0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
24 tayangan98 halaman
Paragraf pertama membahas tentang implementasi Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 dalam berbagai perundang-undangan terkait sumber daya alam. Paragraf berikutnya membahas tentang sinkronisasi dan ketidaksinkronan antara perundang-undangan terkait pengakuan hak masyarakat adat dan sanksi pelanggaran perundang-undangan. Beberapa undang-undang seperti UUPA dan UU Kehutanan mengakui hak masyarakat adat, sementara UU
Paragraf pertama membahas tentang implementasi Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 dalam berbagai perundang-undangan terkait sumber daya alam. Paragraf berikutnya membahas tentang sinkronisasi dan ketidaksinkronan antara perundang-undangan terkait pengakuan hak masyarakat adat dan sanksi pelanggaran perundang-undangan. Beberapa undang-undang seperti UUPA dan UU Kehutanan mengakui hak masyarakat adat, sementara UU
Paragraf pertama membahas tentang implementasi Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 dalam berbagai perundang-undangan terkait sumber daya alam. Paragraf berikutnya membahas tentang sinkronisasi dan ketidaksinkronan antara perundang-undangan terkait pengakuan hak masyarakat adat dan sanksi pelanggaran perundang-undangan. Beberapa undang-undang seperti UUPA dan UU Kehutanan mengakui hak masyarakat adat, sementara UU
1.1 Implementasi Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 Dalam Berbagai Perundang-
Undangan Tentang Sumberdaya Alam Indonesia diakui sebagai suatu negara yang mempunyai kekayaan alam berlimpah, seperti sumber daya mineral, sumber daya air, sumber daya hutan, dan lain-lain. Sumber kekayaan alam tersebut dianugrahkan Tuhan kepada rakyat dan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Oleh karena kekayaan alam tersebut diperuntukkan bagi kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat, maka penguasaan dan pemanfaatannya diatur dalam konstitusi dan dalam berbagai produk perundang-undangan nasional. Ideologi dan politik hukum tentang penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam tersebut tercermin dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan sebagai berikut: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” Terkait dengan ideologi dan politik hukum tentang penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tersebut, Nurjaya mempertanyakan apakah selama ini kekayaan alam tersebut telah membawa nikmat dan telah mengantarkan rakyat dan bangsa Indonesia ke tingkat kesejahteraan dan kemakmuran sebagaiman dicita-citakan oleh Pembukaan UUD 1945? Nurjaya sendiri menjawab bahwa yang terjadi justru proses pemiskinan struktural yang berlangsung secara sistematik. Pandangan Nurjaya ada benarnya, karena selama ini dapat dilihat bahwa daerah-daerah yang kaya akan sumberdaya alam yang telah diekplotasi untuk pembangunan nasional, ternyata wilayah tersebut tidak memperoleh manfaat dari pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di wilayahnya. Tidaklah salah apabila Mubariq Ahmad menyatakan bahwa : “daerah tidak memperoleh manfaat yang memadai dari pemanfaatan sumberdaya alamnya”. Penggunaan sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana dirumuskan dalam UUD 1945 itu, mestinya dimaknai bahwa rakyat yang dimaksud adalah rakyat dimana sumberdaya alam itu berada, minimal daerah itu mendapat kontribusi yang memadai untuk kesejahterraan dan kemakmuran masyarakat setempat. Proses pemiskinan dan tidak memadainya kontribusi kepada masyarakat lokal atas pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di wilayahnya seringkali menimbulkan konflik ataupun sengketa antara pihak pemerintah, investor yang mendapat ijin pemanfaatan sumberdaya alam dengan pihak masyarakat lokal. Konflik semacam ini sebenarnya dapat dihindari apabila masyarakat lokal dilibatkan sejak tahapan perencanaan sampai pada pelaksanaan dan penilaian terhadap pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di lingkungan wilayahnya. Peran serta masyarakat memang sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang tentang Kehutanan (Undang-Undang No. 41 Tahun 1999), Akan tetapi dalam pelaksanaannya, seringkali masyarakat hanya dilibatkan dalam pelaksanaannya sedangkan dalam perencanaan dan penilaian terkait dengan pemanfaatannya pemerintah melakukannya secara sepihak, sehingga menimbulkan ketidakpuasan pada masyarakat yang berpotensi menimbulkan konflik. Konflik ataupun sengketa terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam telah terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Konflik/sengketa tersebut disebabkan oleh adanya pelanggaran-pelanggaran baik dari pihak yang memegang ijin pengelolaan, maupun oleh masyarakat. Pelanggaran- pelanggaran yang terjadi dapat berbentuk antara lain, membakar hutan, menebang pohon dan memiliki hasil hutan secara illegal, memiliki hasil hutan tanpa surat keterangan, mengembalakan ternak dalam kawasan hutan, membuang benda-benda yang berbahaya, membawa satwa dan tumbuh- tumbuhan yang dilindungi, dan sebagainya. Salah satu contoh kasus pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat lokal yang patut dijadikan cotoh, adalah penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam (tanah, dan hutan) yang ada pada masyarakat Tenganan Pagringsingan, Kabupaten Karangasem, Bali, dimana tanah, hutan dan hasil hutan yang ada di wilayahnya memberikan kontribusi yang cukup besar kepada masyarakat setempat. Masyarakat setempat juga menerapkan aturan lokal (awig-awig) untuk mengawasi dan menjaga hutan supaya tetap berfungsi sebagaimana mestinya bagi kesejahteraan mereka. Di pihak lain contoh kasus tentang penggunaan kawasan hutan secara ilegal dikemukakan oleh Suardana dalam tesisnya yang berjudul : “Implementasi Prinsip Perlindungan Hutan dalam Penanggulangan Illegal Occupation di Kawasan Hutan (Studi Kasus pada Illegal Occupation di Tahura Ngurah Rai). Konflik-konflik yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam tidak saja terjadi dalam tataran empirik, akan tetapi dapat pulan terjadi dalam tataran normatif, artinya terjadi ketidak sesuaian antara norma yang satu dengan yang lain, seperti misalnya antara Undang-Undang Pokok Agararia yang mengatur masalah pertanahan, dan Undang-Undang tentang Kehutanan yang mengatur tentang hutan dan dengan sendirinya juga menyangkut tanah di mana hutan itu tumbuh. Demikian juga perundang-undangan l;ainnya yang mengatur sumberdaya alam yang satu sama lain saling bersinggungan. A. Sinkronisasi Perundang-Undangan tentang Sumberdaya Alam dalam Konteks Masyarakat Hukum Adat dan Sanksi-sanksi terhadap Pelanggaran Perundang-Undangan Analisis tentang sinkronisasi antara perundang-undangan tersebut diatas (UUPA, UU Kehutanan, UU tentang Sumberdaya Air, UU tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Uudang-undang tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara serta Undang-Undang tentang Perikanan, hanya difokuskan pada bagian menimbang, beberapa pasal khususnya yang terkait dengan pelibatan masyarakat hukum adat dan pasal-pasal yang terkait dengan sanksi. Berdasarkan deskripsi pada bagian menimbang, tampaknya semua perundangundangan tersebut di atas sinkron atau ada kesesuaian satu dengan yang lain, dalam arti bahwa sumberdaya alam yang diatur dalam masing-masing undang-undang, secara jelas dikatakan dikuasai oleh Negara dan dimanfaatkan sebesar- besarnya untuk kemakmuran rakyat. Apabila dikaji beberapa pasal dari perundang-undangan tersebut dapat dilihat di satu pihak ada kesinkronan dan di pihak lain ada ketidak sinkronan. Hal-hal yang menunjukkan kesesuaian antara undangundang yang satu dengan undang-undang yang lainnya, adalah dalam hal adanya hak menguasai oleh negara itu yang dikuasakan kepada Pemerintahan Daerah. Di pihak lain, ketidak sinkronan terlihat dari adanya beberapa undang-undang yang secara jelas menyatakan bahwa pelaksanaan hak penguasaan sumberdaya alam itu di samping dikuasakan kepada Pemerintah Daerah ada juga yang penguasaanya diserahkan kepada masyarakat desa bahkan masyarakat hukum adat serta dengan pengakuan hukum adatnya, seperti halnya Undang-Undang Pokok Agraria dengan jelas menyatakan hal itu dalam pasal 2 ayat 4, pasal 3 dan pasal 5 UUPA yang masing-masing mengatur sbb: Pasal 2 ayat 4: Hak menguasai dari Negara tersebut di atas, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat hukum adat. Pasal 3 : Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari dari masyarakat-masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada…dstPasal 5. Hukum agraria yang berlaku atas bumi,air dan ruang angkasa ialah hukum adat. Demikian juga dalam Undang-Undang Kehutanan antara lain disebutkan dalam pasal 34 sebagai berikut: “Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 dapat diberikan kepada: a. Masyarakat hukum adat. Pasal 37 ayat 1 : Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya Pasal 67 (1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang. Dalam Undang-Undang tentang Pengelolaan Sumberdaya Air dalam pasal 6 ayat 2 disebutkan bahwa Penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dalam ayat 3 disebutkan pula bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat. Keberadaan masyarakat adat dan partisipasinya juga diakui dalam UndangUndang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, khususnya dalam Pasal 21 (1) yang menentukan sebagai berikut: Pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau- pulau kecil pada wilayah Masyarakat Hukum Adat oleh Masyarakat Hukum Adat menjadi kewenangan Masyarakat Hukum Adat setempat. Berbeda dengan ke empat undang-undang tersebut di atas, dua undang- undang yang disebut terakhir, yaitu Undang-undang tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara serta Undang-Undang tentang Perikanan, tidak ada ketentuannya yang mengatur masalah masyarakat hukum adat. Berkaitan dengan sanksi atas pelanggaran terhadap perundang- undangan tersebut di atas, disatu pihak ada kesinkronan dalam hal jenis sanksi berupa sanksi pidana penjara dan denda. Jenis-jenis sanksi ada pula yang bervariasi seperti adanya hukuman kurungan, ataupun sanksi tambahan berupa sanksi administrasi yang bentuknya juga bermacam- macam seperti : pencabutan ijin dan pencabutan status badan hukum, perampasan barang, perampasan keuntungan, dan Pembayaran biaya yang timbul akibat dilakukannya tindak pidana. Di pihak lain, ada ketidak sinkronan antara besarnya pidana penjara, dalam arti ada yang sangat ringan berkisar tiga bulan, ada juga yang lamanya puluhan tahun. Demikian juga terkait dengan pidana denda, ada yang besarnya dalam hitungan puluhan ribu, ada juga yang sangat berat dalam hitungan puluhan milyar. Tentang pidana tambahan, juga ada yang mengatur ada yang tidak. B. Implikasi Adanya ketidak-sinkronan antara undang-undang yang satu dengan undang yang lainnya terkait dengan penyerahan pelaksanaan hak penguasaan oleh Negara atas sumberdaya alam kepada masyarakat hukum adat, dapat berimplikasi pada tingkat partisipasi masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumberdaya alam tertentu, dan pada tataran empirik dapat menimbulkan ketidakpuasan masyarakat lokal (masyarakat hukum adat) tertentu atas pengabaian Negara terhadap peran sertanya dalam hal pengelolaan sumberdaya alam yang ada di lingkungan wilayahnya dan hal ini dapat berpotensi konflik. Adanya tumpang tindih terhadap ruang lingkup pengaturan masalah sumberdaya alam antara undang-undang yang satu dengan yang lain berpotensi pula untuk terjadinya konflik norma antara yang satu dengan yang lain yang selanjutnya berimplikasi pada terjadinya ketidak pastian hukum dalam penegakan hukumnya. Selain itu, adanya gap yang begitu besar antara undang-undang yang satu dengan yang lain terkait dengan besarnya sanksi atas pelanggaran terhadap berbagai perundang- undangaan tentang sumberdaya alam, juga dapat berimplikasi pada ketidak pastian dalam penegakan hukum. 1.2 Pengadaan Tanah Dengan Cara Jual Beli Oleh Instansi Pemerintah Menurut Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 A. Konsekuensi Yuridis Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Dengan Cara Jual Beli Oleh Instansi Pemerintah Dengan Pemilik Tanah Menurut UU No. 2 Tahun 2012, Perpres No. 40 Tahun 2014 Dihubungkan Dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 Negara sebagai pemegang hak menguasai atas tanah memiliki hak untuk membuat kebijakan yang mengatur tentang kepentingan umum atas tanah, semata-mata untuk mencapai kehidupan yang lebih baik bagi masyarakatnya. Kebijakan tersebut harus didasari oleh asas-asas hukum umum dalam pokok-pokok pikiran pembukaan UUD 1945. Hal itu berarti bahwa penggunaan tanah atas dasar kepentingan umum dipengaruhi oleh nilai, norma serta asas-asas hukum dan pelaksanaannya diatur di dalam peraturan serta keputusan - keputusan, dengan tetap memperhatikan sifat normatif dalam mempertimbangkan kenyataan secara optimal. Penerapan fungsi sosial menekankan pada suatu kewajiban yang pelaksanaannya dituntut dari pihak yang memiliki, menggunakan atau mengerjakan tanah (misalnya, pihak ketiga). Kewajiban itu merupakan penghubung antara arti fungsi sosial di satu pihak dan kepentingan umum dipihak lain. Dalam UUPA fungsi sosial atas tanah diatur dalam Pasal 6 dan dalam Penjelasan Umum nomor II angka 4. Berdasarkan ketentuan tersebut dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa fungsi sosial yang melekat pada hak atas tanah merupakan fungsi yang dipunyai oleh pemegang haknya sekaligus juga mempunyai fungsi kemasyarakatan. Konsekuensinya adalah dalam penggunaan tanah harus memperhatikan dua kepentingan yaitu kepentingan pemegang hak dan kepentingan masyarakat. Kedua kepentingan tersebut harus seimbang yang artinya tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat dan begitupun sebaliknya bahwa kepentingan masyarakat tidak boleh merugikan kepentingan pemegang hak. Hak menguasai negara atas tanah harus bermuara pada satu tujuan luhur yakni menciptakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Salah satu bentuk hak menguasai negara atas tanah yang ada kaitannya dengan hakhak perorangan yaitu negara memiliki kewenangan untuk melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum melalui pelepasan hak dan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda di atasnya. Ketika negara membutuhkan tanah untuk kepentingan umum sehingga harus melaksanakan pelepasan hak atau pencabutan hak atas tanah milik masyarakat, maka negara harus memperhatikan dan mempertimbangkan prinsip-prinsip keseimbangan antara kepentingan perseorangan, masyarakat dan negara sehingga hak-hak dari pemegang hak atas tanah tersebut dapat terlindungi secara hukum karena negaramengakui adanya hak perseorangan atas tanah sebagai hak dasar manusia atas sumber daya alam. Faktor-faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum adalah : a) Pengadaan tanah harus memenuhi syarat tata ruang dan tata guna tanah. b) Pengadaan tanah tidak boleh mengakibatkan kerusakan atau pencemaran terhadap kelestarian alam dan lingkungan. c) Pengadaan tanah tidak boleh mengakibatkan kerugian bagi pemilik tanah. Pada asasnya, jika diperlukan tanah atau benda-benda lainnya kepunyaan orang lain untuk sesuatu keperluan pembangunan proyek- proyek pemerintah haruslah lebih dahulu diusahakan agar tanah itu dapat diperoleh dengan persetujuan pemilik tanah, melalui pelepasan hak. Tetapi apabila cara demikian tidak berhasil, karena ada kemungkinan pemilik tanah meminta harga atau ganti rugi yang terlampau tinggi atau tidak bersedia sama sekali untuk melepaskan tanah yang diperlukan itu, maka untuk kepentingan pembangunan yang pada hakikatnya demi kepentingan umum harus lebih didahulukan daripada kepentingan orang perseorangan. Jika pembangunan tersebut benar-benar untuk kepentingan umum, dan dalam musyawarah tidak membawa hasil yang diharapkan untuk dapat mengambil dan menguasai tanah yangbersangkutan, pemerintah dapat melakukan pencabutan hak atas tanah tersebut. Pemerintah dapat melakukan pencabutan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 18 UUPA, yang menyebutkan bahwa, “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberikan ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”. Apabila tanah yang diperlukan oleh pemerintah untuk kegiatan pembangunan tersebut luasnya kurang dari 5 (lima) hektar, dapat dilakukan melalui jual beli. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 121 Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2014 tentang Pengadaan Tanah Skala Kecil, yang mengatur : “Dalam rangka efisiensi dan efektivitas, pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektar dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual-beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati oleh kedua belah pihak”. Ketentuan seperti hal tersebut di atas dapat dijumpai pula pada Pasal 54 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005. Melihat pada peraturan sebelumnya, ketentuan tersebut pernah diatur pada Pasal 23 Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 dan Pasal 20 Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005, serta Pasal 23 Perpres No. 65 Tahun 2006. Setelah proses jual beli dilakukan maka tanah tersebut akan menjadi tanah milik pemerintah atau pemerintah daerah tergantung siapa yang melakukan pembelian tanah tersebut. Setelah proses jual beli dilakukan maka tanah tersebut akan menjadi tanah milik pemerintah atau pemerintah daerah tergantung siapa yang melakukan pembelian tanah tersebut. Hal tersebut diatur sebagaimana diatur pada Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang mengatur bahwa, “Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib diselenggarakan oleh pemerintah dan tanahnya selanjutnya dimiliki pemerintah atau pemerintah daerah”. Menurut ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2012 bahwa, “setelah penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum, pihak yang berhak hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada instansi yang memerlukan tanah”. “Beralihnya hak atas tanah tersebut dilakukan dengan memberikan ganti rugi” (Pasal 27 ayat (4)). Tercantum dalam ketentuan UUPA, berpindahnya hak-hak atas tanah dari pemilik semula kepada pihak lain berbeda dengan hapusnya hak-hak atas tanah. Berpindahnya hak atas tanah dapat dilakukan melalui peralihan hak. Peralihan hak terdiri atas beralih dan dialihkan. Beralih artinya berpindahnya hak atas tanah dari pemiliknya kepada pihak lain karena terjadinya suatu peristiwa hukum, misalnya meninggalnya pemilik tanah mengakibatkan hak atas tanahnya berpindah secara hukum kepada ahli warisnya sepanjang ahli warisnya tersebut memenuhi syarat sebagai subjek hak atas tanah. Pengertian dialihkan ialah berpindahnya hak atas tanah dari pemiliknya kepada pihak lain karena terjadinya suatu perbuatan hukum, misalnya jual beli, tukar menukar, hibah dan sebagainya. Berdasarkan dari uraian tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa ciri pokok pada peralihan hak atas tanah adalah terjadinya perpindahan hak dari pemilik atau pemegang hak atas tanah semula kepada pemilik atau pemegang hak atas tanah berikutnya. Tercantum dalam ketentuan UUPA peralihan hak- hak atas tanah diatur pada pasal-pasal dibawah ini : a) Peralihan hak milik diatur pada Pasal 20 ayat (2) yang menyatakan bahwa, “hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pemilik lain. b) Peralihan hak guna usaha, diatur pada Pasal 28 ayat (3) yang menyebutkan bahwa : “hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. c) Peralihan hak guna bangunan, diatur pada Pasal 28 ayat (3) yang menyebukan bahwa : “hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Peralihan hak pakai, ketentuan hak pakai dalam UUPA terdapat selain pada Pasal 16 ayat (1) huruf d, secara khusus diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 43, dan Pasal 50 ayat (2) lebih lanjut mengenai hak-hak pakai diatur dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah peraturan pemerintah No. 40 Tahun 1996, yang secara hukum diatur pada Pasal 39 sampai dengan 58. Ketentuan Pasal 11 ayat (1), Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah dan ketentuan tentang pengadaan tanah dengan cara jual beli yang diatur dalam Perpres No. 40 tahun 2014, menurut pendapat penulis dapat menimbulkan persoalan hukum. Masalah hukum yang dimaksud adalah adanya akibat hukum dari jual beli terhadap tanah sudah barang tentu akan terjadi perpindahan hak kepemilikan atas tanah. Dengan kata lain tanah yang dibeli oleh instansi pemerintah akan menjadi tanah milik dari instansi pemerintah tersebut. Konsepsi negara sebagai pemilik tanah sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012, Perpers No. 40 Tahun 2014 adalah tidak sesuai dengan filosofis negara Republik Indonesia, yaitu Pancasila. Konsepsi kepemilikan tanah oleh pemerintah juga tidak dianut baik dalam UUD 1945 maupun dalam UUPA, konsepsi yang dianut oleh keduanya adalah hak menguasai tanah oleh negara, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat dan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UUPA, yang menyebutkan sebagai berikut : Pasal 2 ayat (1) UUPA : Bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Pasal 2 ayat (2) UUPA : Hak menguasai negara, memberikan wewenang kepada negara untuk (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; (b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan antara orangorang dengan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Kewenangan negara tersebut, dilaksanakan untuk mencapai sebesar- besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Hak menguasai negara merupakan suatu konsepsi yang mendasarkan pada pemahaman bahwa negara adalah suatu organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat sehingga bagi pemilik kekuasaan, upaya mempengaruhi pihak lain menjadi sentral yang dalam hal ini dipegang oleh negara. Dalam kekuasaannya sebagai badan penguasa negara diberi tugas untuk menjalankan kewajiban terciptanya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, negara diberikan kewenangan yang bersifat dapat dipaksakan untuk mengatur penguasaan hak atas tanah. Pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan dan diusahakan oleh negara bermuara pada suatu tujuan yaitu terciptanya sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Tujuan itu menjadi tanggungjawab negara sebagai bentuk konsekuensi dari hak penguasaan negara terhadap bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kewenangan negara dalam bidang pertanahan tersebut dilakukan oleh organ-organ penyelenggara negara, yaitu badan- badan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah sedangkan sifat kewenangannya adalah bersifat publik semata. Berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut analisis penulis, pengadaan tanah untuk kegiatan pembangunan dengan cara jual beli sebagaimana diatur dalam Perpres No 40 tahun 2014 serta Pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 2 Tahun 2012 yang menjadikan instansi pemerintah sebagai pemilik tanah sangatlah bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan ketentuan Pasal 2 UUPA tahun 1960. B. Cara Yang Seharusnya Dilakukan Oleh Instansi Pemerintah Dalam Melakukan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Yang Sesuai Dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Cara yang dikedepankan oleh pemerintah dalam melakukan pengadaan tanah adalah dengan memakai model pemberian ganti rugi, akan tetapi selama ini selalu tidak terdapat persamaan pandangan mengenai penetapan nilai ganti rugi antara masyarakat sebagai pemilik tanah dengan pemerintah. Masyarakat menghendaki nilai ganti rugi yang setinggi-tingginya dari harga pasaran atau paling tidak sesuai dengan harga pasaran, bahkan ada masyarakat yang menetapkan nilai ganti rugi tersebut didasarkan pada harga sekian tahun kedepan atau setelah pengadaan tanah dan/atau telah dijadikan sarana umum. Dilain pihak pemerintah dalam menentukan nilai ganti rugi hanya berpatokan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang besarannya ditentukan oleh Kantor Pajak Bumi dan Bangunan. Berdasarkan realita, harga pasaran di masyarakat jauh lebih tinggi dari NJOP. Perbedaan NJOP dengan harga pasaran masih menjadi problematika dalam penentuan nilai ganti rugi pengadaan tanah. Pihak pemerintah berpatokan pada NJOP sedangkan masyarakat berpatokan pada harga pasaran. Hakikatnya model pemberian ganti rugi yang diterapkan saat ini adalah satu-satunya model yang dapat diterima oleh masyarakat maupun pemerintah, namun yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah mengenai besaran nilai ganti rugi yang perlu mendapatkan kesepakatan diantara kedua belah pihak, yaitu masyarakat dengan pemerintah. Guna mengakhiri konflik atau perbedaan pandangan dalam menentukan besaran nilai ganti rugi, pemerintah melalui peraturan perundang-undangan menerapkan model lain yakni model jual beli tanah antara pemilik tanah dengan instansi yang memerlukan tanah. Model jual beli ini tentu akan berbeda dengan model pemberian ganti rugi. Pada jual beli kedudukan para pihak adalah seimbang. Pemilik tanah dapat menetapkan harga jual dan pihak pembeli dapat melakukan penawaran harga. Harga jual yang ditawarkan kepada pembeli sudah barang tentu akan berpatokan atau berdasarkan pada harga riil atau harga pasar tanah saat itu. Tidak berdasarkan NJOP seperti pada model pemberian ganti rugi. Demikian pula dengan calon pembeli, dalam praktek tidak ada yang memberikan harga penawaran sesuai NJOP, kendatipun NJOP dijadikan juga sebagai dasar untuk memberikan penawaran harga. Dengan model jual beli ini, dari awal harga yang ditawarkan oleh pemilik hak atas tanah merujuk pada harga riil atau pasar sedangkan pada model pemberian ganti rugi, rujukan pertama untuk besaran nilai ganti adalah NJOP. Dengan model jual beli ini tentu akan lebih baik dan menguntungkan bagi kedua belah pihak terutama pemilik hak atas tanah. Dengan kata lain pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum tidak akan merugikan pemilik hak atas tanah. Meskipun model jual beli ini lebih baik dari model pemberian ganti rugi, namun secara hukum model jual beli ini tidak sesuai dengan prinsip hak menguasai negara atas tanah. Hal ini dapat dikemukakan sebagai berikut, akibat hukum dari perbuatan hukum jual beli adalah terjadinya peralihan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli. Tanah yang dimiliki penjual akan berpindah menjadi tanah yang dimiliki oleh pembeli. Dengan model jual beli ini negara dalam hal ini instansi pemerintah akan menjadi pemilik hak atas tanah tersebut. Jika tanah yang diperlukan oleh instansi tersebut adalah tanah hak milik, hak guna usaha atau hak guna bangunan maka hak-hak atas tanah tersebut akan menjadi tanah milik instansi tersebut. Padahal negara atau instansi dimaksud bukan subjek hak-hak atas tanah tersebut. Model atau cara yang harus dilakukan oleh instansi pemerintah dalam melakukan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum sebetulnya sudah jelas diatur oleh UUPA. UUPA telah mengatur hubungan-hubungan hukum antara subjek hukum dengan tanah. UUPA juga mengatur perbuatan-perbuatan hukum antara sebjek hukum dengan tanah. UUPA secara jelas telah mengatur bila subjek hukum memerlukan hak atas tanah tetapi terkena larangan untuk memiliki hak atas tanah tersebut, maka perbuatan hukum yang dapat dilakkukan adalah melalui pelepasan hak dan pencabutan hak. Akibat hukum perbuatan hukum pelepasan hak dan pencabutan hak adalah hapusnya hak atas tanah tersebut dan tanahnya jatuh kepada negara. Berdasarkan uraian tersebut menurut pendapat penulis bahwa model yang seharusnya dilakukan oleh instansi pemerintah apabila memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum adalah bukan dengan cara jual beli tetapi dengan cara pelepasan hak atau pencabutan hak disertai pemberian ganti rugi yang didasarkan pada harga jual beli bukan berdasarkan nilai jual objek pajak (NJOP). Hal tersebut semata-mata dilakukan untuk menghindari terjadinya kemunduran sosial ekonomi masyarakat pemilik tanah, oleh karena itu besaran ganti rugi yang diberikan seyogyanya mengakomodasi prinsip-prinsip jual beli tanah pada umumnya. Penetapan nilai besaran ganti rugi berdasarkan harga jual beli, juga dapat dipandang sebagai pengakuan hukum dan perlindungan hukum terhadap pemilik hak atas tanah dengan tetap memperhatikan fungsi sosial atas tanah. 1.3 Politik Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Menurut Pasal 33 UUD 1945 Definisi politik hukum menurut para ahli dan para pakar secara substantif pada dasarnya adalah sama. Politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Dari beberapa pengertian yang ada, inti dari defenisi politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan dari para penegak hukum. Dari pengertian tersebut terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan. Dalam konteks pengeloalaan sumber daya alam, sumber politik hukumnya adalah ketentuan Pasal 33 UUD 1945 yang memuat mengenai Perekonomian Nasional. Dari ketentuan inilah kemudian dibuat undang- undang organik sebagai aturan pelaksana dari Pasal 33 UUD 1945. Selain ketentuan dalam Pasal 33 UUD 1945, politik hukum pengelolaan sumber daya alam tercermin pula dalam putusan-putusan MK. Hal ini dikarenakan kelahiran MK bertujuan untuk mengawal konstitusi terutama untuk menjaga agar tidak ada undang-undang yang melanggar UUD. Selain itu, bentuk pengawalan konstitusi yang dilakukan MK adalah dengan memberikan penafsiran terhadap konstitusi karena MK selain memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945, MK juga memiliki fungsi yang merupakan derivasi dari kewenangannya itu. Salah satu fungsi MK adalah sebagai penafsir konstitusi (The Final Interpreter of The Constitution). Oleh karena itu, sudah menjadi suatu keniscayaan bahwa putusan-putusan MK terkait pengelolaan sumber daya alam menjadi politik hukum yang harus dijadikan pedoman bagi pembentuk undang-undang dalam proses legislasi nasional. Putusan Mahkamah Konstitusi yang sifatnya membuat atau meniadakan keadaan hukum baru (constitutief) perlu diinternalisasikan dalam proses legislasi agar materi substansi produk undang-undang yang dihasilkan sesuai dengan Putusan Mahkamah dan tidak inkonstitusional serta tidak terjadi kekosongan hukum. Meskipun demikian, ada pula putusan MK yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dan tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Dalam kedua jenis putusan ini, Mahkamah Konstitusi selalu merumuskan norma hukum baru untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kekosongan hukum. Dalam proses selanjutnya pasca putusan MK, Pasal 10 ayat (1) huruf d UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa tindak lanjut atas Putusan MK harus diatur dalam undang-undang. Selain itu dalam Pasal 10 ayat (2) nya diatur bahwa tindak lanjut atas Putusan MK dilakukan oleh DPR atau Presiden. Kedua pasal ini menegaskan bahwa putusan MK menjadi politik hukum bagi DPR dan Presiden dalam membantuk undang undang. Oleh karenanya undang- undang yang dibuat harus selaras dan seirama dengan putusan MK. Apalagi pasca perubahan, UUD 1945 tidak lagi memiliki penjelasan, sehingga MK lah yang berfungsi sebagai penafsir akhir konstitusi yang menentukan arah politik hukum dalam pembentukan hukum nasional. A. Politik Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Menurut Pasal 33 UUD 1945 Dalam praktik ketatanegaraan di berbagai negara, permasalahan pengelolaan sumber daya alam merupakan bagian dari kebijakan perekonomian suatu negara yang tertuang dalam setiap konstitusi negaranya.13 Akan tetapi pada umumnya negara-negara yang bercorak liberal-kapitalis dan menganut tradisi hukum common law seperti Amerika, Inggris, Australia, dan Kanada tidak memuat ketentuan mengenai dasar-dasar kebijakan ekonomi dalam naskah undang-undang dasarnya. Karena masalah-masalah perekonomian dianggap sebagai domain pasar (market) yang tunduk pada mekanisme pasar sehingga tidak memerlukan peraturan yang ketat oleh negara. Paradigma dan cara pandang seperti ini tentunya amat memengaruhi penyusunan konstitusinya. Terlebih lagi negara-negara yang menganut tradisi common law pada dasarnya tidak memiliki konstitusi tertulis bukan dalam arti harfiah, melainkan konstitusi tersebut tidak dituangkan dalam satu naskah undang-undang dasar. Sementara itu pada negara-negara yang menganut tradisi hukum civil law dan bercorak liberalis-kapitalis, dalam perkembangannya dan mengacu pada kebutuhan, maka kebijakan seputar ekonomi diatur dalam konstitusi maupun undang-undang dasarnya. Dengan demikian, secara prinsip, baik negara-negara yang menganut tradisi hukum common law maupun tradisi hukum civil law dan bercorak liberalis-kapitalis memiliki cara pandang yang sama, yaitu menyerahkan kebijakan ekonominya pada mekanisme pasar (market oriented). Berbeda dengan negara yang bercorak liberalis-kapitalis, meskipun Indonesia merupakan negara yang menganut tradisi hukum civil law, Indonesia bukanlah negara yang bercorak liberalis-kapitalis. Negara kita adalah negara kesejahteraan yang relijius (religious welfare state) karena negara ini didirikan dengan berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana termaktub pada Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945. Konsekuensinya, dalam mengatur kehidupan rakyatnya, negara perlu berpegang pada kosmologi dan spirit ketuhanan sehingga kebijakan yang dibuat perlu diletakan dalam kerangka etis dan moral agama. Dalam pada itu, kebijakan perekonomian nasional negara kita tertuang pada Pasal 33 UUD 1945 menyatakan: (1) Perekonoman disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banya dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomidengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Pasal 33 UUD 1945 ini menjadi penanda bahwa negara harus aktif membangun kesejahteraan sosial.14 Terlebih Pasal 33 UUD 1945 adalah salah satu pasal yang tidak mengalami perubahan pada momentum perubahan konstitusi yang terjadi pada kurun waktu 1999-2002, meskipun kala itu terdapat beberapa kali upaya untuk mengubah pasal dimaksud karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Namun perubahan urung dilakukan karena adanya perbedaan pendapat dan perdebatan pemikiran yang cukup panjang dalam sidang BP MPR. Pada akhirnya forum rapat memutuskan bahwa ketentuan Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak jadi diubah15. Salah satu alasan mengapa Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak diubah karena pasal ini dianggap karya yang monumental yang dihasilkan oleh para founding father. 16Adalah Muhammad Hatta, salah seorang founding fathers sekaligus juga penggagas Pasal 33 UUD 1945. Ia menyatakan bahwa kelahiran Pasal 33 UUD 1945 dilatarbelakangi semangat kolektivitas yang didasarkan pada semangat tolong menolong. Implikasi semangat kolektivitas yang didasari semangat tolong menolong ini membawa beberapa konsekuensi, yaitu: (i) penguasaan sektor-sektor perekonomian dijalankan dengan bentuk koperasi. (ii) diperlukan perencanaan pembangunan ekonomi yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan, perumahan dan makanan yang dilakukan oleh badan pemikir siasat ekonomi (Planning Board). (iii) melakukan kerjasama-kerjasama internasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dunia. Kata “koperasi”dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 juga perlu dipahami sebagai “kata kerja”(proses), yakni semangattolong menolong, semangat kekeluargaan yang senantiasa mengupayakankeuntungan bersama, solidaritas sosial yang berorientasi” berat samadipikul, ringan sama dijinjing”. Dalam arti ini, Muhammad Hatta dan jugaSjahrir, menyebut badan usaha milik negara dan bahkan perusahaan swastapun harus berjiwa koperasi. Dengan demikian, meskipun negara menguasai lapangan perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak, sifat kooperasi dalam pengelolaannya harus mempertimbangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pada perubahan UUD 1945 yang terjadi pada kurun 1999-2002, Pasal 33 kemudian disempurnakan dengan menambah dua ayat baru, sehinggamenjadi lima ayat. Dan karena Pasal 33 UUD 1945 ini pula lah, UUD 1945 disebut juga sebagai konstitusi ekonomi. Penyempurnaan ini dilakukan untuk mengurangi potensi kesalahpahaman. Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang memuat ketentuan asas kekeluargaan mengandung risiko disalahpahami dan disalahgunakan dalam praktiknya, sehingga perlu diimbangi dengan prinsip kebersamaan yang dimuat dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Dengan adanya prinsip kebersamaan dalam Pasal 33 ayat (4), maka asas kekeluargaan dalam Pasal 33 ayat (1) harus dipahami dalam pengertian yang luas, bukan lagi dalam pengertian organis, dalam wujud pelaku ekonomi yang harus berbentuk koperasi dalam arti badanusaha yang sempit. Di samping itu dengan adanya prinsip kebersamaan itu,asas kekeluargaan tidak disalahgunakan atau pun dijadikan lawakan seolah olah terkait dengan pengertian family system yang memiliki konotasi negatif. Dengan demikian jelas bahwa secara konstitusional negara Indonesiamenganut sistem negara hukum yang dinamis atau negara kesejahteraan (welfare state) yang dalam rangka pencapaian tujuannya menuntut konsekuensi bagi besarnya peranan negara.21 Pasal 33 UUD 1945 juga memuat sistem ekonomi kerakyatan. Artinya rakyatlah sebagai pemegang kedaulatan di bidang ekonomi. Dalam hal ini ekonomi kerakyatan berkait kelindan dengan gagasan tentang demokrasi ekonomi yang merupakan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Yang menjadi fokus dalam ekonomi kerakyatan adalah pembebasan rakyat dari kemiskinan, kebodohan, ketergantungan dan ketidakadilan. Meskipun pada dasarnya sistem ekonomi kerakyatan ini mirip dengan ciri sistem ekonomi sosialis, namun yang menjadikannya berbeda adalah adanya Pancasila yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 berfungsi sebagai ruh dan spirit yang menjiwai demokrasi ekonomi yang termuat dalam Pasal 33 UUD 1945 sehingga tercipta suatu harmoni dan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan nasional (masyarakat) dengan memberikan pada negara kemungkinan untuk melakukan campur tangan sepanjang diperlukan bagi terciptanya tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila dan sesuai dengan tujuan negara dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. B. Konsep Hak Menguasai Negara Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Ketentuan Pasal 33 ayat (5) yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjutmengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang” telah melahirkanbeberapa undang-undang organik, yakni Undang-Undang di Bidang SumberDaya Air, Undang-Undang di Bidang Penanaman Modal, Undang-Undang di Bidang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang di Bidang PertambanganMineral dan Batu Bara, Undang-Undang di Bidang Perkebunan, Undang-Undang Kehutanan dan lain-lain. Penguasaan negara terhadap sumber daya alam diatur dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banya dikuasai oleh negara” dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan,”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Mengenai cabang-cabang produksi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, terhadap cabang-cabang ekonomi strategis, tidak dibolehkan adanya kepemilikan swasta. Misal, di Malaysia, minyak merupakan cabang produksi yang strategis sehingga tidak diperbolehkan penguasaan oleh swasta.22 Dalam konteks ini, MK dalam Putusan Nomor 002/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi (UU Migas) telah membuat tiga klasifikasi cabang produksi, yaitu: (i) cabang-cabang produksiitu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak; atau (ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyakkemakmuran rakyat. Namun, terpulang kepada pemerintah bersama lembaga perwakilan rakyat untuk menilai apa dan kapan suatu cabang produksi itu dinilai penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang lain dapat berubah menjadi tidak penting bagi negara dan/atau tidak lagi menguasai hajat hidup orang banyak. Berikut selengkapnya pertimbangan hukum Mahkamah. 24 “...penguasaan dalam arti kepemilikan perdata (privat) yang bersumber dari konsepsi kepemilikan publik berkenaan dengan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak yang menurut ketentuan Pasal 33 ayat (2) dikuasai oleh negara, tergantung pada dinamika perkembangan kondisi kekayaan masing-masing cabang produksi. Yang harus dikuasai oleh negara adalah jika: (i) cabang-cabang produksi itu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak; atau (ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, terpulang kepada pemerintah bersama lembaga perwakilan rakyat untuk menilai apa dan kapan suatu cabang produksi itu dinilai penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang lain dapat berubah menjadi tidak penting bagi negara dan/atau tidak lagi menguasai hajat hidup orang banyak.” Akan tetapi, MK juga menegaskan apabila terdapat cabang produksi, misalminyak dan gas bumi, yang semula dianggap penting dan/atau menguasai hajathidup orang banyak, kemudian berubah statusnya menjadi cabang produksiyang tidak penting dan tidak lagi mengusai hajat hidup orang banyak, makapengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasannya kepada pasar. Berikut selengkapnya pendapat Mahkamah. “...jikalau cabang produksi minyak dan gas bumi, yang adalah juga kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, oleh Pemerintah dan DPR dinilai telah tidak lagi penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka dapat saja cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi itu diserahkan pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasannya kepada pasar...” Sementara itu, ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memuat tiga hal penting, yaitu : (i) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya; (ii) Dikuasai oleh negara; (iii) dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat. Pengertian “bumi, air, dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” harus ditafsirkan lebih luas, yaitu meliputi tanah,daratan, laut, dasar laut, dan tanah dibawahnya, termasuk di dalamnya menyangkut kekayaan di wilayah udara.26 Adapun makna dikuasai negara, dalam beberapa putusannya MK telah menafsirkan dan memberikan makna terhadap frasa “dikuasai negara”. Ada tiga belas Putusan MK yang menggunakan Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945 sebagai batu uji, yaitu: 1) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikkan; 2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; 3) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU- II/2004 dan 008/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; 4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; 5) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 tentang PeraturanPemerintah No. 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya; 6) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; 7) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; 8) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; 9) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; 10) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; 11) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; 12) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi; 13) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 113/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dari tigas belas Putusan Mahkamah Konstitusi di atas, hanya ada enam putusan yang di dalamnya memuat makna “hak menguasai oleh negara”, yaitu : 1) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikkan. 2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 3) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU- II/2004 dan 008/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. 4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/PUU- V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 5) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 6) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Makna frasa “dikuasai negara” pertama kali ditafsirkan MK dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Dalam putusan-putusan selanjutnya konsep makna frasa “dikuasai negara” dijadikan argumentasi hukum oleh MK dalam memutus perkara-perkara yang erat kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam. Artinya putusan tersebut telah menjadi yurisprudensi karena diikuti oleh para hakim konstitusi dalam memutus perkara serupa. Pengertian dikuasai oleh negara tidak mungkin direduksi menjadi hanya kewenangan negara untuk mengatur perekonomian. Oleh karena itu pandangan yang mengartikan penguasaan oleh negara identik dengan pemilikan dalam konsepsi perdata maupun pandangan yang menafsirkan pengertian penguasaan oleh negara itu hanya sebatas kewenangan pengaturan oleh negara, keduanya ditolak oleh MK. Dalam putusan ini, MK memaknai bahwa penguasaan negara dalam arti luas berasal dari kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan bumi, air ,dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikontruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudendaad) untuk tujuan sebesar besar kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama pemerintah, dan regulasi oleh pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan (behersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau BUMN sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. pemerintah mendayagunaan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam Putusan Nomor 36/PUU-X/2012, MK kembali menegaskan bahwafrasa “dikuasai negara” tidak dapat dipisahkan dari frasa “sebesar- besar bagi kemakmuran rakyat”. Apabila kedua frasa ini tidak dikaitkan secara langsung dan satu kesatuan, maka dapat menimbulkan makna konstitusional yang kurang tepat. Boleh jadi negara menguasai sumber daya alam secara penuh tetapi tidak digunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Oleh karenanya frasa “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” digunakan untuk mengukur konstitusionalitas penguasaan negara. Selanjutnya kelima peranan negara/pemerintah dalam pengertian penguasaan negara jika tidak dimaknai sebagai satu kesatuan tindakan, harus dimaknai secara bertingkat berdasarkan efektivitasnya untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, sehingga tata urutan peringkat penguasaannegara adalah sebagai berikut. 1) Negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. 2) Negara membuat kebijakan dan pengurusan, 3) Fungsi pengaturan dan pengawasan. Meskipun peringkat penguasaan di atas adalah dalam hal pengelolaan sumber daya alam, terutama minyak dan gas. Akan tetapi dalam konteks pengelolaan sumber daya air pun dapat digunakan peringkat yang serupa dan perlakuan yang sama dengan pengelolaan sumber daya alam. Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, peringkat pertama adalah pengelolaan secara langsung terhadap sumber daya alam oleh negara sehingga pengelolaan secara langsung oleh negara akan menjamin sebesar-besar kemakmuran rakyat. Peringkat penguasaan kedua, negara membuat kebijakan dan pengurusan. Kebijakan dan pengurusan yang dibuat mestilah berorientasi sebesar-besar kemakmuran rakyat, sehingga kebijakan yang dibuat adalah untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) kebutuhan dan hak asasi masyarakat terhadap sumber daya alam. Peringkat penguasaan yang ketiga adalah pengaturan dan pengawasan. Sepanjang negara memiliki kemampuan baik modal, teknologi, dan manajemen dalam mengelola sumber daya alam maka negara harus memilih untuk melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Selain itu, dalam Putusan Nomor 002/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), MK juga menegaskan bahwa Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasan negara, c.q. Pemerintah untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak ide kompetisi diantara para pelaku usaha, asalkan kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berikut selengkapanya pendapat Mahkamah. “...untuk menjamin prinsip efisiensi yang berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional”, maka penguasaan dalam arti kepemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif, dalam arti tidak mutlak harus 100 persen, asalkan penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan atas penentuan kebijakan badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan Negara, c.q. Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, asalkan kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Di sisi lain, dalam konteks pengelolaan sumber daya air, MK melalui Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 telah merumuskan politik hukum pengelolaan sumber daya air sebagai berikut: 1) Pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air karena bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya selain harus dikuasai oleh negara, juga peruntukannya adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; 2) Negara harus memenuhi hak rakyat atas air. Sebagaimana dipertimbangkan di atas, akses terhadap air adalah salah satu hak asasi tersendiri maka Pasal 28I ayat (4) menentukan, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” 3) Harus mengingat kelestarian lingkungan hidup, sebab sebagai salah satu hak asasi manusia, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menentukan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” 4) Sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai oleh negara [vide Pasal 33 ayat (2) UUD 1945] dan air yang menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat maka pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak; 5) Sebagai kelanjutan hak menguasai oleh negara dan karena air merupakan sesuatu yang sangat menguasai hajat hidup orang banyak maka prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); 6) Apabila setelah semua pembatasan tersebut di atas sudah terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air, Pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat; Keenam prinsip pengelolaan SDA mengindikasikan bahwa pengelolaan SDA bersifat mutlak diselenggarakan oleh negara, sedangkan swasta hanya mendapatkan peran sisa (residu) manakala pengusahaan atas air yang dilakukan oleh BUMN/BUMD sebagai perusahaan prioritas yang diberi amanat untuk melakukan pengusahaan atas air oleh negara, tidak dapat melakukan fungsinya tersebut. Bahkan kedaulatan negara terhadap kekayaan alamnya terdapat dalam beberapa dokumen internasional seperti di dalam Resolusi Majelis Umum PBB No.626 (VII) tanggal 21 Desember 1952. Pasal ini antara lain menyatakan, “The right of peoples freely use and exploit their natural wealth and resources in accordance with the United Nation Charter”. Menurut prinsip ini adalah hak setiap negara untuk memanfaatkan secara bebas kekayaan alamnya. Tujuan utama dari resolusi ini adalah untuk mendorong negara-negara terbelakang untuk benar-benar memanfaatkan sumber kekayaan alam negerinya dan mencegah negara lain memanfaatkannya untuk kepentingan sendiri. 1.4 Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah A. Konsep Hak Kepemilikan atas Tanah dan Pengaturanya Dalam konsep hukum, hubungan antara orang dengan benda merupakan hubungan yang disebut hak. Artinya hak kepemilikan atas suatu benda, disebut hak milik atas benda itu. Dalam hubungannya dengan hak milik atas tanah, maka ada satu proses yang harus dilalui yaitu proses penguasaan, dimana hak menguasai itu harus didahului dengan tindakan pendudukan atau menduduki untuk memperoleh penguasaan itu, dan dengan batas waktu tertentu akan menjadi hak milik. Pengaturan hak milik atas tanah dapat didasarkan pada pasal 28 huruf h ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun, selanjutnya dalam pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk melaksanakan prinsip-prinsip dasar tersebut dalam hubunganya dengan tanah ditetapkan hukum agraria nasional dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 dalam pasal 2 dalam wujud hak menguasai dari negara atas tanah yang memberi wewenang kepada negara untuk: (1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; (2) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; (3) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan- perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut di gunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat di dalam negara hukum indonesia yang merdeka, bersatu dan berdaulat. Dalam hubungannya dengan hal di atas, penjelasan umum II angka 2 undang-undang pokok agraria menyatakan: “dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik....” sebagai peraturan dasar, UUPA mengatur pokok-pokok penguasaan, pemilikan penggunaan dan pemanfaatan tanah yang pelaksanaanya lebih lanjut diatur dengan peraturan perundang-undangan. Hak milik atas tanah diatur dalam pasal 20 UUPA yang menentukan bahwa hak milik atas tanah merupakan hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat di punyai orang atas tanah dan mempunyai fungsi sosial. Oleh karena itu, hak milik atas tanah yang berasal dari hak menguasai dari negara adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Hak milik atas tanah mempunyai sifat-sifat khusus sebagai berikut: (1) dapat beralih karena pewarisan, karena sifat turun-temurun. (2) penggunaanya tidak terbatas dan tidak di batasi sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, (3) dapat di berikan sesuatu hak atas tanah lainnya di atas hak milik oleh pemiliknya kepada pihak lain. Konsep hak milik menurut undang-undang pokok agraria tersebut dapat disimak dari penjelasan pasal 20 UUPA, sebagai berikut: Dalam pasal ini disebutkan sifat-sifat daripada hak milik yang membedekan dengan hak-hak lainnya. Hak milik adalah hak yang ‘terkuat dan terpenuhi’ yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti, bahwa hak itu merupakan hak yang ‘mutlak’, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat’ sebagai hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu. Sifat yang demikian itu akann terang bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Kata-kata ‘terkuat dan terpenuhi’ itu bermaksud untuk membedakan dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain-lainya, yaitu untuk menunujukan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak miliklah yang ‘ter’ (artinya; paling)-kuat dan terpenuhi. Lebih lanjut ditetapkan, bahwa terjadinya hak milik atas tanah menurut hukum adat diatur dengan peraturan pemerintah, yang cara dan syarat-syaratnya diatur dengan peraturan pemerintah menurut ketentuan undang-undang namun demikian, undang-undang dan peraturan pemerintah dimaksud sampai saat ini be,um ditetapkan. Dalam ketentuan peralihan pasal 56 UUPA dinyatakan, bahwa selam undang-undang tentang hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat (1) UUPA belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana dimaksutkan dalam pasal 20 ayat (1) UUPA, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang- undang pokok agraria (UUPA). Terkait dengan hal ini, salah satu bentuk peraturan yang ditertibkan oleh pemerintah dalam keputusan menteri negara agraria/ kepala badan pertanahan nasional nomor 6 tahun 1998 tentang pemberian hak milik atas tanah untuk rumah tinggal, yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 juni 1998. Dalam pertimbangannya dinyatakan, bahwa keputusan menteri negara agraria/kepala badan pertanahan nasional nomor 6 tahun 1998 tersebut diterbitkan dengan mempertimbangkan, bahwa rumah tinggal merupakan kebutuhan primer manusia sesudah pangan, dan karena itu untuk menjamin pemilikan rumah tinggal bagi warga negara indonesia perlu menjamin kelangsungan hak atas tanah tempat tinggal tersebut berdiri. Atas dasar hal in, dirasa perlu meningkatkan pemberian hak milik atas tanah untuk rumah tinggal yang masih dipunyai oleh perseorangan warganegara indonesia dengan hak guna bangunan atau hak pakai. B. Sistem Pendaftaran Tanah Sistem pendaftaran tanah yang dipakai di suatu negara tergantung pada asas hukum yang dianut negara tersebut dalam mengalihkan hak atas tanahnya. Terdapat dua macam asas hukum, yaitu asas itikad baik dan asas nemo plus yuris. Mesipun suatu negara menganut salah satu asas hukum/ sistem pendaftaran tanah, tetapi yang secara murni berpegang pada salah satu asas hukum/sistem pendaftaran tanah, tetapi yang secara murni berpegang pada salah satu asas hukum/ sistem pendaftaran tanah tersebut boleh dikatakan tidak ada. Hal ini karena Kedua asas hukum/sistem pendaftaran tanah tersebut sama-sama mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga setiap negara mencari jalam keluar sendiri-sendiri. Asas itikad baik berbunyi: orang yang memperoleh sesuatu hak dengan itiad baik, akan tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum. Asas ini bertujan unutk melindungi orang yang beritikad baik. Kesulitanya adalah bagaimana caranya untuk mengetahui seseorang beritikad baik, pemecahanya adalah hanya orang yang beritikad baik yang bersedia memperoleh hak dari orang yang terdaftar haknya. Guna melindungi orang yang beritikad baik inilah maka perlu daftar umum yang mempunyai kekatan bukti. Sistem pendaftaran tanah ini disebut sistem positif. Lain halnya dengan asas nemo plus yuris yang berbunyi: orang tak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya. Ini berarti bahwa pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak adlah batal. Asas ini bertujuan melindungi pemegang hak yang sebenarnya. Berdasarkan asas ini, pemegang hak yang sebenarnya akan selalu dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapa pun. Oleh karena itu, daftar umumnya tidak mempunyai kekuatan bukti, sistem pendaftaran tanahnya disebut sistem negatif. Dalam sistem positif, dimana daftar umumnya, mempunyai kekuatan bukti, maka orang yang terdaftar adalah pemegang hak yang sah menurut huum. Kelebihan yang ada pada sistem positif ini adalah adanya kepastin dari pemegang hak, oleh karena itu ada dorongan bagi setiap orang untuk mendaftarkan haknya. Kekurangannya adalah pendaftaran yang dilakukan tidak lancar dan dapat saja terjadi bahwa pendaftaran atas nama orang yang tidak berhak dapat menghapuskan hak orang lain yang berhak. Lain halnya dengan sistem negatif, daftar umumnya tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga terdaftarnya seseorang dalam daftar umum tidak merupakan buti bahwa orangtersebut yang berhak atas hak yang telah didaftarkan. Jadi, orang yang terdaftarkan tersebut akan menanggung akibatnya bila hak yang dipeolehnya berasal dari orang yang tidak berhak, sehingga orang lalu enggan untuk mendaftarkan haknya. Inilah kekurangan dari sistem negatif. Adapun kelebihannya, pendaftaran yang dilakukan lancar/cepat dan pemegang hak yang sebenarnya tidak dirugikan sekalipun orang yang terdaftar bukan orang yang berhak. Dalam pendaftaran di negara Australia yang menganut sistem torrens yang juga di anut di indonesia dapat dinyatakan sebagai berikut: (a) Security of title, kebenaran dan kepastian dari hak tersebut terlihat dari rangkaian peralihan haknya dan memberikan jaminan bagi yang memperolehnya terhadap gugatan lain. (b) Peniadaan dari keterlamabatan dan pembiayaan yang berkelebihan. Dengan adanya pendaftaran tersebut tidak perlu selalu harus diulangi dari awal setiap adanya peralihan hak. (c) Penyederhanaan atas alas hak dan yang berkaitan. Dengan demikian peralihan hakitu disederhanakan dan segala proses akan dapat dipermudah. (d) Ketelitian. Dengan adanya pendaftaran maka ketelitian sudah tidak digunakan lagi. Ada beberapa keuntungan dari sistem torrens, antara lain sebagai berikut: (1) Menetapkan biaya-biaya yang tak diduga sebelumnya; (2) Menidakan pemeriksaan yang berulang-ulang; (3) Meniadakan kebanyakan rekaman data pertanahan; (4) Secara tegas menyatakan dasar hukumnya; (5) Melindungi terhadap kesulitan-kesulitan yang tidak tercantum/tersebut dalam sertifikat; (6) Meniadakan pemalsuan; (7) Tetap memelihara sistem tersebut, karena pemeliharaan sistem tersebut dibebankan kepada mereka yang memperoleh manfaat dari sistem tersebut; (8) Meniadakan alas hak pajak; (9) Dijamin oleh negara tanpa batas.4 Sistem pendaftaran yang digunakan adalah sistem pendaftaran hak (regristration of titles), sebagaimana digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, bukan sistem pendaftaran akta. Hal tersebut tampak dengan adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertifiat sebagai surat tanda bukti ha yang didaftar. Hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf dan hak milik atas satuan rumah susun didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah, yang membuat data fisik dan data yuridis bidang tanah yang bersangkutan dan sepanjang ada surat ukurnya, dicatat pula pada surat ukur tersebut. Pembukuan dalam buku tanah serta pencatatanya pada surat ukur tersebut merupakan bukti bahwa hak yang bersangkutan serta pemegang haknya dan bidang tanahn ya yang diuraikan dalam surat ukur secara hukum telah didaftar menurut Peratutan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 ini. Demikian dinyatakan dalam pasal 29. Menurut Pasal 31, untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan diterbitkan sertifikat sesuai dengan data fisik yang ada dalam surat ukur dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah. C. Fungsi dan Peranan Pendaftaran Tanah dalam Memberikan Kepastian Hukum Di dalam penjelasan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran tanah dinyatakan bahwa pembukuan suatu hak di dalam daftar buku tanah atas nama seseorang tidak mengakibatkan bahwa orang yang seharusnya berhak atas tanah itu akan kehilangan haknya. Orang tersebut masih dapat menggugat hak dari yang terdaftar dalam buku tanah sebagai orang yang berhak. Jadi cara pendaftaran hak yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini tidaklah positif, tetapi negatif. Demikian penjelasan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961. Pengertian sistem pendaftaran tanah yang positif mencakup ketentuan bahwa apa yang sudah terdaftar itu dijamin kebenaran data yang didaftarkannya dan untuk keperluan itu pemerintah meneliti kebenaran dan sahnya tiap warkah yang diajukan untuk didaftarkan sebelum hal itu dimasukan dalam daftar-daftar. Dalam sistem positif, negara menjamin kebenaran data yang disajikan. Sistem positif mengandung ketentuan-ketentuan yang merupakan perwujudan ungkapan “title by regristration” (dengan pendaftaran diciptakan hak), pendaftaran menciptaan suatu “indefeasible title” (hak yang tidak dapat diganggu gugat), dan “the regrister is everything” (untuk memastikan adanya suatu hak dan pemegang haknya cukup dilihat buku tanahnya). Sekali didaftar pihak yang dapat membutikan bahwa dialah pemegang hak yang sebenarnya kehilangan haknya untuk menuntut kembali tanah yang bersangkutan. Jika pendaftaran terjadi karena kesalahan pejabat pendaftaran, ia hanya dapat menuntut pemberian ganti kerugian (compensation) berupa uang. Untuk itu negara menyediakan apa yang disebut suatu “assurance fund”. Ketentuan-ketentuan yang merupakan perwujudan ungkapan- ungkapan demikian tidak terdapat dalam UUPA. Dalam sistem publikasi negatif, juga dalam sistem negatif kita yang mengandung unsur positif, negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Penggunaanya adalah atas resiko pihak yang menggunakan sendiri. Di dalam asas nemo plus yuris, perlindungan diberikan kepada pemegang hak yang sebenarnya, maka dengan asas ini, selalu terbuka kemungkinan adanya gugatan kepada pemilik terdaftar dari orang yang merasa sebagai pemili sebenarnya. Terlepas dari kemungkinan kalah atau menangnya tergugat yaitu pemegang hak terdaftar, maka hal ini berarti bahwa daftar unum yang diselenggarakan di suatu negara dengan prinsip pemilik terdaftar tidak dilindungi hukum, tidak mempunyai kekuatan bukti. Ini berarti bahwa terdaftarnya seseorang di dalam daftar umum sebagai pemegang hak belum membuktikan orang itu sebagai pemegang hak yang sah menurut hukum. Jadi pemerintah tidak menjamin kebenaran dari isi daftar-daftar umum yang diadakan dalam pendaftaran hak dan tidak pula dinyatakan di dalam undang-undang. Sebagaimana bisa dilihat dalam Undang-Undang Pokok Agraria (Pasal 23, 32, dan 38) yang isinya menyatakan pula bahwa peralihan hak-hak (hak milik HGU dan HGH) harus didaftar dan pendaftarannya dimaksud merupakan alat pembuktian yang uat mengenai sahnya peralihan hak tersebut. Kuat tidak berarti mutlak, namun lebih dari yang lemah sehingga pendaftaran berarti labih menguatkan pembuktian pemilikan, akan tetapi tidak mutlak yang berarti pemilik terdaftar tidak dilindungi hukum dan bisa digugat sebagaimana dimaksud di dalam penjelasan Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961. Pemerintah menganut sistem negatif yang berarti pemilik terdaftar tidak dilindungi sebagai pemegang yang sah menurut hukum. Dengan demikian, pendaftaran berarti pendaftaran hak yang tidak mutlak, sehingga hal ini berarti mendaftarkan peristiwa hukumnya yaitu peralihan haknya, dengan cara mendaftarkan akta atau deed yang dalam bahasa Inggis disebut dengan regristration of deeds. Sebaliknya, apabila ada perlindungan hukum bagi pemegang hak terdaftar yaitu tidak bisa diganggu gugat, maka pemegang hak yang terdaftar adalah pemegang hak yang sah menurut hukum sehingga pendaftaran berarti mendaftarkan status seseorang sebagai pemegang hak atas tanah (regristration of title). Dalam sistem pendaftaran tanah yang negatif, yang memungkinkan pemegang hak terdaftar dapat diganggu gugat, maka alat pembuktian yang utama didalam persidangan di pengadilan ialah akta peraturan pemerintah dan sertifikat. Sertifikat merupakan hasil akhir dari suatu proses penyelidikan riwayat penguasa tanah yang hasilnya akan merupakan alas hak pada pendaftar pertama dan proses proses peralihan hak selanjutnya. Penyelidikan riwayat tanah dilakukan dengan menyelediki surat-surat bukti hak, yang umumnya berupa akta-akta di bawah tangan (segel-segel) yang di buat pada masa lampau atau surat- surat keputusan pemberian hak, balik nama (catatan pemberian hak), didasarkan pula pada akta-akta peraturan pemerintah. Dengan demikian, akta-akta peralihan hak masa lampau dan yang sekarang, memegang peranan penting dalam menentukan kadar kepastian hukum suatu hak atas tanah. Sebelum UUPA berlaku, untuk menentukan kadar kepastian hukum sesuatu hak, digunakan suatu upaya ketentuan mengenai “kadaluarsa” sebagai upaya untuk memperoleh hak eigendom atas tanah (acquisitieve verjaring), yang terdapat dalam pasal 1955 dan 1963 KUH Perdata Buku IV . kadaluarsa sebagai upaya memperoleh hak eigendom atas suatu benda diatur dalam pasal 610,1955 dan 1963 KUH Perdata. Dalam pasal 610 ditetapkan bahwa seorang bezitter dapat memperoleh hak eigendom atas suatu benda karena verjaring. Adapun pasal 1955 dan 1963 memuat syarat-syaratnya, yaitu penguasaannya harus terus-menerus, tak terputus tak terganggu, dapat diketahui umum, secara tegas bertindak sebagai eigenaar, dan harus dengan iktikad baik. Jika berdasarkan dengan suatu alas hak (titel) yang sah harus berlangsung 20 tahun, perlu menunjukan alas hak. Dengan demikian, pada hakikatnya pasal 1955 dan 1963 merupakan pelaksanaan dari pasal 610 KUH Perdata, yang terletak dalam Buku II.6 Kita telah mengetahui bahwa pasal-pasal agraria di dalam Buku II telah dicabut oleh UUPA dalam pada itu pasal 610 tidak khusus mengatur soal agraria. Oleh karena itu, pasal itu masih tetap berlaku, tetapi tidak penuh, dalam arti bahwa ketentuan-ketentuannya tidak berlaku lagi sepanjang mengenai agraria, (tanah dan lain-lainnya ). Tetapi masih berlaku sepanjang menghenai benda-benda lainnya yang bukan agraria. Oleh karena pasal 1955 dan 1963 merupakan pelaksanaan dari pasal 610 maka sungguhpun letaknya tidak didalam Buku II KUH Perdata. Tetapi dalam Buku IV , harus dianggap pula sebagai tidak berlaku lagi mengenai tanah dan lain-lain objek agraria, bagi penguasaan tanah baru dan penguasaan tanah yang pada mulai berlakunnya UUPA sebelum berlangsungnya 20 atau 30 tahun. Bagi pengausa yang pada mulai berlakunya UUPA sudah memenuhi persyaratan acquisitieve verjaring. Pasal-pasal tersebut dengan sendirinya tetap berlaku. Meskipun penguasaannya baru dimintakan kemudian. Ini berarti bahwa pada tanggal 24 september 1960 ia sudah memperoleh hak yang bersangkutan karena verjaring. Hukum adat tidak mengenal lembaga acquisitieve verjaring, yang dikenal dalam hukum adat adalah lembaga rechtsverwerking yaitu lampaunya waktu sebagai sebab kehilangan hak atas tanah, kalau tanah yang bersangkutan selama waktu yang lama tidak diusahakan oleh pemegang haknya dan dikuasai pihak lain melalui perolehan hak dengan iktikad baik. Dalam pasal 32 peraturan pemerintah No. 24 Tahun 1997 dan penjelasan-penjelasannya dikatakan bahwa pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan sistem publikasi positif. Yang kebenaran data yang disajikan dijamin oleh negara, melainkan menggunakan sistem publikasi negatif. Di dalam sistem publikasi negatif, negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan, walaupaun, tidaklah dimaksudkan untuk menggunakan sistem publikasi negatif secara murni. Hal tersebut nampak dari pernyataan dalam pasal 19 ayat (2) huruf C UUPA , bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat dan dalam pasal 23,32, dan 38 UUPA bahwa pendaftaran berbagai peristiwa hukum merupakan alat pembuktian yang kuat. Selain itu dari ketentuan-ketentuan mengenai prosedur pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, dan penyajian data fisik dan data yuridis serta penerbitan sertifikat dalam peraturan pemerintah ini, tampak jelas usaha untuk sejauh mungkin memperoleh dan penyajian data yang benar, karena pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum. Sehubungan dengan itu, diadakanlah ketentuan dalam ayat (2) ini. Ketentuan ini bertujuan, pada suatu pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada lain pihak untuk secara seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak yang dengan iktikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagi pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertifikat sebagi tanda buktinya, yang menurut UUPA berlaku sebagi alat pembuktian yang kuat. D. Fungsi dan Peranan Pendaftaran Tanah dalam Memberikan Perlindungan Hukum bagi Pemegang Sertifikat Hak Tanah Pendaftaran tanah menurut peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997 menggunakan sistem publikasi negatif. Dalam sistem ini negara hanya pasif menerima apa yang dinyatakan oleh pihak yang meminya pendaftaran. Oleh karena itu, sewaktu-sewaktu dapat digunakan oleh orang yang merasa lebih berhak atas tanah itu. Pihak yang memperoleh tanah itu dengan iktikad baik. Hal ini berarti, dalam sistem publikasi negatif keterangan-keterangan yang tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian yang membuktikan sebaliknya. Selain di Indonesia sistem negatif juga berlaku di negara Belanda, Perancis, dan Filipina.7 Secara umum, sistem pendaftaran tanah yang negatif mempunyai karakteristik yakni, sebagai berikut: (1) Pemindahan sesuatu hak mempunyai kekuatan hukum, akta pemindahan hak harus dibukukan dalam daftar-daftar umum. (2) Hal hal yang tidak diumumkan tidak diakui. (3) Dengan publikasi tidak berarti bahwa hak itu sudah beralih, dan menjadi yang mendaptkan hak sesuai akta belum berarti telah menjadi pemilik yang sebenarnya. (4) Tidak seorang pun dapat mengalihkan sesuatu hak lebih dari yang dimiliki, sehingga seseorang yang bukan pemilik tidak dapat menjadikan orang lain karena perbuatannya menjadi pemilik. (5) Pemegang hak tidak kehilangan hak tanpa perbuatanya sendiri. (6) Pendaftaran hak atas tanah tidak merupakan jaminan pada nama yang terdaftar dalam buku tanah. Dengan kata lain, buku tanah bisa saja berubah sepanjang dapat membuktikan bahwa dialah pemilik tanah yang sesungguhnya melalui putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kebaikan dari sistem negatif adalah: (1) adanya perlindungan pada pemegang hak yang sebenarnya; (2) adanya penyelidikan riwayat tanah sebelum sertifikatnya diterbitkan. Dalam sistem pendaftaran negatif, pejabat pendaftaran tanah tidak ada keharusan untuk memeriksa atas nama siapa pendaftaran tanah tidak ada keharusan untuk memeriksa atas nama siapa pendaftaran haknya. Pejabat pendaftaran tanah mendaftarkan hak-hak dalam daftar-daftar umum atas nama pemohonnya, sehingga pekerjaan pendaftaran peralihan hak dalam sistem negatif dapat dilakukan secara cepat dan lancar, sebagai akibat tidak diadakannya pemeriksaan oleh pejabat pendaftaran tanah. Adapun kelemahan dari sisi daftar-daftar umum yang disediakan dalam rangka pendaftaran tanah. Orang yang akan membeli sesuatu hak atas tanah dari orang yang terdaftar dalam daftar-daftar umum sebagai pemegang hak harus menangkal sendiri resikonya jika yang terdaftar itu ternyata bukan pemegang hak yang sebenarnya. Jadi, ciri pokok sistem negatif adalah bahwa pendaftaran tidak menjamin bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak dapat dibantah walaupun ia beritikad baik. Haknya tidak dapat dibantah jika nama yang terdaftar adalah pemilik yang berhak (de eigenlijke eigenaar). Hak dari nama yang terdaftar ditentukan oleh hak dan pembeli hak-hak sebelumnya, perolehan hak tersebut merupakan satu mata rantai (Zaman, t.t: 44). Sistem negatif yang bercermin dalam pasal 19 UUPA, menurut Boedi Harsono mengandung kelemahan, disebabkan adanya kekeliruan ketika merencanakan pasal 23 ayat (2) UUPA. Sejarahnya adalah dalam rancangan UUPA yang di ajukan oleh Menteri Agraria Soenario dimuat dalam pasal 19 dikatan bahwa: Hak milik serta peralihannya didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam ayat (1) pendaftaran merupakan syarat mutlak untuk memperoleh hak milik dan sahnya peralihan hak tersebut. Panitia menteri yang ditugaskan kabinet untuk menyempurnakan rancangan itu, mengubah isi pasal di atas menjadi apa yang sekarang merupakan pasal 23 UUPA. Alasannya, ialah rancangan pasal 19 UUPA itu menimbilkan kesan seakan-akan pendaftaran tanah menganut “sistem positif”. Kesan ini keliru, sebab jika yang dipergunakan sistem positif, maka perumusannya bukan “pendaftaran syarat mutlak” tetapi “pendaftaran merupakan alat pembuktian mutlak”. Menurut Mariam Darus Badrulzaman jikalau kita mengetahui bahwa pasal itu terjadi karena kekliruan, adalah salah untuk tetap mempertahankan kekeliruan itu dan menutup mata terhadap kebenaran. Ketentuan UUPA dan peraturan pelaksanaannya dalam konteksnya dengan pasal-pasal lain dalam UUPA dan sesuai dengan “cita” UUPA. Berdasarkan uraian tersebut, maka sistem pemindahan hak di dalam UUPA, saat lahirnya hak pemilik adalah saat pendaftaran dilakukan. Pasal 23 ayat (2) UUPA tidak hanya ditafsirkan sebagai alat bukti yang kuat, akan tetapi juga sebagai syarat mutlak lahirnya hak. Penafsiran ini sesuai dengan kata-kata dari maksut pasal 23 UUPA dan juga sistematika UUPA. Saat lahirnya hak milik baik bagi pihak-pihak maupun pada pihak Ketiga tidak diletakkan pada momentum-momentum yang beraliran akan tetapi pada suatu momen, yaitu pendaftaran. Stesel negatif memang telah memunculkan dampak terhadap kepastian hukum itu sendiri. Pemegang hak atas tanah yang dapat membuktikan bukti-bukti yang sah akan dilindungi oleh hukum yang berlaku. Jangkauan kekuatan pembuktian sertifikat, yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat oleh UUPA diberikan dengan dengan syarat selama belum dibuktikan yang sebaiknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan, dan orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersangkutan atas nama orang atau badan hukum lain, jika selama 5 (lima) tahun sejak dikeluarkan sertifikat itu orang yang merasa memiliki tanah tidak mengajukan gugatan pada pengadilan, sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau hukum lain tersebut dengan iktikad baik dan secara fisik nyata dikuasai olehnya atau oleh orang lain atau oleh badan hukum yang mendapat persetujuannya. Asas itikad baik memberikan perlindungan kepada orang yang dengan iktikad baik memperoleh suatu hak dari orang yang disangka sebagai pemegang hak yang sah. Namun asas iktikad baik ini, menurut Hog Raad, merupakan doktrin yang merujuk kepada kerasionalan dan keputusan (redelijkheid en billijkheid), sehingga pembuktian iktikad baik atas pemilikan hak atas tanah lebih banyak melalui pengadilan. Asas iktikad baik dipaki untuk memberi kekuatan pembuktian bagi peta daftar umum yang ada di kantor pertanahan.8 Dalam asas hukum nemo plus yuris, seseorang tidak dapat melakukan tindakan hukum yang melampui hak yang dimilikinya, dan akibat dari pelanggaran tersebut batal demi hukum (vanrechtswegenietig), yang berkaibat perbuatan hukum tersebut dianggap tidak pernah ada dan karenannya tidak mempunyai akibat hukum dan apabila tindakan hukum tersebut menimbulkan kerugian, maka pihak yang dirugikan dapat meminta ganti rugi kepada pihak-pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut. Asas nemo plus yuris memberikan perlindungan hukum kepada pemegang hak yang sebenarnya terhadap tindakan pihak lain yang mengalihkan haknya tanpa sepengetahuannya. Oleh karena itu, asas nemo plus yuris selalu terbuka kemungkinan adanya gugatan kepada pemilik yang namanya tercantum dalam sertifikat dari orang yang merasa sebagai pemiliknya. Berdasarkan asas nemo plus yuris, maka penguasaan sesuatu hak atas tanah oleh oarang yang tidak berhak adalah batal. Dengan demikian pemegang hak yang sebenarnya selalu dapat menuntut kembali haknya yang telah dialihkan tanpa sepengetahuannya dari siapa pun hak itu berada. Hal ini sangat penting untuk memberi perlindungan kepada pemegang hak atas tanah yang sebenarnya. Umumnya asas ini berlaku dalam sistem pendaftaran yang negatif. Mengenai sistem pendaftaran tanah menurut UUPA, para ahli hukum mengemukakan dengan pandangan yang masing-masing berbeda. Menurut perlindungan, pendaftaran tanah yang dianut dalam UUPA disamping menganut sistem Torrens juga sistem negatif. Adapun menurut Maria Sumardjono, sistem pendaftaran tanah yang dianut di Indonesia adalah sistem Torrrens sekalipun secara tidak langsung. Menurut Maria, sistem pendaftaran tanah yang dianut sekarang adalah sistem buku tanah, dimana yang dibukukan adalah hak-haknya (regristration of tittle). Istilah regristation of tittle adalah kata lain untuk torrens system. Demikian juga menurut Boedi Harsono, sesungguhnya pendaftaran tanah di negara kita menurut Pasal 19 ayat (1) UUPA bertujuan untuk menjamin kepastian hukum tetapi bukan maksudnya akan menggunakan apa yang disebut sistem positif. Ketentuan tersebut tidak memerintahkannya digunakannnya sistem positif, karena sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat dan bukan alat bukti yang mutlak. Hal ini ditegaskan dalam penjelasan PP No. 24 Tahun 1997 bahwa pihak lain yang merasa memiliki tanah dapat menuntut orang yang namanya tercantum dalam sertifikat dalam waktu 5 tahun sejak dikeluarkannya sertifikat itu. Jadi, pendaftaran hak yang diatur dalam peraturan pemerintah ini tidaklah mutlak, karena orang yang terdaftar dalam buku tanah tidak mengakibatkan orang yang sebenarnya berhak atas tanah akan kehilangan haknya. Orang tersebut masih dapat menggugat orang yang tidak berhak. Pandangan Boedi Harsono yang menunjukan muntoha (orang yang merencanakan PP No. 10 Tahun 1961), mengatakan bahwa sistem yang dipergunakan dalam UUPA bukanlah sistem negatif yang murni melainkan sistem negatif yang bertendensi positif. Pengertian negatif disini adalah bahwa keterangan-keterangan yang ada itu jika ternyata tidak benar masih dapat diubah dan dibetulkan. Pendapat Muntoha dan Boedi Harsono kurang disetujui oleh Mariam Darus Badrulzaman. Di dalam disertasinya Mariam melihat bahgwa stesel pendaftaran menurut PP No. 10 Tahun 1961 lebih tepat dinamakan stesel canpuran antara stesel negatif dan stesel positif. Pendaftaran tanah memberikan pwerlindungan kepada pemilik yang berhak (stesel negatif) dan menyempurnakannya dengan mempergunakan unsur stesel positif.di sisi lain pendpat Muntoha juga dijadikan rujukan oleh Ali Achmad Chomzah. Menurutnya sistem pendaftaran tanah di Indonesia juga disebut Quasi Positif (positif yang semu). Adapun ciri-ciri sistem quasi positif adalah sebagai berikut: (1) Nama yang tercantum dalam daftar buku tanah adalah pemilik tanah yang benar dan dilindungi oleh hukum. Sertifikat adalah tanda bukti hak yang terkuat, bukannya mutlak. (2) Setiap peristiwa balik nama, melalui prosedur dan penelitian yang seksama dan memenuhi syarat-syarat keterbukaan (openbaar beginsel). (3) Setiap persil batas diukur dan digambar dengan peta pendaftaran tanah, dengan melihat kembali batas persil, apabila di kemudian hari terdapat sengketa. (4) Pemilik tanah yang tercantum dalam buku tanah dan sertifikat dapat dicabut melalui proses Putusan Pengadilan Negeri atau dibatalkan oleh kepala BPN, apabila terdapat cacat hukum. (5) Pemerintah tidak menyediakan dana untuk pembayaran ganti rugi kepada masyarakat, karena kesalahan admnistrasi pendaftaran tanah, melainkan masyarakat sendiri yang merasakan dirugikan melalui proses pengadilan negeri untuk memperoleh haknya. Demikian pula dengan penjelasan PP No. 24 Tahun 1997 ditegaskan bahwa dalam pendaftaran tanah, sistem publikasinya adalah sistem negatif, tetapi yang mengandung unsur-unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Stesel posotof dituangkan di dalam hal-hal berikut: (1) PPAT diberikan tugas untuk meneliti secara materiil dokumen- dokumen yang disrehkan dan berhak untuk menolak pembuatan akta. (2) Kantor pertanahan kabupaten/kotamadya berhak menolak melakukan pendaftaran jika pemilik tidak memiliki wewenang mengalihkan haknya. Campur tangan PPAT dan kantor pertanahan terhadap peralihan hak atas tanah memberikan jaminan bahwa nama orang yang terdaftar benar- benar yang berhak tanpa menututp kesempatan kepada yang berhak sebenarnya untuk masih dapat membelanya dalam UUPA arti pendaftaran tidak ditafsirkan dalam sistem positif akan tetapi harus dikaitkan dengan UUPA itu sendiri. Hal tersebut nampak dari pernyataan dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat dan dalam pasal 23, pasal 32, dan pasal 38 UUPA bahwa pendaftaran berbagai peristiwa hukum merupakan alat pembuktian yang kuat. Selain tiu, dari ketentuan-ketentuan mengenai prosedur pengumpulan, pengelolaan, penyimpanan, dan penyajian data fisik dan data yuridis serta penerbitan sertifikat dalam peraturan pemrintah ini, tampak jelas usaha untuk sejauh mungkin memperoleh dan penyajian data yang benar, karena pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian hukum. Sehubungan dengan itu diadakanlah ketentuan dalam ayat (2) ini. Ketentuan ini bertujuan, pada satu pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada pihak lain untuk secara seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak, yang dengan iktikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagi pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertifikat sebagai tanda buktinya, yang menurut UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Kelemahan sistem publikasi negatif adalah bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu mengahadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Umumnya kelemahan tersebut diatasi dengan menggunakan lembaga acquisitieve verjaring atau adverse possession. Hukum tanah kita yang memakai dasar hukum adat tidak dapat menggunakan lembaga tersebut, karena hukum adat tidak mengenalnya. Akan tetapi, dalam hukum adat terdapat lembaga yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah, yaitu lembaga rechtsverwerking. Dalam hukum adat, jika seseorang selam sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain, yang memperolehnya dengan iktikad baik, maka dia diamggap telah melepaskan haknya, sehingga hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah itu. Dengan pengertian demikian, maka apa yang ditentukan dalam ayat ini bukanlah menciptakan ketentuan hukum baru, melainkan merupakan penerapan ketentuan hukum yang sudah ada dalam hukum adat, yang dalam tata hukum sekarang ini merupakan bagian dari Hukum Tanah Nasional Indonesia dan sekaligus memberikanwujud konkret dalam penerapan ketentuan dalam UUPA mengenai penelantaran tanah. Apabila lembaga rechtsverwerking sudah dapat di pakai sebagai cara untuk menjadikan seseorang pemegang hak yang terdaftar, sebagai pemilik sah sebidang tanah yang dilindungi hukum, maka dengan serangkaian akta-akta peraturan pemerintah selanjutnya, yang mempunyai pembuktian formil maupun materiil yang sempurna atau kuat maka pemegang hak terakhir pun akan turut pula menjadi pemegang hak yang mempunyai kedudukan hukumyang lebih kuat lagi. 1.5 Rekonstruksi Hukum Agraria Guna Menunjang Otonomi Daerah Hubungan Tanah dengan Negara, Perseorangan dan Masyarakat Para ahli hukum yang berpedoman pada konstruksi Hukum Alam,percaya bahwa secara kodrat untuk kelangsungan hidupnya seseorang memerelukan kepemilikan atas sesuatu yang sangat kompeten dalam kehidupannya. Jika seseorang telah dipenuhi kepemilikannya, maka hidup akan tenang,tenteram dan damai dalam lingkungannya. Tanah menurut aliran hukum alam ini merupakan salah satu obyek yang selalumenimbulkan dua hal, yaitu kedamaian ataupun kekacauan / pertikaian,baik yang disebabkan oleh perseorangan, keluarga, mayarakat maupun negara. Dalam pandangan aliran hukum alam ini, negara juga bukan merupakan satu-satunya pemilik mutlak atas tanah, karena tanah merupakan milik manusia secara alami. Penempatan hak-hak manusia terhadap tanah yang sedemikian itu memperlihatkan kuatnya kedudukan manusia alami atas tanah, sehinggadapat mengecualikan pemilikan tanah oleh negara dengan menempatkan bahwa seolah-olah hak-hak individu manusia merupakan hak yang palingsuci dan tak tersentuh oleh kepentingan lingkungan masyarakatnya,bahkan negaranya. Permasalahannya adalah; Sejauhmana kedudukannegara atas tanah itu? Menurut pendapat aliran hukum alam, memang tidak terlihat denganjelas kedudukan negara dalam kepemilikan tanah, dalam arti bahwanegara tidak dapat meliliki tanah dalam pengertian Eigendom (Hak MilikMutak) yang berisi kekuasaan mutlak atas suatu tanah, namun negaradapat menguasai tanah tanpa harus dimiliki untuk kepentingan publik.Berlainan dengan paham hukum alam, Ulpianus dan Vegting, sebagaimana dikutip Ronald Z Titarelu, menyatakan bahwa negara berdasarkan hubungan khusus dapat memiliki tanah (Walaupun semuSufatnya) jika kepemilikan tanah tersebut ditujukan untuk kepentingan umum (Res Publica) yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dalam hal ini menurut Ronald Z Titarelu, hubungan hukum yang ditimbulkan antara negara dan masyarakat adalah bersifat saling menguntungkan dalam arti kedudukan negara sebagai penguasaan atas kepemilikan tanah yang dimiliki rakyat.Implementasinya adalah bahwa terhadap tanah tanah tersebut yang langsung dipergunakan oleh negara, secara langsung dapat menjadi milik negara (bukan penguasa atau pemerintah). Negara juga mempunyai kewenangan untuk mengatur terhadap tanah-tanah yang dipergunakan oleh masyarakat umum yang dipandang dapat memberikan manfaat lebih dibandingkan jika tanah tersebut hanya dimiliki oleh perseorangan atau masyarakat. Senada dengan pendapat tersebut, ialah pendapat yang mendasarkan teorinya pada Hukum Perjanjian Masyarakat (Contrac Social) yang diprakarsai oleh Jean Jacques Rousseau. Pendapat ini menyatakan bahwa milik perseorangan atas tanah diserahkan berdasarkan atas perjanjian masyarakat yang kemudian dijelmakan dalam kaidah hukum. Dalam kehidupan bernegara, seluruh kekayaan yang ada dalam wilayah suatu negara adalah menjadi milik publik yang dikuasai oleh kekuatan hukum nrgara. Hal ini berlaku pula pada setiap hubungan hukum dimana salah satunya adalah negara, sehingga negara mempunyai kewenangan hukum dalam hal menjaga kepemilikan negara. Dengan demikian pemilikan atas tanah oleh negara mengandung kategori sebagai berikut : 1) Negara tidak memiliki tanah, namun secara khusus negara mempunyai hubungan hukum dengan tanah khususnya yang berkaitan dengan kepentingan umum; 2) Negara sebagai satu-satunya pemilik tanah baik dalam arti sepenuhnya maupun dalam arti sebagai empunya; 3) Negara memiliki tanah di samping milik perseorangan; 4) Negara menjalankan kekuasaan atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat, seolah-olah tanah tersebut miliknya. Realita sesungguhnya yang terjadi adalah, bahwa negara memiliki kewenangan sepenuhnya atas tanah di wilayah negara tersebut seperti di negara-negara sosialis/komunis. Begitu pila dapat terjadi disamping milik perseorangan, negara juga bisa mempunyai kepemilikan atas tanah dalam bentuk Domein Privat (milik para raja) dan bahkan Domein Publik (untuk umum) baik dipergunakan untuk kepentingan penguasa (pemerintah) maupun kepentingan negara sendiri. Begitu juga sekarang banyak terjadi kepemilikan tanah yang bersifat administratif meskipun tanah-tanah tersebut merupakan domein kotapraja. Dengan demikian negara dapat bertindak atas tanah baik dalam bentuk pemilikan atau seperti milik (dikuasai secara administratif saja), hal ini terjadi karena: 1) Sifat tanah yang tidak dapat dimiliki oleh perseorangan ataumemang tanah tersebut tak berpemilik; 2) Fungsi atas tanah yang secara langsung berguna bagi masyarakat; 3) Tanah yang memiliki kemanfaatan untuk umum; 4) Tanah yang khusus dipergunakan sendiri oleh negara (Kantor Pemerintah). Keikutsertaan negara dalam upaya pelaksanaan otonomi daerah dalam bidang pertanahan dapat diberikan kepada daerah dimana dia sebagai kepanjangan tangan negara dalam campur tangan atas tanah tersebut sesuai dengan asas politik yang selaras dengan tugas pokok negara sebagai pengelola tanah dan bukan sebagai pemilik mutlak atas tanah. Demikian pula masyarakat umum atau perseorangan dapat memiliki tanah baik memurut kodratnya maupun atas perjuangannya untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut harus dilindungi dan dihargai oleh negara. Hubungan timbal balik ini sangat perlu dan penting sekali, karena masyarakat tidak dapat dibiarkan begitu saja memperoleh hak- haknya tanpa adanya batasan-batasan dari negara, begitu pula negara tidak dibenarkan memiliki tanah-tanah rakyat demgan seenaknya tanpa adanya kepentingan yang memadai untuk manfaat umum. Hubungan Tanah Dengan Negara, Masyarakat, dan Perseorangan Menurut Pembukaan UUD 1945. Landasan umum yang bersifat mendasar dalam materi Undan-Undang Dasar 1945, hasil amandemen adalah Pasal 33 ayat (3) yangpenjelasannya berbunyi :"Dalam pasal 33 ini tercantum dasar demokrasi ekonomi ,produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-angota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan ,bukan kemakmuran orang-orang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun yang sesuai dengan itu adalah koperasi. Perekonomian berdasarkan atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak tampuk produksi jatuh ketangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada ditangan orang-seorang. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Pasal tersebut menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar- besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kalimat tersebut bermakna jika dipahami keseluruhan maksud dan tujuannya. Pengertian "dan"bukan merupakan kehendak yang dituju. Atas dasar pemaknaan sedemikian itu, maka secara teoritik kepentingan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan dasar bagi dikuasainya tanah oleh negara. Persoalannya: Mengapa harus negara yang menguasai? Kemakmuran rakyat tidak akan tercapai jika satu sama lain tidak mempunyai kesaman persepsi tentang bagaimana hidup yang baik itu atau hidup yang makmur itu. Berkaitan dengan bahasan kita tentang tanah, maka hidup yang baik itu atau yang makmur itu memerlukan suatu pola keteraturan tentang tata cara memenuhi kehidupan secara layak dan baik. Agar pola keteraturan dapat terjelma, perlu adanya kecakapan atau kekuasaan untuk menjelmakan. Kekuasaan itu diberikan kepada Negara sebagai organisasi masyarakat tetinggi dalam suatu wilayah. Hal demikian sesuai dengan anggapan dan keyataan bahwa manusia itu hidup dalam dimensi-dimensi perseorangan, masyarakat dan negara, sehingga tanah tidak saja dimiliki (dipergunakan) oleh perseorangan atau masyarakat saja. Negara juga memiliki kekuasaan atas tanah. Malahan Negara juga mempunyai kewenangan untuk mengatur semua hubungan hukum atas tanah agar berbagai dimensi kebutuhan masyarakat secara perseorangan maupun kelompok terpenuhi. Manakah yang lebih diutamakan kemakmuran perseorangan, masyaarakat ataukah negara? Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 merumuskan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut Dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari rumusan tersebut memperoleh pandangan bahwa untuk mengatur kebutuhan masyarakat, negara tidak semata-mata sebagai organisasi kekuasaan yang bersumber pada kedaulatan rakyat. Kebutuhan rakyat untuk sejahtera juga diatur oleh hukum Tuhan, hukum yang memberikan kepada manusia karunia atas tanah. Namun demikian, Tuhan tidak serta merta memberikan haknya kepada manusia, sebab cara demikian akan menjerumuskan pada jurang kebodohan, ketidakpahaman tentang odrat illahi. Oleh karena itu Tuhan sekaligus juga membebani dengan kewajiban untuk menjaga dan memeliharanya. Dalam hubungan manusia, menempatkan tindakan manusia itu seimbang antara hak dan kewajibannya. Sikap demikian identik sebagaimana Tuhan memberikan manusia (untuk sebesar-besarnya) menikmati karunia-Nya sebagai hak dengan mengharuskan melaksanakan kewajiban dalam memenuhi karunia-Nya itu. Sehingga kemakmuran yang akan dicapai adalah kemakmuran manusiayang adil dan beradab yaitu yang menyadari dirinya dan orang lain sama-sama sebagai makhluk Tuhan. Menyadari dalam hubungan antar perilaku manusia itu tidak saja memperjuangkan haknya semata, tetapi juga kewajiban kepada Tuhan, kepada sesama, menurut nilai-nilai moral ke Tuhanan, kemasyarakatan. Oleh Soepomo dikiaskan dengan persatuan kawulo-gusti, dunia luar dan dunia batin, mikro kosmos dan makro kosmos, antara rakyat dan pimpinannya serta keseimbangan lahir batin karena manusia baik sebagai pribadi, golongan atau masyrakat mempunyai pergaulan hidupnya sendiri tetapi saling terkait pengaruh mempengaruhi. Hal ini akan berbeda dengan landasan moral sebgaimana dikemukakan oleh G.W.Freidrich Hegel yang menempatkan hak manusia pribadi hanya sebagai bagian dari hak masyarkat secara keseluruhan, walaupun manusia pribadi diakui mempunyai kedudukan yang sangat penting, atau pendapat Immanuel Kant yang mengedepankan kepentingan manusia individu sehingga memandang sesuatu itu diperlukan manusia karena semata-mata sebagai manusia. Nilai-nilai moral dalam bentuk keseimbangan hak dan kewajiban yang hidup sebagai diri pribadi, masyarakat dan bangsa merupakan asas hukum yang dijujung tinggi. Berkaitan dengan tanah, mengandung pula arti bahwa tanah merupakan pemberian Tuahan kepada pribadi, keluarga, masyarakat, dan bangsa Indonesia. Memiliki tanah yang diturunkan dari Tuhan mengandung arti memiliki kewajiban untuk memanfaatkan secara adil dan beradab bagi kepentingan diri, pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa menurut keseluruhan harkat dan martabat sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Sehingga kemampuan dan kecakapan memanfaatkan tanah dijalankan atas dasar ini, bukan semata-mata karena dirinya sebagai manusia dengan segala nafsu dan keterbatasannya. Dengan demikian yang memiliki hubungan dengan tanah adalah manusia secara alamiah yakni perseorangan, keluarga, masyarkat kesemuanya mempunyai kedudukan yang seimbang mengingat sifat penggunaan tanah akan juda bermuara pada kepentingan kepuasan manusia perseorangan. Kumpulan dari keseluruhan pemilikan tersebut disebut sebagai milik bangsa. Penyelengaraan Kekuasaan Negara Atas Tanah Negara sebagai organisasi suatu bangsa diberikan kekuasaan oleh rakyat berdasarkan peraturan hukum (Konstitusi) untuk mengatur berbagai kekuasaan apapun dalam masyarakat. Oleh Van Appledoorn digambarkan sebagai sesuatu kekuatan (macht) yang diatur oleh hukum yang berdasarkan kesusilaan. Kekuasaan yang demikian di Indonesia memiliki bentuk dan dasar yang tertuang dalam Pokok Pikiran ke dua Pembukaan UUD 1945, yaitu negara yang berdaulat atas dasar permusyawaratan rakyat. Rumusan tersebut diatas memiliki makna bahwa permusyawaratan/perwakilan berlandaskan hikmah kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan merupakan cara penyelenggaraan negara yang terbaik. Anggapan dasarnya ialah bahwa melalui cara demikian, akan lahir wujud kepentingan dan kemanfaatan bersama yang memenuhi keluhuran harkat dan martabat bangsa.Kepentingan dan kemanfaatan bersama atas dasar nilai-nilai kemanusiaan secara formal terwujud dalam cita hukum nasional guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, serta untuk melindungi segenap bangsa Indonesia da seluruh tumpah darah Indonesia berdasarkan persatuan sebagai sesuatu yang akan diatur lebih lanjut oleh negara. Apa yang barusan dikemukaan tersebut merupakan suatu pola hubungan hukum antara manusia, keluarga, dan bangsa yang berkaitan dengan masalah pertanahan dengan menempatkan negara sebagai organ yang diberikan kewenangan/kekuasaan untuk mengaturnya. Tanah sebagai sumber daya alam strategis bagi kehidupan bangsa memerlukan campur tangan negara untuk mengaturnya atas dasar keseimbangan hukum dan keadilan bersama antara manusia sebagai rakyat dan pemerintah sebagai kepanjangan tangan negara yang memiliki kekuasaan. Jadi hubungan perseorangan ,keluarga dan masyarakat dengan tanah didasarkan atas fitrahnya sebagai mahluk Tuhan untuk hidup secara mandiri dan sekaligus sebagai mahluk sosial yang tidak bisa terlepas atau senantiasa bergantung satu sama lainnya dalam lingkungan masyarakatnya. Karenanya menuntut akan adanya toleransi dan kebersamaan dalam hidup damai yang selalu rukun dalam naungan aturan hukum negara. Sedangkan hubungan antara negara dengan tanah adalah 'disamping adanya kedaulatan negara, juga atas dasar negara hukum dan perlindungan hak asasi manusia, maka demi tercapainya kedaulatan rakyat dan keadilan sosial, maka perlu diatur adanya keseimbangan hak dan kewajiban antara negara dengan warga negara sehingga diperoleh keadilan yang harapannya akan mendatangkan kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara. Negara, dalam kontek ini tidak didudukkan sebagai pemilik mutlak atas tanah, namun negara sebagai organ penguasa yang diberi kewenangan secara sah oleh hukum negara untuk menjamin pelaksanaan peruntukan tanah sesuai dengan tujuan maupun kemanfatan yang dimaksud. Hubungan Tanah Dengan Otonomi Daerah Diatas telah disinggung tentang masalah tanah yang memang secara hakiki merupakan karunia Tuhan, maka tanah dapat dijadikan sesuatu sebagai sarana hidup sejahtera. Hal ini perlu disikapi oleh seluruh warga negara Indonesia, bahwa dirinya sebagai mahluk individu sekaligus mahluk sosial yang mendampakan keadilan atas kemanfaatan tanah baik bagi kepentingan perseorangan maupun kepentingan masyarakat/umum. Kesemuanya menurut hemat penulis dapat tercapai jika pihak yang berwenang mengatur seperti negara ini benar-benar mengimplementasikan materi Pasal 33 UUD 1945 sebagai kunci kemakmuran yang mengilhami kemanfaatan dan kesejahteraan untuk rakyat agar terpenuhinya hajat hidup masyarakat. Pengertian dan penjabaran Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, terumuskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria (UU No.5 Tahun 1960) yang selengkapnya dijabarkan oleh Budi Harsono dalambukunya "Hukum Agraria Indonesia "Tahun 1996, hal 5-6 , berbunyi : a. Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat(3) UUD 1945 dan hal-hal yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 UUPA, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. b. Hak menguasai oleh negara termaksud dalam ayat (1) Pasal 2 UUPA memberi kewenangan kepada negara untuk : (1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut ; (2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa : (3) Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. c. Wewenang yang bersumber dari hak menguasai oleh negara tersebut pada ayat (2) Pasal 2 UUPA digunakan untuk mencapai sebesar- besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat serta negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat adil dan makmur : d. Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentngan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan pemerintah. Dari penjabaran Budi Harsono tersebut diatas jelas bahwa negara adalah pihak yang berkuasa, diberi kekuasaan penuh oleh rakyat berdasarkan konsep kedaulatan rakyat yang berarti negara mendapatkan kepercayaan penuh dari rakyat untuk menjalankan kewenangannya dalam hal penguasaan atas tanah manun tidak berarti memiliki atau mempergunakan tanah-tanah tersebut untuk kepentingannya sendiri, tetapi untuk mengatur penggunaan dan peruntukan atas tanah tersebut agar tercipta kemakmuran rakyat secara meningkat dan merata. Permasalah yang timbul kemudian adalah : Apakah hak untuk mengatur peruntukan tanah dan pemanfaatannya semata-mata ditentukan oleh negara dalam arti Pemerintah Pusat? Pemberian kekuasaan dan kewenangan pada negara sepenuhnya akan berakibat pada terjadinya pemerimtahan sentralistik yang cenderung ottoliter. Pemerintahan yang demikian akan berakibat pada lemahnya sendi-sendi pranata masyarakat seperti demokrasi, musyawarah-mufakat, kebersamaan, pemerataan dan keadilan. Oleh karena itu agar tidak terjadi kesewenang-wenangan penguasa, harus dilakukan desentralisasi kekuasaan, dalam arti pembentukan satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah yang diberi hak untuk mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintah pusat sebagai urusan rumah tangganya, namun asal tetap sebagai satu kesatuan dalam satu susunan negara kesatuan. Lebih khusus lagi Baqir Manan menjelaskan perlunya desentralisasi dalam negara kesatuan adalah sebagai berikut : 1) Sebagai cerminan dari kharakteristik kerakyatan yang mengedepankan sikap arif bijaksana dalam memecahkan segala persoalan dengan jalan musyawarah-mufakat. Musyawarah ini sebagai wujud dari keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat daerah dengan memberikan wewenang, tugas dan tanggung jawab untuk mengatur dan menurus rumah tangga daerahnya sendiri dengan secara bebas melakukan berbagai inisiatif dalam batas-batas ketentuan yang berlaku; 2) Untuk lebih memberikan penghargaan atas pemerintahan asli yang telah ada sejak dahulu baik dalam bentuk pemerintahan otonom, swapraja maupun pemerintahan desa. Tentu saja bentuk pemerintahan tersebut harus disesuaikan dengan kemajuan bangsa; 3) Lebih menghargai akan kebhinekaan bangsa baik dari segi ekonomi, sosial, budaya dan kepercayaan. Kebhinekaan itu menimbulkan hajat hidup dan kebutuhan yang berbeda dari daerah satu dengan lainnya. Rakyat setempatlah yang mengetahui akan kebutuhan mereka. Ini sesuai dengan prinsip keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia; 4) Sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis dimana kekuasaan pusat dibatasi berdasarkan kedaulatan rakyat. Salah satu bentuknya ialah dengan cara pemencaran kekuasaan badan-badan kenegaraan meliputi tugas administrasi dan tugas legislasi utamanya terhadap masalah-masalah penting bagi daerah. Keseluruhan alasan perlunya dilakukan desentralisasi pemerintahan negara itu adalah untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial di daerah yang pada hakekatnya juga merupakan tugas dan tujuan pemerintah pusat. Berdasarkan alasan tersebut dapatlah dipahami bahwa pelasanaan kekuasaan negara atas tanah sebagaimana terumus dalam ayaat 4 diatas "dapat" dilaksanakan pula oleh pemrintah daerah dan masyarakat hukum lainnya, segala sesuatunya tergantung pada pertimbangan kepentingan kemanfaatan akaan tanaah. Kedudukan pemerintah daerah dalam hal ini bertindak sebagai pelaksana kekuasaan negara atas tanah tidak bersifat asli karena diberikan wewenang untuk itu. Oleh karena itu pemerintah daerah harus bertindak atas dasar asas taat asas terhadap ketentuan normatif ketatanegaraan Indonesia. 1.6 Pembaharuan Hukum Agraria Nasional Yang Berkeadilan Sosial Istilah agraria berasal dari bahasa Yunani, berasal dari kata Ager yang berarti ladang atau tanah. Sedangkan menurut kamus bahasa Indonesia, agraria adalah urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah (Harsono, 2005). Sedangkan di dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Dasar Pokok- Pokok Agraria (UUPA), terdapat dua jenis pengertian agraria, yakni (Chomzah, 2004): 1) Secara luas, terdapat didalam Pasal 1 ayat (2) UUPA, yang meliputi bumi, air dan ruang angkasa. 2) Secara sempit terdapat dalam pasal 4 ayat (1) UUPA. Beberapa ahli hukum juga memberikan pendapat mengenai pengertian hukum agraria. Subekti berpendapat bahwa hukum agraria adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik hukum perdata, maupun hukum tata negara maupun hukum tata usaha negara yang mengatur hubungan-hubungan antara orang termasuk badan hukum dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara dan mengatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan- hubungan tersebut. Utrecht berpendapat bahwa hukum agraria dan hukum tanah menjadi bagian hukum tata usaha negara yang menguji perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus soal-soal tentang agraria melakukan tugas mereka itu. Secara filosofis pembentukan UUPA ditujukan untuk mewujudkan apa yang digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pernyataan ini berarti merupakan suatu kewajiban agar bumi, air, dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang diletakkan dalam kekuasaan negara untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Kesejahteraan yang dimaksudkan adalah kesejahteraan lahir batin, adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia (Hatta, 2005). Bumi, air, dan ruang angkasa termasuk merupakan kekayaan alam di Indonesia. Sumber daya alam ini merupakan bagian dari kekuasaan negara. Hal ini ditegaskan di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengelolaan dan distribusi manfaat dari sumber daya alam ini, sangat erat kaitannya dengan peraturan yang ada didalam TAP MPR IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Secara umum, ini merupakan pencapaian dan penyataan eksplisit MPR bahwa yang paling penting dan dibutuhkan pemerintah dalam berkomitmen untuk pembaharuan pengelolaan sumber daya alam dan pembaharuan agraria. Hal ini mengharuskan Negara dan pemerintahuntuk mengkaji, mencabut dan merevisi semua peraturan perundang-undangan mengenai tanah dan sumber-sumber agraria lainnya, serta menyelesaikan konflik agraria yang ada saat ini secara adil dan lestari. TAP MPR ini merupakan alat yang paling ampuh dalam proses reformasi dan merupakan penyempurnaan perundang-undangan agraria di Indonesia (Chip Fay, 2005). Sebelum diterbitkannya UUPA, terjadi dualisme landasan dalam membuka hak atas tanah, yakni terdapat pada pasal 51 ayat 7 IS, pada Stb 1872 No. 117 tentang Agraris Eigendom Recht yaitu memberi hak eigendom (hak milik) kepada orang Indonesia, dan hal yang disamakan dengan hak eigendom yang terdapat pada buku II BW yang diberikan kepada mereka yang bukan orang Indonesia. Dengan diberlakukannya UUPA dapat dikatakan telah tercapai suatu kodifikasi dan unifikasi hukum agraria di Indonesia. Penerbitan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 pada tanggal 24 September 1960 menyeragamkan dualismee aturan yang mengatur hak- hak tentang tanah di Indonesia. Maka dengan adanya dualismee aturan yang mengatur tentang hak-hak tanah untuk menyeragamkannya pada tanggal 24 september 1960 diterbitkan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 pada lembar Negara No. 104/1960. Pemahaman mengenai tujuan dari hukum agraria nasional tersebut merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menentukan isi dari peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya alam atau agraria. Tujuan hukum agraria tersebut hanya dapat dilaksanakan dengan hak menguasai negara yang dijabarkan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA. Dalam pasal tersebut diatur bahwa hak menguasai negara berisikan wewenang untuk: 1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; 2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; 3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 merupakan Undang-Undang yang mengatur 197 juta hektar wilayah daratan Indonesia. Undang-Undang ini menuntun pemerintah dalam pengakuan dan pemberian 7 jenis hak atas tanah dan 3 tambahan jenis hak atas pemanfaatan sumber daya alam. Dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA menyatakan hak hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) adalah: 1) Hak milik; 2) Hak guna usaha; 3) Hak guna bangunan; 4) Hak pakai; 5) Hak sewa; 6) Hak membuka tanah; 7) Hak memungut hasil hutan; 8) Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53. Dalam Pasal 16 ayat (2) UUPA menyatakan hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) adalah: 1) Hak guna air; 2) Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan; 3) Hak guna ruang angkasa. Hak yang paling kuat dan paling penuh dari semua jenis hak adalah Hak Milik, dan diantara berbagai jenis hak atas tanah yang telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 adalah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, serta dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mengatur konsep dan prosedur untuk pengakuan atau pemberian berbagai jenis hak atas tanah. Dalam peraturan ini, tanah dibagi dalam 2 jenis, yakni: Tanah Bekas Hak Adat, yakni hak lama yang telah diakui keberadaannya jauh sebelum adanya UUPA; dan Hak lainnya yang diberikan dengan aturan yang lebih rinci, yaitu Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha atau Hak Pakai berdasarkan permohonan hak dengan subjek hak atas tanah, yang terdiri dari orang per-orang dan badan hukum (Chip Fay, 2005). Penguasaan tanah oleh penguasaha sangat berbanding terbalik dengan penguasaan lahan oleh petani. Petani Indonesia hanya menguasai 8.9juta ha lahan (Susyanti, 2010). Luas lahan pertanian tersebut sangat tidak ideal jika dibandingkan dengan jumlah petani yang mencapai angka 39 juta orang. Penyempitan lahan pertanian ini disebabkan oleh makin maraknya konversi lahan pertanian ke non pertanian. Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat bahwa sejak tahun 1992-2002 laju konversi lahan pertanian pertahun adalah 110 ribu ha dan meningkat menjadi 145 ribu ha selama empat tahun terakhir (Susyanti, 2010). Konversi lahan pertanian ini sangat tidak sesuai dengan esensi UUPA. UUPA menghendaki usaha-usaha dalam bidang agraria diatur untuk meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat serta menjamim derajat hidup yang baik bagi setiap WNI (Harsono, 2005). Badan Pusat Statistik menyatakan pada Tahun 2009, terdapat sebanyak 56,5% atau sekitar 39 juta petani hanya menguasai lahan pertanian kurang dari 0,5 ha, sedangkan idealnya menurut Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Lahan Petanian adalah 2 ha. Seharusnya pemerintah lebih memprioritaskan kebijakan untuk kepentingan masyarakat tani. Kebijakan pemerintah seharusnya lebih berpihak dan mengutamakan kaum tani untuk meningkatkan kesejahteraan bagi petani melalui peningkatan penguasaan luas lahan daripada mengkonversikan lahan pertanian menjadi lahan industry. Membangun hukum agraria yang berkeadilan sosial didasari dengan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum. Kepentingan individu harus dibatasi oleh kepentingan umum yang merupakan fungsi sosial dari hak atas tanah. Pembatasan hak menguasai negara menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berprinsip bahwa hal yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat terhadap pelanggaran hak dasar manusia sebagaimana yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945. Pembatasan hak juga bertujuan untuk kemakmuran rakyat untuk tercapainya nilai-nilai dalam pancasila, yakni diantaranya adalah keadilan sosial. Pembaharuan terhadap hukum agraria nasional harus merefleksikan nilai-nilai pancasila, yakni nilai keadilan sosial. Rujukan terhadap pembaharuan hukum agraria nasional ini dapat dilihat dalam kesimpulan Seminar Hukum Nasional IV (26-30 Maret 1979) mengenai Penjabaran Pancasila Dalam Hukum menyimpulkan bahwa pencerminan nilai-nilai Pancasila dalam perundang-undangan, yaitu (Abdurrahman, 1995): 1. Pancasila yang mengandung nilai-nilai kejiwaan bangsa Indonesia merupakan dasar tertib hukum Indonesia, pedoman dan petunjuk arah perkembangannya dengan system yang terbuka dan adalah batu ujian mengenai kepatutan dan perundang-undangan 2. Dalam menyusun undang-undang, pembentuk undang-undang perlu dengan tepat menunjukan nilai-nilai pancasila yang mendasari ketentuan undang-undang itu. Dengan demikian, peraturan hukum merupakan pelaksanaan undang-undang itu tidak boleh mengandung hal-hal yang bertentangan dengan pancasila. 3. Pencerminan nilai pancasila di dalam perundang-undangan merupakan hakikat pembentukan sistem hukum nasional Beberapa prinsip Pembaharuan hukum agraria nasional juga terdapat di dalam TAP MPR No.IX/MPR/2001, diantaranya: 1) Memelihara dan mempertahankan keutuhan NKRI; 2) Menghormati dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusa; 3) Menyejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia; 4) Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam; 5) Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat (masyarakat atau individu); 6) Mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya agraria; 7) Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan; 8) Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat; 9) Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sector pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam; 10) Mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria dan sumber daya alam; 11) Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah, provinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu; 12) Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu; 13) Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumber daya agraria dan sumber daya alam. 1.7 Implementasi Kebijakan Pertanahan Nasional Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan yang biasanya dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif atau dekrit presiden. Semua kebijakan yang telah ditetapkan diharapkan sukses dilaksanakan. Tapi dalam kenyataannya banyak yang gagal dilaksanakan. Menurut Hanif Nurcholis, agar kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik maka kebijakan hendaknya: a. Dirancang sesuai dengan kerangka acuan dan teori yang kuat. b. Disusun korelasi yang jelas antara kebijakan dan implementasinya. c. Ditetapkan adanya organisasi yang mengkoordinir pelaksanaan kebijakan sehingga proses implementasi kebijakan dapat ber jalan dengan baik. d. Dilakukan sosialisasi kebijakan yang akan diterapkan sampai organisasi pelaksana tingkat terbawah (street level bureaucracy). e. Dilakukan pemantauan secara terus-menerus (monitoring). Di samping itu, sukses tidaknya implementasi kebijakan juga dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sebagai berikut: a. Dukungan dan penolakan dari lembaga eksternal. Jika lembaga eksternal mendukung maka pelaksanaan kebijakan akan berhasil. Sebaliknya jika menolak maka pelaksanaan kebijakan akan gagal. Oleh karena itu agar sukses pengambil kebijakan dan para pelaksananya harus melakukan penyamaan visi dan persepsi dalam kebijakan yang diambil. b. Ketersediaan waktu dan sumber daya yang cukup. c. Dukungan dari berbagai macam sumber daya yang ada. Makin banyak yang mendukung makin tinggi tingkat kesuksesannya. d. Kemampuan pelaksana kebijakan menganalisis kausalitas persoalan yang timbul dari pelaksanaan kebijakan. Makin mampu para pelaksana kebijakan menganalisis kausalitas antara satu kegiatan dengan kegiatan lain atau antara satu kegiatan dengan dampaknya akan makin tinggi tingkat keberhasilannya. e. Kepatuhan para pelaksana kebijakan terhadap kesepakatan dan tujuan yang telah ditetapkan dalam tingkat koordinasi. Dalam rangka mengkaji implementasi kebijakan pertanahan nasional maka akan lebih jelas jika untuk itu dibagi dalam 3 era, yaitu era Rezim Orde Lama, Era Rezim Orde Baru dan Era Orde Reformasi. A. Era Rezim Orde Lama Sebagaimana halnya peraturan perundang-undangan yang lain, UUPA pun sebagai produk hukum penguasa, berisikan dan merupakan cermin kebijakan penguasa pada waktu dibuatnya yaitu pada awal era rezim Orde Lama. Pada waktu itu sebagai orde yang bertujuan mengadakan perombakan pada kebijakan penguasa selama masa sebelumnya, berketetapan akan dengan sungguh-sungguh melaksanakan pembangunan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai kepribadian bangsa. Seperti diketahui UUD 1945 baru dinyatakan berlakukembali sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959.Segala sesuatu akan didasarkan pada kepribadian nasional. Demikianlah dalam rang ka mewujudkan, merumuskan, memberikan landasan hukum dan pelaksanaan kebijakan pembangunan yang baru di bidang pertanahan, dalam UUPA tampak sekali perwujudan Sila-sila Pancasila dan penjabaran Kebijakan Pokok Pertanahan Nasional sebagai yang dirumuskan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945. B. Era Rezim Orde Baru Sebelum sampai terlaksana sepenuhnya diprogramkan dalam reformasi agraria seperti tersebut di atas terjadilah tragedi nasional dalam tahun 1965, maka kemudian lahirlah era Orde Baru. Rezim Orde Baru mewarisi situasi nasional dalam keadaan ekonomi negara yang menyedihkan dan konstelasi politik yang saat itu dinilai sebagai penyimpangan besar dari Pancasila dan UUD 1945. Langkah pertama rezim Orde Baru dalam usaha untuk menyelamatkan bangsa dan negara dalam bidang ekonomi adalah mengubah kebijakan pembangunan nasional dan dalam bidang politik mengadakan koreksi total pada kebijakan rezim Orde Lama dan kembali pada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Seperti kemudian terjadi di era Orde Reformasi rezim Orde Baru pun dalam perkembangan kebijakan politik dan ekonominya dinilai menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Jika rezim Orde Lama mengutamakan pembangunan bidang pertanian dengan berusaha memberdayakan rakyat petani, maka rezim Orde Baru mengutamakan partumbuhan melalui pembangunan industri pengolahan bahan-bahan baku yang berasal dari impor. Pertumbuhan melalui pembangunan industri itu memerlukan jumlah modal yang besar yang hanya dipunyai golongan ekonomi kuat dan asing. Baik dalam Tap-Tap MPR Orde Baru maupun dari kebijakan penguasa selalu dinyatakan bahwa modal asing merupakan pelengkap. Tetapi kemudian ternyata justru modal asing itulah yang dominan, baik dalam bentuk investasi langsung maupun sebagai pinjaman untuk membiayai proyek- proyek pembangunan pemerintah dan swasta. Dengan alasan yang sangat pragmatis yaitu untuk menerapkan dan mencapai pertumbuhan ekonomi, pada awal kekuasaannya Orde Baru mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mencakup lingkup agraria, yang antara lain: Undang Undang Penanaman Modal Asing Tahun 1967 dan Undang-Undang Penanaman Dalam Negeri Tahun 1967. Meski seakan-akan kelahiran kedua undang-undang yang berkaitan dengan penanaman modal ini tidak berkaitan langsung, perlu dicatat bahwa orientasi penguasaan dan eksploitasi kekayaan alam Indonesia pada saat itu diperuntukkan bagi modal-modal tersebut. Undang Undang No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, Undang- undang No 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan yang diperbaharui dengan Undang Undang No 41 Tahun 1999, Undang Undang No 7 Tahun 1970 tentang Penghapusan Pengadilan Landreform serta Undang Undang No 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Minyak Dan Gas Bumi Negara yang kesemuanya bukan saja tidak mengacu bahkan bertentangan dengan UUPA yang mengakibatkan tumpang tindihnya peraturan tentang agraria. Dengan demikian, apa yang dialami dari dulu hingga sekarang adalah terancamnya kehidupan petani, menurunnya produktivitas petani, meluasnya jumlah orang miskin. Dalam praktek pelaksanaan UUPA selama masa Orde Baru telah dijumpai kelemahan-kelemahan dan mungkin penyimpangan yang tidak sesuai dengan cita-cita luhur UUPA untuk mewujudkan demokrasi ekonomi seperti uyang diamanatkan pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Lebih spesifik dalam kaitan dengan pelaksanaan Hukum Tanah Nasional, Budi Harsono, mengakui ada kelemahan-kelemahan tersebut dengan menyatakan sebagai berikut: a. Tetapi karena adanya kelemahan dalam kelengkapan isi dan rumusan sebagai peraturannya, Hakum Tanah Nasional selama masa Orde Baru, yang menyelenggarakan pembangunan berdasarkan kebijakan yang mengutamakan pertumbuhan, dalam pelaksanaannya memungkinkan penafsiran yang menyimpang dari semangat dan tujuan diadakannya peraturan yang bersangkutan; b. Sehubungan dengan itu, pelaksanaan Hukum Tanah Nasional selama masa Orde Baru seringkali dirasakan sebagai tidak menjamin perlindungan, bahkan menimbulkan rasa diperlakukan tidak adil bagi rakyat yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan. Padahal Hukum Tanah Nasional jelas memuat rumusan asas dan ketentuan-ketentuan hukum yang memberikan perlindungan bagi siapapun yang menguasai tanah secara sah terhadap gangguan dari pihak penguasa sekalipun, bilamana gangguan itu tidak ada dasar hukumnya. Ketentuan-ketentuan landreform biar pun secara formal tidak dicabut, namun selama Orde Baru tidak tampak dilaksanakan, dengan segala akibatnya dalam penguasaan tanah-tanah pertanian baik yang mengenai batas luas maupun lokasinya. Biarpun kebijakan pembangunan dan pelaksanaannya berbeda dengan semangat yang melandasi UUPA, tetapi undang-undang tersebut dan peraturan pelaksanaannya selama Orde Baru masih dapat memberikan dukungan legal yang diperlukan tanpa mengalami perubahan formal substansinya. C. Era Orde Reformasi Orde Reformasi tampak membawa perombakan yang mendasar dalam kebijakan pembangunan nasioanal di bidang ekonomi sebagai yang ditetapkan dalam Tap MPR No XVI/MPR/1998 tentang politik ekonomi dalam rangka demokrasi ekonomi. Tap MPR ini merupakan titik tolak tonggak baru demokrasi ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa saat itu sudah terdapat kebijakan baru yang artinya kita tidak akan kembali kepada kebijakan pembangunan ekonomi Orde Baru yang lalu yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi Tap MPR NO XVI/MPR/1998 antara lain merimuskan bahwa Kebijakan ekonomi baru mencakup kebijakan, strategi, dan pelaksanaan pembangunan yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak sebagai wujud keberpihakan pada kelompok usaha kecil, menengah, dan koperasi, serta berfungsi sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional tanpa mengabaikan peranan perusahaan-perusahaan besar. Pengelolaan dan pemanfaatan tanah serta sumber daya alam lainnya dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk pemusatan pengusahaan dan kepemilikan dalam rangka pengembangan kemampuan ekonomi usaha kecil, menengah dan koperasi serta masyarakat luas. Tanah sebagai basis usaha pertanian diutamakan penggunaannya bagi pertumbuhan pertanian rakyat. Tap MPR tersebut ditetapkan atas dasar pertimbangan bahwa pelaksanaan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 UUD 1945 belum terwujud. Sejalan dengan perkembangan kebutuhan dan tantangan pembangunan nasional, diperlukan keberpihakan politik ekonomi, yang memberi kesempatan dukungan dan pengembangan ekonomi rakyat, yang mencakup koperasi, usaha kecil dan menengah sebagai pilar utama pembangunan nasional tanpa mengabaikan peranan usaha besar dan Badan Usaha Milik Negara. Usaha besar dan Badan Usaha Milik Negara mempunyai hak untuk berusaha dan mengelola sumber daya alam, dengan cara yang sehat dan bermitra dengan pengusaha kecil, menengah dan koperasi. Pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lainnya, harus dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk penguasaan dan kepemilikan dalam rangka pengembangan kemampuan ekonomi usaha kecil, menengah dan koperasi serta masyarakat luas. Kemudian dengan terbitnya Tap MPR No IX/MPR/2001 disusul dengan diterbitkannya Keppres No 34 Tahun 2003 maka semakin jelas arah kebijakan pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Pemerintah disini menegaskan tidak akan memarginalkan UUPA akan tetapi akan melakukan penyempurnaan. Untuk itu Badan Pertanahan Nasional ditugaskan untuk melakukan langkah-langkah percepatan, antara lain: (1) Mengajukan rancangan Undang Undang tentang Hak atas Tanah; (2) Menyusun peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pertanahan. Demikianlah garis kebijakan pembangunan Orde Reformasi yang berbeda benar dengan kebijakan rezim Orde Baru, tetapi sejalan dengan semangat yang terkandung dalam UUPA. Kebijakan Orde Reformasi lebih memihak pada rakyat banyak, khususnya usaha kecil, menengah dan koperasi. Dalam rangka mewujudkan tujuan kebijakannya maka telah dikeluarkan Keppres No 34 Tahun 2003 yang telah menugaskan kepada Badan Pertanahan Nasional untuk membuat rancangan penyempurnaan UUPA, undang-undang tentang hak milik dan peraturan perundang-undangan lainnya. 1.8 Pengelolaan Tanah Negara Oleh Pihak Ketiga Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pertanahan Dan Perbendaharaan Negara A. Problematika Tanah sebagai Barang Milik Negara Pembahasan dalam bagian ini akan menjadi titik awal yang akan menghantarkan pada penjelasan terhadap hasil-hasil penelitian selanjutnya. Pembahasan ini menguraikan mengenai adanya ketidaktepatan penggunaan frasa “Barang Milik Negara” yang disematkan pada sebuah bidang tanah yang secara, baik de jure maupun de facto, berada pada penguasaan negara. Ketidaktepatan penggunaan frasa “Barang Milik Negara” dikarenakan, dalam perspektif Hukum Pertanahan, Negara tidaklah dapat menjadi “pemilik” terhadap tanah yang berada di wilayah Indonesia melainkan Negara adalah “penguasa” terhadap tanah-tanah tersebut. Secara historis, konsep Negara sebagai pemilik terhadap tanah yang terdapat dalam wilayah Indonesia merupakan konsep yang diperkenalkan dan tumbuh berkembang ketika masa penjajahan. Pada masa penjajahan Belanda berlaku ketentuan mengenai asas domein, yaitu bahwa setiap tanah yang tidak dapat dibuktikan hak kepemilikannya (hak eigendom) maka secara otomatis tanah tersebut menjadi milik (domein) negara. Pengaturan ini diatur dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit Stb. 1870 No. 118 atau biasa disingkat AB 1870 (Sembiring, 2016). Asas domein yang diatur dalam aturan tersebut mempunyai dua sifat, yaitu publiekrechtelijk dan privaatrechtelijk. Sifat publiekrechtelijk berasal dari prinsip kedaulatan negara, sehingga dengan dikuasainya Indonesia oleh Belanda sebagai penjajah, maka tanah-tanah yang berada di wilayah Indonesia artinya dimiliki oleh Belanda. Selanjutnya, sifat privaatrechtelijk dari asas domein adalah bentuk analogi antara hak domein dengan hak eigendom yang dikenal dalam ranah hukum privat sebagai bentuk hak tertinggi personal terhadap sebuah barang atau benda. Analogi inilah yang kemudian menjadikan negara (Belanda) sebagai sebuah entitas yang memiliki hak eigendom terhadap tanah- tanah yang berada di wilayah jajahannya (Indonesia). Penerapan asas ini tentunya sesuai dengan tujuan Belanda agar dapat memberikan hak-hak milik kepada perusahaan-perusahaan yang akan melakukan kegiatan ekonomi di wilayah Indonesia berdasarkan hukum barat. Setelah Indonesia merdeka, terjadi adanya pergeseran paradigma dalam hal hubungan hukum antara negara dengan tanah yang ada di wilayah Indonesia. UUD 1945 pada Pasal 33 mengatur bahwa negara menguasai segala sumber daya alam, termasuk tanah, sehingga berdasar ketentuan ini negara adalah sebagai “penguasa” dan bukan lagi sebagai “pemilik”. Hal ini kemudian dipertegas dengan diundangkannya UUPA, Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa, “Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.” Kemudian konsep ini dikenal dengan Hak Menguasai Negara, bukan lagi hak milik. Pengaturan dalam UUD 1945 yang kemudian dijabarkan dalam UUPA tersebut menurut Zakie, adalah bentuk penegasan untuk tidak memberlakukan pernyataan domein atas tanah (domein verklaring) yang dikenal pada masa penjajahan Belanda (Zakie, dalam Sembiring, 2015). Menurut Bakri, berdasarkan konsep Hak Menguasai Negara tersebut, maka penguasaan tanah oleh negara dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) Penguasaan secara penuh, yaitu terhadap tanah-tanah yang tidak dipunyai dengan suatu hak oleh subjek hukum tertentu. Tanah ini dinamakan “tanah bebas/tanah negara” atau “tanah yang dikuasai langsung oleh negara”, sehingga negara dalam hal ini memiliki kewenangan untuk memberikan hak tertentu terhadap sebuah bidang tanah kepada subjek hukum. 2) Penguasaan terbatas/tidak penuh, yaitu penguasaan negara terhadap tanah-tanah yang telah terdapat hak di atasnya. Tanah yang telah dilekati hak tersebut dinamakan dengan “tanah hak” atau “tanah yang tidak dikuasai langsung oleh negara” (Bakri, 2006). Sedangkan menurut UUPA sendiri, Hak Menguasai Negara melahirkan kekuasaan yang berupa: 1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; 2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; 3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang, dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Perkembangan selanjutnya, konsep Hak Menguasai Negara diinterpretasikan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya. Berkaitan dengan hal ini Kusumadara menyatakan bahwa : Menurut Mahkamah Konstitusi, mandat yang memberikan negara hak untuk menguasai bumi, air dan kekayaan alam tersebut, mewajibkan negara untuk menjalankan 5 (lima) fungsi yaitu, fungsi pembuat kebijakan, fungsi pengurusan, fungsi pengaturan, fungsi pengelolaan, dan fungsi pengawasan. Kelima fungsi tersebut menurut Mahkamah Konstitusi merupakan satu kesatuan. Akan tetapi, untuk secara efektif memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat, negara menurut Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 36/PUU-X/2012, sebaiknya mendahulukan fungsi pengelolaannya, yaitu pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Setelah itu, negara menjalankan fungsinya sebagai pembuat kebijakan, melakukan pengurusan, lalu pengaturan, dan pengawasan (Kusumadara, 2013). Berdasarkan penjelasan mengenai Hak Menguasai Negara di atas, pengkategorian tanah sebagai “Barang Milik Negara” apabila dilihat melalui perspektif Hukum Pertanahan kuranglah tepat, karena sesungguhnya hubungan hukum antara negara dengan tanah bukanlah hubungan yang didasarkan pada alas hak milik melainkan hak menguasai negara. Menurut Sembiring, tanah yang dikategorikan sebagai “Barang Milik Negara” seharusnya adalah tanah sebagai “Barang Milik Pemerintah”. Menurutnya, kesalahan ini berawal dari ketidakmampuan untuk membedakan antara “negara” dengan “pemerintah”, karena menurutnya pemerintahlah yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, bukan negara. Sembiring kemudian menjelaskan bahwa: Kehadiran UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah jo. PP No. 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah kelihatannya juga membuat istilah tanah negara dengan tanah pemerintah menjadi campur aduk. Hal ini terjadi karena ketentuan tersebut di atas menggunakan terminologi barang milik negara dan barang milik daerah terhadap semua aset yang dimiliki, termasuk tanah (Sembiring, 2015). B. Penghalang Terwujudnya Hukum Pertanahan yang Sederhana Sebagaimana dipahami bahwa tulisan ini mengetengahkan permasalahan berkaitan dengan adanya pengaturan suatu konsep hukum yang memungkinkan pihak ketiga mengelola tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam dua rezim hukum yang berbeda, yaitu hukum pertanahan dan hukum perbendaharaan negara. Kondisi tersebut apabila ditilik dari perspektif hukum pertanahan, yang dalam hal ini bersumber pada UUPA, akan menimbulkan permasalahan berkaitan dengan tujuan awal diundangkannya UUPA. Salah satu tujuan pengundangan UUPA sebagaimana tercantum dalam bagian Penjelasan Umum UUPA, adalah berkaitan dengan tujuan untuk mewujudkan penyatuan dan penyederhanaan hukum pertanahan nasional. UUPA mencantumkan bahwa pada pokoknya tujuan UUPA diundangkan adalah untuk: a. meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria Nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur; b. meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; c. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. C. Eksistensi Hak Pengelolaan dan Pemanfaatan Barang Milik Negara Ditinjau dari Perspektif Hukum Perbendaharaan Negara Pengelolaan dan Pemanfaatan Barang Milik Negara berupa tanah, dalam perspektif hukum perbendaharaan negara tentunya tidak dapat dilepaskan dari pengaturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara sebagai sumber primer dalam hukum perbendaharaan negara. Hal yang menjadi fokus utama dalam pembahasan bagian ini adalah berkaitan dengan pengamanan tanah negara supaya tidak beralih kepemilikannya kepada pihak ketiga, mengingat bahwa baik Hak Pengelolaan dan Pemanfaatan Barang Milik Negara adalah konsep hukum yang memungkinkan pihak ketiga secara de facto menguasai tanah negara. Undang-Undang Perbendaharaan Negara, dalam bagian Penjelasan Umum mencantumkan bahwa paradigma yang dianut dalam pengaturan barang barang milik negara adalah paradigma untuk mencegah terjadinya peralihan kepemilikan barang-barang milik negara, termasuk tanah, kepada pihak lain. Paradigma ini dapat ditelusuri sebagaimana termaktub dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Perbendaharaan Negara sebagai berikut: Sejalan dengan perkembangan kebutuhan pengelolaan keuangan negara, dirasakan pula semakin pentingnya fungsi perbendaharaan dalam rangka pengelolaan sumber daya keuangan pemerintah yang terbatas secara efisien. Fungsi perbendaharaan tersebut meliputi, terutama, perencanaan kas yang baik, pencegahan agar jangan sampai terjadi kebocoran dan penyimpangan, pencarian sumber pembiayaan yang paling murah dan pemanfaatan dana yang menganggur (idle cash) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya keuangan. Sejalan dengan paradigma pengamanan tersebut, Pasal 49 ayat (1) Undang -Undang Perbendaharaan Negara juga turut mengatur bahwa setiap barang milik negara/daerah berupa tanah yang dikuasai Pemerintah Pusat/Daerah harus disertifikatkan atas nama pemerintah Republik Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan. Tentunya pengaturan dalam Pasal tersebut turut menjelaskan bahwa paradigma pengamanan barang milik negara yang dianut dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara secara teknis diwujudkan dengan pensertifikatan tanah negara. Pengaturan serupa juga ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang Perbendaharaan Negara. Peraturan Pemerintah ini dalam Pasal 3 ayat (2) mengatur bahwa kewajiban untuk mensertifikatkan tanah negara masuk dalam salah satu tahapan ruang lingkup pengelolaan barang milik negara/daerah, yaitu pada tahapan pengamanan dan pemeliharaan. Tahapan pengamanan, dalam Pasal 43 ayat (1) PP ini juga kembali ditegaskan diwujudkan dengan pensertifikatan tanah negara. Tahapan ini merupakan salah satu saja dari sekian tahapan-tahapan lainnya yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka pengelolaan barang milik negara/daerah. Masuknya pengamanan terhadap tanah negara ini menjadi sangat berkaitan dengan Pemanfaatan Barang Milik Negara yang menjadi satu kesatuan tahapan dalam pengelolaan barang milik negara. Sebagaimana dipahami sebelumnya, bahwa Pemanfaatan Barang Milik Negara juga menitikberatkan pada pengamanan barang milik negara, yaitu dibuktikan dengan adanya ketentuan “tidak mengubah status kepemilikan” dalam Pemanfaatan Barang Milik Negara. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.06/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara yang berbunyi,”Pemanfaatan BMN dilakukan dengan tidak mengubah status kepemilikan BMN.” Ketentuan tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara sangatlah menitikberatkan pada pengamanan barang milik negara, dalam hal ini berupa tanah, dan mencegah terjadinya peralihan kepemilikan tanah negara tersebut kepada pihak ketiga. Hal ini ternyata berbeda dengan pengaturan berkaitan dengan Hak Pengelolaan yang senyatanya membuka kemungkinan dapat beralihnya kepemilikan tanah negara kepada pihak ketiga. Menurut Urip Santoso, Hak Pengelolaan memungkinkan pemegangnya untuk menyerahkan tanah Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga dalam bentuk 3 (tiga) macam hak atas tanah, yaitu Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Milik. Pendapat Urip Santoso ini didasarkan pada ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyerahan Pemberian Hak Atas Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya. Selengkapnya pendapat Urip Santoso tersebut adalah sebagai berikut: Hak atas tanah yang lahir dari penyerahan tanah Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga yaitu Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Milik diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyerahan Pemberian Hak Atas Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya, yang menetapkan bahwa bagian-bagian tanah hak pengelolaan yang diberikan kepada pemegang haknya dapat diserahkan kepada pihak ketiga dan diusulkan kepada Menteri Dalam Negeri atau Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan untuk diberikan dengan hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai sesuai dengan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang telah dipersiapkan oleh pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan (Santoso, 2013). Ketentuan yang membuka kemungkinan bahwa pihak ketiga dapat menjadi pemilik tanah hak pengelolaan yang notabene merupakan tanah negara merupakan ketentuan yang sangat bertentangan dengan pengaturan yang ada di dalam hukum perbendaharaan negara yang menghendaki adanya pengamanan terhadap setiap tanah negara. Perkembangan selanjutnya melalui diundangkannya Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyerahan Pemberian Hak Atas Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya dinyatakan tidak berlaku lagi. Berbeda dengan ketentuan normatif tersebut, dalam kenyataannya pihak-pihak pemegang hak pengelolaan tetap memberlakukan ketentuan yang terdapat dalam Permendagri Nomor 1 Tahun 1977 yang telah dicabut tersebut dikarenakan sumirnya pengaturan yang ada di dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1999, sehingga menyebabkan banyak kekosongan hukum dan sulit untuk diimplementasikan (Rongiyati, 2014). Kenyataan ini sejalan dengan pendapat Sadono, yang menyatakan bahwa Hak Pengelolaan sangatlah rawan dan mudah untuk dipolitisasi karena eksistensi Hak Pengelolaan dalam Hukum Pertanahan Nasional terkesan dipaksakan, sehingga menjadi hak semu yang tidak jelas landasan hukumnya (Sadono, 2010). Pelepasan tanah negara kepada pihak ketiga dalam Hak Pengelolaan juga terkesan lebih mudah dilakukan dan oleh karenanya sangat bertentangan dengan paradigma pengamanan barang milik negara yang dianut dalam hukum perbendaharaan negara. Pelepasan tanah negara kepada pihak ketiga dalam Hak Pengelolaan cukup dilakukan oleh pemegang hak pengelolaan, sedangkan dalam hukum perbendaharaan negara pelepasan tanah negara haruslah dengan persetujuan dari DPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat (1) huruf “a” Undang-Undang Perbendaharaan Negara. Mekanisme yang ditetapkan dalam hukum perbendaharaan negara tersebut tentu lebih sesuai dengan paradigma pengamanan benda milik negara jika dibanding dengan mekanisme pelepasan tanah dalam Hak Pengelolaan. Persetujuan DPR merupakan mekanisme pengawasan dan dapat menghindarkan adanya penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh instansi penguasa tanah negara. Berbeda dengan mekanisme tersebut, mekanisme pelepasan tanah Hak Pengelolaan yang tidak memerlukan persetujuan DPR adalah mekanisme yang dapat membuka lebar penyalahgunaan wewenang yang dimiliki oleh pemegang Hak Pengelolaan. D. Langkah Hukum terhadap Eksistensi Hak Pengelolaan dan PemanfaatanBarang Milik Negara Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka dapat dipahami bahwa eksistensi ganda konsep hukum, yaitu Hak Pengelolaan dan Pemanfaatan Barang Milik Negara, yang memungkinkan pengelolaan tanah negara oleh pihak ketiga senyatanya adalah eksistensi yang sifatnya kontraproduktif. Kondisi demikian seyogyanya segera diselesaikan guna menghindari adanya kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin terjadi dalam kurun waktu ke depan. Langkah-langkah hukum yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya hal-hal tersebut, berdasar pembahasan sebelumnya, adalah dapat ditempuh langkah review atau pengujian kesahihan peraturan perundang-undangan ke lembaga peradilan dan revisi yang dilakukan oleh lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan itu sendiri. 1.9 Aspek Negara Hukum Kesejahteraan Dalam Politik Hukum Agraria Nasional A. Politik Hukum Agraria Nasional Secara etimologis, istilah politik hukum berasal dari istilah Belanda, yaitu rechtspolitiek. Dari istilah ini ada dua suku kata yaitu rechts yang berarti hukum, dan hukum sendiri berasal dari bahasa arab hukm kata jamak dari ahkam, yang berarti putusan, ketetapan, perintah, pemerintahan, kekuasaan, hukuman dan sebagainya. Dalam kamus bahasa belanda kata politiek mengandung arti beleid. Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia berarti kebijakan. Dari pemahaman etimologis ini dapat dikatan bahwa politik hukum adalah kebijakan hukum. Kebijakan sendiri dalam kamus Besar bahasa Indonesia adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjakan kepemimpinan, dan cara bertindak. Bila dikaitkan dengan pengertian ini maka politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak dalam bidang hukum. Menurut Padmo Wahjono, politik hukum adalah kebijakan penyelenggaraan negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri. Sedangkan Mahfud MD, menyatakan politik hukum sebagai kebijaksanaan hukum (legal Policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah yang meliputi: Pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Dari pengertian diatas maka politik hukum mencakup proses pembuatan hukum kedepan (ius constituendum) dan pelaksanaan hukum yang telah ada (ius constitutum). Bertalian dengan konsep di atas, politik hukum agraria nasional yang dilandaskan pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian dielaborasi dalam UUPA memiliki peran penting dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pada konteks politik hukum pelaksanaan hukum yang telah ada (ius constitutum), politik hukum agraria terutama sekali dilakukan berdasarkan koridor UUPA. Politik hukum agraria di Indonesia sebagai bagian dari politik hukum ditujukan menyesuaikan hukum agraria yang berlaku, dengan kebaikan norma hukum yang umum. Dengan maksud agar dalam pelaksanaan hukum agraria di Indonesia dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat yang sangat beraneka ragam kebiasaan, adat istiadatnya. Arah dari politik hukum agraria nasional dipetakan dalam UUPA yang mengatur hubungan manusia dengan tanah sebagai berikut: 1. Mengakui adanya hubungan yang bersifat abadi antara bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa diwilayah Indonesia yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. (Pasal 1 UUPA) 2. Menyediakan tanah untuk keperluan ibadah dan keperluan suci lainnya sebagai rasa syukur dan terima kasih bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia yang telah dilimpahkannya. (Pasal 49 UUPA) 3. Mewajibkan kepada siapa saja yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah untuk memelihara. Menjaga kesuburannya, dan mencegah kerusakan tanah sebagai karunia tuhan. (Pasal 15 UUPA) 4. Menegaskan bahwa bumi, air, ruang angkasa termasuk kekayaan yang ada di dalamnya adalah milik rakyat Indonesia bersama (hak milik kolektif Indonesia) yang mengaturnya diserahkan pada negara (cq pemerintah) dengan hak menguasai, dengan tetap memberi tempat kepada hak milik (privat) perorangan dalam rangkuman dan dibatasi oleh hak menguasai dari negara. (Pasal 1,2,4 bagian I s/d bagian XI UUPA) 5. Menegaskan bahwa hubungan hukum antara orang-orang termasuk badan hukum dengan bumi, air, ruang angkasa serta wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu tidak boleh menyebabkan penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dan memberi perlindungan kepada yang ekonomis lemah. (Pasal 11 UUPA) 6. Menegaskan bahwa semua hak atas tanah yang merupakan karunia tuhan, mempunyai fungsi sosial, dalam arti penggunaan tanah yang dikuasai dengan hak apapun oleh perorangan maupun badan hukum secara langsung maupun tidak langsung harus bermanfaat bagi masyarakat. (Pasal 6 UUPA) 7. Menentukan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendafaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia. (Pasal 19 UUPA) 8. Menegaskan bahwa hak warga negara Indonesia yang dapat memiliki hak atas tanah di Indonesia (Pasal 9 ayat (1); Pasal 21 UUPA). Tetapi mengingat sila kemanusiaan yang adil dan beradab yang bersifat universal, memberi kesempatan kepada orang asing untuk juga mempunyai hubungan hukum dengan tanah di Indonesia, sejauh hubungan hukum itu tidak merugikan bangsa dan negara (Pasal 5 UUPA). Prinsip yang ditegaskan disini adalah prinsip nasionalisme yang tidak sempit. Walaupun hanya waraga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik, bukan warga negarapun diberi kesempatan mempunyai hubungan hukum dengan tanah di Indonesia dalam batas-batas tertentu. 9. Menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara Indonesia, laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah (Pasal 9 ayat (2) UUPA). Dalam hubungan ini, agar sebanyak mungkin warga negara Indonesia mempunyai tanah, ditentukan bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan (Pasal 7, 17 UUPA). Sedang untuk mencegah adanya pemilik tanah absente, ditentukan bahwa setiap orang maupun badan hukum yang mempunyai suatu hak atas tanah pertania, pada azasnya diwajibkan mengolah, mengusahakan sendiri tanah itu. (Pasal 10 UUPA) 10. Menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan manfaat dan hasil dari tanah untuk diri sendiri maupun keluarganya. (Pasal 9 ayat (2) UUPA) 11. Mengatur agar usaha bersama dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional dalam bentuk koperasi atau bentuk gotong royong lainnya. (Pasal 12 UUPA) 12. Mengatur agar usaha-usaha dalam lapangan agraria itu sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat, serta menjamin bagi setiap warga negara indonesia, derajad hidup yang sesuai dengan martabat manusia baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. (Pasal 13 ayat (1) UUPA) 13. Mencegah usaha-usaha monopoli swasta dalam lapangan agraria dari organisasi maupun perorangan, sedang usaha pemerintah yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang- undang. (Pasal 13 ayat (2), (3) UUPA) 14. Berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial termasuk bidang perburuhan dalam usaha-usaha di lapangan agraria. (Pasal 13 ayat (4) UUPA) Berdasarkan ketentuan di atas, politik hukum agraris nasional terutama mengatur hubungan manusia/Bangsa Indonesia dengan tanah air Indonesia sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Keberadaan ketentuan-ketentuan tersebut kemudian akan dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk peraturan perundang-undangan di bidang agraria. Dari konteks politik hukum yang mencakup proses pembuatan hukum kedepan (ius constituendum), dengan mendasarkan pada landasan politik hukum agraria nasional yang telah digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUDNRI 1945, pembuatan hukum agraria nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan juga harus dilandaskan pada aspek-aspek tertentu agar sesuai dengan asas-asas umum pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk regelgeving) dan juga cita hukum bangsa Indonesia. Pembentukan sebuah aturan yang baik haruslah didasarkan kepada aspek filosofis, sosiologis, yuridis, politis dan administratif dan keberlakuannya juga haruslah tercermin secara filosofis, sosiologis, yuridis dan politis. Keberlakuan Filosofis berarti, nilai-nilai filosofis negara Republik Indonesia terkandung dalam Pancasila sebagai "staatsfundamentalnorm". Di dalam rumusan kelima sila Pancasila terkandung nilai-nilai religiusitas Ketuhanan Yang Maha Esa, humanitas kemanusiaan yang adil dan beradab, nasionalitas kebangsaan dalam ikatan kebineka-tunggal-ikaan, soverenitas kerakyatan, dan sosialitas keadilan bagi segenap rakyat Indonesia. Tidak satupun dari kelima nilai- nilai filosofis tersebut yang boleh diabaikan atau malah ditentang oleh norma hukum yang terdapat dalam berbagai kemungkinan bentuk peraturan perundang-undangan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberlakuan juridis adalah keberlakuan suatu norma hukum dengan daya ikatnya untuk umum sebagai suatu dogma yang dilihat dari pertimbangan yang bersifat teknis juridis. Secara juridis, suatu norma hukum itu dikatakan berlaku apabila norma hukum itu sendiri memang (i) ditetapkan sebagai norma hukum berdasarkan norma hukum yang lebih superior atau yang lebih tinggi seperti dalam pandangan Hans Kelsen dengan teorinya "Stuffenbau Theorie des Recht", (ii)ditetapkan mengikat atau berlaku karena menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya seperti dalam pandangan J.H.A. Logemann, (iii) ditetapkan sebagai norma hukum menurut prosedur pembentukan hukum yang berlaku seperti dalam pandangan W. Zevenbergen, dan (iv) ditetapkan sebagai norma hukum oleh lembaga yang memang berwewenang untuk itu. Jika ketiga kriteria tersebut telah terpenuhi sebagaimana mestinya, maka norma hukum yang bersangkutan dapat dikatakan memang berlaku secara juridis. Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara politis apabila pemberlakuannya itu memang didukung oleh faktor-faktor kekuatan politik yang nyata (riele machtsfactoren). Meskipun norma yang bersangkutan didukung oleh masyarakat lapisan akar rumput, sejalan pula dengan cita-cita filosofis negara, dan memiliki landasan juridis yang sangat kuat, tetapi tanpa dukungan kekuatan politik yang mencukupi di parlemen, norma hukum yang bersangkutan tidak mungkin mendapatkan dukungan politik untuk diberlakukan sebagai hukum. Dengan perkataan lain, keberlakuan politik ini berkaitan dengan teori kekuasaan (power theory) yang pada gilirannya memberikan legitimasi pada keberlakuan suatu norma hukum semata-mata dari sudut pandang kekuasaan. Apabila suatu norma hukum telah mendapatkan dukungan kekuasaan, apapun wujudnya dan bagaimanapun proses pengambilan keputusan politik tersebut dicapainya sudah cukup untuk menjadi dasar legitimasi bagi keberlakuan norma hukum yang bersangkutan dari segi politik. Keberlakuan Sosiologis, keberlakuan ini cenderung lebih mengutamakan pendekatan yang empiris dengan mengutamakan beberapa pilihan kriteria, yaitu (i) kriteria pengakuan (recognition theory), (ii) kriteria penerimaan (reception theory), atau (iii) kriteria faktisitas hukum. Kriteria pertama (principle of recognition) menyangkut sejauh mana subjek hukum yang diatur memang mengakui keberadaan dan daya ikat serta kewajibannya untuk menundukkan diri terhadap norma hukum yang bersangkutan. Jika subjek hukum yang bersangkutan tidak merasa terikat, maka secara sosiologis norma hukum yang bersangkutan tidak dapat dikatakan berlaku baginya. Dengan mendasarkan pada beberapa landasan pembentukan yang diharapkan akan tercermin dalam bentuk keberlakuan sebagaimana telah dijelaskan di atas, tujuan dari politik hukum agraria nasional untuk memakmurkan/mensejahterakan rakyat sedapat mungkin dapat diwujudkan. B. Aspek Negara Hukum Kesejahteraan Dalam Politik Hukum Agraria Nasional Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan sejarah manusia, oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, namun pada tataran implementasi ternyata dipengaruhi oleh karakteristik negara dan manusianya yang beragam. Hal ini dapat terjadi, disamping pengaruh falsafah bangsa, ideologi negara, dan lain-lain, juga karena adanya pengaruh perkembangan sejarah manusia. Atas dasar itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Al Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila. Pada perkembangan berikutnya kelahiran konsep Negara hukum sesudah masehi didasarkan pada sistem pemerintahan yang berkuasa pada waktu itu, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli.12 Gagasan tentang negara hukum yang telah dikembangkan oleh para ahli baik oleh Plato, Aristoteles, John Lock, Montesqiue dan sebagainya masih bersifat samar-samar dan tenggelam dalam waktu yang sangat panjang, kemudian muncul kembali secara lebih eksplisit pada abad ke- 19, yaitu dengan munculnya konsep Rechsstaat yang dikembangkan oleh Frederich Julius Stahl di Eropa Contiental yang diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum (rechtsstaat) adalah: 1. Perlindungan hak-hak asasi manusia; 2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; 3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan; dan 4. Peradilan administrasi dalam perselisihan. Pada saat yang hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum (Rule of Law) yang dikembangkan oleh A.V Dicey, yang lahir dalam naungan sistem hukum Anglo-Saxon. Dicey mengemukakan unsur-unsur Rule of Law sebagai berikut. 1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power); 2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun orang pejabat. 3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh Undang-Undang Dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan. Dalam perkembangannya konsep negara hukum tersebut kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat di antaranya:” 1. Sistem pemerintah negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat; 2. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau Peraturan Perundang-Undangan; 3. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara); 4. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; 5. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pangaruh eksekutif; 6. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah; 7. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara. Negara berdasarkan hukum ditandai oleh beberapa asas, antara lain asas bahwa semua perbuatan atau tindakan pemerintahan atau negara harus didasarkan pada ketentuan hukum tertentu yang sudah ada sebelum perbuatan atau tindakan itu dilakukan. Campur tangan atas hak dan kebebasan seseorang atau kelompok masyarakat hanya dapat dilakukan berdasarkan aturan-aturan hukum tertentu. Asas ini lazim disebut asas legalitas (legaliteits beginsel). Untuk memungkinkan kepastian perwujudan asas legalitas ini, harus dibuat berbagai peraturan hukum antara lain Peraturan Perundang-Undangan. Asas legalitas ini juga berlaku bagi pemerintah untuk melakukan tindakan pemerintahan di bidang agraria. Dalam melakukan tindakan pemerintahan harus dilandaskan pada aturan perundang-undangan yang berlaku. Telah menjadi suatu komitmen yang bersifat nasional bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum kesejahteraan. Ini berarti bahwa Negara Indonesia dalam melaksanakan aktivitas kehidupan kenegaraan, disamping harus berlandaskan kepada hukum yang berlaku, juga sedapat mungkin harus mampu meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara dalam berbagai sektor/bidang kehidupan sosial. Dengan demikian, sebagai negara hukum kesejahteraan, Negara Republik Indonesia tidak hanya berperan dan berfungsi sebagai layaknya penjaga malam atau polisi lalu lintas saja, melainkan ia juga harus mampu untuk berperan secara aktif positif, melalui alat-alat perlengkapan yang ada untuk meningkatkan taraf hidup warga negara guna mewujudkan tatanan kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman tenteram serta tertib guna mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 1.10 Pengelolaan Tanah Pecatu Kepala Desa Berdasarkan Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (Studi Kasus Di Desa Teratak Kecamatan Batukliang Utara Kabupaten Lombok Tengah) A. Pengaturan Tanah Pecatu Berdasarkan Sistem Hukum Indonesia Istilah tanah pecatu ini digunakan dalam hukum adat khususnya di Pulau Lombok. Namun apabila dilihat dari kedudukan dan fungsi tanah pecatu desa yang ada pada masa itu digunakan sebagai jaminan penghidupan bagi Kepala Desa dan pamong-pamong desa sebagai jaminan hidup keluarganya, jika dilihat dari hal tersebut maka kita mendapat gambaran bahwa tanah pecatu itu lahir dikala ekonomi masyarakat adat Pulau Lombok tergolong masih rendah. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) juga memang tidak dijelaskan secara khusus mengenai tanah pecatu, namun tanah yang serupa dengan tanah pecatu dapat dikatagorikan sebagai hak ulayat karena tanah pecatu masih diatur dengan ketentuan hukum adat setempat, dan melekat hak komunal yang secara umum dalam Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan : “Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.” Tanah pecatu yang dikenal dalam rumpun adat suku sasak di Pulau Lombok dikonsepsikan sebagai tanah yang diberikan kepada pejabat tertentu oleh masyarakat adat untuk menyelenggarakan pemerintahan diwilayahnya berdasarkan prinsip bahwa tanah tersebut diberikan selama yang bersangkutan memangku jabatan. Konsep tanah pecatu mempunyai kesamaan dengan konsep tanah bengkok yang dikenal di Pulau Jawa, yakni Tanah bengkok dapat dianggap suatu pembayaran kepada Kepala Desa oleh persekutuan untuk memelihara keluarganya. Menilik dari latar historis, tanah pecatu ini dikenal dan dinamakan oleh pemerintah kolonial dengan sebutan “Ambtelijk profitrecht” menurut sejarahnya hal ini lazimnya disebut hak seorang pejabat atas sebidang tanah, Kepala Persekutuan atau Pembesar Desa lain mempunyai hak atas tanah pertanian yang diberikan oleh persekutuan untuk memelihara keluarganya. Dalam suatu sistem yang baik tidak boleh terdapat suatu pertentangan antara bagian-bagian. Selain itu juga tidak boleh terjadi duplikasi atau tumpang tindih di antara bagian-bagian tersebut. Suatu sistem mengandung beberapa asas yang menjadi pedoman dalam pembentukannya. Untuk itu hukum adalah suatu sistem artinya suatu susunan atau tatanan teratur dari aturan-aturan hidup, keseluruhannya terdiri bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain. Kemudian adapun yang menjadi pengaturan tanah pecatu berdasarkan sistem hukum Indonesia ialah Undang-undang Nomor 19 tahun 1965, yang dimana setalah berlakunya undang-undang ini maka semua peraturan yang berlaku sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi. Ketentuan yang mengatur tentang penghasilan pejabat desa terdapat pada pasal 13 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 tahun 1965. Pelaksanaan Undang-undang Nomor 19 tahun 1965 tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya karena terjadi peristiwa pemberontakan, sehingga pemerintah Orde Baru menitik beratkan otonomi seluas luasnya kepada daerah, Undang-undang Nomor 19 tahun 1965 perlu ditinjau ulang dan untuk mengantisipasi hal tersebut dikeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 29 tahun 1966 tentang penundaan realisasi pembentukan desa praja. Undang- undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. Berdasarkan undang-undang tersebut, maka tanah pecatu desa dikendalikan penuh oleh Pemerintah Kabupaten. Namun pada tahun 1990 berdasarkan surat perintah Bupati Lombok Tengah tanah pecatu yang dipegang/dikolola oleh Keliang/Kepala Dusun harus dicabut selanjutnya diperuntukan kepada Kepala desa dan perangkat desa yaitu Sekretaris Desa dan staf desa. Seiring perkembangan maka diterbitkanlah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yang dimana mengenai tanah pecatu masih tetap dikendalikan pemerintah Daerah. Kemudian dikeluarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 mengandung makna dihidupkannya kembali nilai-nilai warisan budaya Indonesia. Dengan berlakunya otonomi daerah berarti penataan kembali pemerintahan desa sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang selama ini telah terkubur oleh Undang-undang Nomor 5 tahun 1979.4 Selanjutnya dengan lahirnya Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Untuk pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa terdapat 2 (dua) Peraturan Pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Di dalamnya memang tidak secara langsung menyebutkan mengenai tanah pecatu akan tetap mengatakan tanah bengkok atau sejenisnya. Sebelum disahkannya Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Tanah pecatu ini menjadi hak perangkat desa untuk dikelola sebagai kompensasi gaji mereka, sebagai hak asal usul yang melekat karena jabatannya. Dengan demikian hak pengelolaan tanah pecatu yang diperuntukkan bagi perangkat desa merupakan hak mereka. Pengelolaan tanah pecatu di Desa Teratak didasarkan pada Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Tengah Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Desa. Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Tengah Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Desa, memang tidak dijelaskan secara langsung mengenai tanah pecatu, akan tetapi jika dilihat pada Pasal 40 ayat (3) huruf i yang menyatakan “mengelola keuangan dan aset desa”, dapat dikatakan bahwa Kepala Desa wajib mengelola aset desa yang di mana tanah pecatu merupakan salah satu aset desa, sehingga Peraturan Daerah inilah yang digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan tanah pecatu, namun karena tidak adanya pengaturan pengelolaan tanah pecatu secara khusus maka pengaturan tanah pecatu di Desa Teratak tergantung pada kebijakan pemerintah desa yang sedang melaksanakan tugasnya. Dalam pasal 67 Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan menyebutkan bahwa, eksistensi masyarakat adat diakui keberadaannya hanya jika keberadaannya tersebut telah ditetapkan peraturan daerah yang mendasarkan diri pada kriteria sebagaimana di atas, dan hal yang paling mendasar di atas adalah pengakuan keberadaan masyarakat adat tersebut tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Selagi masih belum dibentuk suatu undang-undang yang khusus mengatur mengenai keberadaan masyarakat hukum adat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18B ayat 2 UUD l945, masih banyak juga undang-undang lain beserta peraturan teknis umumnya yang mengatur keberadaan masyarakat adat. Namun dari sekian banyak perundang-undangan tersebut terdapat satu kesamaan yakni konsep pengakuan atas keberadaan masyarakat adat adalah konsep pengakuan terbatas yakni bahwa masyarakat adat diakui keberadaannya (berikut hak-haknya) sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan negara dan tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. B. Pelaksanaan Pengelolaan Tanah Pecatu di Desa Teratak Pengelolaan tanah pecatu di Desa Teratak bisanya dilakukan dengan memberikan sewa kepada pihak yang ingin menyewa, tidak ada syarat tertentu untuk menyewa tanah pecatu didesa teratak, siapapun yang mau menyewa akan diberikan selama itu dapat menjadi sember kesejahteraan orang banyak (masyarakat) dan hasilnya tersebut 10% (sepuluh perseratus) nya dimasukan ke kas desa. Cara yang dilakukan dalam proses sewa menyewa tanah pecatu ini adalah dengan cara pihak penyewa datang langsung ke pihak desa, bukan pihak desa yang menawarkan tanah pecatu untuk disewakan, hal ini disebabkan karena jarang ada yang ingin menyewa tanah pecatu. Biasanya dalam sewa hanya dibuatkan kwitansi (tidak permanen), karna sewaktu-waktu dapat diambil (ditebus) tergantung kebutuhan agar tidak terlalu terikat. Yang dikhawatirkan jika menggunakan surat dibawah tangan, akan sulit jika ingin diambil lagi oleh pemerintah desa. Tanah pecatu tersebut disewakan hanya dua atau tiga tahun karena dikhawatirkan ada perda yang berubah, supaya pemerintah desa tidak salah dengan aturan. Jika terjadi kecurangan terhadap salah satu pihak maka tanah pecatu akan diambil alih untuk sementara waktu oleh pihak desa sampai perkara tersebut selesai. Dan jika perkara sudah selesai tanah tersebut akan dikembalikan kepada yang meiliki hak. Menurut Moh. Ipkan selaku Kepala desa Teratak, berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan yang berhak menerima tanah pecatu di Desa Teratak adalah sebagai berikut: a. Kepala Desa. b. Sekertaris Desa. c. Perangkat Desa. d. Kepala Dusun. d. Pekasih (petugas yang mengatur sistem irigasi). Harga sewa tanah pecatu di Desa Teratak berbeda-beda, karena luas tanah pecatu yang berbeda. Tanah pecatu di Desa Teratak disewa kepada kepala desa, karena kepala desa merupakan penanggung jawab tertinggi atas pengelolaan asset desa, kemudian kepala desa yang akan membagikan hasil sewa tanah pecatu kepada perangkat desa yang berhak mendapatkannya. Tidak diketahui secara pasti kapan tanah pecatu di Desa Teratak mulai disewakan, hal ini dikarenakan pengaturan tanah pecatu tergantung pada kebijakan pemerintah desa yang sedang melaksanakan tugasnya. Dalam mengelola tanah pecatu di Desa Teratak terdapat faktor- faktor yang mempengaruhi pengelolaan tanah pecatu di Desa Teratak, baik faktor yang berasal dari dalam Desa Teratak sendiri maupun faktor yang mempengaruhi pengelolaan tanah pecatu dari luar Desa Teratak, adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: Faktor dari dalam desa teratak (faktor internal) yaitu :a. Semua lembaga di Desa Teratak ingin memiliki tanah pecatu akan tetapi itu merupakan hal yang tidak mungkin karena memang tanah pecatu hanya diperuntukkan bagi kepala desa beserta staf desa yang bekerja pada masa tersebut.b. Bisa atau tidaknya tanah pecatu dikelola secara profesional atau tidak. c. Luas tanah pecatu terbatas sementara perangkat desa yang bekerja di desa banyak sekali. d. Harga sewa tanah yang masih rendah. Faktor dari luar desa teratak (faktor eksternal) yaitu : a. Belum pernah secara khusus pembinaan dari pemda ataupun pusat mengenai pengelolaan tanah pecatu. b. Tidak ada pengaturan secara khusus mengenani peruntukan tanah pecatu. Pengelolaan tanah pecatu pada awal terbentuknya desa Teratak sepenuhnya diberikan kepada kepala desa, hal ini dikarenakan masih bernuansa pemerintahan kolonial Belanda, yang dimana kepala desa dipecaya secara penuh untuk mengelola aset desa termasuk tanah pecatu. Karena jika dilihat dari terbentuknya, desa Teratak terbentuk pada tahun 1939 yang artinya desa ini sudah terbentuk pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, hal inilah yang menyebabkan nuansa pemerintahan kolonial Belanda masih melekat, karena tidak mungkin dapat dihapuskan secara drastis. Pengelolaan tanah pecatu yang hanya di kuasai oleh kepala desa berlangsung antara tahun 1939 sampai dengan tahun 1979 yaitu pada masa pemerintahan Lalu Munggah tahun 1939-1961, Lalu Saelan 1962- 1967, Murdam 1968-1972, Lalu Nujum 1973-1976, Baiq Sakdiyah 1977-1992, Baiq Sakdiyah memerintah desa Teratak selama dua periode, pada masa pemerintahannya dikeluarkan undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Desa, setelah dikeluarkannya undang-undang tersebut maka tanah pecatu tidak hanya di berikan kepada kepala desa, akan tetapi juga diberikan kepada sekertaris desa, perangkat desa, kepala dusun, serta pekasih. Dari masa pemerintahan Baiq Sakdiyah pengelolaan tanah pecatu oleh kepala desa dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara digarap sendiri dan juga disewakan, digarap sendiri dalam artian tanah pecatu tersebut dikelola oleh orang yang dipercaya oleh pemerintah desa akan tetapi hasilnya akan dibagi sesuai dengan perjanjian yang dilakukan diawal, sedangkan disewakan artinya pemerintah desa melakukan perjanjian sewa dengan pihak penyewa. Sejak saat itulah pengelolaan tanah pecatu dilakukan dengan dua cara tersebut, dan dilakukan hingga masa pemerintahan yang sekarang ini. terbentuknya, desa Teratak terbentuk pada tahun 1939 yang artinya desa ini sudah terbentuk pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, hal inilah yang menyebabkan nuansa pemerintahan kolonial Belanda masih melekat, karena tidak mungkin dapat dihapuskan secara drastis. Pengelolaan tanah pecatu yang hanya di kuasai oleh kepala desa berlangsung antara tahun 1939 sampai dengan tahun 1979 yaitu pada masa pemerintahan Lalu Munggah tahun 1939-1961, Lalu Saelan 1962-1967, Murdam 1968-1972, Lalu Nujum 1973-1976, Baiq Sakdiyah 1977-1992, Baiq Sakdiyah memerintah desa Teratak selama dua periode, pada masa pemerintahannya dikeluarkan undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Desa, setelah dikeluarkannya undang-undang tersebut maka tanah pecatu tidak hanya di berikan kepada kepala desa, akan tetapi juga diberikan kepada sekertaris desa, perangkat desa, kepala dusun, serta pekasih. Dari masa pemerintahan Baiq Sakdiyah pengelolaan tanah pecatu oleh kepala desa dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara digarap sendiri dan juga disewakan, digarap sendiri dalam artian tanah pecatu tersebut dikelola oleh orang yang dipercaya oleh pemerintah desa akan tetapi hasilnya akan dibagi sesuai dengan perjanjian yang dilakukan diawal, sedangkan disewakan artinya pemerintah desa melakukan perjanjian sewa dengan pihak penyewa. Sejak saat itulah pengelolaan tanah pecatu dilakukan dengan dua cara tersebut, dan dilakukan hingga masa pemerintahan yang sekarang ini.