Anda di halaman 1dari 16

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

Pada bab ini akan dibahas keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dari 4
( empat ) aspek, yaitu :
1. Aspek Yuridis
2. Aspek Teknis
3. Pranata Adat
4. Penguatan Status Hukum
IV.1 Aspek Yuridis

Indonesia sebagai negara merdeka yang diakui secara internasional telah mengakui
dan menjamin keberadaan hak-hak masyarakat adat sebagaimana tersurat dalam
UUD 1945 Pasal 18 B ayat 2 sebagai hasil perubahan UUD 1945 yang kedua, yang
berbunyi :
“ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam Undang-undang “.
Selain diatur dalam Pasal 18 B ayat 2 tersebut , maka semua yang terkait dengan
sumber daya alam termasuk yang dipunyai oleh masyarakat adat diatur dalam Pasal
33 ayat 3 yang dikenal dengan ideologi hak menguasai negara atas sumber daya
alam.Ideologi hak menguasai negara tersebut ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 2
ayat 1 UUPA .
Sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi,
air dan ruang angkasa yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam rangka pemanfaatan sumber
daya alam untuk kemakmuran rakyat tersebut harus dimanfaatkan untuk jangka
panjang baik untuk saat ini maupun untuk generasi yang akan datang, maka
pemanfaatan harus dilaksanakan dengan tetap berdasarkan kepada pemanfaatan yang
lestari, sesuai dengan ketentuan UUPA No. 5 Tahun 1960 dan UUPK No. 41 Tahun
1999. Pemanfaatan sumber daya alam tersebut juga harus tetap menghormati hak-hak
masyarakat hukum adat dengan ketentuan dalam konstruksi kepentingan nasional.

66
Pada prinsipnya pengaturan tentang masyarakat hukum adat ini diatur oleh UUPA
terdapat dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA .
Seperti yang telah kita lihat di atas bahwa pengaturan masyarakat adat di dalam
UUPA tidak begitu mendetail, mengingat bahwa UUPA adalah peraturan pokok yang
hanya mengatur hal-hal yang pokok saja, untuk selanjutnya diatur dalam Peraturan
Pemerintah, Peraturan Daerah, Keputusan Presiden atau Keputusan Menteri. Sebagai
tindak lanjut terhadap pelaksanaan UUPA sehubungan dengan keberadaan
masyarakat adat , Pemerintah melalui Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Adat.
Namun mengingat beragamnya hukum adat yang ada di Indonesia, pemberlakuan
kriteria seperti tersebut di atas sulit dilakukan . Di satu daerah masyarakat hukum adat
ada yang beberapa unsur dipenuhi sementara unsur lain tidak dipenuhi, begitu juga
sebaliknya untuk daerah lain yang mempunyai masyarakat hukum adat .

Dengan disebutkannya hak ulayat dalam UUPA maka terdapat pengakuan terhadap
hak ulayat, tetapi pengakuan itu merupakan pengakuan yang bersyarat yang meliputi :
a. Dalam kenyataannya masih ada pengertian masyarakat adat diakui hak ulayatnya,
tetapi jika pemerintah akan memberikat hak ulayat tersebut kepada pihak lain
maka masyarakat adat berhak untuk mendapatkan ganti rugi (recognity).
Masalahnya adalah bagaimana pemerintah bisa mengakui bahwa hak ulayat
tersebut masih ada, jika pemerintah belum pernah menginventarisir hak ulayat
yang masih eksis dan pemerintah tidak pernah bertanya langsung kepada
masyarakat adat setempat tentang hak ulayat mereka.
b. Sesuai dengan kepentingan nasional dan negara , UUPA tidak menjelaskan apa
yang dimaksud dengan kepentingan nasional dan negara tersebut. Yang kemudian
secara sepihak oleh Presiden dalam bentuk Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1973
tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan benda-benda yang ada
di atasnya, kepentingan nasional dan negara itu ditafsirkan secara luas menjadi
untuk kepentingan bangsa dan negara, kepentingan masyarakat luas , kepentingan
rakyat bamyak dan keentingan pembangunan.

67
c. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan dan undang-undang lain yang lebih
tinggi . Dari ketentuan ini bias dipermasalahkan apa yang dimaksud dengan
peraturan yang lebih tinggi.

Dari ketentuan dalam Pasal 3 UUPA ini bisa dilihat adanya pengaturan hak ulayat
secara ambiguitas, dimana satu pihak mengakui keberadaannya sedang di pihak lain
membatasi keberadaannya .

Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok


Pertambangan seperti yang diatur dalam Pasal 1, dengan demikian meskipun di
dalam tanah dikelola dan dikuasai masyarakat adat terdapat bahan-bahan galian,
berdasarkan pasal tersebut mereka tidak berwenang untuk menguasai atau
mempergunakannya karena hak menguasai seluruh bahan galian tambang ada pada
negara. Negara mengatur pemberian atau distribusi hak pengusahaan atau
pemanfaatannya kepada individu atau badan hukum tertentu secara terpiha melalui
Kuasa Pertambangan.
Hal ini dapat diiterpretasikan bahwa jika satu pihak telah memiliki kuasa
pertambangan di suatu wilayah tertentu , dimana wilayah tersebut melekat hak milik
atas tanah dari orang lain atau dari masyarakat adat maka dapat dipastikan pemegang
kuasa pertambangan tidak akan terhenti kegiatannya hanya karena tidak mendapatkan
persetujuan dari pemegang hak atas tanah atau masyarakat adat, bahkan jika perlu
dapat melakukan perbuatan yang merugikan bagi pemilik tanah asalkan tersedia uang
ganti rugi. Dalam ketentuan Pasal 27 ayat 1 – 4 memuat mekanisme penentuan ganti
rugi bagi pemilik tanah akibat kegiatan pertambangan dari pemegang kuasa
pertambangan dimana mekanisme tersebut juga tidak memungkinkan ada pilihan lain
bagi pemilikm tanah untuk melepaskan haknya kepada pemegang kuasa
pertambangan.
Ketidakkonsistenan pemerintah dalam merumuskan aturan main serta paradigm
pengelolaan yang sektoral merupakan akhir dari kerusakan hutan di Indonesia. Hal ini
dapat dilihat dari dikeluarkannya Perpu No. 1 Tahun 2004 yang member izin kepada
13 perusahaan pertambangan untuk melakukan penambangan secara terbuka pada
hutan yang telah ditetapkan sebagai hutan lindung. Secara eksplisit Pasal 38 No. 41

68
Tahun 1999 melarang dilakukannya pertambangan secara terbuka di kawasan hutan
lindung.
Sikap pemerintah dengan memberikan izin kepada 13 perusahan tambang untuk
menambah pemasukan negara sangat bisa dipahami sebagai upaya yang bukan
merupakan keniscayaan pembangunan . Tetapi pembangunan berkelanjutan tidak
boleh mengabaikan undang-undang yang sudah ada, dalam hal ini tetap harus
berdasarkan Undang-Undang Pokok Kehutanan.

Sehubungan dengan keberadaan masyarakat hukum adat di Kasepuhan Ciptagelar,


ada 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :

1. Masyarakat Adat Ciptagelar sebagai subyek

2. Masyarakat adat Ciptagelar mempunyai obyek

3. Pranata Adat Kasepuhan Ciptagelar

Ad.1 Masyarakat Adat Ciptagelar sebagai Subyek

Komunitas adat Ciptagelar sudah ada sejak sekitar 1300 tahun yang lalu sejak
perpindahan dari wilayah Bogor, mereka menerapkan tradisi adat dalam kehidupan
sehari-hari. Pengaruh Kerajaan Pajajaran terdapat di daerah Kasepuhan Ciptagelar ini,
yaitu dengan pola bercocok tanam . Pada saat itu datang utusan dari Kerajaan
Pajajaran untuk memberikan penyuluhan pertanian , sehingga saat ini Kasepuhan
Ciptagelar adalah komunitas adat yang memiliki dasar kehidupan adat di bidang
pertanian.
Masyarakat Ciptagelar sebanyak ± 160 Kepala Keluarga yang mayoritas beragama
Islam, mempunyai mata pencaharian utamanya adalah sebagai petani dan pekerjaan
lain yang berhubungan dengan agrikultur. Hal ini terlihat dari wilayah Ciptagelar
yang 85 % merupakan sawah , ladang 10 % dan 5 % dipergunakan untuk kebun.
Penduduk Ciptagelar menanam padi di sawah pribadi dan sawah komunal yang telah
dibagi-bagi penggarapannya oleh Ketua Adat.

69
100

80

60 Sawah
Ladang
40
Kebun
20

0
%

Gambar IV.1. Grafik Penggunaan Tanah Kasepuhan Ciptagelar

Ad. 2 Masyarakat Adat Ciptagelar mempunyai Obyek

Kasepuhan Ciptagelar yang merupakan bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul
membuka lahan dan menetap pertama sekali di sekitar Gunung Halimun pada tahun
1902 hingga 1942 . Luas lahan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar yang diakui
hingga saat ini lebih kurang 70.000 Ha, berada di dalam dan sekitar Taman Nasional
Gunung Halimun Salak. Kasepuhan Ciptagelar yang merupakan pusat Kesatuan Adat
Banten Kidul mempunyai luas lahan lebih kurang seluas 6 Ha yang dihuni oleh
sekitar 160 Kepala Keluarga.
Penguasaan tanah adat di Kasepuhan Ciptagelar menurut aturan adat dapat
diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu :

a. Wilayah Olahan (cultivation area)

b. Wilayah Non Olahan (non-cultivation area)

Wilayah Olahan adalah daerah atau lahan yang dapat dipergunakan anggota
masyarakat adat sebagai tempat pemukiman dan tempat pertanaian untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Wilayah Olahan dapat dibagi atas :

- tanah milik adat ;

- tanah bukan milik adat.

70
Wilayah yang bukan adat adalah wilayah yang tidak dimiliki oleh adat, sudah
menjadi penguasaan masyarakat di luar masyarakat adat .

Wilayah Non Olahan adalah daerah atau lahan yang tidak boleh dipergunakan oleh
masyarakat adat maupun pihak adat.

Ad. 3 Pranata Adat Kasepuhan Ciptagelar


Kasepuhan Ciptagelar memiliki sistem administrasi pemerintahan sendiri yang
dipimpin oleh Ketua Adat (Kolot Girang) sebagai jabatan yang paling tinggi dan
memiliki peranan utama dalam menjalankan pemerintahan . Secara struktural Ketua
Adat memiliki banyak pembantu atau menteri yang tersebar dari pusat sampai ke
daerah. Ketua Adat didampingi oleh sesepuh induk (baris kolot induk) yang
merupakan ketua dari baris kolot lainnya yang tugasnya sebagai penasehat serta
sesepuh dari Kasepuhan Ciptagelar. Selain itu juga sebagai mediator untuk
mempertemukan para kolot lembur dengan Ketua Adat. Kolot lembur merupakan
pemimpin dari kampung-kampung yang ada di kasepuhan
Tatanan kehidupan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar berasal dari dua buah sumber
aturan , yaitu :

1. Aturan adat istiadat

2. Kebijakan Ketua Adat

Aturan adat istiadat memang sudah ada sejak lama dan turun temurun diwariskan
dalam kehidupan masyarakat. Contoh : adanya larangan untuk memasuki wilayah
hutan tutupan dan hutan titipan. Kebijakan Ketua Adat sangat dihormati oleh
masyarakat adat Ciptagelar , baik itu dari wangsit ataupun dari hasil pemikiran Ketua
Adat sendiri. Contoh : adanya aturan adat yang mengharuskan warganya untuk
menyumbangkan satu ikat padi untuk disimpan di leuit si jimat (lumbung bersama).

71
IV.2 Aspek Teknis

Menurut masyarakat adat Ciptagelar yang masih menganut prinsip penentuan wilayah
Kasepuhan Ciptagelar terbentang sejauh mata memandang. Prinsip ini masih banyak
digunakan pada banyak wilayah adat di Indonesia. Ketua adat Kasepuhan Ciptagelar
secara khusus mendefinisikan batas wilayah adat Ciptagelar secara global. Wilayah
adat Kasepuhan Ciptagelar berdasarkan pendapat Ketua Adat Abah Anom seluas ±
70.000 Ha , menurut data yang telah diolah pada Bab III seluas ± 68.027 Ha, yang
mana wilayah tersebut dibatasi oleh hutan yang terdiri dari hutan tutupan, hutan
titipan, dan hutan garapan. Letak dari batas hutan-hutan tersebut tidak dapat
ditentukan secara pasti (general boundary). Selain hutan masyarakat Ciptagelar
memakai obyek batas dalam membatasi wilayahnya pada tempat-tempat tertentu.
Contohnya penggunaan pohon hanjuang (Cordyline sp) dan pohon palem botol
(Mascarena lagenicaulis) dalam menandai batas wilayah dan bidang tanah warga
Ciptagelar.
Biasanya batas tersebut ditandai dengan adanya pematang, atau timbunan tanah di sisi
terluar lahan garapan warga. Sedangkan batas antar hutan ditandai dengan adanya
pohon tertentu, arca, batu ataupun situs.
Tanda batas antar hutan di lapangan adalah sebagai berikut :

 Hutan tutupan dengan hutan titipan berupa arca, pohon tertentu dan patung.
 Hutan garapan dengan garapan warga, biasanya berupa pohon tertentu atau
sisi terluar garapan dan gundukan tanah.
 Hutan titipan dan garapan berupa pohon tertentu atau sisi terluar garapan dan
gundukan tanah.

Leuweung tutupan adalah wilayah hutan di Kasepuhan Ciptagelar yang sama


sekali tidak boleh diganggu dan dimasuki oleh pemangku adat dan seluruh warga
kasepuhan . Bagi masyarakat adat kasepuhan, leuweung tutupan bukan hanya
sebagai hutan lindung tetapi juga sebagai hutan perlindungan alam yang mutlak
tidak boleh diganggu gugat dari awal hingga akhir. Leuweung tutupan
menunjukkan keanekaragaman hayati yang tinggi yang berfungsi sebagai resapan
air (leuweung sirah cai) dan sebagai pusat ekosistem .
72
Leuweung titipan adalah wilayah hutan di Kasepuhan Ciptagelar yang tidak boleh
dimasuki oleh masyarakat adat dan tidak boleh diambil kayunya kecuali untuk
keperluan adat. Hanya para pemangku adat yang boleh masuk ke kawasan hutan
dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada namun hanya untuk keperluan
adat. Leuweung titipan merupakan kawasan hutan yang dicadangkan untuk daerah
pemukiman masyarakat adat kasepuhan di masa yang akan datang (awisan) dan
sebagai alokasi lahan garapan untuk huma dan kebun . Aturan adat mengharuskan
dalam setiap penebangan satu pohon harus mengganti dengan pohon yang baru
dan setiap penggunaan sumber daya alam di dalam hutan titipan harus mendapat
ijin dari Ketua Adat dan hanya untuk keperluan adat . Leuweung garapan adalah
wilayah hutan di Kasepuhan Ciptagelar yang terbuka untuk aktifitas masyarakat
dan keperluan adat dan hasil hutan dapat dimanfaatkan untuk keperluan warga.
Aturan adat yang mengharuskan dalam setiap penebangan pohon harus diganti
dengan pohon yang baru juga berlaku di leuweung garapan ini .

Leuweung tutupan

Leuweung titipan

Leuweung garapan

Gambar IV.2 Batas antara hutan tutupan, hutan titipan dan hutan garapan

Ketiga jenis hutan menurut masyarakat hukum adat tersebut di atas dapat
diketahui batas-batasnya oleh masyarakat adat dengan cara :
73
1. Dari ketinggian hutan tersebut, pada umumnya hutan tutupan berada di atas
dari hutan titipan dan hutan garapan.
2. Batas antara hutan tutupan, hutan titipan dan hutan garapan dengan
pemukiman biasanya hutan garapan berbatasan langsung , sedangkan hutan
tutupan berada jauh di puncak gunung.
3. Derajat kehijauan warna tumbuhan, hutan tutupan warnanya lebih pekat dari
hutan titipan dan hutan garapan .

Hutan-hutan di atas merupakan batas wilayah bukaan penduduk Ciptagelar dengan


wilayah hutan tersebut . Batas antara hutan dengan wilayah bukaan masyarakat
Ciptagelar biasanya ditandai dengan adanya jalan setapak atau berbatasan dengan
tepi hutan dan pemukiman .
Batas wilayah Kasepuhan Ciptagelar dikelilingi oleh ketiga hutan tersebut yang
mana batas tersebut merupakan batas umum (general boundary). General boundary
merupakan suatu bentuk batas yang hanya memperlihatkan suatu batas melalui
pendekatan yang tidak presisi, contohnya adalah batas yang didefinisikan dalam
obyek natural seperti hutan.

Gambar IV.3 Peta Wilayah Ciptagelar dan TNGHS

74
Pada Gambar IV.3 terlihat bahwa batas terluar dari wilayah Kasepuhan Ciptagelar
yang berada di luar TNGHS terdiri dari hutan serta lahan terbuka, demikian juga
halnya dengan batas terluar Kasepuhan Ciptagelar yang berada di dalam TNGHS
adalah hutan. Sejak tahun 1942 pembukaan hutan di dalam kawasan TNGHS sudah
dilarang oleh pihak kehutaan. Adapun wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar di luar
kawasan TNGHS adalah generasi awal yang tinggal memang di luar kawasan
TNGHS.

Wilayah bukaan Kasepuhan Ciptagelar akan semakin bertambah seiring dengan sifat
masyarakat yang semi nomaden dan populasi masyarakat yang terus bertambah,
namun luasan wilayah Kasepuhan Ciptagelar adalah tetap oleh karena perpindahan
penduduk yang didasarkan kepada wangsit dari leluhur yang diterima ketua Adat
masih di dalam wilayah Kasepuhan Ciptagelar yang ± 70.000 Ha itu dan pembukaan
hutan garapan maupun hutan titipan dapat diantisipasi oleh aturan adat yang
mengharuskan setiap warga yang menebang pohon dan membuka lahan akan
menggantinya dengan menanam pohon yang baru di sekitar itu juga, sehingga
kelestarian hutan akan tetap terjaga.

Di samping itu perpindahan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar hanya


dimungkinkan di dalam hutan garapan dan apabila hutan garapan telah habis baru
berpindah ke hutan titipan .
Pengakuan masyarakat adat atas luas wilayah sebesar 70.000 Ha menimbulkan reaksi
dari pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), karena luas TNGHS
setelah diperluas mencapai 131.357 Ha , ini berarti hampir 2/3 wilayah TNGHS
adalah termasuk wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar.

IV. 3 Pranata Adat Kasepuhan Ciptagelar

Kasepuhan Ciptagelar memiliki sistem administrasi pemerintahan sendiri yang


dipimpin oleh Ketua Adat (Kolot Girang) sebagai jabatan yang paling tinggi dan
memiliki peranan utama dalam menjalankan pemerintahan . Secara struktural Ketua
Adat memiliki banyak pembantu atau menteri yang tersebar dari pusat sampai ke
daerah. Ketua Adat didampingi oleh sesepuh induk (baris kolot induk) yang

75
merupakan ketua dari baris kolot lainnya yang tugasnya sebagai penasehat serta
sesepuh dari Kasepuhan Ciptagelar. Selain itu juga sebagai mediator untuk
mempertemukan para kolot lembur dengan Ketua Adat. Kolot lembur merupakan
pemimpin dari kampung-kampung yang ada di kasepuhan .

Peran Ketua Adat sangat besar dalam proses kehidupan sehari-hari masyarakat adat
Ciptagelar, peran tersebut biasanya sering dikaitkan dengan wangsit. Wangsit
merupakan perintah tertinggi yang tidak boleh ditentang atau ditolak. Sebagai contoh
adalah proses perpindahan lokasi kasepuhan dan proses penetuan batas wilayah
daerah pemukiman, garapan dan daerah hutan.
Peran Ketua Adat ini juga dapat lihat dari menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh
warga, misalnya ada perselisihan antar warga kesepuhan maka terlebih dahulu
disampaikan kepada kolot lembur atau sesepuh adat, apabila masalah tersebut belum
juga dapat diselesaikan maka disampaikan kepada Ketua Adat. Ketua Adat
memberikan keputusan yang bersifat mutlak yang tidak dapat diganggu gugat oleh
warganya .
Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, peran Ketua Adat juga sangat dibutuhkan
oleh warga, misalnya warga hendak menanam padi, membuka lahan, bepergian jauh,
harus terlebih dahulu mendapat restu dari warga yang hendak menjalankan aktifitas
tersebut .
Aturan adat istiadat memang sudah ada sejak lama dan turun temurun diwariskan
dalam kehidupan masyarakat. Contoh : adanya larangan untuk memasuki wilayah
hutan tutupan dan hutan titipan. Kebijakan Ketua Adat sangat dihormati oleh
masyarakat adat Ciptagelar , baik itu dari wangsit ataupun dari hasil pemikiran Ketua
Adat sendiri. Contoh : adanya aturan adat yang mengharuskan warganya untuk
menyumbangkan satu ikat padi untuk disimpan di leuit si jimat (lumbung bersama)
.Disini terlihat peran Ketua Adat sangat besar dalam proses kehidupan masyarakat
adat Ciptagelar, peran Ketua Adat tersebut biasanya sering dikaitkan dengan wangsit.
Secara harafiah wangsit berarti bisikan atau himbauan yang bersifat gaib dari leluhur
atau nenek moyang masyarakat Ciptagelar .

76
IV. 4 Penguatan Status Hukum Masyarakat Adat Ciptagelar

Setelah dianalisis dari Aspek Yuridis yaitu UUPA ,UUPK dan dibahas dari Aspek
Teknis serta pranata adat Kasepuhan Ciptagelar jika dihubungkan dengan pendaftaran
tanah wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar , maka terdapat 4 (empat) alternatif
penyelesaiannya :

1. Wilayah Kasepuhan Ciptagelar di-enclave (dikeluarkan) dari TNGHS.


Wilayah kasepuhan yang luasnya ± 70.000 Ha , ada baiknya dikeluarkan dari
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) sehingga masyarakat adat
tersebut dapat memiliki tanah dan mendaftarkannya pada Kantor Pertananahan
Nasional Kabupaten Sukabumi. Melalui jalan alternatif ini dapat dengan mudah di
jalankan , namun kemungkinan besar Pihak TNGHS tidak begitu saja dapat
mengeluarkan wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar, selain prosedur yang
memakan waktu lama, pihak TNGHS biasanya harus menyediakan lahan
pengganti yang telah dikeluarkan , karena ada juga kecenderungan agar wilayah
kehutanan tidak berkurang.

2. Tetap berada dalam pengolahan wilayah TNGHS.


Oleh karena sulit untuk mencapai jalan afternatif yang pertama, pada umumnya
wilayah yang masuk dalam Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)
akan tetap termasuk dalam wilayah TNGHS dan pengelolaannya pun masih di
bawah wewenang dari pihak kehutanan. Namun jika dipandang dari segi
keperdataan , masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar tidak mempunyai hak milik
atau hak lain yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA),
mereka hanya mempunyai hak pengelolaan hutan yang berada di bawah
pengawasan TNGHS.

3. Dijadikan sebagai Wilayah Cagar Budaya


Untuk menjadikan wilayah Kasepuhan Ciptagelar sebagai Wilayah Cagar Budaya
sebenarnya tidak begitu sulit, namun peran dari Pemerintah Daerah sangat
diharapkan , karena untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai wilayah Cagar

77
Budaya harus ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai dengan Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999 yang mengatur tetang Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat, seperti yang terdapat pada masyarakat
adat Kampar, Baduy dan Kutai .

4. Masyarakat adat Ciptagelar dipindahkan dari wilayah TNGHS


Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dipindahkan keluar dari Taman Nasional
Gunung Halimun Salak (TNGHS), namun alternatif ini sangat sulit untuk
dilaksanakan. Oleh karena selain membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan
kemungkinan besar masyarakat adat kasepuhan tidak mau dipindahkan ke tempat
yang lain di luar TNGHS, mengingat mereka telah lama menetap dan bertempat
tinggal di wilayah TNGHS, sehingga ikatan sosio ekonomi mereka telah
mengakar kuat di wilayah tersebut.

Untuk lebih jelasnya, alternatif wilayah Kasepuhan Ciptagelar ini dapat kita lihat
pada table di bawah ini :

Tabel IV.1 Alternatif Wilayah Kasepuhan Ciptagelar

No. Alternatif Kebaikan Keburukan

1 Wilayah Kasepuhan - Masyarakat adat dapat - Kepemilikan tanah


Ciptagelar di-enclave memiliki hak atas dimungkinkan secara
(dikeluarkan) dari tanah seperti yang individu, tidak lagi
TNGHS diatur dalam UUPA komunal

- Batas penguasaan dan - Luas wilayah hutan


pengelolaan kedua semakin sempit
belah pihak jelas

- Wilayah TNGHS akan


semakin terjaga

2 Wilayah Kasepuhan - Wilayah hutan akan - Masyarakat adat tidak


Ciptagelar tetap berada tetap (tidak berkurang) mempunyai hak atas

78
di bawah TNGHS - Mudah mengkoordinir tanah
Pengelolaannya
- Perambahan hutan
akan cenderung
semakin meningkat

- Batas wilayah adat


dan TNGHS tidak
terlihat dengan jelas

3 Wilayah kasepuhan - Budaya lokal akan - Wilayah TNGHS


ditetapkan sebagai tetap terjaga dan akan semakin kecil
Wilayah Cagar Budaya lestari
- Akan menimbulkan
- Keberadaan konplik kepentingan
masyarakat adat dapat
diakui

- Batas wilayah adat dan


TNGHS akan terlihat
jelas

- Dapat dijadikan
tempat wisata alam
dan wisata budaya

- Masing-masing pihak
mempunyai hak dan
kewajiban yang jelas

- Dapat dijadikan
sebagai obyek wisata

4 Masyarakat Ciptagelar - Luas TNGHS tidak - Memerlukan lahan


dipindahkan keluar berkurang sebagai lahan
TNGHS pengganti
- Pengelolaan hutan
akan semakin mudah - Memerlukan biaya
yang besar

- Kemungkinan besar
masyarakat adat
tidak mau, karena
adanya ikatan sosio
ekonomi

79
Dari Tabel IV. 1 di atas dapat disimpulkan bahwa alternatif nomor 3 yaitu
menjadikan wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar sebagai Wilayah Cagar Budaya
sebagai pilihan yang terbaik karena memiliki kebaikan yang lebih besar
dibandingkan dengan keburukan. Peran dari Pemerintah Daerah dalam hal ini sangat
dibutuhkan mengingat suatu daerah masyarakat adat dinyatakan sebagai Wilayah
Cagar Budaya harus dengan berupa keputusan Peraturan Daerah.
Untuk lebih jelasnya prosedur penguatan masyarakat adat dinyatakan sebagai
Wilayah Cagar Budaya sesuai dengan hierarki (tata urutan) yang terdapat pada Tap
MPR RI No.III/MPR/2000 sebagai berikut :

UUD 1945
Psl 18 B

Tap MPR

Undang‐Undang
UUPA dan UUPK

Perpu

Peraturan Pemerintah

Keputusan Presiden

Peraturan Daerah

Gambar IV. 4. Prosedur Penguatan Status Hukum Masyarakat Adat

80
Mengingat Peraturan Pemerintah mengenai masyarakat hukum adat belum ada (masih
berupa Rencana Peraturan Pemerintah) sementara di dalam Tap MPR No.
III/MPR/2000 tidak ada diatur mengenai Keputusan Menteri maka Peraturan Menteri
Negara Agraraia/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dapat
diberlakukan sesuai dengan Tap MPRS No.XX/MPRS/1966.

Namun demikian bukan berarti bahwa permasalahan batas wilayah antara Kasepuhan
Ciptagelar dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dapat diselesaikan
dengan sendirinya. Mengingat perbedaan luas antara pengakuan masyarakat adat
dengan luas zona tradisional yang diberikan oleh pihak TNGHS sangat jauh berbeda.
Untuk itu perlu diadakan musyawarah yang lebih mendalam membahas batas wilayah
masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dengan Pihak TNGHS guna mencapai
penyelesaian yang terbaik bagi kedua belah pihak.

Dalam mencapai penyelesaian dengan musyawarah ini diharapkan pihak ketiga ikut
terlibat, misalnya : pakar ahli hukum adat, Lembaga Sosial Masyarakat, Pemerintah
Daerah, dan pihak akademisi agar kesepakatan yang dihasilkan lebih bersifat
komprehensip.

81

Anda mungkin juga menyukai