Anda di halaman 1dari 98

BAB I

KUMPULAN JURNAL

1.1 Implementasi Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 Dalam Berbagai Perundang-


Undangan Tentang Sumberdaya Alam
Indonesia diakui sebagai suatu negara yang mempunyai kekayaan alam
berlimpah, seperti sumber daya mineral, sumber daya air, sumber daya hutan,
dan lain-lain. Sumber kekayaan alam tersebut dianugrahkan Tuhan kepada
rakyat dan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Oleh karena
kekayaan alam tersebut diperuntukkan bagi kesejahteraan dan kemakmuran
seluruh rakyat, maka penguasaan dan pemanfaatannya diatur dalam konstitusi
dan dalam berbagai produk perundang-undangan nasional. Ideologi dan
politik hukum tentang penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam
tersebut tercermin dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, yang
menyatakan sebagai berikut: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat”
Terkait dengan ideologi dan politik hukum tentang penguasaan dan
pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan
pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tersebut, Nurjaya mempertanyakan apakah selama
ini kekayaan alam tersebut telah membawa nikmat dan telah mengantarkan
rakyat dan bangsa Indonesia ke tingkat kesejahteraan dan kemakmuran
sebagaiman dicita-citakan oleh Pembukaan UUD 1945? Nurjaya sendiri
menjawab bahwa yang terjadi justru proses pemiskinan struktural yang
berlangsung secara sistematik. Pandangan Nurjaya ada benarnya, karena
selama ini dapat dilihat bahwa daerah-daerah yang kaya akan sumberdaya
alam yang telah diekplotasi untuk pembangunan nasional, ternyata wilayah
tersebut tidak memperoleh manfaat dari pemanfaatan sumberdaya alam yang
ada di wilayahnya. Tidaklah salah apabila Mubariq Ahmad menyatakan
bahwa : “daerah tidak memperoleh manfaat yang memadai dari pemanfaatan
sumberdaya alamnya”.
Penggunaan sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat, sebagaimana dirumuskan dalam UUD 1945 itu, mestinya dimaknai
bahwa rakyat yang dimaksud adalah rakyat dimana sumberdaya alam itu
berada, minimal daerah itu mendapat kontribusi yang memadai untuk
kesejahterraan dan kemakmuran masyarakat setempat. Proses pemiskinan dan
tidak memadainya kontribusi kepada masyarakat lokal atas pemanfaatan
sumberdaya alam yang ada di wilayahnya seringkali menimbulkan konflik
ataupun sengketa antara pihak pemerintah, investor yang mendapat ijin
pemanfaatan sumberdaya alam dengan pihak masyarakat lokal. Konflik
semacam ini sebenarnya dapat dihindari apabila masyarakat lokal dilibatkan
sejak tahapan perencanaan sampai pada pelaksanaan dan penilaian terhadap
pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di lingkungan wilayahnya.
Peran serta masyarakat memang sudah diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, antara lain dalam Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) dan Undang-Undang tentang Kehutanan (Undang-Undang No. 41
Tahun 1999), Akan tetapi dalam pelaksanaannya, seringkali masyarakat
hanya dilibatkan dalam pelaksanaannya sedangkan dalam perencanaan dan
penilaian terkait dengan pemanfaatannya pemerintah melakukannya secara
sepihak, sehingga menimbulkan ketidakpuasan pada masyarakat yang
berpotensi menimbulkan konflik.
Konflik ataupun sengketa terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam
telah terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Konflik/sengketa tersebut
disebabkan oleh adanya pelanggaran-pelanggaran baik dari pihak yang
memegang ijin pengelolaan, maupun oleh masyarakat. Pelanggaran-
pelanggaran yang terjadi dapat berbentuk antara lain, membakar hutan,
menebang pohon dan memiliki hasil hutan secara illegal, memiliki hasil
hutan tanpa surat keterangan, mengembalakan ternak dalam kawasan hutan,
membuang benda-benda yang berbahaya, membawa satwa dan tumbuh-
tumbuhan yang dilindungi, dan sebagainya.
Salah satu contoh kasus pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat
lokal yang patut dijadikan cotoh, adalah penguasaan dan pengelolaan
sumberdaya alam (tanah, dan hutan) yang ada pada masyarakat Tenganan
Pagringsingan, Kabupaten Karangasem, Bali, dimana tanah, hutan dan hasil
hutan yang ada di wilayahnya memberikan kontribusi yang cukup besar
kepada masyarakat setempat. Masyarakat setempat juga menerapkan aturan
lokal (awig-awig) untuk mengawasi dan menjaga hutan supaya tetap
berfungsi sebagaimana mestinya bagi kesejahteraan mereka. Di pihak lain
contoh kasus tentang penggunaan kawasan hutan secara ilegal dikemukakan
oleh Suardana dalam tesisnya yang berjudul : “Implementasi Prinsip
Perlindungan Hutan dalam Penanggulangan Illegal Occupation di Kawasan
Hutan (Studi Kasus pada Illegal Occupation di Tahura Ngurah Rai).
Konflik-konflik yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam tidak
saja terjadi dalam tataran empirik, akan tetapi dapat pulan terjadi dalam
tataran normatif, artinya terjadi ketidak sesuaian antara norma yang satu
dengan yang lain, seperti misalnya antara Undang-Undang Pokok Agararia
yang mengatur masalah pertanahan, dan Undang-Undang tentang Kehutanan
yang mengatur tentang hutan dan dengan sendirinya juga menyangkut tanah
di mana hutan itu tumbuh. Demikian juga perundang-undangan l;ainnya yang
mengatur sumberdaya alam yang satu sama lain saling bersinggungan.
A. Sinkronisasi Perundang-Undangan tentang Sumberdaya Alam dalam
Konteks Masyarakat Hukum Adat dan Sanksi-sanksi terhadap
Pelanggaran Perundang-Undangan
Analisis tentang sinkronisasi antara perundang-undangan tersebut
diatas (UUPA, UU Kehutanan, UU tentang Sumberdaya Air, UU tentang
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Uudang-undang tentang
Pertambangan, Mineral dan Batubara serta Undang-Undang tentang
Perikanan, hanya difokuskan pada bagian menimbang, beberapa pasal
khususnya yang terkait dengan pelibatan masyarakat hukum adat dan
pasal-pasal yang terkait dengan sanksi. Berdasarkan deskripsi pada
bagian menimbang, tampaknya semua perundangundangan tersebut di
atas sinkron atau ada kesesuaian satu dengan yang lain, dalam arti bahwa
sumberdaya alam yang diatur dalam masing-masing undang-undang,
secara jelas dikatakan dikuasai oleh Negara dan dimanfaatkan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Apabila dikaji beberapa pasal dari perundang-undangan tersebut
dapat dilihat di satu pihak ada kesinkronan dan di pihak lain ada ketidak
sinkronan. Hal-hal yang menunjukkan kesesuaian antara undangundang
yang satu dengan undang-undang yang lainnya, adalah dalam hal adanya
hak menguasai oleh negara itu yang dikuasakan kepada Pemerintahan
Daerah. Di pihak lain, ketidak sinkronan terlihat dari adanya beberapa
undang-undang yang secara jelas menyatakan bahwa pelaksanaan hak
penguasaan sumberdaya alam itu di samping dikuasakan kepada
Pemerintah Daerah ada juga yang penguasaanya diserahkan kepada
masyarakat desa bahkan masyarakat hukum adat serta dengan pengakuan
hukum adatnya, seperti halnya Undang-Undang Pokok Agraria dengan
jelas menyatakan hal itu dalam pasal 2 ayat 4, pasal 3 dan pasal 5 UUPA
yang masing-masing mengatur sbb: Pasal 2 ayat 4: Hak menguasai dari
Negara tersebut di atas, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah Swatantra dan masyarakat hukum adat. Pasal 3 : Dengan
mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari dari masyarakat-masyarakat
hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada…dstPasal 5.
Hukum agraria yang berlaku atas bumi,air dan ruang angkasa ialah
hukum adat.
Demikian juga dalam Undang-Undang Kehutanan antara lain
disebutkan dalam pasal 34 sebagai berikut: “Pengelolaan kawasan hutan
untuk tujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 dapat
diberikan kepada: a. Masyarakat hukum adat. Pasal 37 ayat 1 :
Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang
bersangkutan, sesuai dengan fungsinya Pasal 67 (1) Masyarakat hukum
adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya berhak: a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang
bersangkutan b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan
hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang.
Dalam Undang-Undang tentang Pengelolaan Sumberdaya Air dalam
pasal 6 ayat 2 disebutkan bahwa Penguasaan sumber daya air
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat
masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan
perundang-undangan. Selanjutnya dalam ayat 3 disebutkan pula bahwa
hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada
dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.
Keberadaan masyarakat adat dan partisipasinya juga diakui dalam
UndangUndang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, khususnya dalam Pasal 21 (1) yang menentukan sebagai berikut:
Pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-
pulau kecil pada wilayah Masyarakat Hukum Adat oleh Masyarakat
Hukum Adat menjadi kewenangan Masyarakat Hukum Adat setempat.
Berbeda dengan ke empat undang-undang tersebut di atas, dua undang-
undang yang disebut terakhir, yaitu Undang-undang tentang
Pertambangan, Mineral dan Batubara serta Undang-Undang tentang
Perikanan, tidak ada ketentuannya yang mengatur masalah masyarakat
hukum adat.
Berkaitan dengan sanksi atas pelanggaran terhadap perundang-
undangan tersebut di atas, disatu pihak ada kesinkronan dalam hal jenis
sanksi berupa sanksi pidana penjara dan denda. Jenis-jenis sanksi ada
pula yang bervariasi seperti adanya hukuman kurungan, ataupun sanksi
tambahan berupa sanksi administrasi yang bentuknya juga bermacam-
macam seperti : pencabutan ijin dan pencabutan status badan hukum,
perampasan barang, perampasan keuntungan, dan Pembayaran biaya
yang timbul akibat dilakukannya tindak pidana. Di pihak lain, ada
ketidak sinkronan antara besarnya pidana penjara, dalam arti ada yang
sangat ringan berkisar tiga bulan, ada juga yang lamanya puluhan tahun.
Demikian juga terkait dengan pidana denda, ada yang besarnya dalam
hitungan puluhan ribu, ada juga yang sangat berat dalam hitungan
puluhan milyar. Tentang pidana tambahan, juga ada yang mengatur ada
yang tidak.
B. Implikasi
Adanya ketidak-sinkronan antara undang-undang yang satu dengan
undang yang lainnya terkait dengan penyerahan pelaksanaan hak
penguasaan oleh Negara atas sumberdaya alam kepada masyarakat
hukum adat, dapat berimplikasi pada tingkat partisipasi masyarakat
hukum adat dalam pengelolaan sumberdaya alam tertentu, dan pada
tataran empirik dapat menimbulkan ketidakpuasan masyarakat lokal
(masyarakat hukum adat) tertentu atas pengabaian Negara terhadap peran
sertanya dalam hal pengelolaan sumberdaya alam yang ada di
lingkungan wilayahnya dan hal ini dapat berpotensi konflik.
Adanya tumpang tindih terhadap ruang lingkup pengaturan masalah
sumberdaya alam antara undang-undang yang satu dengan yang lain
berpotensi pula untuk terjadinya konflik norma antara yang satu dengan
yang lain yang selanjutnya berimplikasi pada terjadinya ketidak pastian
hukum dalam penegakan hukumnya. Selain itu, adanya gap yang begitu
besar antara undang-undang yang satu dengan yang lain terkait dengan
besarnya sanksi atas pelanggaran terhadap berbagai perundang-
undangaan tentang sumberdaya alam, juga dapat berimplikasi pada
ketidak pastian dalam penegakan hukum.
1.2 Pengadaan Tanah Dengan Cara Jual Beli Oleh Instansi Pemerintah
Menurut Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945
A. Konsekuensi Yuridis Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum Dengan Cara Jual Beli Oleh Instansi
Pemerintah Dengan Pemilik Tanah Menurut UU No. 2 Tahun 2012,
Perpres No. 40 Tahun 2014 Dihubungkan Dengan Pasal 33 Ayat (3)
UUD 1945 Negara sebagai pemegang hak menguasai atas tanah
memiliki hak untuk membuat kebijakan yang mengatur tentang
kepentingan umum atas tanah, semata-mata untuk mencapai kehidupan
yang lebih baik bagi masyarakatnya. Kebijakan tersebut harus didasari
oleh asas-asas hukum umum dalam pokok-pokok pikiran pembukaan
UUD 1945. Hal itu berarti bahwa penggunaan tanah atas dasar
kepentingan umum dipengaruhi oleh nilai, norma serta asas-asas hukum
dan pelaksanaannya diatur di dalam peraturan serta keputusan -
keputusan, dengan tetap memperhatikan sifat normatif dalam
mempertimbangkan kenyataan secara optimal.
Penerapan fungsi sosial menekankan pada suatu kewajiban yang
pelaksanaannya dituntut dari pihak yang memiliki, menggunakan atau
mengerjakan tanah (misalnya, pihak ketiga). Kewajiban itu merupakan
penghubung antara arti fungsi sosial di satu pihak dan kepentingan
umum dipihak lain. Dalam UUPA fungsi sosial atas tanah diatur dalam
Pasal 6 dan dalam Penjelasan Umum nomor II angka 4.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapatlah diambil suatu kesimpulan
bahwa fungsi sosial yang melekat pada hak atas tanah merupakan fungsi
yang dipunyai oleh pemegang haknya sekaligus juga mempunyai fungsi
kemasyarakatan. Konsekuensinya adalah dalam penggunaan tanah harus
memperhatikan dua kepentingan yaitu kepentingan pemegang hak dan
kepentingan masyarakat. Kedua kepentingan tersebut harus seimbang
yang artinya tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat dan
begitupun sebaliknya bahwa kepentingan masyarakat tidak boleh
merugikan kepentingan pemegang hak.
Hak menguasai negara atas tanah harus bermuara pada satu tujuan
luhur yakni menciptakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Salah satu
bentuk hak menguasai negara atas tanah yang ada kaitannya dengan
hakhak perorangan yaitu negara memiliki kewenangan untuk
melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum melalui
pelepasan hak dan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda di
atasnya. Ketika negara membutuhkan tanah untuk kepentingan umum
sehingga harus melaksanakan pelepasan hak atau pencabutan hak atas
tanah milik masyarakat, maka negara harus memperhatikan dan
mempertimbangkan prinsip-prinsip keseimbangan antara kepentingan
perseorangan, masyarakat dan negara sehingga hak-hak dari pemegang
hak atas tanah tersebut dapat terlindungi secara hukum karena
negaramengakui adanya hak perseorangan atas tanah sebagai hak dasar
manusia atas sumber daya alam. Faktor-faktor penting yang perlu
dipertimbangkan dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum adalah :
a) Pengadaan tanah harus memenuhi syarat tata ruang dan tata guna
tanah.
b) Pengadaan tanah tidak boleh mengakibatkan kerusakan atau
pencemaran terhadap kelestarian alam dan lingkungan.
c) Pengadaan tanah tidak boleh mengakibatkan kerugian bagi pemilik
tanah.
Pada asasnya, jika diperlukan tanah atau benda-benda lainnya
kepunyaan orang lain untuk sesuatu keperluan pembangunan proyek-
proyek pemerintah haruslah lebih dahulu diusahakan agar tanah itu dapat
diperoleh dengan persetujuan pemilik tanah, melalui pelepasan hak.
Tetapi apabila cara demikian tidak berhasil, karena ada kemungkinan
pemilik tanah meminta harga atau ganti rugi yang terlampau tinggi atau
tidak bersedia sama sekali untuk melepaskan tanah yang diperlukan itu,
maka untuk kepentingan pembangunan yang pada hakikatnya demi
kepentingan umum harus lebih didahulukan daripada kepentingan orang
perseorangan. Jika pembangunan tersebut benar-benar untuk kepentingan
umum, dan dalam musyawarah tidak membawa hasil yang diharapkan
untuk dapat mengambil dan menguasai tanah yangbersangkutan,
pemerintah dapat melakukan pencabutan hak atas tanah tersebut.
Pemerintah dapat melakukan pencabutan hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 18 UUPA, yang menyebutkan bahwa,
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara
serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut
dengan memberikan ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang
diatur dengan undang-undang”.
Apabila tanah yang diperlukan oleh pemerintah untuk kegiatan
pembangunan tersebut luasnya kurang dari 5 (lima) hektar, dapat
dilakukan melalui jual beli. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal
121 Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2014 tentang Pengadaan Tanah
Skala Kecil, yang mengatur : “Dalam rangka efisiensi dan efektivitas,
pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari
5 (lima) hektar dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan
tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual-beli atau
tukar menukar atau cara lain yang disepakati oleh kedua belah pihak”.
Ketentuan seperti hal tersebut di atas dapat dijumpai pula pada Pasal
54 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 3 tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden
Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 tentang Perubahan
Atas Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005. Melihat pada peraturan
sebelumnya, ketentuan tersebut pernah diatur pada Pasal 23 Keputusan
Presiden No. 55 Tahun 1993 dan Pasal 20 Peraturan Presiden No. 36
Tahun 2005, serta Pasal 23 Perpres No. 65 Tahun 2006.
Setelah proses jual beli dilakukan maka tanah tersebut akan menjadi
tanah milik pemerintah atau pemerintah daerah tergantung siapa yang
melakukan pembelian tanah tersebut. Setelah proses jual beli dilakukan
maka tanah tersebut akan menjadi tanah milik pemerintah atau
pemerintah daerah tergantung siapa yang melakukan pembelian tanah
tersebut. Hal tersebut diatur sebagaimana diatur pada Pasal 11 ayat (1)
Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang mengatur bahwa,
“Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 wajib diselenggarakan oleh pemerintah dan tanahnya
selanjutnya dimiliki pemerintah atau pemerintah daerah”.
Menurut ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2012 bahwa,
“setelah penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum, pihak
yang berhak hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada instansi
yang memerlukan tanah”. “Beralihnya hak atas tanah tersebut dilakukan
dengan memberikan ganti rugi” (Pasal 27 ayat (4)). Tercantum dalam
ketentuan UUPA, berpindahnya hak-hak atas tanah dari pemilik semula
kepada pihak lain berbeda dengan hapusnya hak-hak atas tanah.
Berpindahnya hak atas tanah dapat dilakukan melalui peralihan hak.
Peralihan hak terdiri atas beralih dan dialihkan. Beralih artinya
berpindahnya hak atas tanah dari pemiliknya kepada pihak lain karena
terjadinya suatu peristiwa hukum, misalnya meninggalnya pemilik tanah
mengakibatkan hak atas tanahnya berpindah secara hukum kepada ahli
warisnya sepanjang ahli warisnya tersebut memenuhi syarat sebagai
subjek hak atas tanah.
Pengertian dialihkan ialah berpindahnya hak atas tanah dari
pemiliknya kepada pihak lain karena terjadinya suatu perbuatan hukum,
misalnya jual beli, tukar menukar, hibah dan sebagainya. Berdasarkan
dari uraian tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa ciri pokok pada
peralihan hak atas tanah adalah terjadinya perpindahan hak dari pemilik
atau pemegang hak atas tanah semula kepada pemilik atau pemegang hak
atas tanah berikutnya. Tercantum dalam ketentuan UUPA peralihan hak-
hak atas tanah diatur pada pasal-pasal dibawah ini :
a) Peralihan hak milik diatur pada Pasal 20 ayat (2) yang menyatakan
bahwa, “hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pemilik lain.
b) Peralihan hak guna usaha, diatur pada Pasal 28 ayat (3) yang
menyebutkan bahwa : “hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan
kepada pihak lain”.
c) Peralihan hak guna bangunan, diatur pada Pasal 28 ayat (3) yang
menyebukan bahwa : “hak guna bangunan dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain.
Peralihan hak pakai, ketentuan hak pakai dalam UUPA terdapat
selain pada Pasal 16 ayat (1) huruf d, secara khusus diatur dalam Pasal
41 sampai dengan Pasal 43, dan Pasal 50 ayat (2) lebih lanjut mengenai
hak-hak pakai diatur dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan
perundang-undangan yang dimaksud adalah peraturan pemerintah No. 40
Tahun 1996, yang secara hukum diatur pada Pasal 39 sampai dengan 58.
Ketentuan Pasal 11 ayat (1), Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (4)
Undang-Undang No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah dan
ketentuan tentang pengadaan tanah dengan cara jual beli yang diatur
dalam Perpres No. 40 tahun 2014, menurut pendapat penulis dapat
menimbulkan persoalan hukum. Masalah hukum yang dimaksud adalah
adanya akibat hukum dari jual beli terhadap tanah sudah barang tentu
akan terjadi perpindahan hak kepemilikan atas tanah. Dengan kata lain
tanah yang dibeli oleh instansi pemerintah akan menjadi tanah milik dari
instansi pemerintah tersebut.
Konsepsi negara sebagai pemilik tanah sebagaimana yang diatur
dalam ketentuan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012, Perpers No. 40
Tahun 2014 adalah tidak sesuai dengan filosofis negara Republik
Indonesia, yaitu Pancasila. Konsepsi kepemilikan tanah oleh pemerintah
juga tidak dianut baik dalam UUD 1945 maupun dalam UUPA, konsepsi
yang dianut oleh keduanya adalah hak menguasai tanah oleh negara,
sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
yang menyebutkan bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar besar kemakmuran rakyat dan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)
UUPA, yang menyebutkan sebagai berikut :
Pasal 2 ayat (1) UUPA :
Bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Pasal 2 ayat (2) UUPA :
Hak menguasai negara, memberikan wewenang kepada negara untuk
(a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
(b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
(c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan antara orangorang
dengan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
Kewenangan negara tersebut, dilaksanakan untuk mencapai sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan negara Indonesia yang merdeka,
berdaulat, adil dan makmur. Hak menguasai negara merupakan suatu
konsepsi yang mendasarkan pada pemahaman bahwa negara adalah
suatu organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat sehingga bagi pemilik
kekuasaan, upaya mempengaruhi pihak lain menjadi sentral yang dalam
hal ini dipegang oleh negara. Dalam kekuasaannya sebagai badan
penguasa negara diberi tugas untuk menjalankan kewajiban terciptanya
kemakmuran rakyat.
Oleh karena itu, negara diberikan kewenangan yang bersifat dapat
dipaksakan untuk mengatur penguasaan hak atas tanah. Pengelolaan
sumber daya alam yang dilakukan dan diusahakan oleh negara bermuara
pada suatu tujuan yaitu terciptanya sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
Tujuan itu menjadi tanggungjawab negara sebagai bentuk konsekuensi
dari hak penguasaan negara terhadap bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. Kewenangan negara dalam bidang pertanahan
tersebut dilakukan oleh organ-organ penyelenggara negara, yaitu badan-
badan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah sedangkan sifat
kewenangannya adalah bersifat publik semata. Berdasarkan uraian
tersebut di atas, menurut analisis penulis, pengadaan tanah untuk
kegiatan pembangunan dengan cara jual beli sebagaimana diatur dalam
Perpres No 40 tahun 2014 serta Pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 2
Tahun 2012 yang menjadikan instansi pemerintah sebagai pemilik tanah
sangatlah bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 dan ketentuan Pasal 2 UUPA tahun 1960.
B. Cara Yang Seharusnya Dilakukan Oleh Instansi Pemerintah Dalam
Melakukan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum Yang Sesuai Dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
Cara yang dikedepankan oleh pemerintah dalam melakukan
pengadaan tanah adalah dengan memakai model pemberian ganti rugi,
akan tetapi selama ini selalu tidak terdapat persamaan pandangan
mengenai penetapan nilai ganti rugi antara masyarakat sebagai pemilik
tanah dengan pemerintah. Masyarakat menghendaki nilai ganti rugi yang
setinggi-tingginya dari harga pasaran atau paling tidak sesuai dengan
harga pasaran, bahkan ada masyarakat yang menetapkan nilai ganti rugi
tersebut didasarkan pada harga sekian tahun kedepan atau setelah
pengadaan tanah dan/atau telah dijadikan sarana umum.
Dilain pihak pemerintah dalam menentukan nilai ganti rugi hanya
berpatokan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang besarannya
ditentukan oleh Kantor Pajak Bumi dan Bangunan. Berdasarkan realita,
harga pasaran di masyarakat jauh lebih tinggi dari NJOP. Perbedaan
NJOP dengan harga pasaran masih menjadi problematika dalam
penentuan nilai ganti rugi pengadaan tanah. Pihak pemerintah berpatokan
pada NJOP sedangkan masyarakat berpatokan pada harga pasaran.
Hakikatnya model pemberian ganti rugi yang diterapkan saat ini adalah
satu-satunya model yang dapat diterima oleh masyarakat maupun
pemerintah, namun yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah
mengenai besaran nilai ganti rugi yang perlu mendapatkan kesepakatan
diantara kedua belah pihak, yaitu masyarakat dengan pemerintah.
Guna mengakhiri konflik atau perbedaan pandangan dalam
menentukan besaran nilai ganti rugi, pemerintah melalui peraturan
perundang-undangan menerapkan model lain yakni model jual beli tanah
antara pemilik tanah dengan instansi yang memerlukan tanah. Model jual
beli ini tentu akan berbeda dengan model pemberian ganti rugi. Pada jual
beli kedudukan para pihak adalah seimbang. Pemilik tanah dapat
menetapkan harga jual dan pihak pembeli dapat melakukan penawaran
harga. Harga jual yang ditawarkan kepada pembeli sudah barang tentu
akan berpatokan atau berdasarkan pada harga riil atau harga pasar tanah
saat itu. Tidak berdasarkan NJOP seperti pada model pemberian ganti
rugi. Demikian pula dengan calon pembeli, dalam praktek tidak ada yang
memberikan harga penawaran sesuai NJOP, kendatipun NJOP dijadikan
juga sebagai dasar untuk memberikan penawaran harga. Dengan model
jual beli ini, dari awal harga yang ditawarkan oleh pemilik hak atas tanah
merujuk pada harga riil atau pasar sedangkan pada model pemberian
ganti rugi, rujukan pertama untuk besaran nilai ganti adalah NJOP.
Dengan model jual beli ini tentu akan lebih baik dan
menguntungkan bagi kedua belah pihak terutama pemilik hak atas tanah.
Dengan kata lain pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum tidak akan merugikan pemilik hak atas tanah. Meskipun model
jual beli ini lebih baik dari model pemberian ganti rugi, namun secara
hukum model jual beli ini tidak sesuai dengan prinsip hak menguasai
negara atas tanah. Hal ini dapat dikemukakan sebagai berikut, akibat
hukum dari perbuatan hukum jual beli adalah terjadinya peralihan hak
atas tanah dari penjual kepada pembeli. Tanah yang dimiliki penjual
akan berpindah menjadi tanah yang dimiliki oleh pembeli. Dengan
model jual beli ini negara dalam hal ini instansi pemerintah akan menjadi
pemilik hak atas tanah tersebut. Jika tanah yang diperlukan oleh instansi
tersebut adalah tanah hak milik, hak guna usaha atau hak guna bangunan
maka hak-hak atas tanah tersebut akan menjadi tanah milik instansi
tersebut. Padahal negara atau instansi dimaksud bukan subjek hak-hak
atas tanah tersebut.
Model atau cara yang harus dilakukan oleh instansi pemerintah
dalam melakukan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum sebetulnya sudah jelas diatur oleh UUPA. UUPA
telah mengatur hubungan-hubungan hukum antara subjek hukum dengan
tanah. UUPA juga mengatur perbuatan-perbuatan hukum antara sebjek
hukum dengan tanah. UUPA secara jelas telah mengatur bila subjek
hukum memerlukan hak atas tanah tetapi terkena larangan untuk
memiliki hak atas tanah tersebut, maka perbuatan hukum yang dapat
dilakkukan adalah melalui pelepasan hak dan pencabutan hak.
Akibat hukum perbuatan hukum pelepasan hak dan pencabutan hak
adalah hapusnya hak atas tanah tersebut dan tanahnya jatuh kepada
negara. Berdasarkan uraian tersebut menurut pendapat penulis bahwa
model yang seharusnya dilakukan oleh instansi pemerintah apabila
memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum adalah
bukan dengan cara jual beli tetapi dengan cara pelepasan hak atau
pencabutan hak disertai pemberian ganti rugi yang didasarkan pada harga
jual beli bukan berdasarkan nilai jual objek pajak (NJOP). Hal tersebut
semata-mata dilakukan untuk menghindari terjadinya kemunduran sosial
ekonomi masyarakat pemilik tanah, oleh karena itu besaran ganti rugi
yang diberikan seyogyanya mengakomodasi prinsip-prinsip jual beli
tanah pada umumnya. Penetapan nilai besaran ganti rugi berdasarkan
harga jual beli, juga dapat dipandang sebagai pengakuan hukum dan
perlindungan hukum terhadap pemilik hak atas tanah dengan tetap
memperhatikan fungsi sosial atas tanah.
1.3 Politik Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Menurut Pasal 33
UUD 1945
Definisi politik hukum menurut para ahli dan para pakar secara substantif
pada dasarnya adalah sama. Politik hukum adalah legal policy atau garis
(kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan
pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam
rangka mencapai tujuan negara. Dari beberapa pengertian yang ada, inti dari
defenisi politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan
secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama,
pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap
materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; kedua,
pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi
lembaga dan pembinaan dari para penegak hukum. Dari pengertian tersebut
terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum
yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan
ditegakkan.
Dalam konteks pengeloalaan sumber daya alam, sumber politik
hukumnya adalah ketentuan Pasal 33 UUD 1945 yang memuat mengenai
Perekonomian Nasional. Dari ketentuan inilah kemudian dibuat undang-
undang organik sebagai aturan pelaksana dari Pasal 33 UUD 1945. Selain
ketentuan dalam Pasal 33 UUD 1945, politik hukum pengelolaan sumber
daya alam tercermin pula dalam putusan-putusan MK. Hal ini dikarenakan
kelahiran MK bertujuan untuk mengawal konstitusi terutama untuk menjaga
agar tidak ada undang-undang yang melanggar UUD. Selain itu, bentuk
pengawalan konstitusi yang dilakukan MK adalah dengan memberikan
penafsiran terhadap konstitusi karena MK selain memiliki kewenangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945, MK juga memiliki fungsi
yang merupakan derivasi dari kewenangannya itu. Salah satu fungsi MK
adalah sebagai penafsir konstitusi (The Final Interpreter of The Constitution).
Oleh karena itu, sudah menjadi suatu keniscayaan bahwa putusan-putusan
MK terkait pengelolaan sumber daya alam menjadi politik hukum yang harus
dijadikan pedoman bagi pembentuk undang-undang dalam proses legislasi
nasional.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang sifatnya membuat atau meniadakan
keadaan hukum baru (constitutief) perlu diinternalisasikan dalam proses
legislasi agar materi substansi produk undang-undang yang dihasilkan sesuai
dengan Putusan Mahkamah dan tidak inkonstitusional serta tidak terjadi
kekosongan hukum. Meskipun demikian, ada pula putusan MK yang bersifat
konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dan tidak
konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Dalam kedua jenis
putusan ini, Mahkamah Konstitusi selalu merumuskan norma hukum baru
untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kekosongan hukum.
Dalam proses selanjutnya pasca putusan MK, Pasal 10 ayat (1) huruf d
UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
menegaskan bahwa tindak lanjut atas Putusan MK harus diatur dalam
undang-undang. Selain itu dalam Pasal 10 ayat (2) nya diatur bahwa tindak
lanjut atas Putusan MK dilakukan oleh DPR atau Presiden. Kedua pasal ini
menegaskan bahwa putusan MK menjadi politik hukum bagi DPR dan
Presiden dalam membantuk undang undang. Oleh karenanya undang-
undang yang dibuat harus selaras dan seirama dengan putusan MK. Apalagi
pasca perubahan, UUD 1945 tidak lagi memiliki penjelasan, sehingga MK
lah yang berfungsi sebagai penafsir akhir konstitusi yang menentukan arah
politik hukum dalam pembentukan hukum nasional.
A. Politik Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Menurut Pasal 33 UUD
1945
Dalam praktik ketatanegaraan di berbagai negara, permasalahan
pengelolaan sumber daya alam merupakan bagian dari kebijakan
perekonomian suatu negara yang tertuang dalam setiap konstitusi
negaranya.13 Akan tetapi pada umumnya negara-negara yang bercorak
liberal-kapitalis dan menganut tradisi hukum common law seperti
Amerika, Inggris, Australia, dan Kanada tidak memuat ketentuan
mengenai dasar-dasar kebijakan ekonomi dalam naskah undang-undang
dasarnya. Karena masalah-masalah perekonomian dianggap sebagai
domain pasar (market) yang tunduk pada mekanisme pasar sehingga
tidak memerlukan peraturan yang ketat oleh negara. Paradigma dan cara
pandang seperti ini tentunya amat memengaruhi penyusunan
konstitusinya. Terlebih lagi negara-negara yang menganut tradisi
common law pada dasarnya tidak memiliki konstitusi tertulis bukan
dalam arti harfiah, melainkan konstitusi tersebut tidak dituangkan dalam
satu naskah undang-undang dasar.
Sementara itu pada negara-negara yang menganut tradisi hukum
civil law dan bercorak liberalis-kapitalis, dalam perkembangannya dan
mengacu pada kebutuhan, maka kebijakan seputar ekonomi diatur dalam
konstitusi maupun undang-undang dasarnya. Dengan demikian, secara
prinsip, baik negara-negara yang menganut tradisi hukum common law
maupun tradisi hukum civil law dan bercorak liberalis-kapitalis memiliki
cara pandang yang sama, yaitu menyerahkan kebijakan ekonominya pada
mekanisme pasar (market oriented).
Berbeda dengan negara yang bercorak liberalis-kapitalis, meskipun
Indonesia merupakan negara yang menganut tradisi hukum civil law,
Indonesia bukanlah negara yang bercorak liberalis-kapitalis. Negara kita
adalah negara kesejahteraan yang relijius (religious welfare state) karena
negara ini didirikan dengan berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagaimana termaktub pada Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945.
Konsekuensinya, dalam mengatur kehidupan rakyatnya, negara perlu
berpegang pada kosmologi dan spirit ketuhanan sehingga kebijakan yang
dibuat perlu diletakan dalam kerangka etis dan moral agama. Dalam pada
itu, kebijakan perekonomian nasional negara kita tertuang pada Pasal 33
UUD 1945 menyatakan:
(1) Perekonoman disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banya dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomidengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.
Pasal 33 UUD 1945 ini menjadi penanda bahwa negara harus aktif
membangun kesejahteraan sosial.14 Terlebih Pasal 33 UUD 1945 adalah
salah satu pasal yang tidak mengalami perubahan pada momentum
perubahan konstitusi yang terjadi pada kurun waktu 1999-2002,
meskipun kala itu terdapat beberapa kali upaya untuk mengubah pasal
dimaksud karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman. Namun perubahan urung dilakukan karena adanya perbedaan
pendapat dan perdebatan pemikiran yang cukup panjang dalam sidang
BP MPR. Pada akhirnya forum rapat memutuskan bahwa ketentuan
Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak jadi diubah15. Salah satu
alasan mengapa Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak diubah
karena pasal ini dianggap karya yang monumental yang dihasilkan oleh
para founding father. 16Adalah Muhammad Hatta, salah seorang
founding fathers sekaligus juga penggagas Pasal 33 UUD 1945. Ia
menyatakan bahwa kelahiran Pasal 33 UUD 1945 dilatarbelakangi
semangat kolektivitas yang didasarkan pada semangat tolong menolong.
Implikasi semangat kolektivitas yang didasari semangat tolong
menolong ini membawa beberapa konsekuensi, yaitu:
(i) penguasaan sektor-sektor perekonomian dijalankan dengan bentuk
koperasi.
(ii) diperlukan perencanaan pembangunan ekonomi yang ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan,
perumahan dan makanan yang dilakukan oleh badan pemikir siasat
ekonomi (Planning Board).
(iii) melakukan kerjasama-kerjasama internasional dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan dunia.
Kata “koperasi”dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 juga perlu
dipahami sebagai “kata kerja”(proses), yakni semangattolong menolong,
semangat kekeluargaan yang senantiasa mengupayakankeuntungan
bersama, solidaritas sosial yang berorientasi” berat samadipikul, ringan
sama dijinjing”. Dalam arti ini, Muhammad Hatta dan jugaSjahrir,
menyebut badan usaha milik negara dan bahkan perusahaan swastapun
harus berjiwa koperasi. Dengan demikian, meskipun negara menguasai
lapangan perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak, sifat
kooperasi dalam pengelolaannya harus mempertimbangkan manfaat
yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Pada perubahan UUD 1945 yang terjadi pada kurun 1999-2002,
Pasal 33 kemudian disempurnakan dengan menambah dua ayat baru,
sehinggamenjadi lima ayat. Dan karena Pasal 33 UUD 1945 ini pula lah,
UUD 1945 disebut juga sebagai konstitusi ekonomi. Penyempurnaan ini
dilakukan untuk mengurangi potensi kesalahpahaman. Pasal 33 ayat (1)
UUD 1945 yang memuat ketentuan asas kekeluargaan mengandung
risiko disalahpahami dan disalahgunakan dalam praktiknya, sehingga
perlu diimbangi dengan prinsip kebersamaan yang dimuat dalam Pasal
33 ayat (4) UUD 1945. Dengan adanya prinsip kebersamaan dalam Pasal
33 ayat (4), maka asas kekeluargaan dalam Pasal 33 ayat (1) harus
dipahami dalam pengertian yang luas, bukan lagi dalam pengertian
organis, dalam wujud pelaku ekonomi yang harus berbentuk koperasi
dalam arti badanusaha yang sempit. Di samping itu dengan adanya
prinsip kebersamaan itu,asas kekeluargaan tidak disalahgunakan atau
pun dijadikan lawakan seolah olah terkait dengan pengertian family
system yang memiliki konotasi negatif.
Dengan demikian jelas bahwa secara konstitusional negara
Indonesiamenganut sistem negara hukum yang dinamis atau negara
kesejahteraan (welfare state) yang dalam rangka pencapaian tujuannya
menuntut konsekuensi bagi besarnya peranan negara.21 Pasal 33 UUD
1945 juga memuat sistem ekonomi kerakyatan. Artinya rakyatlah sebagai
pemegang kedaulatan di bidang ekonomi. Dalam hal ini ekonomi
kerakyatan berkait kelindan dengan gagasan tentang demokrasi ekonomi
yang merupakan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Yang menjadi
fokus dalam ekonomi kerakyatan adalah pembebasan rakyat dari
kemiskinan, kebodohan, ketergantungan dan ketidakadilan.
Meskipun pada dasarnya sistem ekonomi kerakyatan ini mirip
dengan ciri sistem ekonomi sosialis, namun yang menjadikannya
berbeda adalah adanya Pancasila yang ada dalam Pembukaan UUD 1945
berfungsi sebagai ruh dan spirit yang menjiwai demokrasi ekonomi yang
termuat dalam Pasal 33 UUD 1945 sehingga tercipta suatu harmoni dan
keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan nasional
(masyarakat) dengan memberikan pada negara kemungkinan untuk
melakukan campur tangan sepanjang diperlukan bagi terciptanya tata
kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan prinsip-prinsip
Pancasila dan sesuai dengan tujuan negara dalam melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia sebagaimana termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945.
B. Konsep Hak Menguasai Negara Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Ketentuan Pasal 33 ayat (5) yang menyatakan, “Ketentuan lebih
lanjutmengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang” telah
melahirkanbeberapa undang-undang organik, yakni Undang-Undang di
Bidang SumberDaya Air, Undang-Undang di Bidang Penanaman Modal,
Undang-Undang di Bidang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang di
Bidang PertambanganMineral dan Batu Bara, Undang-Undang di Bidang
Perkebunan, Undang-Undang Kehutanan dan lain-lain. Penguasaan
negara terhadap sumber daya alam diatur dalam Pasal 33 ayat (2) UUD
1945 menyatakan,
“cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banya dikuasai oleh negara” dan Pasal
33 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan,”Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Mengenai cabang-cabang produksi sebagaimana diatur dalam Pasal
33 ayat (2) UUD 1945, terhadap cabang-cabang ekonomi strategis, tidak
dibolehkan adanya kepemilikan swasta. Misal, di Malaysia, minyak
merupakan cabang produksi yang strategis sehingga tidak diperbolehkan
penguasaan oleh swasta.22 Dalam konteks ini, MK dalam Putusan
Nomor 002/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi (UU Migas) telah membuat
tiga klasifikasi cabang produksi, yaitu:
(i) cabang-cabang produksiitu penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak; atau
(ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang
banyak; atau
(iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang
banyakkemakmuran rakyat.
Namun, terpulang kepada pemerintah bersama lembaga perwakilan
rakyat untuk menilai apa dan kapan suatu cabang produksi itu dinilai
penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak.
Cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang lain dapat
berubah menjadi tidak penting bagi negara dan/atau tidak lagi menguasai
hajat hidup orang banyak.
Berikut selengkapnya pertimbangan hukum Mahkamah. 24
“...penguasaan dalam arti kepemilikan perdata (privat) yang
bersumber dari konsepsi kepemilikan publik berkenaan dengan
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak yang menurut ketentuan Pasal
33 ayat (2) dikuasai oleh negara, tergantung pada dinamika
perkembangan kondisi kekayaan masing-masing cabang produksi.
Yang harus dikuasai oleh negara adalah jika: (i) cabang-cabang
produksi itu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak; atau (ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat
hidup orang banyak; atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi
menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh
negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun, terpulang kepada pemerintah bersama lembaga perwakilan
rakyat untuk menilai apa dan kapan suatu cabang produksi itu
dinilai penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang
banyak. Cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang
lain dapat berubah menjadi tidak penting bagi negara dan/atau
tidak lagi menguasai hajat hidup orang banyak.”
Akan tetapi, MK juga menegaskan apabila terdapat cabang produksi,
misalminyak dan gas bumi, yang semula dianggap penting dan/atau
menguasai hajathidup orang banyak, kemudian berubah statusnya
menjadi cabang produksiyang tidak penting dan tidak lagi mengusai
hajat hidup orang banyak, makapengaturan, pengurusan, pengelolaan dan
pengawasannya kepada pasar. Berikut selengkapnya pendapat
Mahkamah.
“...jikalau cabang produksi minyak dan gas bumi, yang adalah juga
kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, oleh
Pemerintah dan DPR dinilai telah tidak lagi penting bagi negara
dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka dapat saja
cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi itu diserahkan
pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasannya kepada
pasar...”
Sementara itu, ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memuat tiga
hal penting, yaitu : (i) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya; (ii) Dikuasai oleh negara; (iii) dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat. Pengertian “bumi, air, dan seluruh kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya” harus ditafsirkan lebih luas, yaitu
meliputi tanah,daratan, laut, dasar laut, dan tanah dibawahnya, termasuk
di dalamnya menyangkut kekayaan di wilayah udara.26 Adapun makna
dikuasai negara, dalam beberapa putusannya MK telah menafsirkan dan
memberikan makna terhadap frasa “dikuasai negara”. Ada tiga belas
Putusan MK yang menggunakan Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD
1945 sebagai batu uji, yaitu:
1) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003
tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 20 tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikkan;
2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 mengenai
Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi;
3) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-
II/2004 dan 008/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;
4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-V/2007 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi;
5) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 tentang
PeraturanPemerintah No. 51 Tahun 1960 tentang Larangan
Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya;
6) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/PUU-V/2007 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal;
7) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
8) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara;
9) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-VIII/2010 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan;
10) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-X/2012 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara;
11) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi;
12) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-X/2012 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
Dan Gas Bumi;
13) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 113/PUU-X/2012 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dari tigas belas Putusan Mahkamah Konstitusi di atas, hanya ada enam
putusan yang di dalamnya memuat makna “hak menguasai oleh negara”,
yaitu :
1) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003
tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 20 tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikkan.
2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 mengenai
Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi.
3) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-
II/2004 dan 008/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang
No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-V/2007 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/PUU-
V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal.
5) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi.
6) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air.
Makna frasa “dikuasai negara” pertama kali ditafsirkan MK dalam
Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Dalam
putusan-putusan selanjutnya konsep makna frasa “dikuasai negara”
dijadikan argumentasi hukum oleh MK dalam memutus perkara-perkara
yang erat kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam. Artinya
putusan tersebut telah menjadi yurisprudensi karena diikuti oleh para
hakim konstitusi dalam memutus perkara serupa. Pengertian dikuasai
oleh negara tidak mungkin direduksi menjadi hanya kewenangan negara
untuk mengatur perekonomian. Oleh karena itu pandangan yang
mengartikan penguasaan oleh negara identik dengan pemilikan dalam
konsepsi perdata maupun pandangan yang menafsirkan pengertian
penguasaan oleh negara itu hanya sebatas kewenangan pengaturan oleh
negara, keduanya ditolak oleh MK.
Dalam putusan ini, MK memaknai bahwa penguasaan negara dalam
arti luas berasal dari kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber
kekayaan bumi, air ,dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh
kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat
secara kolektif itu dikontruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat
kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan
pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan
(beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudendaad) untuk tujuan
sebesar besar kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad)
oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk
mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi
(licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh negara
(regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR
bersama pemerintah, dan regulasi oleh pemerintah (eksekutif). Fungsi
pengelolaan (behersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan
saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam
manajemen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau BUMN sebagai
instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. pemerintah
mendayagunaan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk
digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dalam Putusan Nomor 36/PUU-X/2012, MK kembali menegaskan
bahwafrasa “dikuasai negara” tidak dapat dipisahkan dari frasa “sebesar-
besar bagi kemakmuran rakyat”. Apabila kedua frasa ini tidak dikaitkan
secara langsung dan satu kesatuan, maka dapat menimbulkan makna
konstitusional yang kurang tepat. Boleh jadi negara menguasai sumber
daya alam secara penuh tetapi tidak digunakan sebesar-besar untuk
kemakmuran rakyat. Oleh karenanya frasa “untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat” digunakan untuk mengukur konstitusionalitas
penguasaan negara. Selanjutnya kelima peranan negara/pemerintah
dalam pengertian penguasaan negara jika tidak dimaknai sebagai satu
kesatuan tindakan, harus dimaknai secara bertingkat berdasarkan
efektivitasnya untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat,
sehingga tata urutan peringkat penguasaannegara adalah sebagai berikut.
1) Negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya
alam.
2) Negara membuat kebijakan dan pengurusan,
3) Fungsi pengaturan dan pengawasan.
Meskipun peringkat penguasaan di atas adalah dalam hal
pengelolaan sumber daya alam, terutama minyak dan gas. Akan tetapi
dalam konteks pengelolaan sumber daya air pun dapat digunakan
peringkat yang serupa dan perlakuan yang sama dengan pengelolaan
sumber daya alam. Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, peringkat
pertama adalah pengelolaan secara langsung terhadap sumber daya alam
oleh negara sehingga pengelolaan secara langsung oleh negara akan
menjamin sebesar-besar kemakmuran rakyat. Peringkat penguasaan
kedua, negara membuat kebijakan dan pengurusan. Kebijakan dan
pengurusan yang dibuat mestilah berorientasi sebesar-besar kemakmuran
rakyat, sehingga kebijakan yang dibuat adalah untuk menghormati (to
respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) kebutuhan
dan hak asasi masyarakat terhadap sumber daya alam. Peringkat
penguasaan yang ketiga adalah pengaturan dan pengawasan. Sepanjang
negara memiliki kemampuan baik modal, teknologi, dan manajemen
dalam mengelola sumber daya alam maka negara harus memilih untuk
melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Selain
itu, dalam Putusan Nomor 002/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU
Migas), MK juga menegaskan bahwa Pasal 33 UUD 1945 tidaklah
menolak privatisasi, asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasan
negara, c.q. Pemerintah untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha
dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai
hajat hidup orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak ide
kompetisi diantara para pelaku usaha, asalkan kompetisi itu tidak
meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk
mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola
(beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang
banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berikut
selengkapanya pendapat Mahkamah.
“...untuk menjamin prinsip efisiensi yang berkeadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan,
“perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional”, maka
penguasaan dalam arti kepemilikan privat itu juga harus dipahami
bersifat relatif, dalam arti tidak mutlak harus 100 persen, asalkan
penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, atas pengelolaan
sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana
mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas
relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan atas
penentuan kebijakan badan usaha yang bersangkutan, maka
divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah
dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat
dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena
itu, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah
menolak privatisasi, asalkan privatisasi itu tidak meniadakan
penguasaan Negara, c.q. Pemerintah, untuk menjadi penentu utama
kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara
dan/atau menguasai orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga tidak
menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, asalkan
kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang
mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus
(bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi
(toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak untuk tujuan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Di sisi lain, dalam konteks pengelolaan sumber daya air, MK melalui
Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 telah merumuskan politik hukum
pengelolaan sumber daya air sebagai berikut:
1) Pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan,
apalagi meniadakan hak rakyat atas air karena bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya selain harus dikuasai
oleh negara, juga peruntukannya adalah untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat;
2) Negara harus memenuhi hak rakyat atas air. Sebagaimana
dipertimbangkan di atas, akses terhadap air adalah salah satu hak
asasi tersendiri maka Pasal 28I ayat (4) menentukan, “Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah
tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
3) Harus mengingat kelestarian lingkungan hidup, sebab sebagai salah
satu hak asasi manusia, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menentukan,
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
4) Sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup
orang banyak yang harus dikuasai oleh negara [vide Pasal 33 ayat (2)
UUD 1945] dan air yang menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 harus
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat maka pengawasan dan pengendalian oleh negara
atas air sifatnya mutlak;
5) Sebagai kelanjutan hak menguasai oleh negara dan karena air
merupakan sesuatu yang sangat menguasai hajat hidup orang banyak
maka prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD);
6) Apabila setelah semua pembatasan tersebut di atas sudah terpenuhi
dan ternyata masih ada ketersediaan air, Pemerintah masih
dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta untuk
melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan
ketat;
Keenam prinsip pengelolaan SDA mengindikasikan bahwa
pengelolaan SDA bersifat mutlak diselenggarakan oleh negara,
sedangkan swasta hanya mendapatkan peran sisa (residu) manakala
pengusahaan atas air yang dilakukan oleh BUMN/BUMD sebagai
perusahaan prioritas yang diberi amanat untuk melakukan pengusahaan
atas air oleh negara, tidak dapat melakukan fungsinya tersebut. Bahkan
kedaulatan negara terhadap kekayaan alamnya terdapat dalam beberapa
dokumen internasional seperti di dalam Resolusi Majelis Umum PBB
No.626 (VII) tanggal 21 Desember 1952. Pasal ini antara lain
menyatakan, “The right of peoples freely use and exploit their natural
wealth and resources in accordance with the United Nation Charter”.
Menurut prinsip ini adalah hak setiap negara untuk memanfaatkan secara
bebas kekayaan alamnya. Tujuan utama dari resolusi ini adalah untuk
mendorong negara-negara terbelakang untuk benar-benar memanfaatkan
sumber kekayaan alam negerinya dan mencegah negara lain
memanfaatkannya untuk kepentingan sendiri.
1.4 Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah
A. Konsep Hak Kepemilikan atas Tanah dan Pengaturanya
Dalam konsep hukum, hubungan antara orang dengan benda
merupakan hubungan yang disebut hak. Artinya hak kepemilikan atas
suatu benda, disebut hak milik atas benda itu. Dalam hubungannya
dengan hak milik atas tanah, maka ada satu proses yang harus dilalui
yaitu proses penguasaan, dimana hak menguasai itu harus didahului
dengan tindakan pendudukan atau menduduki untuk memperoleh
penguasaan itu, dan dengan batas waktu tertentu akan menjadi hak milik.
Pengaturan hak milik atas tanah dapat didasarkan pada pasal 28 huruf h
ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak
mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil
alih secara sewenang-wenang oleh siapapun, selanjutnya dalam pasal 33
Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa: Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Untuk melaksanakan prinsip-prinsip dasar tersebut dalam
hubunganya dengan tanah ditetapkan hukum agraria nasional dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 dalam pasal 2 dalam wujud hak
menguasai dari negara atas tanah yang memberi wewenang kepada
negara untuk: (1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
(2) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; (3) menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut di
gunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat di dalam
negara hukum indonesia yang merdeka, bersatu dan berdaulat.
Dalam hubungannya dengan hal di atas, penjelasan umum II angka 2
undang-undang pokok agraria menyatakan: “dengan berpedoman pada
tujuan yang disebutkan di atas negara dapat memberikan tanah yang
demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak
menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik....” sebagai
peraturan dasar, UUPA mengatur pokok-pokok penguasaan, pemilikan
penggunaan dan pemanfaatan tanah yang pelaksanaanya lebih lanjut
diatur dengan peraturan perundang-undangan. Hak milik atas tanah
diatur dalam pasal 20 UUPA yang menentukan bahwa hak milik atas
tanah merupakan hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat di
punyai orang atas tanah dan mempunyai fungsi sosial. Oleh karena itu,
hak milik atas tanah yang berasal dari hak menguasai dari negara adalah
untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Hak milik atas tanah
mempunyai sifat-sifat khusus sebagai berikut:
(1) dapat beralih karena pewarisan, karena sifat turun-temurun.
(2) penggunaanya tidak terbatas dan tidak di batasi sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
(3) dapat di berikan sesuatu hak atas tanah lainnya di atas hak milik oleh
pemiliknya kepada pihak lain.
Konsep hak milik menurut undang-undang pokok agraria tersebut
dapat disimak dari penjelasan pasal 20 UUPA, sebagai berikut: Dalam
pasal ini disebutkan sifat-sifat daripada hak milik yang membedekan
dengan hak-hak lainnya. Hak milik adalah hak yang ‘terkuat dan
terpenuhi’ yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini
tidak berarti, bahwa hak itu merupakan hak yang ‘mutlak’, tak terbatas
dan tidak dapat diganggu gugat’ sebagai hak eigendom menurut
pengertiannya yang asli dulu. Sifat yang demikian itu akann terang
bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap
hak. Kata-kata ‘terkuat dan terpenuhi’ itu bermaksud untuk membedakan
dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain-lainya,
yaitu untuk menunujukan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat
dipunyai orang hak miliklah yang ‘ter’ (artinya; paling)-kuat dan
terpenuhi.
Lebih lanjut ditetapkan, bahwa terjadinya hak milik atas tanah
menurut hukum adat diatur dengan peraturan pemerintah, yang cara dan
syarat-syaratnya diatur dengan peraturan pemerintah menurut ketentuan
undang-undang namun demikian, undang-undang dan peraturan
pemerintah dimaksud sampai saat ini be,um ditetapkan. Dalam ketentuan
peralihan pasal 56 UUPA dinyatakan, bahwa selam undang-undang
tentang hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat (1) UUPA belum
terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat
dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang
memberi wewenang sebagaimana dimaksutkan dalam pasal 20 ayat (1)
UUPA, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-
undang pokok agraria (UUPA). Terkait dengan hal ini, salah satu bentuk
peraturan yang ditertibkan oleh pemerintah dalam keputusan menteri
negara agraria/ kepala badan pertanahan nasional nomor 6 tahun 1998
tentang pemberian hak milik atas tanah untuk rumah tinggal, yang
ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 juni 1998.
Dalam pertimbangannya dinyatakan, bahwa keputusan menteri
negara agraria/kepala badan pertanahan nasional nomor 6 tahun 1998
tersebut diterbitkan dengan mempertimbangkan, bahwa rumah tinggal
merupakan kebutuhan primer manusia sesudah pangan, dan karena itu
untuk menjamin pemilikan rumah tinggal bagi warga negara indonesia
perlu menjamin kelangsungan hak atas tanah tempat tinggal tersebut
berdiri. Atas dasar hal in, dirasa perlu meningkatkan pemberian hak
milik atas tanah untuk rumah tinggal yang masih dipunyai oleh
perseorangan warganegara indonesia dengan hak guna bangunan atau
hak pakai.
B. Sistem Pendaftaran Tanah
Sistem pendaftaran tanah yang dipakai di suatu negara tergantung
pada asas hukum yang dianut negara tersebut dalam mengalihkan hak
atas tanahnya. Terdapat dua macam asas hukum, yaitu asas itikad baik
dan asas nemo plus yuris. Mesipun suatu negara menganut salah satu
asas hukum/ sistem pendaftaran tanah, tetapi yang secara murni
berpegang pada salah satu asas hukum/sistem pendaftaran tanah, tetapi
yang secara murni berpegang pada salah satu asas hukum/ sistem
pendaftaran tanah tersebut boleh dikatakan tidak ada. Hal ini karena
Kedua asas hukum/sistem pendaftaran tanah tersebut sama-sama
mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga setiap negara mencari
jalam keluar sendiri-sendiri.
Asas itikad baik berbunyi: orang yang memperoleh sesuatu hak
dengan itiad baik, akan tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut
hukum. Asas ini bertujan unutk melindungi orang yang beritikad baik.
Kesulitanya adalah bagaimana caranya untuk mengetahui seseorang
beritikad baik, pemecahanya adalah hanya orang yang beritikad baik
yang bersedia memperoleh hak dari orang yang terdaftar haknya. Guna
melindungi orang yang beritikad baik inilah maka perlu daftar umum
yang mempunyai kekatan bukti. Sistem pendaftaran tanah ini disebut
sistem positif. Lain halnya dengan asas nemo plus yuris yang berbunyi:
orang tak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya. Ini
berarti bahwa pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak adlah batal.
Asas ini bertujuan melindungi pemegang hak yang sebenarnya.
Berdasarkan asas ini, pemegang hak yang sebenarnya akan selalu dapat
menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapa pun. Oleh
karena itu, daftar umumnya tidak mempunyai kekuatan bukti, sistem
pendaftaran tanahnya disebut sistem negatif.
Dalam sistem positif, dimana daftar umumnya, mempunyai kekuatan
bukti, maka orang yang terdaftar adalah pemegang hak yang sah menurut
huum. Kelebihan yang ada pada sistem positif ini adalah adanya kepastin
dari pemegang hak, oleh karena itu ada dorongan bagi setiap orang untuk
mendaftarkan haknya. Kekurangannya adalah pendaftaran yang
dilakukan tidak lancar dan dapat saja terjadi bahwa pendaftaran atas
nama orang yang tidak berhak dapat menghapuskan hak orang lain yang
berhak. Lain halnya dengan sistem negatif, daftar umumnya tidak
mempunyai kekuatan hukum sehingga terdaftarnya seseorang dalam
daftar umum tidak merupakan buti bahwa orangtersebut yang berhak atas
hak yang telah didaftarkan. Jadi, orang yang terdaftarkan tersebut akan
menanggung akibatnya bila hak yang dipeolehnya berasal dari orang
yang tidak berhak, sehingga orang lalu enggan untuk mendaftarkan
haknya. Inilah kekurangan dari sistem negatif. Adapun kelebihannya,
pendaftaran yang dilakukan lancar/cepat dan pemegang hak yang
sebenarnya tidak dirugikan sekalipun orang yang terdaftar bukan orang
yang berhak. Dalam pendaftaran di negara Australia yang menganut
sistem torrens yang juga di anut di indonesia dapat dinyatakan sebagai
berikut:
(a) Security of title, kebenaran dan kepastian dari hak tersebut terlihat
dari rangkaian peralihan haknya dan memberikan jaminan bagi yang
memperolehnya terhadap gugatan lain.
(b) Peniadaan dari keterlamabatan dan pembiayaan yang berkelebihan.
Dengan adanya pendaftaran tersebut tidak perlu selalu harus diulangi
dari awal setiap adanya peralihan hak.
(c) Penyederhanaan atas alas hak dan yang berkaitan. Dengan demikian
peralihan hakitu disederhanakan dan segala proses akan dapat
dipermudah.
(d) Ketelitian. Dengan adanya pendaftaran maka ketelitian sudah tidak
digunakan lagi.
Ada beberapa keuntungan dari sistem torrens, antara lain sebagai berikut:
(1) Menetapkan biaya-biaya yang tak diduga sebelumnya;
(2) Menidakan pemeriksaan yang berulang-ulang;
(3) Meniadakan kebanyakan rekaman data pertanahan;
(4) Secara tegas menyatakan dasar hukumnya;
(5) Melindungi terhadap kesulitan-kesulitan yang tidak
tercantum/tersebut dalam sertifikat;
(6) Meniadakan pemalsuan;
(7) Tetap memelihara sistem tersebut, karena pemeliharaan sistem
tersebut dibebankan kepada mereka yang memperoleh manfaat dari
sistem tersebut;
(8) Meniadakan alas hak pajak;
(9) Dijamin oleh negara tanpa batas.4
Sistem pendaftaran yang digunakan adalah sistem pendaftaran hak
(regristration of titles), sebagaimana digunakan dalam penyelenggaraan
pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961,
bukan sistem pendaftaran akta. Hal tersebut tampak dengan adanya buku
tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang
dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertifiat sebagai surat tanda
bukti ha yang didaftar. Hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf dan
hak milik atas satuan rumah susun didaftar dengan membukukannya
dalam buku tanah, yang membuat data fisik dan data yuridis bidang
tanah yang bersangkutan dan sepanjang ada surat ukurnya, dicatat pula
pada surat ukur tersebut. Pembukuan dalam buku tanah serta
pencatatanya pada surat ukur tersebut merupakan bukti bahwa hak yang
bersangkutan serta pemegang haknya dan bidang tanahn ya yang
diuraikan dalam surat ukur secara hukum telah didaftar menurut
Peratutan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 ini. Demikian dinyatakan
dalam pasal 29. Menurut Pasal 31, untuk kepentingan pemegang hak
yang bersangkutan diterbitkan sertifikat sesuai dengan data fisik yang
ada dalam surat ukur dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku
tanah.
C. Fungsi dan Peranan Pendaftaran Tanah dalam Memberikan Kepastian
Hukum
Di dalam penjelasan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961
tentang Pendaftaran tanah dinyatakan bahwa pembukuan suatu hak di
dalam daftar buku tanah atas nama seseorang tidak mengakibatkan
bahwa orang yang seharusnya berhak atas tanah itu akan kehilangan
haknya. Orang tersebut masih dapat menggugat hak dari yang terdaftar
dalam buku tanah sebagai orang yang berhak. Jadi cara pendaftaran hak
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini tidaklah positif, tetapi
negatif. Demikian penjelasan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961.
Pengertian sistem pendaftaran tanah yang positif mencakup
ketentuan bahwa apa yang sudah terdaftar itu dijamin kebenaran data
yang didaftarkannya dan untuk keperluan itu pemerintah meneliti
kebenaran dan sahnya tiap warkah yang diajukan untuk didaftarkan
sebelum hal itu dimasukan dalam daftar-daftar. Dalam sistem positif,
negara menjamin kebenaran data yang disajikan. Sistem positif
mengandung ketentuan-ketentuan yang merupakan perwujudan
ungkapan “title by regristration” (dengan pendaftaran diciptakan hak),
pendaftaran menciptaan suatu “indefeasible title” (hak yang tidak dapat
diganggu gugat), dan “the regrister is everything” (untuk memastikan
adanya suatu hak dan pemegang haknya cukup dilihat buku tanahnya).
Sekali didaftar pihak yang dapat membutikan bahwa dialah pemegang
hak yang sebenarnya kehilangan haknya untuk menuntut kembali tanah
yang bersangkutan.
Jika pendaftaran terjadi karena kesalahan pejabat pendaftaran, ia
hanya dapat menuntut pemberian ganti kerugian (compensation) berupa
uang. Untuk itu negara menyediakan apa yang disebut suatu “assurance
fund”. Ketentuan-ketentuan yang merupakan perwujudan ungkapan-
ungkapan demikian tidak terdapat dalam UUPA. Dalam sistem publikasi
negatif, juga dalam sistem negatif kita yang mengandung unsur positif,
negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Penggunaanya
adalah atas resiko pihak yang menggunakan sendiri. Di dalam asas nemo
plus yuris, perlindungan diberikan kepada pemegang hak yang
sebenarnya, maka dengan asas ini, selalu terbuka kemungkinan adanya
gugatan kepada pemilik terdaftar dari orang yang merasa sebagai pemili
sebenarnya.
Terlepas dari kemungkinan kalah atau menangnya tergugat yaitu
pemegang hak terdaftar, maka hal ini berarti bahwa daftar unum yang
diselenggarakan di suatu negara dengan prinsip pemilik terdaftar tidak
dilindungi hukum, tidak mempunyai kekuatan bukti. Ini berarti bahwa
terdaftarnya seseorang di dalam daftar umum sebagai pemegang hak
belum membuktikan orang itu sebagai pemegang hak yang sah menurut
hukum. Jadi pemerintah tidak menjamin kebenaran dari isi daftar-daftar
umum yang diadakan dalam pendaftaran hak dan tidak pula dinyatakan
di dalam undang-undang.
Sebagaimana bisa dilihat dalam Undang-Undang Pokok Agraria
(Pasal 23, 32, dan 38) yang isinya menyatakan pula bahwa peralihan
hak-hak (hak milik HGU dan HGH) harus didaftar dan pendaftarannya
dimaksud merupakan alat pembuktian yang uat mengenai sahnya
peralihan hak tersebut. Kuat tidak berarti mutlak, namun lebih dari yang
lemah sehingga pendaftaran berarti labih menguatkan pembuktian
pemilikan, akan tetapi tidak mutlak yang berarti pemilik terdaftar tidak
dilindungi hukum dan bisa digugat sebagaimana dimaksud di dalam
penjelasan Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961. Pemerintah
menganut sistem negatif yang berarti pemilik terdaftar tidak dilindungi
sebagai pemegang yang sah menurut hukum.
Dengan demikian, pendaftaran berarti pendaftaran hak yang tidak
mutlak, sehingga hal ini berarti mendaftarkan peristiwa hukumnya yaitu
peralihan haknya, dengan cara mendaftarkan akta atau deed yang dalam
bahasa Inggis disebut dengan regristration of deeds. Sebaliknya, apabila
ada perlindungan hukum bagi pemegang hak terdaftar yaitu tidak bisa
diganggu gugat, maka pemegang hak yang terdaftar adalah pemegang
hak yang sah menurut hukum sehingga pendaftaran berarti mendaftarkan
status seseorang sebagai pemegang hak atas tanah (regristration of title).
Dalam sistem pendaftaran tanah yang negatif, yang memungkinkan
pemegang hak terdaftar dapat diganggu gugat, maka alat pembuktian
yang utama didalam persidangan di pengadilan ialah akta peraturan
pemerintah dan sertifikat. Sertifikat merupakan hasil akhir dari suatu
proses penyelidikan riwayat penguasa tanah yang hasilnya akan
merupakan alas hak pada pendaftar pertama dan proses proses peralihan
hak selanjutnya. Penyelidikan riwayat tanah dilakukan dengan
menyelediki surat-surat bukti hak, yang umumnya berupa akta-akta di
bawah tangan (segel-segel) yang di buat pada masa lampau atau surat-
surat keputusan pemberian hak, balik nama (catatan pemberian hak),
didasarkan pula pada akta-akta peraturan pemerintah. Dengan demikian,
akta-akta peralihan hak masa lampau dan yang sekarang, memegang
peranan penting dalam menentukan kadar kepastian hukum suatu hak
atas tanah.
Sebelum UUPA berlaku, untuk menentukan kadar kepastian hukum
sesuatu hak, digunakan suatu upaya ketentuan mengenai “kadaluarsa”
sebagai upaya untuk memperoleh hak eigendom atas tanah (acquisitieve
verjaring), yang terdapat dalam pasal 1955 dan 1963 KUH Perdata Buku
IV . kadaluarsa sebagai upaya memperoleh hak eigendom atas suatu
benda diatur dalam pasal 610,1955 dan 1963 KUH Perdata. Dalam pasal
610 ditetapkan bahwa seorang bezitter dapat memperoleh hak eigendom
atas suatu benda karena verjaring. Adapun pasal 1955 dan 1963 memuat
syarat-syaratnya, yaitu penguasaannya harus terus-menerus, tak terputus
tak terganggu, dapat diketahui umum, secara tegas bertindak sebagai
eigenaar, dan harus dengan iktikad baik. Jika berdasarkan dengan suatu
alas hak (titel) yang sah harus berlangsung 20 tahun, perlu menunjukan
alas hak.
Dengan demikian, pada hakikatnya pasal 1955 dan 1963 merupakan
pelaksanaan dari pasal 610 KUH Perdata, yang terletak dalam Buku II.6
Kita telah mengetahui bahwa pasal-pasal agraria di dalam Buku II telah
dicabut oleh UUPA dalam pada itu pasal 610 tidak khusus mengatur soal
agraria. Oleh karena itu, pasal itu masih tetap berlaku, tetapi tidak penuh,
dalam arti bahwa ketentuan-ketentuannya tidak berlaku lagi sepanjang
mengenai agraria, (tanah dan lain-lainnya ). Tetapi masih berlaku
sepanjang menghenai benda-benda lainnya yang bukan agraria. Oleh
karena pasal 1955 dan 1963 merupakan pelaksanaan dari pasal 610 maka
sungguhpun letaknya tidak didalam Buku II KUH Perdata. Tetapi dalam
Buku IV , harus dianggap pula sebagai tidak berlaku lagi mengenai tanah
dan lain-lain objek agraria, bagi penguasaan tanah baru dan penguasaan
tanah yang pada mulai berlakunnya UUPA sebelum berlangsungnya 20
atau 30 tahun. Bagi pengausa yang pada mulai berlakunya UUPA sudah
memenuhi persyaratan acquisitieve verjaring. Pasal-pasal tersebut
dengan sendirinya tetap berlaku. Meskipun penguasaannya baru
dimintakan kemudian. Ini berarti bahwa pada tanggal 24 september 1960
ia sudah memperoleh hak yang bersangkutan karena verjaring.
Hukum adat tidak mengenal lembaga acquisitieve verjaring, yang
dikenal dalam hukum adat adalah lembaga rechtsverwerking yaitu
lampaunya waktu sebagai sebab kehilangan hak atas tanah, kalau tanah
yang bersangkutan selama waktu yang lama tidak diusahakan oleh
pemegang haknya dan dikuasai pihak lain melalui perolehan hak dengan
iktikad baik. Dalam pasal 32 peraturan pemerintah No. 24 Tahun 1997
dan penjelasan-penjelasannya dikatakan bahwa pendaftaran tanah yang
penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan
sistem publikasi positif. Yang kebenaran data yang disajikan dijamin
oleh negara, melainkan menggunakan sistem publikasi negatif. Di dalam
sistem publikasi negatif, negara tidak menjamin kebenaran data yang
disajikan, walaupaun, tidaklah dimaksudkan untuk menggunakan sistem
publikasi negatif secara murni.
Hal tersebut nampak dari pernyataan dalam pasal 19 ayat (2) huruf C
UUPA , bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai
alat bukti yang kuat dan dalam pasal 23,32, dan 38 UUPA bahwa
pendaftaran berbagai peristiwa hukum merupakan alat pembuktian yang
kuat. Selain itu dari ketentuan-ketentuan mengenai prosedur
pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, dan penyajian data fisik dan
data yuridis serta penerbitan sertifikat dalam peraturan pemerintah ini,
tampak jelas usaha untuk sejauh mungkin memperoleh dan penyajian
data yang benar, karena pendaftaran tanah adalah untuk menjamin
kepastian hukum. Sehubungan dengan itu, diadakanlah ketentuan dalam
ayat (2) ini. Ketentuan ini bertujuan, pada suatu pihak untuk tetap
berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada lain pihak untuk secara
seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak yang dengan
iktikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagi pemegang hak
dalam buku tanah, dengan sertifikat sebagi tanda buktinya, yang menurut
UUPA berlaku sebagi alat pembuktian yang kuat.
D. Fungsi dan Peranan Pendaftaran Tanah dalam Memberikan Perlindungan
Hukum bagi Pemegang Sertifikat Hak Tanah
Pendaftaran tanah menurut peraturan pemerintah nomor 24 tahun
1997 menggunakan sistem publikasi negatif. Dalam sistem ini negara
hanya pasif menerima apa yang dinyatakan oleh pihak yang meminya
pendaftaran. Oleh karena itu, sewaktu-sewaktu dapat digunakan oleh
orang yang merasa lebih berhak atas tanah itu. Pihak yang memperoleh
tanah itu dengan iktikad baik. Hal ini berarti, dalam sistem publikasi
negatif keterangan-keterangan yang tercantum di dalamnya mempunyai
kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang benar
selama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian yang membuktikan
sebaliknya. Selain di Indonesia sistem negatif juga berlaku di negara
Belanda, Perancis, dan Filipina.7 Secara umum, sistem pendaftaran tanah
yang negatif mempunyai karakteristik yakni, sebagai berikut:
(1) Pemindahan sesuatu hak mempunyai kekuatan hukum, akta
pemindahan hak harus dibukukan dalam daftar-daftar umum.
(2) Hal hal yang tidak diumumkan tidak diakui.
(3) Dengan publikasi tidak berarti bahwa hak itu sudah beralih, dan
menjadi yang mendaptkan hak sesuai akta belum berarti telah
menjadi pemilik yang sebenarnya.
(4) Tidak seorang pun dapat mengalihkan sesuatu hak lebih dari yang
dimiliki, sehingga seseorang yang bukan pemilik tidak dapat
menjadikan orang lain karena perbuatannya menjadi pemilik.
(5) Pemegang hak tidak kehilangan hak tanpa perbuatanya sendiri.
(6) Pendaftaran hak atas tanah tidak merupakan jaminan pada nama
yang terdaftar dalam buku tanah. Dengan kata lain, buku tanah bisa
saja berubah sepanjang dapat membuktikan bahwa dialah pemilik
tanah yang sesungguhnya melalui putusan pengadilan yang sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Kebaikan dari sistem negatif adalah:
(1) adanya perlindungan pada pemegang hak yang sebenarnya;
(2) adanya penyelidikan riwayat tanah sebelum sertifikatnya diterbitkan.
Dalam sistem pendaftaran negatif, pejabat pendaftaran tanah tidak
ada keharusan untuk memeriksa atas nama siapa pendaftaran tanah tidak
ada keharusan untuk memeriksa atas nama siapa pendaftaran haknya.
Pejabat pendaftaran tanah mendaftarkan hak-hak dalam daftar-daftar
umum atas nama pemohonnya, sehingga pekerjaan pendaftaran peralihan
hak dalam sistem negatif dapat dilakukan secara cepat dan lancar,
sebagai akibat tidak diadakannya pemeriksaan oleh pejabat pendaftaran
tanah.
Adapun kelemahan dari sisi daftar-daftar umum yang disediakan
dalam rangka pendaftaran tanah. Orang yang akan membeli sesuatu hak
atas tanah dari orang yang terdaftar dalam daftar-daftar umum sebagai
pemegang hak harus menangkal sendiri resikonya jika yang terdaftar itu
ternyata bukan pemegang hak yang sebenarnya. Jadi, ciri pokok sistem
negatif adalah bahwa pendaftaran tidak menjamin bahwa nama yang
terdaftar dalam buku tanah tidak dapat dibantah walaupun ia beritikad
baik. Haknya tidak dapat dibantah jika nama yang terdaftar adalah
pemilik yang berhak (de eigenlijke eigenaar). Hak dari nama yang
terdaftar ditentukan oleh hak dan pembeli hak-hak sebelumnya,
perolehan hak tersebut merupakan satu mata rantai (Zaman, t.t: 44).
Sistem negatif yang bercermin dalam pasal 19 UUPA, menurut
Boedi Harsono mengandung kelemahan, disebabkan adanya kekeliruan
ketika merencanakan pasal 23 ayat (2) UUPA. Sejarahnya adalah dalam
rancangan UUPA yang di ajukan oleh Menteri Agraria Soenario dimuat
dalam pasal 19 dikatan bahwa: Hak milik serta peralihannya didaftarkan
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam ayat (1) pendaftaran
merupakan syarat mutlak untuk memperoleh hak milik dan sahnya
peralihan hak tersebut.
Panitia menteri yang ditugaskan kabinet untuk menyempurnakan
rancangan itu, mengubah isi pasal di atas menjadi apa yang sekarang
merupakan pasal 23 UUPA. Alasannya, ialah rancangan pasal 19 UUPA
itu menimbilkan kesan seakan-akan pendaftaran tanah menganut “sistem
positif”. Kesan ini keliru, sebab jika yang dipergunakan sistem positif,
maka perumusannya bukan “pendaftaran syarat mutlak” tetapi
“pendaftaran merupakan alat pembuktian mutlak”. Menurut Mariam
Darus Badrulzaman jikalau kita mengetahui bahwa pasal itu terjadi
karena kekliruan, adalah salah untuk tetap mempertahankan kekeliruan
itu dan menutup mata terhadap kebenaran. Ketentuan UUPA dan
peraturan pelaksanaannya dalam konteksnya dengan pasal-pasal lain
dalam UUPA dan sesuai dengan “cita” UUPA.
Berdasarkan uraian tersebut, maka sistem pemindahan hak di dalam
UUPA, saat lahirnya hak pemilik adalah saat pendaftaran dilakukan.
Pasal 23 ayat (2) UUPA tidak hanya ditafsirkan sebagai alat bukti yang
kuat, akan tetapi juga sebagai syarat mutlak lahirnya hak. Penafsiran ini
sesuai dengan kata-kata dari maksut pasal 23 UUPA dan juga sistematika
UUPA. Saat lahirnya hak milik baik bagi pihak-pihak maupun pada
pihak Ketiga tidak diletakkan pada momentum-momentum yang
beraliran akan tetapi pada suatu momen, yaitu pendaftaran. Stesel negatif
memang telah memunculkan dampak terhadap kepastian hukum itu
sendiri. Pemegang hak atas tanah yang dapat membuktikan bukti-bukti
yang sah akan dilindungi oleh hukum yang berlaku. Jangkauan kekuatan
pembuktian sertifikat, yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yang
kuat oleh UUPA diberikan dengan dengan syarat selama belum
dibuktikan yang sebaiknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan
dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam surat
ukur dan buku tanah yang bersangkutan, dan orang tidak dapat menuntut
tanah yang sudah bersangkutan atas nama orang atau badan hukum lain,
jika selama 5 (lima) tahun sejak dikeluarkan sertifikat itu orang yang
merasa memiliki tanah tidak mengajukan gugatan pada pengadilan,
sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau hukum lain tersebut
dengan iktikad baik dan secara fisik nyata dikuasai olehnya atau oleh
orang lain atau oleh badan hukum yang mendapat persetujuannya.
Asas itikad baik memberikan perlindungan kepada orang yang
dengan iktikad baik memperoleh suatu hak dari orang yang disangka
sebagai pemegang hak yang sah. Namun asas iktikad baik ini, menurut
Hog Raad, merupakan doktrin yang merujuk kepada kerasionalan dan
keputusan (redelijkheid en billijkheid), sehingga pembuktian iktikad baik
atas pemilikan hak atas tanah lebih banyak melalui pengadilan. Asas
iktikad baik dipaki untuk memberi kekuatan pembuktian bagi peta daftar
umum yang ada di kantor pertanahan.8 Dalam asas hukum nemo plus
yuris, seseorang tidak dapat melakukan tindakan hukum yang melampui
hak yang dimilikinya, dan akibat dari pelanggaran tersebut batal demi
hukum (vanrechtswegenietig), yang berkaibat perbuatan hukum tersebut
dianggap tidak pernah ada dan karenannya tidak mempunyai akibat
hukum dan apabila tindakan hukum tersebut menimbulkan kerugian,
maka pihak yang dirugikan dapat meminta ganti rugi kepada pihak-pihak
yang melakukan perbuatan hukum tersebut.
Asas nemo plus yuris memberikan perlindungan hukum kepada
pemegang hak yang sebenarnya terhadap tindakan pihak lain yang
mengalihkan haknya tanpa sepengetahuannya. Oleh karena itu, asas
nemo plus yuris selalu terbuka kemungkinan adanya gugatan kepada
pemilik yang namanya tercantum dalam sertifikat dari orang yang
merasa sebagai pemiliknya. Berdasarkan asas nemo plus yuris, maka
penguasaan sesuatu hak atas tanah oleh oarang yang tidak berhak adalah
batal. Dengan demikian pemegang hak yang sebenarnya selalu dapat
menuntut kembali haknya yang telah dialihkan tanpa sepengetahuannya
dari siapa pun hak itu berada. Hal ini sangat penting untuk memberi
perlindungan kepada pemegang hak atas tanah yang sebenarnya.
Umumnya asas ini berlaku dalam sistem pendaftaran yang negatif.
Mengenai sistem pendaftaran tanah menurut UUPA, para ahli hukum
mengemukakan dengan pandangan yang masing-masing berbeda.
Menurut perlindungan, pendaftaran tanah yang dianut dalam UUPA
disamping menganut sistem Torrens juga sistem negatif. Adapun
menurut Maria Sumardjono, sistem pendaftaran tanah yang dianut di
Indonesia adalah sistem Torrrens sekalipun secara tidak langsung.
Menurut Maria, sistem pendaftaran tanah yang dianut sekarang adalah
sistem buku tanah, dimana yang dibukukan adalah hak-haknya
(regristration of tittle). Istilah regristation of tittle adalah kata lain untuk
torrens system. Demikian juga menurut Boedi Harsono, sesungguhnya
pendaftaran tanah di negara kita menurut Pasal 19 ayat (1) UUPA
bertujuan untuk menjamin kepastian hukum tetapi bukan maksudnya
akan menggunakan apa yang disebut sistem positif. Ketentuan tersebut
tidak memerintahkannya digunakannnya sistem positif, karena sertifikat
sebagai surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat dan bukan alat bukti yang mutlak.
Hal ini ditegaskan dalam penjelasan PP No. 24 Tahun 1997 bahwa
pihak lain yang merasa memiliki tanah dapat menuntut orang yang
namanya tercantum dalam sertifikat dalam waktu 5 tahun sejak
dikeluarkannya sertifikat itu. Jadi, pendaftaran hak yang diatur dalam
peraturan pemerintah ini tidaklah mutlak, karena orang yang terdaftar
dalam buku tanah tidak mengakibatkan orang yang sebenarnya berhak
atas tanah akan kehilangan haknya. Orang tersebut masih dapat
menggugat orang yang tidak berhak.
Pandangan Boedi Harsono yang menunjukan muntoha (orang yang
merencanakan PP No. 10 Tahun 1961), mengatakan bahwa sistem yang
dipergunakan dalam UUPA bukanlah sistem negatif yang murni
melainkan sistem negatif yang bertendensi positif. Pengertian negatif
disini adalah bahwa keterangan-keterangan yang ada itu jika ternyata
tidak benar masih dapat diubah dan dibetulkan. Pendapat Muntoha dan
Boedi Harsono kurang disetujui oleh Mariam Darus Badrulzaman. Di
dalam disertasinya Mariam melihat bahgwa stesel pendaftaran menurut
PP No. 10 Tahun 1961 lebih tepat dinamakan stesel canpuran antara
stesel negatif dan stesel positif.
Pendaftaran tanah memberikan pwerlindungan kepada pemilik yang
berhak (stesel negatif) dan menyempurnakannya dengan
mempergunakan unsur stesel positif.di sisi lain pendpat Muntoha juga
dijadikan rujukan oleh Ali Achmad Chomzah. Menurutnya sistem
pendaftaran tanah di Indonesia juga disebut Quasi Positif (positif yang
semu). Adapun ciri-ciri sistem quasi positif adalah sebagai berikut:
(1) Nama yang tercantum dalam daftar buku tanah adalah pemilik tanah
yang benar dan dilindungi oleh hukum. Sertifikat adalah tanda bukti
hak yang terkuat, bukannya mutlak.
(2) Setiap peristiwa balik nama, melalui prosedur dan penelitian yang
seksama dan memenuhi syarat-syarat keterbukaan (openbaar
beginsel).
(3) Setiap persil batas diukur dan digambar dengan peta pendaftaran
tanah, dengan melihat kembali batas persil, apabila di kemudian hari
terdapat sengketa.
(4) Pemilik tanah yang tercantum dalam buku tanah dan sertifikat dapat
dicabut melalui proses Putusan Pengadilan Negeri atau dibatalkan
oleh kepala BPN, apabila terdapat cacat hukum.
(5) Pemerintah tidak menyediakan dana untuk pembayaran ganti rugi
kepada masyarakat, karena kesalahan admnistrasi pendaftaran tanah,
melainkan masyarakat sendiri yang merasakan dirugikan melalui
proses pengadilan negeri untuk memperoleh haknya.
Demikian pula dengan penjelasan PP No. 24 Tahun 1997 ditegaskan
bahwa dalam pendaftaran tanah, sistem publikasinya adalah sistem
negatif, tetapi yang mengandung unsur-unsur positif, karena akan
menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat. Stesel posotof dituangkan di dalam hal-hal
berikut:
(1) PPAT diberikan tugas untuk meneliti secara materiil dokumen-
dokumen yang disrehkan dan berhak untuk menolak pembuatan akta.
(2) Kantor pertanahan kabupaten/kotamadya berhak menolak melakukan
pendaftaran jika pemilik tidak memiliki wewenang mengalihkan
haknya.
Campur tangan PPAT dan kantor pertanahan terhadap peralihan hak
atas tanah memberikan jaminan bahwa nama orang yang terdaftar benar-
benar yang berhak tanpa menututp kesempatan kepada yang berhak
sebenarnya untuk masih dapat membelanya dalam UUPA arti
pendaftaran tidak ditafsirkan dalam sistem positif akan tetapi harus
dikaitkan dengan UUPA itu sendiri. Hal tersebut nampak dari pernyataan
dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, bahwa surat tanda bukti hak yang
diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat dan dalam pasal 23,
pasal 32, dan pasal 38 UUPA bahwa pendaftaran berbagai peristiwa
hukum merupakan alat pembuktian yang kuat.
Selain tiu, dari ketentuan-ketentuan mengenai prosedur
pengumpulan, pengelolaan, penyimpanan, dan penyajian data fisik dan
data yuridis serta penerbitan sertifikat dalam peraturan pemrintah ini,
tampak jelas usaha untuk sejauh mungkin memperoleh dan penyajian
data yang benar, karena pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian
hukum. Sehubungan dengan itu diadakanlah ketentuan dalam ayat (2)
ini. Ketentuan ini bertujuan, pada satu pihak untuk tetap berpegang pada
sistem publikasi negatif dan pada pihak lain untuk secara seimbang
memberikan kepastian hukum kepada pihak, yang dengan iktikad baik
menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagi pemegang hak dalam buku
tanah, dengan sertifikat sebagai tanda buktinya, yang menurut UUPA
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Kelemahan sistem publikasi negatif adalah bahwa pihak yang
namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan
sertifikat selalu mengahadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang
merasa mempunyai tanah itu. Umumnya kelemahan tersebut diatasi
dengan menggunakan lembaga acquisitieve verjaring atau adverse
possession. Hukum tanah kita yang memakai dasar hukum adat tidak
dapat menggunakan lembaga tersebut, karena hukum adat tidak
mengenalnya. Akan tetapi, dalam hukum adat terdapat lembaga yang
dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif
dalam pendaftaran tanah, yaitu lembaga rechtsverwerking. Dalam hukum
adat, jika seseorang selam sekian waktu membiarkan tanahnya tidak
dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain, yang
memperolehnya dengan iktikad baik, maka dia diamggap telah
melepaskan haknya, sehingga hilanglah haknya untuk menuntut kembali
tanah itu. Dengan pengertian demikian, maka apa yang ditentukan dalam
ayat ini bukanlah menciptakan ketentuan hukum baru, melainkan
merupakan penerapan ketentuan hukum yang sudah ada dalam hukum
adat, yang dalam tata hukum sekarang ini merupakan bagian dari Hukum
Tanah Nasional Indonesia dan sekaligus memberikanwujud konkret
dalam penerapan ketentuan dalam UUPA mengenai penelantaran tanah.
Apabila lembaga rechtsverwerking sudah dapat di pakai sebagai cara
untuk menjadikan seseorang pemegang hak yang terdaftar, sebagai
pemilik sah sebidang tanah yang dilindungi hukum, maka dengan
serangkaian akta-akta peraturan pemerintah selanjutnya, yang
mempunyai pembuktian formil maupun materiil yang sempurna atau
kuat maka pemegang hak terakhir pun akan turut pula menjadi pemegang
hak yang mempunyai kedudukan hukumyang lebih kuat lagi.
1.5 Rekonstruksi Hukum Agraria Guna Menunjang Otonomi Daerah
Hubungan Tanah dengan Negara, Perseorangan dan Masyarakat
Para ahli hukum yang berpedoman pada konstruksi Hukum
Alam,percaya bahwa secara kodrat untuk kelangsungan hidupnya
seseorang memerelukan kepemilikan atas sesuatu yang sangat kompeten
dalam kehidupannya. Jika seseorang telah dipenuhi kepemilikannya,
maka hidup akan tenang,tenteram dan damai dalam lingkungannya.
Tanah menurut aliran hukum alam ini merupakan salah satu obyek yang
selalumenimbulkan dua hal, yaitu kedamaian ataupun kekacauan /
pertikaian,baik yang disebabkan oleh perseorangan, keluarga, mayarakat
maupun negara. Dalam pandangan aliran hukum alam ini, negara juga
bukan merupakan satu-satunya pemilik mutlak atas tanah, karena tanah
merupakan milik manusia secara alami.
Penempatan hak-hak manusia terhadap tanah yang sedemikian itu
memperlihatkan kuatnya kedudukan manusia alami atas tanah,
sehinggadapat mengecualikan pemilikan tanah oleh negara dengan
menempatkan bahwa seolah-olah hak-hak individu manusia merupakan
hak yang palingsuci dan tak tersentuh oleh kepentingan lingkungan
masyarakatnya,bahkan negaranya. Permasalahannya adalah; Sejauhmana
kedudukannegara atas tanah itu? Menurut pendapat aliran hukum alam,
memang tidak terlihat denganjelas kedudukan negara dalam kepemilikan
tanah, dalam arti bahwanegara tidak dapat meliliki tanah dalam
pengertian Eigendom (Hak MilikMutak) yang berisi kekuasaan mutlak
atas suatu tanah, namun negaradapat menguasai tanah tanpa harus
dimiliki untuk kepentingan publik.Berlainan dengan paham hukum alam,
Ulpianus dan Vegting, sebagaimana dikutip Ronald Z Titarelu,
menyatakan bahwa negara berdasarkan hubungan khusus dapat memiliki
tanah (Walaupun semuSufatnya) jika kepemilikan tanah tersebut
ditujukan untuk kepentingan umum (Res Publica) yang menyangkut
hajat hidup orang banyak. Dalam hal ini menurut Ronald Z Titarelu,
hubungan hukum yang ditimbulkan antara negara dan masyarakat adalah
bersifat saling menguntungkan dalam arti kedudukan negara sebagai
penguasaan atas kepemilikan tanah yang dimiliki
rakyat.Implementasinya adalah bahwa terhadap tanah tanah tersebut
yang langsung dipergunakan oleh negara, secara langsung dapat menjadi
milik negara (bukan penguasa atau pemerintah). Negara juga mempunyai
kewenangan untuk mengatur terhadap tanah-tanah yang dipergunakan
oleh masyarakat umum yang dipandang dapat memberikan manfaat lebih
dibandingkan jika tanah tersebut hanya dimiliki oleh perseorangan atau
masyarakat.
Senada dengan pendapat tersebut, ialah pendapat yang mendasarkan
teorinya pada Hukum Perjanjian Masyarakat (Contrac Social) yang
diprakarsai oleh Jean Jacques Rousseau. Pendapat ini menyatakan
bahwa milik perseorangan atas tanah diserahkan berdasarkan atas
perjanjian masyarakat yang kemudian dijelmakan dalam kaidah hukum.
Dalam kehidupan bernegara, seluruh kekayaan yang ada dalam wilayah
suatu negara adalah menjadi milik publik yang dikuasai oleh kekuatan
hukum nrgara. Hal ini berlaku pula pada setiap hubungan hukum dimana
salah satunya adalah negara, sehingga negara mempunyai kewenangan
hukum dalam hal menjaga kepemilikan negara. Dengan demikian
pemilikan atas tanah oleh negara mengandung kategori sebagai berikut :
1) Negara tidak memiliki tanah, namun secara khusus negara
mempunyai hubungan hukum dengan tanah khususnya yang
berkaitan dengan kepentingan umum;
2) Negara sebagai satu-satunya pemilik tanah baik dalam arti
sepenuhnya maupun dalam arti sebagai empunya;
3) Negara memiliki tanah di samping milik perseorangan;
4) Negara menjalankan kekuasaan atas tanah yang dimiliki oleh
masyarakat, seolah-olah tanah tersebut miliknya.
Realita sesungguhnya yang terjadi adalah, bahwa negara memiliki
kewenangan sepenuhnya atas tanah di wilayah negara tersebut seperti di
negara-negara sosialis/komunis. Begitu pila dapat terjadi disamping
milik perseorangan, negara juga bisa mempunyai kepemilikan atas tanah
dalam bentuk Domein Privat (milik para raja) dan bahkan Domein
Publik (untuk umum) baik dipergunakan untuk kepentingan penguasa
(pemerintah) maupun kepentingan negara sendiri. Begitu juga sekarang
banyak terjadi kepemilikan tanah yang bersifat administratif meskipun
tanah-tanah tersebut merupakan domein kotapraja. Dengan demikian
negara dapat bertindak atas tanah baik dalam bentuk pemilikan atau
seperti milik (dikuasai secara administratif saja), hal ini terjadi karena:
1) Sifat tanah yang tidak dapat dimiliki oleh perseorangan ataumemang
tanah tersebut tak berpemilik;
2) Fungsi atas tanah yang secara langsung berguna bagi masyarakat;
3) Tanah yang memiliki kemanfaatan untuk umum;
4) Tanah yang khusus dipergunakan sendiri oleh negara (Kantor
Pemerintah).
Keikutsertaan negara dalam upaya pelaksanaan otonomi daerah
dalam bidang pertanahan dapat diberikan kepada daerah dimana dia
sebagai kepanjangan tangan negara dalam campur tangan atas tanah
tersebut sesuai dengan asas politik yang selaras dengan tugas pokok
negara sebagai pengelola tanah dan bukan sebagai pemilik mutlak atas
tanah. Demikian pula masyarakat umum atau perseorangan dapat
memiliki tanah baik memurut kodratnya maupun atas perjuangannya
untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut harus dilindungi dan dihargai
oleh negara. Hubungan timbal balik ini sangat perlu dan penting sekali,
karena masyarakat tidak dapat dibiarkan begitu saja memperoleh hak-
haknya tanpa adanya batasan-batasan dari negara, begitu pula negara
tidak dibenarkan memiliki tanah-tanah rakyat demgan seenaknya tanpa
adanya kepentingan yang memadai untuk manfaat umum.
Hubungan Tanah Dengan Negara, Masyarakat, dan Perseorangan
Menurut Pembukaan UUD 1945. Landasan umum yang bersifat
mendasar dalam materi Undan-Undang Dasar 1945, hasil amandemen
adalah Pasal 33 ayat (3) yangpenjelasannya berbunyi :"Dalam pasal 33
ini tercantum dasar demokrasi ekonomi ,produksi dikerjakan oleh semua,
untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-angota
masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan ,bukan
kemakmuran orang-orang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun yang sesuai
dengan itu adalah koperasi. Perekonomian berdasarkan atas demokrasi
ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang
banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak tampuk produksi jatuh
ketangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat yang banyak
ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang
banyak boleh ada ditangan orang-seorang.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi
adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".
Pasal tersebut menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kalimat tersebut bermakna jika
dipahami keseluruhan maksud dan tujuannya. Pengertian "dan"bukan
merupakan kehendak yang dituju. Atas dasar pemaknaan sedemikian itu,
maka secara teoritik kepentingan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat merupakan dasar bagi dikuasainya tanah oleh
negara. Persoalannya: Mengapa harus negara yang menguasai?
Kemakmuran rakyat tidak akan tercapai jika satu sama lain tidak
mempunyai kesaman persepsi tentang bagaimana hidup yang baik itu
atau hidup yang makmur itu. Berkaitan dengan bahasan kita tentang
tanah, maka hidup yang baik itu atau yang makmur itu memerlukan
suatu pola keteraturan tentang tata cara memenuhi kehidupan secara
layak dan baik. Agar pola keteraturan dapat terjelma, perlu adanya
kecakapan atau kekuasaan untuk menjelmakan. Kekuasaan itu diberikan
kepada Negara sebagai organisasi masyarakat tetinggi dalam suatu
wilayah. Hal demikian sesuai dengan anggapan dan keyataan bahwa
manusia itu hidup dalam dimensi-dimensi perseorangan, masyarakat dan
negara, sehingga tanah tidak saja dimiliki (dipergunakan) oleh
perseorangan atau masyarakat saja. Negara juga memiliki kekuasaan atas
tanah.
Malahan Negara juga mempunyai kewenangan untuk mengatur
semua hubungan hukum atas tanah agar berbagai dimensi kebutuhan
masyarakat secara perseorangan maupun kelompok terpenuhi. Manakah
yang lebih diutamakan kemakmuran perseorangan, masyaarakat ataukah
negara? Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 merumuskan bahwa Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut Dasar Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dari rumusan tersebut memperoleh pandangan bahwa untuk
mengatur kebutuhan masyarakat, negara tidak semata-mata sebagai
organisasi kekuasaan yang bersumber pada kedaulatan rakyat.
Kebutuhan rakyat untuk sejahtera juga diatur oleh hukum Tuhan, hukum
yang memberikan kepada manusia karunia atas tanah. Namun demikian,
Tuhan tidak serta merta memberikan haknya kepada manusia, sebab cara
demikian akan menjerumuskan pada jurang kebodohan, ketidakpahaman
tentang odrat illahi. Oleh karena itu Tuhan sekaligus juga membebani
dengan kewajiban untuk menjaga dan memeliharanya.
Dalam hubungan manusia, menempatkan tindakan manusia itu
seimbang antara hak dan kewajibannya. Sikap demikian identik
sebagaimana Tuhan memberikan manusia (untuk sebesar-besarnya)
menikmati karunia-Nya sebagai hak dengan mengharuskan
melaksanakan kewajiban dalam memenuhi karunia-Nya itu. Sehingga
kemakmuran yang akan dicapai adalah kemakmuran manusiayang adil
dan beradab yaitu yang menyadari dirinya dan orang lain sama-sama
sebagai makhluk Tuhan. Menyadari dalam hubungan antar perilaku
manusia itu tidak saja memperjuangkan haknya semata, tetapi juga
kewajiban kepada Tuhan, kepada sesama, menurut nilai-nilai moral ke
Tuhanan, kemasyarakatan. Oleh Soepomo dikiaskan dengan persatuan
kawulo-gusti, dunia luar dan dunia batin, mikro kosmos dan makro
kosmos, antara rakyat dan pimpinannya serta keseimbangan lahir batin
karena manusia baik sebagai pribadi, golongan atau masyrakat
mempunyai pergaulan hidupnya sendiri tetapi saling terkait pengaruh
mempengaruhi. Hal ini akan berbeda dengan landasan moral sebgaimana
dikemukakan oleh G.W.Freidrich Hegel yang menempatkan hak
manusia pribadi hanya sebagai bagian dari hak masyarkat secara
keseluruhan, walaupun manusia pribadi diakui mempunyai kedudukan
yang sangat penting, atau pendapat Immanuel Kant yang
mengedepankan kepentingan manusia individu sehingga memandang
sesuatu itu diperlukan manusia karena semata-mata sebagai manusia.
Nilai-nilai moral dalam bentuk keseimbangan hak dan kewajiban
yang hidup sebagai diri pribadi, masyarakat dan bangsa merupakan asas
hukum yang dijujung tinggi. Berkaitan dengan tanah, mengandung pula
arti bahwa tanah merupakan pemberian Tuahan kepada pribadi, keluarga,
masyarakat, dan bangsa Indonesia. Memiliki tanah yang diturunkan dari
Tuhan mengandung arti memiliki kewajiban untuk memanfaatkan secara
adil dan beradab bagi kepentingan diri, pribadi, keluarga, masyarakat dan
bangsa menurut keseluruhan harkat dan martabat sebagai makhluk
ciptaan Tuhan. Sehingga kemampuan dan kecakapan memanfaatkan
tanah dijalankan atas dasar ini, bukan semata-mata karena dirinya
sebagai manusia dengan segala nafsu dan keterbatasannya. Dengan
demikian yang memiliki hubungan dengan tanah adalah manusia secara
alamiah yakni perseorangan, keluarga, masyarkat kesemuanya
mempunyai kedudukan yang seimbang mengingat sifat penggunaan
tanah akan juda bermuara pada kepentingan kepuasan manusia
perseorangan. Kumpulan dari keseluruhan pemilikan tersebut disebut
sebagai milik bangsa.
Penyelengaraan Kekuasaan Negara Atas Tanah Negara sebagai
organisasi suatu bangsa diberikan kekuasaan oleh rakyat berdasarkan
peraturan hukum (Konstitusi) untuk mengatur berbagai kekuasaan
apapun dalam masyarakat. Oleh Van Appledoorn digambarkan sebagai
sesuatu kekuatan (macht) yang diatur oleh hukum yang berdasarkan
kesusilaan. Kekuasaan yang demikian di Indonesia memiliki bentuk dan
dasar yang tertuang dalam Pokok Pikiran ke dua Pembukaan UUD 1945,
yaitu negara yang berdaulat atas dasar permusyawaratan rakyat.
Rumusan tersebut diatas memiliki makna bahwa
permusyawaratan/perwakilan berlandaskan hikmah kebijaksanaan dalam
pengambilan keputusan merupakan cara penyelenggaraan negara yang
terbaik. Anggapan dasarnya ialah bahwa melalui cara demikian, akan
lahir wujud kepentingan dan kemanfaatan bersama yang memenuhi
keluhuran harkat dan martabat bangsa.Kepentingan dan kemanfaatan
bersama atas dasar nilai-nilai kemanusiaan secara formal terwujud dalam
cita hukum nasional guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia, serta untuk melindungi segenap bangsa Indonesia da
seluruh tumpah darah Indonesia berdasarkan persatuan sebagai sesuatu
yang akan diatur lebih lanjut oleh negara. Apa yang barusan dikemukaan
tersebut merupakan suatu pola hubungan hukum antara manusia,
keluarga, dan bangsa yang berkaitan dengan masalah pertanahan dengan
menempatkan negara sebagai organ yang diberikan
kewenangan/kekuasaan untuk mengaturnya.
Tanah sebagai sumber daya alam strategis bagi kehidupan bangsa
memerlukan campur tangan negara untuk mengaturnya atas dasar
keseimbangan hukum dan keadilan bersama antara manusia sebagai
rakyat dan pemerintah sebagai kepanjangan tangan negara yang memiliki
kekuasaan. Jadi hubungan perseorangan ,keluarga dan masyarakat
dengan tanah didasarkan atas fitrahnya sebagai mahluk Tuhan untuk
hidup secara mandiri dan sekaligus sebagai mahluk sosial yang tidak bisa
terlepas atau senantiasa bergantung satu sama lainnya dalam lingkungan
masyarakatnya. Karenanya menuntut akan adanya toleransi dan
kebersamaan dalam hidup damai yang selalu rukun dalam naungan
aturan hukum negara.
Sedangkan hubungan antara negara dengan tanah adalah 'disamping
adanya kedaulatan negara, juga atas dasar negara hukum dan
perlindungan hak asasi manusia, maka demi tercapainya kedaulatan
rakyat dan keadilan sosial, maka perlu diatur adanya keseimbangan hak
dan kewajiban antara negara dengan warga negara sehingga diperoleh
keadilan yang harapannya akan mendatangkan kemanfaatan yang
sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara. Negara, dalam kontek ini tidak
didudukkan sebagai pemilik mutlak atas tanah, namun negara sebagai
organ penguasa yang diberi kewenangan secara sah oleh hukum negara
untuk menjamin pelaksanaan peruntukan tanah sesuai dengan tujuan
maupun kemanfatan yang dimaksud.
Hubungan Tanah Dengan Otonomi Daerah Diatas telah disinggung
tentang masalah tanah yang memang secara hakiki merupakan karunia
Tuhan, maka tanah dapat dijadikan sesuatu sebagai sarana hidup
sejahtera. Hal ini perlu disikapi oleh seluruh warga negara Indonesia,
bahwa dirinya sebagai mahluk individu sekaligus mahluk sosial yang
mendampakan keadilan atas kemanfaatan tanah baik bagi kepentingan
perseorangan maupun kepentingan masyarakat/umum. Kesemuanya
menurut hemat penulis dapat tercapai jika pihak yang berwenang
mengatur seperti negara ini benar-benar mengimplementasikan materi
Pasal 33 UUD 1945 sebagai kunci kemakmuran yang mengilhami
kemanfaatan dan kesejahteraan untuk rakyat agar terpenuhinya hajat
hidup masyarakat. Pengertian dan penjabaran Pasal 33 ayat (3) UUD
1945, terumuskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria (UU
No.5 Tahun 1960) yang selengkapnya dijabarkan oleh Budi Harsono
dalambukunya "Hukum Agraria Indonesia "Tahun 1996, hal 5-6 ,
berbunyi :
a. Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat(3) UUD 1945 dan hal-hal
yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 UUPA, bumi, air dan
ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
b. Hak menguasai oleh negara termaksud dalam ayat (1) Pasal 2 UUPA
memberi kewenangan kepada negara untuk :
(1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut ;
(2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa :
(3) Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
c. Wewenang yang bersumber dari hak menguasai oleh negara tersebut
pada ayat (2) Pasal 2 UUPA digunakan untuk mencapai sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan
dan kemerdekaan dalam masyarakat serta negara hukum Indonesia
yang merdeka, berdaulat adil dan makmur :
d. Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat
masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentngan
dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
pemerintah.
Dari penjabaran Budi Harsono tersebut diatas jelas bahwa negara
adalah pihak yang berkuasa, diberi kekuasaan penuh oleh rakyat
berdasarkan konsep kedaulatan rakyat yang berarti negara mendapatkan
kepercayaan penuh dari rakyat untuk menjalankan kewenangannya
dalam hal penguasaan atas tanah manun tidak berarti memiliki atau
mempergunakan tanah-tanah tersebut untuk kepentingannya sendiri,
tetapi untuk mengatur penggunaan dan peruntukan atas tanah tersebut
agar tercipta kemakmuran rakyat secara meningkat dan merata.
Permasalah yang timbul kemudian adalah : Apakah hak untuk
mengatur peruntukan tanah dan pemanfaatannya semata-mata ditentukan
oleh negara dalam arti Pemerintah Pusat? Pemberian kekuasaan dan
kewenangan pada negara sepenuhnya akan berakibat pada terjadinya
pemerimtahan sentralistik yang cenderung ottoliter. Pemerintahan yang
demikian akan berakibat pada lemahnya sendi-sendi pranata masyarakat
seperti demokrasi, musyawarah-mufakat, kebersamaan, pemerataan dan
keadilan. Oleh karena itu agar tidak terjadi kesewenang-wenangan
penguasa, harus dilakukan desentralisasi kekuasaan, dalam arti
pembentukan satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah yang diberi
hak untuk mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintah
pusat sebagai urusan rumah tangganya, namun asal tetap sebagai satu
kesatuan dalam satu susunan negara kesatuan. Lebih khusus lagi Baqir
Manan menjelaskan perlunya desentralisasi dalam negara kesatuan
adalah sebagai berikut :
1) Sebagai cerminan dari kharakteristik kerakyatan yang
mengedepankan sikap arif bijaksana dalam memecahkan segala
persoalan dengan jalan musyawarah-mufakat. Musyawarah ini
sebagai wujud dari keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan
pemerintahan di tingkat daerah dengan memberikan wewenang,
tugas dan tanggung jawab untuk mengatur dan menurus rumah
tangga daerahnya sendiri dengan secara bebas melakukan berbagai
inisiatif dalam batas-batas ketentuan yang berlaku;
2) Untuk lebih memberikan penghargaan atas pemerintahan asli yang
telah ada sejak dahulu baik dalam bentuk pemerintahan otonom,
swapraja maupun pemerintahan desa. Tentu saja bentuk
pemerintahan tersebut harus disesuaikan dengan kemajuan bangsa;
3) Lebih menghargai akan kebhinekaan bangsa baik dari segi ekonomi,
sosial, budaya dan kepercayaan. Kebhinekaan itu menimbulkan hajat
hidup dan kebutuhan yang berbeda dari daerah satu dengan lainnya.
Rakyat setempatlah yang mengetahui akan kebutuhan mereka. Ini
sesuai dengan prinsip keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia;
4) Sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis dimana
kekuasaan pusat dibatasi berdasarkan kedaulatan rakyat. Salah satu
bentuknya ialah dengan cara pemencaran kekuasaan badan-badan
kenegaraan meliputi tugas administrasi dan tugas legislasi utamanya
terhadap masalah-masalah penting bagi daerah.
Keseluruhan alasan perlunya dilakukan desentralisasi pemerintahan
negara itu adalah untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial di
daerah yang pada hakekatnya juga merupakan tugas dan tujuan
pemerintah pusat. Berdasarkan alasan tersebut dapatlah dipahami bahwa
pelasanaan kekuasaan negara atas tanah sebagaimana terumus dalam
ayaat 4 diatas "dapat" dilaksanakan pula oleh pemrintah daerah dan
masyarakat hukum lainnya, segala sesuatunya tergantung pada
pertimbangan kepentingan kemanfaatan akaan tanaah. Kedudukan
pemerintah daerah dalam hal ini bertindak sebagai pelaksana kekuasaan
negara atas tanah tidak bersifat asli karena diberikan wewenang untuk
itu. Oleh karena itu pemerintah daerah harus bertindak atas dasar asas
taat asas terhadap ketentuan normatif ketatanegaraan Indonesia.
1.6 Pembaharuan Hukum Agraria Nasional Yang Berkeadilan Sosial
Istilah agraria berasal dari bahasa Yunani, berasal dari kata Ager
yang berarti ladang atau tanah. Sedangkan menurut kamus bahasa
Indonesia, agraria adalah urusan pertanian atau tanah pertanian, juga
urusan pemilikan tanah (Harsono, 2005). Sedangkan di dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Dasar Pokok- Pokok Agraria
(UUPA), terdapat dua jenis pengertian agraria, yakni (Chomzah, 2004):
1) Secara luas, terdapat didalam Pasal 1 ayat (2) UUPA, yang meliputi
bumi, air dan ruang angkasa.
2) Secara sempit terdapat dalam pasal 4 ayat (1) UUPA.
Beberapa ahli hukum juga memberikan pendapat mengenai
pengertian hukum agraria. Subekti berpendapat bahwa hukum agraria
adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik hukum perdata,
maupun hukum tata negara maupun hukum tata usaha negara yang
mengatur hubungan-hubungan antara orang termasuk badan hukum
dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara dan
mengatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan-
hubungan tersebut. Utrecht berpendapat bahwa hukum agraria dan
hukum tanah menjadi bagian hukum tata usaha negara yang menguji
perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan akan
memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus soal-soal tentang
agraria melakukan tugas mereka itu.
Secara filosofis pembentukan UUPA ditujukan untuk mewujudkan
apa yang digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa “bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pernyataan
ini berarti merupakan suatu kewajiban agar bumi, air, dan ruang angkasa
dan kekayaan alam yang diletakkan dalam kekuasaan negara untuk
mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Kesejahteraan yang
dimaksudkan adalah kesejahteraan lahir batin, adil dan merata bagi
seluruh rakyat Indonesia (Hatta, 2005).
Bumi, air, dan ruang angkasa termasuk merupakan kekayaan alam di
Indonesia. Sumber daya alam ini merupakan bagian dari kekuasaan
negara. Hal ini ditegaskan di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pengelolaan dan distribusi manfaat dari sumber daya alam ini, sangat
erat kaitannya dengan peraturan yang ada didalam TAP MPR IX Tahun
2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam.
Secara umum, ini merupakan pencapaian dan penyataan eksplisit
MPR bahwa yang paling penting dan dibutuhkan pemerintah dalam
berkomitmen untuk pembaharuan pengelolaan sumber daya alam dan
pembaharuan agraria. Hal ini mengharuskan Negara dan
pemerintahuntuk mengkaji, mencabut dan merevisi semua peraturan
perundang-undangan mengenai tanah dan sumber-sumber agraria
lainnya, serta menyelesaikan konflik agraria yang ada saat ini secara adil
dan lestari. TAP MPR ini merupakan alat yang paling ampuh dalam
proses reformasi dan merupakan penyempurnaan perundang-undangan
agraria di Indonesia (Chip Fay, 2005).
Sebelum diterbitkannya UUPA, terjadi dualisme landasan dalam
membuka hak atas tanah, yakni terdapat pada pasal 51 ayat 7 IS, pada
Stb 1872 No. 117 tentang Agraris Eigendom Recht yaitu memberi hak
eigendom (hak milik) kepada orang Indonesia, dan hal yang disamakan
dengan hak eigendom yang terdapat pada buku II BW yang diberikan
kepada mereka yang bukan orang Indonesia. Dengan diberlakukannya
UUPA dapat dikatakan telah tercapai suatu kodifikasi dan unifikasi
hukum agraria di Indonesia.
Penerbitan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 pada tanggal 24 September
1960 menyeragamkan dualismee aturan yang mengatur hak- hak tentang
tanah di Indonesia. Maka dengan adanya dualismee aturan yang
mengatur tentang hak-hak tanah untuk menyeragamkannya pada tanggal
24 september 1960 diterbitkan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5
Tahun 1960 pada lembar Negara No. 104/1960. Pemahaman mengenai
tujuan dari hukum agraria nasional tersebut merupakan suatu hal yang
sangat penting dalam menentukan isi dari peraturan perundang-undangan
di bidang sumber daya alam atau agraria. Tujuan hukum agraria tersebut
hanya dapat dilaksanakan dengan hak menguasai negara yang dijabarkan
dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA. Dalam pasal tersebut diatur bahwa hak
menguasai negara berisikan wewenang untuk:
1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air dan ruang angkasa.
Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 merupakan
Undang-Undang yang mengatur 197 juta hektar wilayah daratan
Indonesia. Undang-Undang ini menuntun pemerintah dalam pengakuan
dan pemberian 7 jenis hak atas tanah dan 3 tambahan jenis hak atas
pemanfaatan sumber daya alam. Dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA
menyatakan hak hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) adalah:
1) Hak milik;
2) Hak guna usaha;
3) Hak guna bangunan;
4) Hak pakai;
5) Hak sewa;
6) Hak membuka tanah;
7) Hak memungut hasil hutan;
8) Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas
yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang
sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.
Dalam Pasal 16 ayat (2) UUPA menyatakan hak-hak atas air dan ruang
angkasa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) adalah:
1) Hak guna air;
2) Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan;
3) Hak guna ruang angkasa.
Hak yang paling kuat dan paling penuh dari semua jenis hak adalah
Hak Milik, dan diantara berbagai jenis hak atas tanah yang telah diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 adalah
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, serta dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
mengatur konsep dan prosedur untuk pengakuan atau pemberian
berbagai jenis hak atas tanah. Dalam peraturan ini, tanah dibagi dalam 2
jenis, yakni: Tanah Bekas Hak Adat, yakni hak lama yang telah diakui
keberadaannya jauh sebelum adanya UUPA; dan Hak lainnya yang
diberikan dengan aturan yang lebih rinci, yaitu Hak Guna Bangunan,
Hak Guna Usaha atau Hak Pakai berdasarkan permohonan hak dengan
subjek hak atas tanah, yang terdiri dari orang per-orang dan badan
hukum (Chip Fay, 2005).
Penguasaan tanah oleh penguasaha sangat berbanding terbalik
dengan penguasaan lahan oleh petani. Petani Indonesia hanya menguasai
8.9juta ha lahan (Susyanti, 2010). Luas lahan pertanian tersebut sangat
tidak ideal jika dibandingkan dengan jumlah petani yang mencapai angka
39 juta orang. Penyempitan lahan pertanian ini disebabkan oleh makin
maraknya konversi lahan pertanian ke non pertanian. Badan Pertanahan
Nasional (BPN) mencatat bahwa sejak tahun 1992-2002 laju konversi
lahan pertanian pertahun adalah 110 ribu ha dan meningkat menjadi 145
ribu ha selama empat tahun terakhir (Susyanti, 2010).
Konversi lahan pertanian ini sangat tidak sesuai dengan esensi
UUPA. UUPA menghendaki usaha-usaha dalam bidang agraria diatur
untuk meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat serta menjamim
derajat hidup yang baik bagi setiap WNI (Harsono, 2005). Badan Pusat
Statistik menyatakan pada Tahun 2009, terdapat sebanyak 56,5% atau
sekitar 39 juta petani hanya menguasai lahan pertanian kurang dari 0,5
ha, sedangkan idealnya menurut Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960
tentang Penetapan Luas Lahan Petanian adalah 2 ha. Seharusnya
pemerintah lebih memprioritaskan kebijakan untuk kepentingan
masyarakat tani. Kebijakan pemerintah seharusnya lebih berpihak dan
mengutamakan kaum tani untuk meningkatkan kesejahteraan bagi petani
melalui peningkatan penguasaan luas lahan daripada mengkonversikan
lahan pertanian menjadi lahan industry.
Membangun hukum agraria yang berkeadilan sosial didasari dengan
keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum.
Kepentingan individu harus dibatasi oleh kepentingan umum yang
merupakan fungsi sosial dari hak atas tanah. Pembatasan hak menguasai
negara menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 berprinsip bahwa hal yang diatur oleh negara tidak boleh
berakibat terhadap pelanggaran hak dasar manusia sebagaimana yang
dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945.
Pembatasan hak juga bertujuan untuk kemakmuran rakyat untuk
tercapainya nilai-nilai dalam pancasila, yakni diantaranya adalah
keadilan sosial.
Pembaharuan terhadap hukum agraria nasional harus merefleksikan
nilai-nilai pancasila, yakni nilai keadilan sosial. Rujukan terhadap
pembaharuan hukum agraria nasional ini dapat dilihat dalam kesimpulan
Seminar Hukum Nasional IV (26-30 Maret 1979) mengenai Penjabaran
Pancasila Dalam Hukum menyimpulkan bahwa pencerminan nilai-nilai
Pancasila dalam perundang-undangan, yaitu (Abdurrahman, 1995):
1. Pancasila yang mengandung nilai-nilai kejiwaan bangsa Indonesia
merupakan dasar tertib hukum Indonesia, pedoman dan petunjuk
arah perkembangannya dengan system yang terbuka dan adalah batu
ujian mengenai kepatutan dan perundang-undangan
2. Dalam menyusun undang-undang, pembentuk undang-undang perlu
dengan tepat menunjukan nilai-nilai pancasila yang mendasari
ketentuan undang-undang itu. Dengan demikian, peraturan hukum
merupakan pelaksanaan undang-undang itu tidak boleh mengandung
hal-hal yang bertentangan dengan pancasila.
3. Pencerminan nilai pancasila di dalam perundang-undangan
merupakan hakikat pembentukan sistem hukum nasional
Beberapa prinsip Pembaharuan hukum agraria nasional juga terdapat di
dalam TAP MPR No.IX/MPR/2001, diantaranya:
1) Memelihara dan mempertahankan keutuhan NKRI;
2) Menghormati dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusa;
3) Menyejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas
sumber daya manusia Indonesia;
4) Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam
penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan dan pemeliharaan
sumber daya agraria/sumber daya alam;
5) Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara,
pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa atau
yang setingkat (masyarakat atau individu);
6) Mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan,
pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya agraria;
7) Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang
optimal baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang
dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung
lingkungan;
8) Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian dan fungsi ekologis sesuai
dengan kondisi sosial budaya setempat;
9) Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sector
pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam;
10) Mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan
keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria dan sumber daya
alam;
11) Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara,
pemerintah (pusat, daerah, provinsi, kabupaten/kota dan desa atau
yang setingkat), masyarakat dan individu;
12) Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di
tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang
setingkat), masyarakat dan individu;
13) Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di
tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang
setingkat berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumber daya
agraria dan sumber daya alam.
1.7 Implementasi Kebijakan Pertanahan Nasional
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah
kebijakan dapat mencapai tujuannya. Implementasi kebijakan dapat
dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan yang
biasanya dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan
peradilan, perintah eksekutif atau dekrit presiden. Semua kebijakan yang
telah ditetapkan diharapkan sukses dilaksanakan. Tapi dalam kenyataannya
banyak yang gagal dilaksanakan. Menurut Hanif Nurcholis, agar kebijakan
dapat dilaksanakan dengan baik maka kebijakan hendaknya:
a. Dirancang sesuai dengan kerangka acuan dan teori yang kuat.
b. Disusun korelasi yang jelas antara kebijakan dan implementasinya.
c. Ditetapkan adanya organisasi yang mengkoordinir pelaksanaan
kebijakan sehingga proses implementasi kebijakan dapat ber jalan
dengan baik.
d. Dilakukan sosialisasi kebijakan yang akan diterapkan sampai organisasi
pelaksana tingkat terbawah (street level bureaucracy).
e. Dilakukan pemantauan secara terus-menerus (monitoring).
Di samping itu, sukses tidaknya implementasi kebijakan juga dipengaruhi
oleh kondisi-kondisi sebagai berikut:
a. Dukungan dan penolakan dari lembaga eksternal. Jika lembaga
eksternal mendukung maka pelaksanaan kebijakan akan berhasil.
Sebaliknya jika menolak maka pelaksanaan kebijakan akan gagal. Oleh
karena itu agar sukses pengambil kebijakan dan para pelaksananya
harus melakukan penyamaan visi dan persepsi dalam kebijakan yang
diambil.
b. Ketersediaan waktu dan sumber daya yang cukup.
c. Dukungan dari berbagai macam sumber daya yang ada. Makin banyak
yang mendukung makin tinggi tingkat kesuksesannya.
d. Kemampuan pelaksana kebijakan menganalisis kausalitas persoalan
yang timbul dari pelaksanaan kebijakan. Makin mampu para pelaksana
kebijakan menganalisis kausalitas antara satu kegiatan dengan kegiatan
lain atau antara satu kegiatan dengan dampaknya akan makin tinggi
tingkat keberhasilannya.
e. Kepatuhan para pelaksana kebijakan terhadap kesepakatan dan tujuan
yang telah ditetapkan dalam tingkat koordinasi.
Dalam rangka mengkaji implementasi kebijakan pertanahan nasional maka
akan lebih jelas jika untuk itu dibagi dalam 3 era, yaitu era Rezim Orde
Lama, Era Rezim Orde Baru dan Era Orde Reformasi.
A. Era Rezim Orde Lama
Sebagaimana halnya peraturan perundang-undangan yang lain,
UUPA pun sebagai produk hukum penguasa, berisikan dan merupakan
cermin kebijakan penguasa pada waktu dibuatnya yaitu pada awal era
rezim Orde Lama. Pada waktu itu sebagai orde yang bertujuan
mengadakan perombakan pada kebijakan penguasa selama masa
sebelumnya, berketetapan akan dengan sungguh-sungguh melaksanakan
pembangunan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai
kepribadian bangsa. Seperti diketahui UUD 1945 baru dinyatakan
berlakukembali sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959.Segala sesuatu akan
didasarkan pada kepribadian nasional. Demikianlah dalam rang ka
mewujudkan, merumuskan, memberikan landasan hukum dan
pelaksanaan kebijakan pembangunan yang baru di bidang pertanahan,
dalam UUPA tampak sekali perwujudan Sila-sila Pancasila dan
penjabaran Kebijakan Pokok Pertanahan Nasional sebagai yang
dirumuskan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
B. Era Rezim Orde Baru
Sebelum sampai terlaksana sepenuhnya diprogramkan dalam
reformasi agraria seperti tersebut di atas terjadilah tragedi nasional
dalam tahun 1965, maka kemudian lahirlah era Orde Baru. Rezim Orde
Baru mewarisi situasi nasional dalam keadaan ekonomi negara yang
menyedihkan dan konstelasi politik yang saat itu dinilai sebagai
penyimpangan besar dari Pancasila dan UUD 1945.
Langkah pertama rezim Orde Baru dalam usaha untuk
menyelamatkan bangsa dan negara dalam bidang ekonomi adalah
mengubah kebijakan pembangunan nasional dan dalam bidang politik
mengadakan koreksi total pada kebijakan rezim Orde Lama dan
kembali pada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Seperti kemudian terjadi di era Orde Reformasi rezim Orde
Baru pun dalam perkembangan kebijakan politik dan ekonominya
dinilai menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.
Jika rezim Orde Lama mengutamakan pembangunan bidang
pertanian dengan berusaha memberdayakan rakyat petani, maka rezim
Orde Baru mengutamakan partumbuhan melalui pembangunan industri
pengolahan bahan-bahan baku yang berasal dari impor. Pertumbuhan
melalui pembangunan industri itu memerlukan jumlah modal yang
besar yang hanya dipunyai golongan ekonomi kuat dan asing. Baik
dalam Tap-Tap MPR Orde Baru maupun dari kebijakan penguasa selalu
dinyatakan bahwa modal asing merupakan pelengkap. Tetapi kemudian
ternyata justru modal asing itulah yang dominan, baik dalam bentuk
investasi langsung maupun sebagai pinjaman untuk membiayai proyek-
proyek pembangunan pemerintah dan swasta.
Dengan alasan yang sangat pragmatis yaitu untuk menerapkan dan
mencapai pertumbuhan ekonomi, pada awal kekuasaannya Orde Baru
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mencakup lingkup agraria,
yang antara lain: Undang Undang Penanaman Modal Asing Tahun 1967
dan Undang-Undang Penanaman Dalam Negeri Tahun 1967. Meski
seakan-akan kelahiran kedua undang-undang yang berkaitan dengan
penanaman modal ini tidak berkaitan langsung, perlu dicatat bahwa
orientasi penguasaan dan eksploitasi kekayaan alam Indonesia pada saat
itu diperuntukkan bagi modal-modal tersebut. Undang Undang No 11
Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, Undang- undang
No 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan yang
diperbaharui dengan Undang Undang No 41 Tahun 1999, Undang
Undang No 7 Tahun 1970 tentang Penghapusan Pengadilan Landreform
serta Undang Undang No 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Minyak
Dan Gas Bumi Negara yang kesemuanya bukan saja tidak mengacu
bahkan bertentangan dengan UUPA yang mengakibatkan tumpang
tindihnya peraturan tentang agraria. Dengan demikian, apa yang dialami
dari dulu hingga sekarang adalah terancamnya kehidupan petani,
menurunnya produktivitas petani, meluasnya jumlah orang miskin.
Dalam praktek pelaksanaan UUPA selama masa Orde Baru telah
dijumpai kelemahan-kelemahan dan mungkin penyimpangan yang tidak
sesuai dengan cita-cita luhur UUPA untuk mewujudkan demokrasi
ekonomi seperti uyang diamanatkan pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Lebih
spesifik dalam kaitan dengan pelaksanaan Hukum Tanah Nasional,
Budi Harsono, mengakui ada kelemahan-kelemahan tersebut dengan
menyatakan sebagai berikut:
a. Tetapi karena adanya kelemahan dalam kelengkapan isi dan
rumusan sebagai peraturannya, Hakum Tanah Nasional selama
masa Orde Baru, yang menyelenggarakan pembangunan
berdasarkan kebijakan yang mengutamakan pertumbuhan, dalam
pelaksanaannya memungkinkan penafsiran yang menyimpang dari
semangat dan tujuan diadakannya peraturan yang bersangkutan;
b. Sehubungan dengan itu, pelaksanaan Hukum Tanah Nasional
selama masa Orde Baru seringkali dirasakan sebagai tidak
menjamin perlindungan, bahkan menimbulkan rasa diperlakukan
tidak adil bagi rakyat yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan
pembangunan. Padahal Hukum Tanah Nasional jelas memuat
rumusan asas dan ketentuan-ketentuan hukum yang memberikan
perlindungan bagi siapapun yang menguasai tanah secara sah
terhadap gangguan dari pihak penguasa sekalipun, bilamana
gangguan itu tidak ada dasar hukumnya. Ketentuan-ketentuan
landreform biar pun secara formal tidak dicabut, namun selama
Orde Baru tidak tampak dilaksanakan, dengan segala akibatnya
dalam penguasaan tanah-tanah pertanian baik yang mengenai batas
luas maupun lokasinya. Biarpun kebijakan pembangunan dan
pelaksanaannya berbeda dengan semangat yang melandasi UUPA,
tetapi undang-undang tersebut dan peraturan pelaksanaannya
selama Orde Baru masih dapat memberikan dukungan legal yang
diperlukan tanpa mengalami perubahan formal substansinya.
C. Era Orde Reformasi
Orde Reformasi tampak membawa perombakan yang mendasar
dalam kebijakan pembangunan nasioanal di bidang ekonomi sebagai
yang ditetapkan dalam Tap MPR No XVI/MPR/1998 tentang politik
ekonomi dalam rangka demokrasi ekonomi. Tap MPR ini merupakan
titik tolak tonggak baru demokrasi ekonomi. Hal ini menunjukkan
bahwa saat itu sudah terdapat kebijakan baru yang artinya kita tidak
akan kembali kepada kebijakan pembangunan ekonomi Orde Baru yang
lalu yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi
Tap MPR NO XVI/MPR/1998 antara lain merimuskan bahwa
Kebijakan ekonomi baru mencakup kebijakan, strategi, dan pelaksanaan
pembangunan yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak sebagai
wujud keberpihakan pada kelompok usaha kecil, menengah, dan
koperasi, serta berfungsi sebagai pilar utama pembangunan ekonomi
nasional tanpa mengabaikan peranan perusahaan-perusahaan besar.
Pengelolaan dan pemanfaatan tanah serta sumber daya alam lainnya
dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk
pemusatan pengusahaan dan kepemilikan dalam rangka pengembangan
kemampuan ekonomi usaha kecil, menengah dan koperasi serta
masyarakat luas. Tanah sebagai basis usaha pertanian diutamakan
penggunaannya bagi pertumbuhan pertanian rakyat.
Tap MPR tersebut ditetapkan atas dasar pertimbangan bahwa
pelaksanaan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 33
UUD 1945 belum terwujud. Sejalan dengan perkembangan kebutuhan
dan tantangan pembangunan nasional, diperlukan keberpihakan politik
ekonomi, yang memberi kesempatan dukungan dan pengembangan
ekonomi rakyat, yang mencakup koperasi, usaha kecil dan menengah
sebagai pilar utama pembangunan nasional tanpa mengabaikan peranan
usaha besar dan Badan Usaha Milik Negara. Usaha besar dan Badan
Usaha Milik Negara mempunyai hak untuk berusaha dan mengelola
sumber daya alam, dengan cara yang sehat dan bermitra dengan
pengusaha kecil, menengah dan koperasi. Pengelolaan dan pemanfaatan
tanah dan sumber daya alam lainnya, harus dilaksanakan secara adil
dengan menghilangkan segala bentuk penguasaan dan kepemilikan
dalam rangka pengembangan kemampuan ekonomi usaha kecil,
menengah dan koperasi serta masyarakat luas.
Kemudian dengan terbitnya Tap MPR No IX/MPR/2001 disusul
dengan diterbitkannya Keppres No 34 Tahun 2003 maka semakin jelas
arah kebijakan pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya
alam. Pemerintah disini menegaskan tidak akan memarginalkan UUPA
akan tetapi akan melakukan penyempurnaan. Untuk itu Badan
Pertanahan Nasional ditugaskan untuk melakukan langkah-langkah
percepatan, antara lain:
(1) Mengajukan rancangan Undang Undang tentang Hak atas Tanah;
(2) Menyusun peraturan perundang-undangan lainnya di bidang
pertanahan.
Demikianlah garis kebijakan pembangunan Orde Reformasi yang
berbeda benar dengan kebijakan rezim Orde Baru, tetapi sejalan dengan
semangat yang terkandung dalam UUPA. Kebijakan Orde Reformasi
lebih memihak pada rakyat banyak, khususnya usaha kecil, menengah
dan koperasi. Dalam rangka mewujudkan tujuan kebijakannya maka
telah dikeluarkan Keppres No 34 Tahun 2003 yang telah menugaskan
kepada Badan Pertanahan Nasional untuk membuat rancangan
penyempurnaan UUPA, undang-undang tentang hak milik dan
peraturan perundang-undangan lainnya.
1.8 Pengelolaan Tanah Negara Oleh Pihak Ketiga Ditinjau Dari Perspektif
Hukum Pertanahan Dan Perbendaharaan Negara
A. Problematika Tanah sebagai Barang Milik Negara
Pembahasan dalam bagian ini akan menjadi titik awal yang akan
menghantarkan pada penjelasan terhadap hasil-hasil penelitian
selanjutnya. Pembahasan ini menguraikan mengenai adanya
ketidaktepatan penggunaan frasa “Barang Milik Negara” yang
disematkan pada sebuah bidang tanah yang secara, baik de jure maupun
de facto, berada pada penguasaan negara. Ketidaktepatan penggunaan
frasa “Barang Milik Negara” dikarenakan, dalam perspektif Hukum
Pertanahan, Negara tidaklah dapat menjadi “pemilik” terhadap tanah
yang berada di wilayah Indonesia melainkan Negara adalah “penguasa”
terhadap tanah-tanah tersebut.
Secara historis, konsep Negara sebagai pemilik terhadap tanah yang
terdapat dalam wilayah Indonesia merupakan konsep yang diperkenalkan
dan tumbuh berkembang ketika masa penjajahan. Pada masa penjajahan
Belanda berlaku ketentuan mengenai asas domein, yaitu bahwa setiap
tanah yang tidak dapat dibuktikan hak kepemilikannya (hak eigendom)
maka secara otomatis tanah tersebut menjadi milik (domein) negara.
Pengaturan ini diatur dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit Stb. 1870 No. 118
atau biasa disingkat AB 1870 (Sembiring, 2016).
Asas domein yang diatur dalam aturan tersebut mempunyai dua
sifat, yaitu publiekrechtelijk dan privaatrechtelijk. Sifat publiekrechtelijk
berasal dari prinsip kedaulatan negara, sehingga dengan dikuasainya
Indonesia oleh Belanda sebagai penjajah, maka tanah-tanah yang berada
di wilayah Indonesia artinya dimiliki oleh Belanda. Selanjutnya, sifat
privaatrechtelijk dari asas domein adalah bentuk analogi antara hak
domein dengan hak eigendom yang dikenal dalam ranah hukum privat
sebagai bentuk hak tertinggi personal terhadap sebuah barang atau
benda. Analogi inilah yang kemudian menjadikan negara (Belanda)
sebagai sebuah entitas yang memiliki hak eigendom terhadap tanah-
tanah yang berada di wilayah jajahannya (Indonesia). Penerapan asas ini
tentunya sesuai dengan tujuan Belanda agar dapat memberikan hak-hak
milik kepada perusahaan-perusahaan yang akan melakukan kegiatan
ekonomi di wilayah Indonesia berdasarkan hukum barat.
Setelah Indonesia merdeka, terjadi adanya pergeseran paradigma
dalam hal hubungan hukum antara negara dengan tanah yang ada di
wilayah Indonesia. UUD 1945 pada Pasal 33 mengatur bahwa negara
menguasai segala sumber daya alam, termasuk tanah, sehingga berdasar
ketentuan ini negara adalah sebagai “penguasa” dan bukan lagi sebagai
“pemilik”. Hal ini kemudian dipertegas dengan diundangkannya UUPA,
Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa, “Atas dasar ketentuan dalam
pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang
dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.” Kemudian
konsep ini dikenal dengan Hak Menguasai Negara, bukan lagi hak milik.
Pengaturan dalam UUD 1945 yang kemudian dijabarkan dalam UUPA
tersebut menurut Zakie, adalah bentuk penegasan untuk tidak
memberlakukan pernyataan domein atas tanah (domein verklaring) yang
dikenal pada masa penjajahan Belanda (Zakie, dalam Sembiring, 2015).
Menurut Bakri, berdasarkan konsep Hak Menguasai Negara tersebut,
maka penguasaan tanah oleh negara dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Penguasaan secara penuh, yaitu terhadap tanah-tanah yang tidak
dipunyai dengan suatu hak oleh subjek hukum tertentu. Tanah ini
dinamakan “tanah bebas/tanah negara” atau “tanah yang dikuasai
langsung oleh negara”, sehingga negara dalam hal ini memiliki
kewenangan untuk memberikan hak tertentu terhadap sebuah bidang
tanah kepada subjek hukum.
2) Penguasaan terbatas/tidak penuh, yaitu penguasaan negara terhadap
tanah-tanah yang telah terdapat hak di atasnya. Tanah yang telah
dilekati hak tersebut dinamakan dengan “tanah hak” atau “tanah
yang tidak dikuasai langsung oleh negara” (Bakri, 2006).
Sedangkan menurut UUPA sendiri, Hak Menguasai Negara melahirkan
kekuasaan yang berupa:
1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orangorang, dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
Perkembangan selanjutnya, konsep Hak Menguasai Negara
diinterpretasikan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya.
Berkaitan dengan hal ini Kusumadara menyatakan bahwa : Menurut
Mahkamah Konstitusi, mandat yang memberikan negara hak untuk
menguasai bumi, air dan kekayaan alam tersebut, mewajibkan negara
untuk menjalankan 5 (lima) fungsi yaitu, fungsi pembuat kebijakan,
fungsi pengurusan, fungsi pengaturan, fungsi pengelolaan, dan fungsi
pengawasan. Kelima fungsi tersebut menurut Mahkamah Konstitusi
merupakan satu kesatuan. Akan tetapi, untuk secara efektif memberikan
kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat, negara menurut
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 36/PUU-X/2012, sebaiknya
mendahulukan fungsi pengelolaannya, yaitu pengelolaan secara langsung
atas sumber daya alam. Setelah itu, negara menjalankan fungsinya
sebagai pembuat kebijakan, melakukan pengurusan, lalu pengaturan, dan
pengawasan (Kusumadara, 2013). Berdasarkan penjelasan mengenai Hak
Menguasai Negara di atas, pengkategorian tanah sebagai “Barang Milik
Negara” apabila dilihat melalui perspektif Hukum Pertanahan kuranglah
tepat, karena sesungguhnya hubungan hukum antara negara dengan tanah
bukanlah hubungan yang didasarkan pada alas hak milik melainkan hak
menguasai negara. Menurut Sembiring, tanah yang dikategorikan sebagai
“Barang Milik Negara” seharusnya adalah tanah sebagai “Barang Milik
Pemerintah”. Menurutnya, kesalahan ini berawal dari ketidakmampuan
untuk membedakan antara “negara” dengan “pemerintah”, karena
menurutnya pemerintahlah yang dapat mempunyai hak milik atas tanah,
bukan negara. Sembiring kemudian menjelaskan bahwa: Kehadiran UU
No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP No. 6 Tahun
2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah jo. PP No. 38
Tahun 2008 tentang Perubahan Atas PP No. 6 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah kelihatannya juga membuat
istilah tanah negara dengan tanah pemerintah menjadi campur aduk. Hal
ini terjadi karena ketentuan tersebut di atas menggunakan terminologi
barang milik negara dan barang milik daerah terhadap semua aset yang
dimiliki, termasuk tanah (Sembiring, 2015).
B. Penghalang Terwujudnya Hukum Pertanahan yang Sederhana
Sebagaimana dipahami bahwa tulisan ini mengetengahkan
permasalahan berkaitan dengan adanya pengaturan suatu konsep hukum
yang memungkinkan pihak ketiga mengelola tanah yang dikuasai
langsung oleh negara dalam dua rezim hukum yang berbeda, yaitu
hukum pertanahan dan hukum perbendaharaan negara. Kondisi tersebut
apabila ditilik dari perspektif hukum pertanahan, yang dalam hal ini
bersumber pada UUPA, akan menimbulkan permasalahan berkaitan
dengan tujuan awal diundangkannya UUPA. Salah satu tujuan
pengundangan UUPA sebagaimana tercantum dalam bagian Penjelasan
Umum UUPA, adalah berkaitan dengan tujuan untuk mewujudkan
penyatuan dan penyederhanaan hukum pertanahan nasional. UUPA
mencantumkan bahwa pada pokoknya tujuan UUPA diundangkan adalah
untuk:
a. meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria Nasional,
yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran,
kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat
tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
b. meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
c. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
C. Eksistensi Hak Pengelolaan dan Pemanfaatan Barang Milik Negara
Ditinjau dari Perspektif Hukum Perbendaharaan Negara
Pengelolaan dan Pemanfaatan Barang Milik Negara berupa tanah,
dalam perspektif hukum perbendaharaan negara tentunya tidak dapat
dilepaskan dari pengaturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara sebagai sumber primer
dalam hukum perbendaharaan negara. Hal yang menjadi fokus utama
dalam pembahasan bagian ini adalah berkaitan dengan pengamanan
tanah negara supaya tidak beralih kepemilikannya kepada pihak ketiga,
mengingat bahwa baik Hak Pengelolaan dan Pemanfaatan Barang Milik
Negara adalah konsep hukum yang memungkinkan pihak ketiga secara
de facto menguasai tanah negara. Undang-Undang Perbendaharaan
Negara, dalam bagian Penjelasan Umum mencantumkan bahwa
paradigma yang dianut dalam pengaturan barang barang milik negara
adalah paradigma untuk mencegah terjadinya peralihan kepemilikan
barang-barang milik negara, termasuk tanah, kepada pihak lain.
Paradigma ini dapat ditelusuri sebagaimana termaktub dalam
Penjelasan Umum Undang-Undang Perbendaharaan Negara sebagai
berikut: Sejalan dengan perkembangan kebutuhan pengelolaan keuangan
negara, dirasakan pula semakin pentingnya fungsi perbendaharaan dalam
rangka pengelolaan sumber daya keuangan pemerintah yang terbatas
secara efisien. Fungsi perbendaharaan tersebut meliputi, terutama,
perencanaan kas yang baik, pencegahan agar jangan sampai terjadi
kebocoran dan penyimpangan, pencarian sumber pembiayaan yang
paling murah dan pemanfaatan dana yang menganggur (idle cash) untuk
meningkatkan nilai tambah sumber daya keuangan. Sejalan dengan
paradigma pengamanan tersebut, Pasal 49 ayat (1) Undang -Undang
Perbendaharaan Negara juga turut mengatur bahwa setiap barang milik
negara/daerah berupa tanah yang dikuasai Pemerintah Pusat/Daerah
harus disertifikatkan atas nama pemerintah Republik
Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan. Tentunya pengaturan
dalam Pasal tersebut turut menjelaskan bahwa paradigma pengamanan
barang milik negara yang dianut dalam Undang-Undang Perbendaharaan
Negara secara teknis diwujudkan dengan pensertifikatan tanah negara.
Pengaturan serupa juga ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor
27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang Perbendaharaan Negara.
Peraturan Pemerintah ini dalam Pasal 3 ayat (2) mengatur bahwa
kewajiban untuk mensertifikatkan tanah negara masuk dalam salah satu
tahapan ruang lingkup pengelolaan barang milik negara/daerah, yaitu
pada tahapan pengamanan dan pemeliharaan. Tahapan pengamanan,
dalam Pasal 43 ayat (1) PP ini juga kembali ditegaskan diwujudkan
dengan pensertifikatan tanah negara. Tahapan ini merupakan salah satu
saja dari sekian tahapan-tahapan lainnya yang tidak dapat dipisahkan
dalam rangka pengelolaan barang milik negara/daerah.
Masuknya pengamanan terhadap tanah negara ini menjadi sangat
berkaitan dengan Pemanfaatan Barang Milik Negara yang menjadi satu
kesatuan tahapan dalam pengelolaan barang milik negara. Sebagaimana
dipahami sebelumnya, bahwa Pemanfaatan Barang Milik Negara juga
menitikberatkan pada pengamanan barang milik negara, yaitu dibuktikan
dengan adanya ketentuan “tidak mengubah status kepemilikan” dalam
Pemanfaatan Barang Milik Negara. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4 ayat
(3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.06/2014 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara yang
berbunyi,”Pemanfaatan BMN dilakukan dengan tidak mengubah status
kepemilikan BMN.” Ketentuan tentang Pemanfaatan Barang Milik
Negara sangatlah menitikberatkan pada pengamanan barang milik
negara, dalam hal ini berupa tanah, dan mencegah terjadinya peralihan
kepemilikan tanah negara tersebut kepada pihak ketiga. Hal ini ternyata
berbeda dengan pengaturan berkaitan dengan Hak Pengelolaan yang
senyatanya membuka kemungkinan dapat beralihnya kepemilikan tanah
negara kepada pihak ketiga.
Menurut Urip Santoso, Hak Pengelolaan memungkinkan
pemegangnya untuk menyerahkan tanah Hak Pengelolaan kepada pihak
ketiga dalam bentuk 3 (tiga) macam hak atas tanah, yaitu Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Milik. Pendapat Urip Santoso ini
didasarkan pada ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyerahan
Pemberian Hak Atas Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta
Pendaftarannya. Selengkapnya pendapat Urip Santoso tersebut adalah
sebagai berikut: Hak atas tanah yang lahir dari penyerahan tanah Hak
Pengelolaan kepada pihak ketiga yaitu Hak Guna Bangunan, Hak Pakai,
dan Hak Milik diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.
1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyerahan Pemberian
Hak Atas Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya,
yang menetapkan bahwa bagian-bagian tanah hak pengelolaan yang
diberikan kepada pemegang haknya dapat diserahkan kepada pihak
ketiga dan diusulkan kepada Menteri Dalam Negeri atau Gubernur
Kepala Daerah yang bersangkutan untuk diberikan dengan hak milik,
hak guna bangunan, atau hak pakai sesuai dengan rencana peruntukan
dan penggunaan tanah yang telah dipersiapkan oleh pemegang hak
pengelolaan yang bersangkutan (Santoso, 2013).
Ketentuan yang membuka kemungkinan bahwa pihak ketiga dapat
menjadi pemilik tanah hak pengelolaan yang notabene merupakan tanah
negara merupakan ketentuan yang sangat bertentangan dengan
pengaturan yang ada di dalam hukum perbendaharaan negara yang
menghendaki adanya pengamanan terhadap setiap tanah negara.
Perkembangan selanjutnya melalui diundangkannya Peraturan Menteri
Agraria Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan
dan Penyerahan Pemberian Hak Atas Bagian-bagian Tanah Hak
Pengelolaan Serta Pendaftarannya dinyatakan tidak berlaku lagi. Berbeda
dengan ketentuan normatif tersebut, dalam kenyataannya pihak-pihak
pemegang hak pengelolaan tetap memberlakukan ketentuan yang
terdapat dalam Permendagri Nomor 1 Tahun 1977 yang telah dicabut
tersebut dikarenakan sumirnya pengaturan yang ada di dalam Peraturan
Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1999, sehingga menyebabkan banyak
kekosongan hukum dan sulit untuk diimplementasikan (Rongiyati,
2014). Kenyataan ini sejalan dengan pendapat Sadono, yang menyatakan
bahwa Hak Pengelolaan sangatlah rawan dan mudah untuk dipolitisasi
karena eksistensi Hak Pengelolaan dalam Hukum Pertanahan Nasional
terkesan dipaksakan, sehingga menjadi hak semu yang tidak jelas
landasan hukumnya (Sadono, 2010).
Pelepasan tanah negara kepada pihak ketiga dalam Hak Pengelolaan
juga terkesan lebih mudah dilakukan dan oleh karenanya sangat
bertentangan dengan paradigma pengamanan barang milik negara yang
dianut dalam hukum perbendaharaan negara. Pelepasan tanah negara
kepada pihak ketiga dalam Hak Pengelolaan cukup dilakukan oleh
pemegang hak pengelolaan, sedangkan dalam hukum perbendaharaan
negara pelepasan tanah negara haruslah dengan persetujuan dari DPR,
sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat (1) huruf “a” Undang-Undang
Perbendaharaan Negara. Mekanisme yang ditetapkan dalam hukum
perbendaharaan negara tersebut tentu lebih sesuai dengan paradigma
pengamanan benda milik negara jika dibanding dengan mekanisme
pelepasan tanah dalam Hak Pengelolaan. Persetujuan DPR merupakan
mekanisme pengawasan dan dapat menghindarkan adanya
penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh instansi penguasa
tanah negara. Berbeda dengan mekanisme tersebut, mekanisme
pelepasan tanah Hak Pengelolaan yang tidak memerlukan persetujuan
DPR adalah mekanisme yang dapat membuka lebar penyalahgunaan
wewenang yang dimiliki oleh pemegang Hak Pengelolaan.
D. Langkah Hukum terhadap Eksistensi Hak Pengelolaan dan
PemanfaatanBarang Milik Negara
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka dapat dipahami bahwa
eksistensi ganda konsep hukum, yaitu Hak Pengelolaan dan Pemanfaatan
Barang Milik Negara, yang memungkinkan pengelolaan tanah negara
oleh pihak ketiga senyatanya adalah eksistensi yang sifatnya
kontraproduktif. Kondisi demikian seyogyanya segera diselesaikan guna
menghindari adanya kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin
terjadi dalam kurun waktu ke depan. Langkah-langkah hukum yang
dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya hal-hal tersebut, berdasar
pembahasan sebelumnya, adalah dapat ditempuh langkah review atau
pengujian kesahihan peraturan perundang-undangan ke lembaga
peradilan dan revisi yang dilakukan oleh lembaga pembentuk peraturan
perundang-undangan itu sendiri.
1.9 Aspek Negara Hukum Kesejahteraan Dalam Politik Hukum Agraria
Nasional
A. Politik Hukum Agraria Nasional
Secara etimologis, istilah politik hukum berasal dari istilah Belanda,
yaitu rechtspolitiek. Dari istilah ini ada dua suku kata yaitu rechts yang
berarti hukum, dan hukum sendiri berasal dari bahasa arab hukm kata
jamak dari ahkam, yang berarti putusan, ketetapan, perintah,
pemerintahan, kekuasaan, hukuman dan sebagainya. Dalam kamus
bahasa belanda kata politiek mengandung arti beleid. Kata beleid sendiri
dalam bahasa Indonesia berarti kebijakan. Dari pemahaman etimologis
ini dapat dikatan bahwa politik hukum adalah kebijakan hukum.
Kebijakan sendiri dalam kamus Besar bahasa Indonesia adalah rangkaian
konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam
pelaksanaan suatu pekerjakan kepemimpinan, dan cara bertindak. Bila
dikaitkan dengan pengertian ini maka politik hukum adalah rangkaian
konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak dalam
bidang hukum.
Menurut Padmo Wahjono, politik hukum adalah kebijakan
penyelenggaraan negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk
menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat
berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan
penegakannya sendiri. Sedangkan Mahfud MD, menyatakan politik
hukum sebagai kebijaksanaan hukum (legal Policy) yang akan atau telah
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah yang meliputi: Pertama,
pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan
terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan;
kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan
fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum mencakup pula
pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara
melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan
penegakan hukum itu. Dari pengertian diatas maka politik hukum
mencakup proses pembuatan hukum kedepan (ius constituendum) dan
pelaksanaan hukum yang telah ada (ius constitutum).
Bertalian dengan konsep di atas, politik hukum agraria nasional
yang dilandaskan pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian dielaborasi dalam
UUPA memiliki peran penting dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Pada konteks politik hukum pelaksanaan hukum yang telah ada (ius
constitutum), politik hukum agraria terutama sekali dilakukan
berdasarkan koridor UUPA. Politik hukum agraria di Indonesia sebagai
bagian dari politik hukum ditujukan menyesuaikan hukum agraria yang
berlaku, dengan kebaikan norma hukum yang umum. Dengan maksud
agar dalam pelaksanaan hukum agraria di Indonesia dapat diterima oleh
semua lapisan masyarakat yang sangat beraneka ragam kebiasaan, adat
istiadatnya. Arah dari politik hukum agraria nasional dipetakan dalam
UUPA yang mengatur hubungan manusia dengan tanah sebagai berikut:
1. Mengakui adanya hubungan yang bersifat abadi antara bangsa
Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa diwilayah Indonesia
yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. (Pasal 1 UUPA)
2. Menyediakan tanah untuk keperluan ibadah dan keperluan suci
lainnya sebagai rasa syukur dan terima kasih bangsa Indonesia
kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia yang telah
dilimpahkannya. (Pasal 49 UUPA)
3. Mewajibkan kepada siapa saja yang mempunyai hubungan hukum
dengan tanah untuk memelihara. Menjaga kesuburannya, dan
mencegah kerusakan tanah sebagai karunia tuhan. (Pasal 15 UUPA)
4. Menegaskan bahwa bumi, air, ruang angkasa termasuk kekayaan
yang ada di dalamnya adalah milik rakyat Indonesia bersama (hak
milik kolektif Indonesia) yang mengaturnya diserahkan pada negara
(cq pemerintah) dengan hak menguasai, dengan tetap memberi
tempat kepada hak milik (privat) perorangan dalam rangkuman dan
dibatasi oleh hak menguasai dari negara. (Pasal 1,2,4 bagian I s/d
bagian XI UUPA)
5. Menegaskan bahwa hubungan hukum antara orang-orang termasuk
badan hukum dengan bumi, air, ruang angkasa serta wewenang yang
bersumber pada hubungan hukum itu tidak boleh menyebabkan
penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang
melampaui batas dan memberi perlindungan kepada yang ekonomis
lemah. (Pasal 11 UUPA)
6. Menegaskan bahwa semua hak atas tanah yang merupakan karunia
tuhan, mempunyai fungsi sosial, dalam arti penggunaan tanah yang
dikuasai dengan hak apapun oleh perorangan maupun badan hukum
secara langsung maupun tidak langsung harus bermanfaat bagi
masyarakat. (Pasal 6 UUPA)
7. Menentukan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh
pemerintah diadakan pendafaran tanah diseluruh wilayah Republik
Indonesia. (Pasal 19 UUPA)
8. Menegaskan bahwa hak warga negara Indonesia yang dapat
memiliki hak atas tanah di Indonesia (Pasal 9 ayat (1); Pasal 21
UUPA). Tetapi mengingat sila kemanusiaan yang adil dan beradab
yang bersifat universal, memberi kesempatan kepada orang asing
untuk juga mempunyai hubungan hukum dengan tanah di Indonesia,
sejauh hubungan hukum itu tidak merugikan bangsa dan negara
(Pasal 5 UUPA). Prinsip yang ditegaskan disini adalah prinsip
nasionalisme yang tidak sempit. Walaupun hanya waraga negara
Indonesia yang dapat mempunyai hak milik, bukan warga negarapun
diberi kesempatan mempunyai hubungan hukum dengan tanah di
Indonesia dalam batas-batas tertentu.
9. Menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara Indonesia, laki-laki
maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperoleh suatu hak atas tanah (Pasal 9 ayat (2) UUPA). Dalam
hubungan ini, agar sebanyak mungkin warga negara Indonesia
mempunyai tanah, ditentukan bahwa pemilikan dan penguasaan
tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan (Pasal 7, 17
UUPA). Sedang untuk mencegah adanya pemilik tanah absente,
ditentukan bahwa setiap orang maupun badan hukum yang
mempunyai suatu hak atas tanah pertania, pada azasnya diwajibkan
mengolah, mengusahakan sendiri tanah itu. (Pasal 10 UUPA)
10. Menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara Indonesia baik laki-laki
maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk
mendapatkan manfaat dan hasil dari tanah untuk diri sendiri maupun
keluarganya. (Pasal 9 ayat (2) UUPA)
11. Mengatur agar usaha bersama dalam lapangan agraria didasarkan
atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional dalam
bentuk koperasi atau bentuk gotong royong lainnya. (Pasal 12
UUPA)
12. Mengatur agar usaha-usaha dalam lapangan agraria itu sedemikian
rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat, serta
menjamin bagi setiap warga negara indonesia, derajad hidup yang
sesuai dengan martabat manusia baik bagi diri sendiri maupun
keluarganya. (Pasal 13 ayat (1) UUPA)
13. Mencegah usaha-usaha monopoli swasta dalam lapangan agraria dari
organisasi maupun perorangan, sedang usaha pemerintah yang
bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang-
undang. (Pasal 13 ayat (2), (3) UUPA)
14. Berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial termasuk
bidang perburuhan dalam usaha-usaha di lapangan agraria. (Pasal 13
ayat (4) UUPA)
Berdasarkan ketentuan di atas, politik hukum agraris nasional
terutama mengatur hubungan manusia/Bangsa Indonesia dengan tanah
air Indonesia sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Keberadaan
ketentuan-ketentuan tersebut kemudian akan dijabarkan lebih lanjut
dalam bentuk peraturan perundang-undangan di bidang agraria. Dari
konteks politik hukum yang mencakup proses pembuatan hukum
kedepan (ius constituendum), dengan mendasarkan pada landasan politik
hukum agraria nasional yang telah digariskan dalam Pasal 33 ayat (3)
UUDNRI 1945, pembuatan hukum agraria nasional dalam bentuk
peraturan perundang-undangan juga harus dilandaskan pada aspek-aspek
tertentu agar sesuai dengan asas-asas umum pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk
regelgeving) dan juga cita hukum bangsa Indonesia.
Pembentukan sebuah aturan yang baik haruslah didasarkan kepada
aspek filosofis, sosiologis, yuridis, politis dan administratif dan
keberlakuannya juga haruslah tercermin secara filosofis, sosiologis,
yuridis dan politis. Keberlakuan Filosofis berarti, nilai-nilai filosofis
negara Republik Indonesia terkandung dalam Pancasila sebagai
"staatsfundamentalnorm". Di dalam rumusan kelima sila Pancasila
terkandung nilai-nilai religiusitas Ketuhanan Yang Maha Esa, humanitas
kemanusiaan yang adil dan beradab, nasionalitas kebangsaan dalam
ikatan kebineka-tunggal-ikaan, soverenitas kerakyatan, dan sosialitas
keadilan bagi segenap rakyat Indonesia. Tidak satupun dari kelima nilai-
nilai filosofis tersebut yang boleh diabaikan atau malah ditentang oleh
norma hukum yang terdapat dalam berbagai kemungkinan bentuk
peraturan perundang-undangan dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Keberlakuan juridis adalah keberlakuan suatu norma hukum dengan
daya ikatnya untuk umum sebagai suatu dogma yang dilihat dari
pertimbangan yang bersifat teknis juridis. Secara juridis, suatu norma
hukum itu dikatakan berlaku apabila norma hukum itu sendiri memang
(i) ditetapkan sebagai norma hukum berdasarkan norma hukum yang
lebih superior atau yang lebih tinggi seperti dalam pandangan Hans
Kelsen dengan teorinya "Stuffenbau Theorie des Recht", (ii)ditetapkan
mengikat atau berlaku karena menunjukkan hubungan keharusan antara
suatu kondisi dengan akibatnya seperti dalam pandangan J.H.A.
Logemann, (iii) ditetapkan sebagai norma hukum menurut prosedur
pembentukan hukum yang berlaku seperti dalam pandangan W.
Zevenbergen, dan (iv) ditetapkan sebagai norma hukum oleh lembaga
yang memang berwewenang untuk itu. Jika ketiga kriteria tersebut telah
terpenuhi sebagaimana mestinya, maka norma hukum yang bersangkutan
dapat dikatakan memang berlaku secara juridis.
Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara politis apabila
pemberlakuannya itu memang didukung oleh faktor-faktor kekuatan
politik yang nyata (riele machtsfactoren). Meskipun norma yang
bersangkutan didukung oleh masyarakat lapisan akar rumput, sejalan
pula dengan cita-cita filosofis negara, dan memiliki landasan juridis yang
sangat kuat, tetapi tanpa dukungan kekuatan politik yang mencukupi di
parlemen, norma hukum yang bersangkutan tidak mungkin mendapatkan
dukungan politik untuk diberlakukan sebagai hukum. Dengan perkataan
lain, keberlakuan politik ini berkaitan dengan teori kekuasaan (power
theory) yang pada gilirannya memberikan legitimasi pada keberlakuan
suatu norma hukum semata-mata dari sudut pandang kekuasaan. Apabila
suatu norma hukum telah mendapatkan dukungan kekuasaan, apapun
wujudnya dan bagaimanapun proses pengambilan keputusan politik
tersebut dicapainya sudah cukup untuk menjadi dasar legitimasi bagi
keberlakuan norma hukum yang bersangkutan dari segi politik.
Keberlakuan Sosiologis, keberlakuan ini cenderung lebih
mengutamakan pendekatan yang empiris dengan mengutamakan
beberapa pilihan kriteria, yaitu (i) kriteria pengakuan (recognition
theory), (ii) kriteria penerimaan (reception theory), atau (iii) kriteria
faktisitas hukum. Kriteria pertama (principle of recognition) menyangkut
sejauh mana subjek hukum yang diatur memang mengakui keberadaan
dan daya ikat serta kewajibannya untuk menundukkan diri terhadap
norma hukum yang bersangkutan. Jika subjek hukum yang bersangkutan
tidak merasa terikat, maka secara sosiologis norma hukum yang
bersangkutan tidak dapat dikatakan berlaku baginya. Dengan
mendasarkan pada beberapa landasan pembentukan yang diharapkan
akan tercermin dalam bentuk keberlakuan sebagaimana telah dijelaskan
di atas, tujuan dari politik hukum agraria nasional untuk
memakmurkan/mensejahterakan rakyat sedapat mungkin dapat
diwujudkan.
B. Aspek Negara Hukum Kesejahteraan Dalam Politik Hukum Agraria
Nasional
Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum lahir dan
berkembang seiring dengan perkembangan sejarah manusia, oleh karena
itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal,
namun pada tataran implementasi ternyata dipengaruhi oleh karakteristik
negara dan manusianya yang beragam. Hal ini dapat terjadi, disamping
pengaruh falsafah bangsa, ideologi negara, dan lain-lain, juga karena
adanya pengaruh perkembangan sejarah manusia. Atas dasar itu, secara
historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model
seperti negara hukum menurut Al Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi
Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang
dinamakan rechsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo Saxon (rule
of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila.
Pada perkembangan berikutnya kelahiran konsep Negara hukum
sesudah masehi didasarkan pada sistem pemerintahan yang berkuasa
pada waktu itu, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli.12
Gagasan tentang negara hukum yang telah dikembangkan oleh para ahli
baik oleh Plato, Aristoteles, John Lock, Montesqiue dan sebagainya
masih bersifat samar-samar dan tenggelam dalam waktu yang sangat
panjang, kemudian muncul kembali secara lebih eksplisit pada abad ke-
19, yaitu dengan munculnya konsep Rechsstaat yang dikembangkan oleh
Frederich Julius Stahl di Eropa Contiental yang diilhami oleh pemikiran
Immanuel Kant. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum (rechtsstaat)
adalah:
1. Perlindungan hak-hak asasi manusia;
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan; dan
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Pada saat yang hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum
(Rule of Law) yang dikembangkan oleh A.V Dicey, yang lahir dalam
naungan sistem hukum Anglo-Saxon. Dicey mengemukakan unsur-unsur
Rule of Law sebagai berikut.
1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak
adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power);
2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before
the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun orang
pejabat.
3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain
oleh Undang-Undang Dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.
Dalam perkembangannya konsep negara hukum tersebut kemudian
mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat di
antaranya:”
1. Sistem pemerintah negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat;
2. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya
harus berdasar atas hukum atau Peraturan Perundang-Undangan;
3. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
4. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
5. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke
controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan
tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah
pangaruh eksekutif;
6. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau
warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan
pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah;
7. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang
merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga
negara.
Negara berdasarkan hukum ditandai oleh beberapa asas, antara lain
asas bahwa semua perbuatan atau tindakan pemerintahan atau negara
harus didasarkan pada ketentuan hukum tertentu yang sudah ada sebelum
perbuatan atau tindakan itu dilakukan. Campur tangan atas hak dan
kebebasan seseorang atau kelompok masyarakat hanya dapat dilakukan
berdasarkan aturan-aturan hukum tertentu. Asas ini lazim disebut asas
legalitas (legaliteits beginsel). Untuk memungkinkan kepastian
perwujudan asas legalitas ini, harus dibuat berbagai peraturan hukum
antara lain Peraturan Perundang-Undangan. Asas legalitas ini juga
berlaku bagi pemerintah untuk melakukan tindakan pemerintahan di
bidang agraria. Dalam melakukan tindakan pemerintahan harus
dilandaskan pada aturan perundang-undangan yang berlaku.
Telah menjadi suatu komitmen yang bersifat nasional bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum kesejahteraan.
Ini berarti bahwa Negara Indonesia dalam melaksanakan aktivitas
kehidupan kenegaraan, disamping harus berlandaskan kepada hukum
yang berlaku, juga sedapat mungkin harus mampu meningkatkan
kesejahteraan bagi seluruh warga negara dalam berbagai sektor/bidang
kehidupan sosial. Dengan demikian, sebagai negara hukum
kesejahteraan, Negara Republik Indonesia tidak hanya berperan dan
berfungsi sebagai layaknya penjaga malam atau polisi lalu lintas saja,
melainkan ia juga harus mampu untuk berperan secara aktif positif,
melalui alat-alat perlengkapan yang ada untuk meningkatkan taraf hidup
warga negara guna mewujudkan tatanan kehidupan negara dan bangsa
yang sejahtera, aman tenteram serta tertib guna mewujudkan masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
1.10 Pengelolaan Tanah Pecatu Kepala Desa Berdasarkan Pasal 33 Ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 (Studi Kasus Di Desa Teratak Kecamatan
Batukliang Utara Kabupaten Lombok Tengah)
A. Pengaturan Tanah Pecatu Berdasarkan Sistem Hukum Indonesia
Istilah tanah pecatu ini digunakan dalam hukum adat khususnya di
Pulau Lombok. Namun apabila dilihat dari kedudukan dan fungsi tanah
pecatu desa yang ada pada masa itu digunakan sebagai jaminan
penghidupan bagi Kepala Desa dan pamong-pamong desa sebagai
jaminan hidup keluarganya, jika dilihat dari hal tersebut maka kita
mendapat gambaran bahwa tanah pecatu itu lahir dikala ekonomi
masyarakat adat Pulau Lombok tergolong masih rendah.
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) juga memang tidak
dijelaskan secara khusus mengenai tanah pecatu, namun tanah yang
serupa dengan tanah pecatu dapat dikatagorikan sebagai hak ulayat
karena tanah pecatu masih diatur dengan ketentuan hukum adat
setempat, dan melekat hak komunal yang secara umum dalam Pasal 3
Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan : “Pelaksanaan hak ulayat
dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat Hukum Adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.”
Tanah pecatu yang dikenal dalam rumpun adat suku sasak di Pulau
Lombok dikonsepsikan sebagai tanah yang diberikan kepada pejabat
tertentu oleh masyarakat adat untuk menyelenggarakan pemerintahan
diwilayahnya berdasarkan prinsip bahwa tanah tersebut diberikan selama
yang bersangkutan memangku jabatan. Konsep tanah pecatu mempunyai
kesamaan dengan konsep tanah bengkok yang dikenal di Pulau Jawa,
yakni Tanah bengkok dapat dianggap suatu pembayaran kepada Kepala
Desa oleh persekutuan untuk memelihara keluarganya. Menilik dari latar
historis, tanah pecatu ini dikenal dan dinamakan oleh pemerintah
kolonial dengan sebutan “Ambtelijk profitrecht” menurut sejarahnya hal
ini lazimnya disebut hak seorang pejabat atas sebidang tanah, Kepala
Persekutuan atau Pembesar Desa lain mempunyai hak atas tanah
pertanian yang diberikan oleh persekutuan untuk memelihara
keluarganya.
Dalam suatu sistem yang baik tidak boleh terdapat suatu
pertentangan antara bagian-bagian. Selain itu juga tidak boleh terjadi
duplikasi atau tumpang tindih di antara bagian-bagian tersebut. Suatu
sistem mengandung beberapa asas yang menjadi pedoman dalam
pembentukannya. Untuk itu hukum adalah suatu sistem artinya suatu
susunan atau tatanan teratur dari aturan-aturan hidup, keseluruhannya
terdiri bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain. Kemudian adapun
yang menjadi pengaturan tanah pecatu berdasarkan sistem hukum
Indonesia ialah Undang-undang Nomor 19 tahun 1965, yang dimana
setalah berlakunya undang-undang ini maka semua peraturan yang
berlaku sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi. Ketentuan yang
mengatur tentang penghasilan pejabat desa terdapat pada pasal 13 ayat
(1) Undang-undang Nomor 19 tahun 1965. Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 19 tahun 1965 tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya
karena terjadi peristiwa pemberontakan, sehingga pemerintah Orde Baru
menitik beratkan otonomi seluas luasnya kepada daerah, Undang-undang
Nomor 19 tahun 1965 perlu ditinjau ulang dan untuk mengantisipasi hal
tersebut dikeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 29 tahun
1966 tentang penundaan realisasi pembentukan desa praja. Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa.
Berdasarkan undang-undang tersebut, maka tanah pecatu desa
dikendalikan penuh oleh Pemerintah Kabupaten. Namun pada tahun
1990 berdasarkan surat perintah Bupati Lombok Tengah tanah pecatu
yang dipegang/dikolola oleh Keliang/Kepala Dusun harus dicabut
selanjutnya diperuntukan kepada Kepala desa dan perangkat desa yaitu
Sekretaris Desa dan staf desa. Seiring perkembangan maka diterbitkanlah
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yang
dimana mengenai tanah pecatu masih tetap dikendalikan pemerintah
Daerah. Kemudian dikeluarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004
mengandung makna dihidupkannya kembali nilai-nilai warisan budaya
Indonesia. Dengan berlakunya otonomi daerah berarti penataan kembali
pemerintahan desa sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang
selama ini telah terkubur oleh Undang-undang Nomor 5 tahun 1979.4
Selanjutnya dengan lahirnya Undang-undang Nomor 6 tahun 2014
tentang Desa. Untuk pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 tahun 2014
tentang Desa terdapat 2 (dua) Peraturan Pemerintah yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, yang telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2015 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Di
dalamnya memang tidak secara langsung menyebutkan mengenai tanah
pecatu akan tetap mengatakan tanah bengkok atau sejenisnya. Sebelum
disahkannya Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Tanah
pecatu ini menjadi hak perangkat desa untuk dikelola sebagai
kompensasi gaji mereka, sebagai hak asal usul yang melekat karena
jabatannya.
Dengan demikian hak pengelolaan tanah pecatu yang diperuntukkan
bagi perangkat desa merupakan hak mereka. Pengelolaan tanah pecatu di
Desa Teratak didasarkan pada Peraturan Daerah Kabupaten Lombok
Tengah Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan
dan Pembangunan Desa. Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lombok
Tengah Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan
dan Pembangunan Desa, memang tidak dijelaskan secara langsung
mengenai tanah pecatu, akan tetapi jika dilihat pada Pasal 40 ayat (3)
huruf i yang menyatakan “mengelola keuangan dan aset desa”, dapat
dikatakan bahwa Kepala Desa wajib mengelola aset desa yang di mana
tanah pecatu merupakan salah satu aset desa, sehingga Peraturan Daerah
inilah yang digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan tanah pecatu,
namun karena tidak adanya pengaturan pengelolaan tanah pecatu secara
khusus maka pengaturan tanah pecatu di Desa Teratak tergantung pada
kebijakan pemerintah desa yang sedang melaksanakan tugasnya.
Dalam pasal 67 Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang
kehutanan menyebutkan bahwa, eksistensi masyarakat adat diakui
keberadaannya hanya jika keberadaannya tersebut telah ditetapkan
peraturan daerah yang mendasarkan diri pada kriteria sebagaimana di
atas, dan hal yang paling mendasar di atas adalah pengakuan keberadaan
masyarakat adat tersebut tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
nasional. Selagi masih belum dibentuk suatu undang-undang yang
khusus mengatur mengenai keberadaan masyarakat hukum adat
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18B ayat 2 UUD l945, masih
banyak juga undang-undang lain beserta peraturan teknis umumnya yang
mengatur keberadaan masyarakat adat. Namun dari sekian banyak
perundang-undangan tersebut terdapat satu kesamaan yakni konsep
pengakuan atas keberadaan masyarakat adat adalah konsep pengakuan
terbatas yakni bahwa masyarakat adat diakui keberadaannya (berikut
hak-haknya) sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan negara
dan tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.
B. Pelaksanaan Pengelolaan Tanah Pecatu di Desa Teratak
Pengelolaan tanah pecatu di Desa Teratak bisanya dilakukan dengan
memberikan sewa kepada pihak yang ingin menyewa, tidak ada syarat
tertentu untuk menyewa tanah pecatu didesa teratak, siapapun yang mau
menyewa akan diberikan selama itu dapat menjadi sember kesejahteraan
orang banyak (masyarakat) dan hasilnya tersebut 10% (sepuluh
perseratus) nya dimasukan ke kas desa.
Cara yang dilakukan dalam proses sewa menyewa tanah pecatu ini
adalah dengan cara pihak penyewa datang langsung ke pihak desa, bukan
pihak desa yang menawarkan tanah pecatu untuk disewakan, hal ini
disebabkan karena jarang ada yang ingin menyewa tanah pecatu.
Biasanya dalam sewa hanya dibuatkan kwitansi (tidak permanen), karna
sewaktu-waktu dapat diambil (ditebus) tergantung kebutuhan agar tidak
terlalu terikat. Yang dikhawatirkan jika menggunakan surat dibawah
tangan, akan sulit jika ingin diambil lagi oleh pemerintah desa. Tanah
pecatu tersebut disewakan hanya dua atau tiga tahun karena
dikhawatirkan ada perda yang berubah, supaya pemerintah desa tidak
salah dengan aturan. Jika terjadi kecurangan terhadap salah satu pihak
maka tanah pecatu akan diambil alih untuk sementara waktu oleh pihak
desa sampai perkara tersebut selesai. Dan jika perkara sudah selesai
tanah tersebut akan dikembalikan kepada yang meiliki hak. Menurut
Moh. Ipkan selaku Kepala desa Teratak, berdasarkan kebijakan yang
dikeluarkan yang berhak menerima tanah pecatu di Desa Teratak adalah
sebagai berikut: a. Kepala Desa. b. Sekertaris Desa. c. Perangkat Desa. d.
Kepala Dusun. d. Pekasih (petugas yang mengatur sistem irigasi).
Harga sewa tanah pecatu di Desa Teratak berbeda-beda, karena luas
tanah pecatu yang berbeda. Tanah pecatu di Desa Teratak disewa kepada
kepala desa, karena kepala desa merupakan penanggung jawab tertinggi
atas pengelolaan asset desa, kemudian kepala desa yang akan
membagikan hasil sewa tanah pecatu kepada perangkat desa yang berhak
mendapatkannya. Tidak diketahui secara pasti kapan tanah pecatu di
Desa Teratak mulai disewakan, hal ini dikarenakan pengaturan tanah
pecatu tergantung pada kebijakan pemerintah desa yang sedang
melaksanakan tugasnya.
Dalam mengelola tanah pecatu di Desa Teratak terdapat faktor-
faktor yang mempengaruhi pengelolaan tanah pecatu di Desa Teratak,
baik faktor yang berasal dari dalam Desa Teratak sendiri maupun faktor
yang mempengaruhi pengelolaan tanah pecatu dari luar Desa Teratak,
adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: Faktor dari dalam
desa teratak (faktor internal) yaitu :a. Semua lembaga di Desa Teratak
ingin memiliki tanah pecatu akan tetapi itu merupakan hal yang tidak
mungkin karena memang tanah pecatu hanya diperuntukkan bagi kepala
desa beserta staf desa yang bekerja pada masa tersebut.b. Bisa atau
tidaknya tanah pecatu dikelola secara profesional atau tidak. c. Luas
tanah pecatu terbatas sementara perangkat desa yang bekerja di desa
banyak sekali. d. Harga sewa tanah yang masih rendah. Faktor dari luar
desa teratak (faktor eksternal) yaitu : a. Belum pernah secara khusus
pembinaan dari pemda ataupun pusat mengenai pengelolaan tanah
pecatu. b. Tidak ada pengaturan secara khusus mengenani peruntukan
tanah pecatu.
Pengelolaan tanah pecatu pada awal terbentuknya desa Teratak
sepenuhnya diberikan kepada kepala desa, hal ini dikarenakan masih
bernuansa pemerintahan kolonial Belanda, yang dimana kepala desa
dipecaya secara penuh untuk mengelola aset desa termasuk tanah pecatu.
Karena jika dilihat dari terbentuknya, desa Teratak terbentuk pada tahun
1939 yang artinya desa ini sudah terbentuk pada masa pemerintahan
kolonial Belanda dan sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, hal
inilah yang menyebabkan nuansa pemerintahan kolonial Belanda masih
melekat, karena tidak mungkin dapat dihapuskan secara drastis.
Pengelolaan tanah pecatu yang hanya di kuasai oleh kepala desa
berlangsung antara tahun 1939 sampai dengan tahun 1979 yaitu pada
masa pemerintahan Lalu Munggah tahun 1939-1961, Lalu Saelan 1962-
1967, Murdam 1968-1972, Lalu Nujum 1973-1976, Baiq Sakdiyah
1977-1992, Baiq Sakdiyah memerintah desa Teratak selama dua periode,
pada masa pemerintahannya dikeluarkan undang-undang Nomor 5 Tahun
1979 Tentang Desa, setelah dikeluarkannya undang-undang tersebut
maka tanah pecatu tidak hanya di berikan kepada kepala desa, akan
tetapi juga diberikan kepada sekertaris desa, perangkat desa, kepala
dusun, serta pekasih. Dari masa pemerintahan Baiq Sakdiyah
pengelolaan tanah pecatu oleh kepala desa dilakukan dengan dua cara,
yaitu dengan cara digarap sendiri dan juga disewakan, digarap sendiri
dalam artian tanah pecatu tersebut dikelola oleh orang yang dipercaya
oleh pemerintah desa akan tetapi hasilnya akan dibagi sesuai dengan
perjanjian yang dilakukan diawal, sedangkan disewakan artinya
pemerintah desa melakukan perjanjian sewa dengan pihak penyewa.
Sejak saat itulah pengelolaan tanah pecatu dilakukan dengan dua cara
tersebut, dan dilakukan hingga masa pemerintahan yang sekarang ini.
terbentuknya, desa Teratak terbentuk pada tahun 1939 yang artinya desa
ini sudah terbentuk pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan
sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, hal inilah yang menyebabkan
nuansa pemerintahan kolonial Belanda masih melekat, karena tidak
mungkin dapat dihapuskan secara drastis. Pengelolaan tanah pecatu yang
hanya di kuasai oleh kepala desa berlangsung antara tahun 1939 sampai
dengan tahun 1979 yaitu pada masa pemerintahan Lalu Munggah tahun
1939-1961, Lalu Saelan 1962-1967, Murdam 1968-1972, Lalu Nujum
1973-1976, Baiq Sakdiyah 1977-1992, Baiq Sakdiyah memerintah desa
Teratak selama dua periode, pada masa pemerintahannya dikeluarkan
undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Desa, setelah
dikeluarkannya undang-undang tersebut maka tanah pecatu tidak hanya
di berikan kepada kepala desa, akan tetapi juga diberikan kepada
sekertaris desa, perangkat desa, kepala dusun, serta pekasih. Dari masa
pemerintahan Baiq Sakdiyah pengelolaan tanah pecatu oleh kepala desa
dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara digarap sendiri dan juga
disewakan, digarap sendiri dalam artian tanah pecatu tersebut dikelola
oleh orang yang dipercaya oleh pemerintah desa akan tetapi hasilnya
akan dibagi sesuai dengan perjanjian yang dilakukan diawal, sedangkan
disewakan artinya pemerintah desa melakukan perjanjian sewa dengan
pihak penyewa. Sejak saat itulah pengelolaan tanah pecatu dilakukan
dengan dua cara tersebut, dan dilakukan hingga masa pemerintahan yang
sekarang ini.

Anda mungkin juga menyukai