibatkan unsur pemerintah desa dan
tokoh masyarakat setempat.

• Hasil identifikasi dilakukan verifikasi dan validasi oleh Panitia Masyarakat Hukum
Adat

• Bupati melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat


berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan Keputusan
Bupati.

FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK


KESIMPULAN PROSES PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM
ADAT :

• Hasil identifikasi dilakukan verifikasi dan validasi oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat

• Bupati hanya bisa mengeluarkan SK penetapan pengakuan dan perlindungan


masyarakat hukum adat jika mendapatkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum
Adat.

• Apabila didalam proses verifikasi, Panitia Masyarakat Hukum Adat kurang berpihak
kepada masyarakat adat, maka proses rekomendasi akan terhambat.

• Dalam proses identifikasi dan verifikasi ini masyarakat adat tetap masih akan
berhadapan dengan area kawasan hutan negara yang memang sudah sejak lama
ditetapkan, yang pada kenyataan dilapangan sudah tumpang tindih dengan wilayah
adat yang ada yg secara turun temurun dikelola oleh mereka.

• Pasal 5 ayat (2) dan (3) menyatakan:

“Dalam hal batas wilayah adat berbatasan dengan komunitas lain, maka hasil
pemetaan oleh prakarsa masyarakat hukum adat atau PD terkait tetap harus
mendapatkan persetujuan dari komunitas yang berbatasan dengan wilayah adat
yang akan ditetapkan, dan ini tetap berpotensi konflik”.

Berdasarkan Pasal 11 ayat (2) huruf a Hak atas tanah adat, wilayah adat dan sumber
daya alam, meliputi:

• hak untuk memiliki, menguasai, menggunakan, mengembangkan, dan mengendalikan


sesuai dengan ketentuan hukum adat dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan;

“DARI KLAUSUL DI ATAS, KEPEMILIKAN WILAYAH MASYARAKAT ADAT JIKA


BERBENTURAN DENGAN UNDANG-UNDANG YANG TIDAK BERPIHAK MAKA
AKAN BERPOTENSI DIMAKZULKAN”

FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK


REKOMENDASI

Untuk mengurangi potensi konflik Pemerintah Kabupaten Ketapang harus


melaksanakan:

• Pemetaan seluruh wilayah adat yang ada di Kabupaten Ketapang

• Pemetaan Wilayah Hutan Negara yang ada di Kabuaten Ketapang

• Pemetaan seluruh areal wilayah yang mengantongi ijin konsesi pihak ke 3

• Pemetaan potensi konflik batas wilayah masyarakat hukum adat

• Melakukan koordinasi dan mencari solusi dengan kementerian terkait perijinan usaha
skala besar yang melibatkan wilayah hukum adat di Kabupaten Ketapang.

• Jika semua status wilayah sudah jelas, baru kemudian Pemda Ketapang mengatur
regulasi terkait hak-hak kepemilikan atas wilayah hukum adat.

SEKIAN
FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK

Anda mungkin juga menyukai