Anda di halaman 1dari 4

Nama: Sahla Ghina Sabila

Kelas/ Absen: A/ 05
Mata Kuliah: Pengantar Ilmu Hukum

Hukum Adat dalam Suku Sakai

Negara Indonesia merupakan negara yang berlandaskan atas hukum sesuai


dengan bunyi pasal 1 ayat 3 UUD 1945, “Negara Indonesia adalah negara hukum”.1
Bunyi dalam Undang-undang tersebut mempertegas bahwa negara Indonesia ini
merupakan negara hukum, sehingga masyarakat yang ada di dalamnya wajib
mematuhinya.

Hukum merupakan sebuah aturan berupa sanksi dan norma yang berlaku dan dibuat
untuk mengatur macam-macam hak dan kewajiban warga negaranya agar tidak
berbenturan. Tujuan dari adanya hukum adalah untuk membatasi perilaku masyarakat
dan juga untuk menegakkan keadilan dalam masyarakat. Setiap warga negara berhak
untuk dibela di depan hukum. Ini berarti bahwa semua orang, tanpa memandang asal
atau statusnya, memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Di Indonesia sendiri,
ada banyak jenis hukum, salah satunya adalah hukum adat.

Hukum adat adalah aturan tidak tertulis yang telah ada sejak zaman dahulu, dan
diterima oleh masyarakat di wilayah tersebut. Hukum ini fleksibel dan akan
berkembang dari waktu ke waktu. Munculnya hukum adat dipengaruhi oleh unsur-
unsur hukum adat, seperti agama, kerajaan, serta kedatangan bangsa asing di
Indonesia. Biasanya ada tokoh adat yang tugasnya mengurus dan menegakkan
keadilan dalam hukum adat ini. Menurut Soediman Kartohadiprodjo, hukum adat
adalah suatu jenis hukum tidak tertulis yang tertentu yang memiliki dasar pemikiran
yang khas yang prinsipil berbeda dari hukum tertulis lainnya. Hukum adat bukan
hukum adat karena bentuknya tidak tertulis, melainkan hukum adat adalah hukum
adat karena tersusun dengan dasar pemikiran tertentu yang prinsipil berbeda dari
dasar pemikiran hukum barat.2

Eksistensi hukum adat dan masyarakat adat dalam persaingan global, menunjukkan
bahwa hukum adat sebagai bagian hukum yang hidup haruslah ada dan hidup secara
berdampingan dengan hukum nasional yang berlaku. Dalam UUD Tahun 1945
Perubahan Kedua pasal 18 B ayat (2) telah ditentukan bahwa negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

Dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, disebutkan bahwa wewenang Desa Adat
untuk menyelesaikan permasalahan hukum warganya diakui oleh negara melalui pasal
103 huruf d dan e yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa adat berdasarkan
pada hukum adat yang berlaku di desa adat dalam wilayah yang selaras dengan
prinsip hak asasi manusia secara musyawarah; juga penyelenggaraan sidang
perdamaian peradilan desa adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

1
Hidayat, Eko. "Perlindugan hak asasi manusia dalam negara hukum indonesia." ASAS 8.2 (2016).
2
Wulansari, Catharina Dewi, and Aep Gunarsa. Hukum adat Indonesia: suatu pengantar. Refika Aditama, 2016.
Dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman pasal 5 (1) juga
dinyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini
dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat. Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar
putusan juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar hukum untuk
mengadili.3

Fungsi hukum adat di sini jelas bahwa hukum adat dapat menyelesaikan
sengketa adat, serta dalam penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan desa adat
harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat dilihat
dari kasus Bongku, seorang anggota suku Sakai, Riau. Bongku mulanya didakwa atas
dugaan tindak pidana penebangan pohon di kawasan hutan tanpa izin.

Bongku sebagai salah satu anggota masyarakat adat Sakai, mulanya ingin membuka
lahan untuk kepentingan menanam ubi kayu dan ubi menggalo dengan cara menebas
alang-alang, kayu-kayu dalam ukuran kecil dan menebang beberapa pohon eukaliptus
dan akasia. Bongku menggarap lahan yang merupakan tanah ulayat yang saat ini
diperjuangkan dan berada di areal Konsesi Hutan Tanam Industri (HTI) PT. Arara
Abadi distrik Duri II, Kabupaten Bengkalis. Pada hari Minggu, 3 November 2019 ia
ditangkap oleh Security PT. Arara Abadi, dan selanjutnya ditahan oleh Kepolisian
Sektor Pinggir, Kabupaten Bengkalis sebelum pada akhirnya disidangkan pertama
kali oleh Pengadilan negri Bengkalis pada 24 Februari 2020. Dalam persidangan,
jaksa penuntut umum menghadirkan 3 orang, Saksi menjelaskan perihal penangkapan
Bongku dan membawa ia ke kantor PT.AA hingga akhrinya security PT.AA
membawa mereka ke Polsek Pinggir. Syahdiman, ahli Planologi dari Dinas
Lingkungan Hidup Provinsi Riau menjelaskan terkait lokasi terjadinya penebangan,
menurutnya lahan tersebut masuk pada konsesi PT.AA dan luas lahan yang di garab
oleh bongku seluas 0,5 ha. Sementara itu, penasehat hukum terdakwa menghadirkan 6
orang saksi yang meringankan, yaitu Syafrin, Jumadel, Azri, Rabi Muslim, mereka
adalah masyarakat adat suku Sakai dan juga Ridwan (selaku Batin Pembumbung),
serta Goldfried Pandiangan (selaku Mantan Humas PT.AA). Kesemua saksi
meringankan menerangkan bahwa lokasi kejadian merupakan lahan perjuangan
masyarakat suku sakai yang sejak dulu sudah menjadi tanah ulayat mereka.4

Suku Sakai sendiri memiliki hukum adat yaitu hukum mengenai penebangan pohon.
Hukum tersebut berbunyi, jika ada warga suku Sakai yang kedapatan menebang
pohon di tanah ulayat, mereka akan diganjar hukuman menanam pohon kembali.
Pelaku penebangan pohon juga didenda uang setara dengan perhiasan emas dengan
berat tertentu. Terkadang mereka menggunakan kotak sirih dari kayu seukuran boks
tisu makan untuk menakar emas yang harus dibayar. Semakin tua usia pohon yang
ditebang, yang otomatis ukuran kayunya kian besar, denda emas yang harus dibayar
pun semakin banyak. Penentu akhir besaran denda itu adalah rapat adat.Emas tersebut
dituang, ditimbang, dan diuangkan. Jika dirupiahkan, sanksi menebang kayu yang
sudah berumur tua bisa mencapai puluhan sampai ratusan juta rupiah. Lalu,

3
Tjahjani, Joejoen. "Kajian Hukum Adat Dari Perspektif Sosiologi Hukum." Jurnal Independent 8.1 (2020): 273-280.
4
Samariadi, Samariadi, et al. "JURNAL PENGABDIAN HUKUM: DISKUSI KASUS LEMBAGA BANTUAN HUKUM
PEKANBARU." Jurnal Inovasi dan Pengabdian Kepada Masyarakat 2.2 (2022).
bagaimana jika yang menebang pohon adalah orang di luar warga suku Sakai? Maka
akan kami usir dan jika perlu kami bunuh, ujar batin suku Sakai tersebut.5

Suku Sakai merupakan suku terpencil di Provinsi Riau. Suku Sakai memiliki aturan-
aturan yang bisa menjamin kelestarian hutan dan sungai. Bila aturan-aturan yang
diberlakukan Suku Sakai ini juga dijalankan suku-suku lain yang ada di Provinsi
Riau, maka permasalahan kerusakan hutan dan sungai bisa diminimalisir. Hutan
ulayat masyarakat Sakai dibagi dalam beberapa kategori yaitu hutan adat, hutan
larangan dan hutan perladangan. Hutan adat hanya boleh diambil rotannya, damar dan
madu lebah, tetapi pohon-pohon utamanya tidak boleh ditebang. Sedangkan hutan
larangan, yang biasanya berada di bantaran sungai. Dalam membuka ladang, warga
Sakai dari dulu hinggga sekarang masih menggunakan teknologi sederhana.
Kesederhanaan teknologi sebagai perlambang kearifan lokal yang menjaga
lingkungan. Sistem nilai sederhana yang dianut memberikan kebaikan kepada
lingkungan. Masyarakat Sakai mempunyai kearifan lokal mengubah hasil pertanian
dengan cara-cara yang sederhana sehingga teknologi yang digunakan tidak merusak
lingkungan.6

Pada kasus Bongku ini, hukum adat suku Sakai dapat meringankan hukuman
yang telah didakwakan pada Bongku. Hutan yang ingin Bongku buka lahannya
rupanya merupakan hutan ulayat suku Sakai. Dalam hukum adat suku Sakai, apabila
anggota sukunya ingin membuka lahan dari hutan ulayat suku mereka, maka anggota
suku dapat menggunakannya asalkan tidak merusak alam. Dalam hal ini, Bongku
ingin menggunakan hutan adat untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Dalam
menebang pohon, Bongku pun tidak menggunakan alat atau cara yang merusak alam
sekitarnya. Berladang tradisional yang dilakukan oleh Bongku tidak akan
menimbulkan kerusakan hutan, sebab Suku Adat Sakai memiliki Tradisi untuk
menjaga ekosistem hutan, alam dan lingkungan.7 Maka dari itu, sesuai dengan
Undang-undang dasar Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi, “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” 8 maka,
hakim dapat menimbang dan meringankan hukuman terhadap Bongku yang tidak
bersalah.

Kesimpulan
Kedudukan hukum adat dalam sistem hukum sama dengan hukum pada umumnya,
bedanya hukum adat hanya berlaku bagi orang Indonesia dan sifatnya tidak tertulis.
Setiap suku atau daerah memiliki adatnya masing-masing. Kita harus menghormati
hukum adat yang telah ditetapkan. Dalam pelaksanaannya, UUD 1945 mengutamakan
hukum tertulis, yaitu undang-undang dalam rangka untuk menciptakan ketertiban

5
Setiawan, M.H. (2016, Januari 23), Sanksi Tebang Pohon, Tanam Lagi dan Bayar Emas. Jawa Pos. Retrieved from:
www.pressreader.com/indonesia/jawa-pos/20160123/281505045231870

6
Putra, Setia, and Erdianto Effendi. "Kearifan Lokal Budaya Suku Sakai Terhadap Sumber Daya Perairan Di Kabupaten
Bengkalis." Riau Law Journal 1.1 (2017): 1-14.

7
Lbhpekanbaru. (2020, April 29), Pak Bongku Bukan Pelaku Perusakan Hutan, Berikan Keadilan Untuk Masyarakat Adat.
LBH Pekanbaru: www.lbhpekanbaru.or.id/pak-bongku-bukan-pelaku-perusakan-hutan-berikan-keadilan-untuk-masyarakat-
adat/
8
RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 017/PUU-IV/2006 Perbaikan Tanggal 12 September 2006
masyarakat. Kenyataan ini harus disikapi oleh lembaga legislatif dalam membentuk
undang-undang dan wajib mengakomodir hukum adat yang berlaku karena hukum
adat merupakan salah satu kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat (living
law). Peranan hakim sebagai penemuan hukum sangat penting untuk memperhatikan
kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum adat) sebagai pertimbangan
dalam memutus suatu sengketa, permasalahan adat, dan permasalahan lainnya.
Dengan demikian, yurisprudensi merupakan salah satu sumber pengenal hukum yang
hidup dalam masyarakat.

Daftar Referensi

Hidayat, Eko. "Perlindugan hak asasi manusia dalam negara hukum


indonesia." ASAS 8.2 (2016).
Wulansari, Catharina Dewi, and Aep Gunarsa. Hukum adat Indonesia: suatu
pengantar. JI. Mengger Girang No. 98, Bandung 40254: PT. Refika Aditama.
Tjahjani, Joejoen. "Kajian Hukum Adat Dari Perspektif Sosiologi
Hukum." Jurnal Independent 8.1 (2020): 273-280.
Samariadi, et al. "JURNAL PENGABDIAN HUKUM: DISKUSI KASUS
LEMBAGA BANTUAN HUKUM PEKANBARU." Jurnal Inovasi dan Pengabdian
Kepada Masyarakat 2.2 (2022).
Setiawan, M.H. (2016, Januari 23), Sanksi Tebang Pohon, Tanam Lagi dan
Bayar Emas. Jawa Pos. Retrieved
from:www.pressreader.com/indonesia/jawa-pos/20160123/281505045231870
Putra, Setia, and Erdianto Effendi. "Kearifan Lokal Budaya Suku Sakai
Terhadap Sumber Daya Perairan Di Kabupaten Bengkalis." Riau Law Journal 1.1
(2017): 1-14.
Lbhpekanbaru. (2020, April 29), Pak Bongku Bukan Pelaku Perusakan Hutan,
Berikan Keadilan Untuk Masyarakat Adat. LBH Pekanbaru:
www.lbhpekanbaru.or.id/pak-bongku-bukan-pelaku-perusakan-hutan-berikan-
keadilan-untuk-masyarakat-adat/
RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 017/PUU-IV/2006 Perbaikan
Tanggal 12 September 2006

Anda mungkin juga menyukai