Anda di halaman 1dari 70

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Hukum positif Indonesia perkara pidana tidak dapat diselesaikan

diluar proses pengadilan, akan tetapi dalam hal-hal tertentu

dimungkinkan adanya penyelesaian di luar pengadilan. Dalam

praktiknya penegakan hukum pidana di Indonesia, walaupun tidak ada

landasan hukum formalnya perkara pidana sering diselesaikan diluar

proses pengadilan melalui mekansisme perdamaian, lembaga adat dan

sebagainya. Mediasi penal dan Restoratif Justice sebagai salah satu

alternatif penyelesaian perkara dibidang hukum pidana juga dilakukan

dalam aplikasi hukum adat.

Disamping hukum nasional, ditengah-tengah masyarakat juga

tumbuh dan berkembang suatu sistem hukum, yang bersumber dari

suatu kebiasaan yang ada di masyarakat tersebut secara turun-

temurun. Kebiasaan inilah yang nantinya berkembang menjadi suatu

ketentuan yang disebut dengan hukum adat.

Hukum adat merupakan hukum yang tumbuh dan hidup dalam

masyarakat itu sendiri, yang sifatnya tidak tertulis dalam peraturan

undang-undang, yang meliputi peraturan hidup, yang ditaati dan

didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwa peraturan

tersebut mempunyai kekuatan hukum. Wujudnya berupa kaidah-

1
kaidah hukum yang tumbuh dari dalam dan disebabkan oleh pergaulan

hidup manusia itu sendiri. Jadi keseluruhan norma dan kaidah hukum

adat timbul seiring dengan dinamika hubungan antar manusia.

Mengacu kepada beberapa pengertian hukum adat atau hukum

kebiasaan yang merupakan suatu norma hukum yang berakar pada

nilai-nilai budaya bangsa Indonesia dan sepanjang sejarah mengalami

penyesuaian dengan keadaan, artinya bersifat terbuka menerima

norma-norma dari luar selama itu tidak bertentangan dengan adat atau

budaya bangsa Indonesia. Sistem hukum adat bersumber dari

peraturan-peraturan hukum yang tidak tertulis dalam peraturan

perundang-undangan, yang dilakukan berulang-ulang dalam

masyarakat mengenai suatu hal tertentu. Sebagai pedoman kehidupan

rakyat dalam menyelenggarakan tata keadilan dan kesejahteraan

masyarakat, dan bersifat kekeluargaan.

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang benar- benar menjunjung tinggi Hak

Asasi Manusia, serta menjamin setiap warga negara mempunyai

kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan tanpa ada

pengecualian. Sedangkan untuk menjamin ketaatan dan kepatuhan

terhadap hukum ada di tangan semua warga negara.

Negara Indonesia mengakui keberadaan Masyarakat Hukum

Adat. Pengakuan tersebut tertuang dalam Pasal 18B Undang-Undang

2
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan

bahwa, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang

masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-

undang”.

Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dilengkapi dengan adanya

hukum kebiasaan yaitu hukum adat yang berlaku dan diakui menjadi

peraturan yang hidup secara turun temurun oleh Masyarakat Adat

tertentu. Keberadaan Hukum Adat dilengkapi dengan lembaga

peradilan adat.

Pada penerapannya, hukum adat mengklasifikasikan perbuatan

kejahatan ke dalam hukum pidana adat atau delik adat. Terminologi

hukum pidana adat, delik adat atau hukum adat pidana cikal bakal

sebenarnya berasal dari hukum adat yang terdiri atas hukum pidana

adat dan hukum perdata adat. Terminologi hukum adat dikaji dari

perspektif asas, norma, teoritis dan praktik dikenal dengan istilah

hukum yang hidup dalam masyarakat, atau living law, nilai-nilai

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, hukum tidak

tertulis, hukum kebiasaan, dan lain sebagainya.1

1
Lilik Mulyadi, 2015, Hukum Pidana Adat : Kajian Asas, Teori, Norma, Praktik dan
Prosedur, Alumni, Bandung, hlm. 41.

3
Peradilan adat pada masyarakat hukum adat kerap digunakan

sebagai lembaga peradilan guna menyelesaikan peristiwa kejahatan

yang menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan suatu

tindak pidana. Peristiwa kejahatan yang kerap diselesaikan melalui

peradilan adat, diantaranya yaitu tindak pidana penganiayaan.

Tanah merupakan aset yang vital dan bernilai tinggi. Tidak

sedikit pertikaian antar keluarga banyak disebabkan oleh

permasalahan perebutan tanah. Permasalahan perebutan tanah

biasanya diselesaikan melalui hukum nasional maupun hukum adat.

Mediator dari permasalahan perebutan tanah sebaiknya didatangkan

dari pihak internal keluarga yang mengetahui asal usul tanah tersebut.

Dalam hukum adat Dayak Ngaju langkah pertama yang harus

dilakukan saat menghadapi masalah adalah membuat kedua belah

pihak duduk bersama. Akan tetapi Damang/Mantir adat sebagai

penengah diusahakan untuk tidak membicarakan kasus penyerobotan

tanah. Namun, sebisa mungkin menghadirkan kembali masa-masa

romantisme persaudaraan yang telah dibangun sejak lama oleh kedua

saudara ini.

Diusahakan Damang/Mantir adat sebagai mediator agar mampu

meredam emosi kedua pihak yang bertikai. Waktunya memang cukup

lama, bisa menghabiskan sekitar satu bulan proses yang harus

dilakukan. Jika emosi keduanya sudah dingin dan reda, baru mediator

4
mengajak untuk membicarakan soal pembagian harta warisan yang

menjadi polemik tersebut.2

Kepala adat menegaskan langkah tersebut dinilai cukup baik

dibanding pihak keluarga menghadirkan mediator dari pihak luar.

Keserasian alam dengan perbuatan manusia ini menciptakan suatu

keharmonisan, sebaliknya bila keserasian itu tidak ada akan ada suatu

bencana. Konsep adat perbuatan manusia sangat berpengaruh terhadap

alam. Hal inilah yang membuat Penulis tertarik untuk mengambil

kasus penyerobotan tanah.3

Adapun salah satu kronologi telah terjadi tindakan penyerobotan

tanah yang terletak di Jl.Tjilik Riwut Km. 8 – 9 Tamanggung Tawa

sebagaimana penuntut Ir.Harapianus Victor Baddak dengan

pelanggar/pelaku berjumlah 11 (sebelas) orang.

Sebagai anak tertua Gara Ehul sempat merawat tanah tersebut

setelah ayah mereka meninggal, kemudian meminjamkan tanah

tersebut beserta sertifikatnya kepada iparnya Eknis Luduk (suami

Susiana Ehul). Tanah tersebut masih atas nama almarhum Ayah

mereka yaitu Mider D. Garang. Beberapa tahun kemudian Eknis

Luduk iparnya tersebut meninggal dunia, kemudian istrinya Susiana

Ehul ini menjual sebidang tanah tersebut.

2
Hasil Wawancara dengan Bapak Kardinal Tarung, selaku Damang Kepala Adat Jekan
Raya pada hari sabtu Tanggal 10 September 2022, Pukul 10.00 WIB Tempat : Kedamangan
Jekan Raya.
3
Ibid.

5
Obyek sengketa tersebut yang awalnya dikuasai oleh Martin

Domin Baddak yang adalah kakek dari pada penuntut dan nama Jalan

Tamanggung Tawa diambil dari nama salah seorang leluhur Penuntut

dan diatas tanah tersebut ada bangunan tempat ibadah sumbangsih dan

atau hibah keluarga penuntut.4

Peran Kedamangan sangat diperlukan karena untuk

menyelesaikan masalah seperti ini agar mencegah tidak ada pihak

yang melakunan penyerobotan tanah dikemudian hari.

Berdasarkan kasus tersebut penulis tertarik mengangkat

Penelitian dengan judul “PENYELESAIAN PENYEROBOTAN

TANAH SECARA HUKUM ADAT DAYAK NGAJU DI

KEDAMANGAN JEKAN RAYA KOTA PALANGKA RAYA”.

1.2 Rumusan Masalah dan Pembatasan Masalah

1. Bagaimana penyelesaian penyerobotan tanah secara hukum adat

dayak ngaju di Kedamangan Jekan Raya Kota Palangka Raya?

2. Apa sanksi penyerobotan tanah secara hukum adat dayak ngaju di

Kedamangan Jekan Raya Kota Palangka Raya?

Adapun batasan masalah yang menjadi ruang lingkup penelitian

ini yaitu dikhususkan pada kasus penyerobotan tanah yang terjadi di

wilayah Kedamangan Jekan Raya.

4
Wawancara Dengan Damang Kepala Adat Jekan Raya di Kantor kedamangan Jekan
Raya, Bapak Drs. Kardinal Tarung, 02 September 2022, pukul 15.00 WIB.

6
1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian yaitu :

1. Untuk mengetahui penyelesaian penyerobotan tanah secara

hukum adat dayak ngaju di Kedamangan Jekan Raya Kota

Palangka Raya..

2. Untuk mengetahui sanksi bagi penyerobotan tanah secara

hukum adat dayak ngaju di Kedamangan Jekan Raya Kota

Palangka Raya

1.4. Manfaat Penelitian :

1. Secara teoritis memberikan kontribusi pemikiran akademik pada

kajian Hukum Adat tentang penyelesaian sengketa penyerobotan

tanah di wilayah kedamangan jekan raya.

2. Secara praktis memberikan khasanah pengetahuan baru bagi

pihak kedamangan di Kota Palangka Raya tentang perselisihan

sengketa tanah.

1.5. Metodologi

Penelitian

1.5.1 Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan yaitu, jenis

penelitian hukum Yuridis Empiris. Pokok kajiannya adalah hukum yang

dikonsepkan sebagai perilaku nyata (actual behavior) sebagai gejala

sosial yang sifatnya tidak tertulis, yang dialami setiap orang dalam

hubungan hidup bermasyarakat. Sumber data penelitian hukum empiris

7
tidak bertolak pada hukum positif tertulis, melainkan hasil observasi di

lokasi penelitian.

Menurut Hillway dalam bukunya Introduction to research,

penelitian tidak lain dari suatu metode studi yang dilakukan seseorang

melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu

masalah, sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah

tersebut5.

1.5.2 Ruang Lingkup

Membahas mengenai sanksi bagi penipuan penjualan tanah dan

bentuk penyelesaian penipuan penjualan tanah melalui Kedamangan Jekan

Raya Kota Palangka Raya.

1.5.3 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian bertempat di Kedamangan Jekan Raya di

Kota Palangka Raya.

1.5.4 Sumber Data

a. Data Primer

Data primer adalah berbagai informasi dan keterangan

yang diperoleh langsung dari sumbernya, yaitu hasil

wawancara dengan para nara sumber di lokasi penelitian di

Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya.

b. Data Sekunder

8
Data yang diperoleh dari sumber-sumber yang dapat

mendukung peneliti seperti arsip-arsip atau bahan pustaka

yang dijadikan pendukung atau keperluan penelitian. Penulis

menggunakan beberapa literatur buku, artikel, jurnal,

peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

tema yang penulis angkat.

1.5.5. Instrumen Penelitian

1.5.5.1 Studi Pustaka

Penelitian teoritis yang mengandalkan bahan pustaka yang

terdiri atas buku-buku tentang Hukum Adat dayak Ngaju dan

Perjanjian Tumbang Anoi 1894 dimana masih terkait dengan

permasalahan yang dibahas.

1.5.5.2 Wawancara

Melakukan wawancara langsung dengan orang yang secara

bersangkutan atau yang terkait dengan lokasi penelitian yaitu

Kedamangan Jekan Raya.,Maka sebagai Nara sumber yang di

wawancarai yaitu :

1. Bapak Drs. Kardinal Tarung, Selaku Damang Kepala Adat

Kecamatan Jekan Raya;

2. Bapak Suparan A. Gaman, Selaku Mantir Adat Kecamatan

Jekan Raya;

9
1.5.6 Teknik Analisis Data

Teknik analisa data merupakan suatu langkah yang paling

menentukan dari suatu penelitian, karena analisa data berfungsi untuk

menyimpulkan hasil penelitían, serta tahap penelitian dalam melakukan

perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan hingga penyusunan proposal

terkait dengan pembahasan yang diteliti

1.5.7 Jadwal Penelitian

No. Jenis Kegiatan Pelaksanaan

1 Pengajuan Judul Minggu ke 1 September 2022

2. Penyusunan Proposal Minggu ke 4 September 2022

3. Seminar Proposal Minggu ke 4 Oktober 2022

4. Revisi Seminar Proposal Minggu ke 1-2 November

2022

5. Pelaksanaan Penelitian Minggu ke 4 November 2022

6. Penyusunan Skripsi November-Desember 2022

7. Ujian Skripsi Januari-Februari 2023

10
1.6. Sistematika Penulisan

Sistematika yang dipakai dalam penulisan ini sesuai dengan

metodologi penelitian yang digunakan yaitu metodologi penelitian Empiris,

maka pembahasan ini diuraikan kedalam 5 (lima ) bab sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Merupakan pendahuluan yang akan menguraikan suatu

kerangka pemikiran, sebagai landasan atau acuan pelaksanaan

kajian, dimana terdiri dari, latar belakang permasalahan, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan tinjauan

pustaka.

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini penulis menguraikan mengenai kajian

pustaka yang berisi tentang Kebudayaan Adat Dayak Dalam

Menyelesaikan Persoalan Hukum, Hukum Adat Dayak Ngaju,

Kedamangan Jekan Raya, Pengertian Tanah, Dasar Hukum Hak

Atas Tanah, Pengertian Penipuan.

BABIII: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


PENYELESAIAN PENYEROBOTAN TANAH SECARA
HUKUM ADAT DAYAK NGAJU DI KEDAMANGAN
JEKAN RAYA KOTA PALANGKA RAYA

Berisi uraian pembahasan dan pemecahan masalah tentang

sanksi bagi penipuan penjualan tanah melalui Kedamangan Jekan

Raya Kota Palangka Raya.dan bentuk penyelesaian penyerobotan

tanah melalui Kedamangan Jekan Raya Kota Palangka Raya..

11
BAB IV : PENUTUP

Merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan

saran-saran dimana berdasarkan pada kajian yang dilakukan

sesuai dengan judul bahasan

12
13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Hukum Adat

2.1.1 Pengertian Hukum Adat

Masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke

memiliki adat istiadat. Setiap adat istiadat yang berlaku pada

masyarakat adat tertentu, mempunyai aturan lisan yaitu

kebiasaan yang bersifat turun temurun dan diakui

keberadaannya oleh masyarakat tersebut. Aturan lisan tersebut

disebut dengan hukum kebiasaan atau hukum adat. Pada

dasarnya hukum adat merupakan serangkaian hukum yang lahir

dan hidup dalam masyarakat adat itu sendiri karena sebenarnya

hukum tersebut sudah menjadi dinamika masyarakat dan tidak

dapat dipisahkan. Hukum adat merupakan hukum yang asalnya

dari adat istiadat yaitu kaidah sosial yang dibuat oleh seseoarang

yang berwibawa dan seseoarang yang dapat dikatakan sebagai

penguasa dan berlaku dalam negatur hubungan hukum tiap tiap

individu. Senada dengan pemahaman yang telah Penulis

sampaikan di atas, R. Soepomo mengemukakan bahwa definisi

dari hukum adat sendiri adalah suatu hukum yang hidup karena

dia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat sesuai


14

dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam

keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.6

Tidak berbeda, Bushar Muhammad mengemukakan

bahwa, Hukum Adat adalah Hukum Non Statuir yang berarti

Hukum Adat pada umumnya memang belum/tidak tertulis. Oleh

karena itu dilihat dari mata seorang ahli hukum memperdalam

pengetahuan hukum adatnya dengan pikiran juga dengan

perasaan pula. Jika dibuka dan dikaji lebih lanjut maka akan

ditemukan peraturan-peraturan dalam hukum adat yang

mempunyai sanksi dimana ada kaidah yang tidak boleh

dilanggar dan apabila dilanggar maka akan dapat dituntut dan

kemudian dihukum

2..1.2 Delik-Delik Hukum Adat

Menurut Soerjono Wignjodipoero, delik adat adalah suatu

tundakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatuhan yang

dihup dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya

ketentraman serta keseimbangan masyarakat dan reaksi adat

akan tibul untuk memulihkan kembali keadaan yang terguncang.

Jadi, hukum delik adat adalah keseluruhan hukum tidak tertulis

yang menentukan adanya perbuatan-perbuatan perlanggaran

6
R. Soepomo, 2003, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Cetakan Ke-16, Pradnya Paramita,
Jakarta, hlm. 3.
15

adat beserta segala upaya untuk memulihkan kembali keadaan

keseimbangan yang terganggu oleh perbuatan tersebut.7

Menurut Soepomo, delik adat adalah segala perbuatan atau

kejadian yang sangat mengganggu kekuatan batin masyarakat.

Segala perbuatan atau kejadian yang mencemarkan sesuatu batin

dan merusak kesucian masyarakat merupakan delik terhadap

masyarakat seluruhnya. Beliau menyatakan pula bahwa delik

yang paling berat ialah segala pelanggaran yang memerkosa

perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, serta

pelanggaran yang memerkosa dasar susunan masyarakat,

sehingga sikap tindak yang merupakan kejahatan, yaitu sikap

tindak yang mencerminkan ketertiban batin masyarakat dengan

ketertiban dunia gaib. Oleh karena itu, sikap tindak yang

merupakan kejahatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:8

a. Kejahatan yang merusak dasar susunan masyarakat.

1) Kejahatan yang merupakan perkara sumbang, yaitu mereka yang

melakukan perkawinan, padahal diantara mereka itu berlaku

larangan perkawinan. Larangan perkawinan itu, dapat berdasarkan

atas eratnya ikatan hubungan darah dan struktur sosial, misalnya

antara mereka yang tidak sederajat.

2) Kejahatan melarikan gadis/schaking, walaupun akan dikawini.

7
Ibid., hlm. 175.
8
Ibid, hlm. 176.
16

b. Kejahatan terhadap jiwa, harta, dan masyarakat pada umumnya,

misalnya kejahatan terhadap kepala adat, pembakaran, dan

pengkhianatan.

Dengan demikian, delik adat adalah suatu tindakan yang

melanggar perasaan keadilan dan kepatuhan yang hidup dalam

masyarakat sehingga terganggunya ketenteraman dan keseimbangan

masyarakat yang bersangkutan.

a) Jenis Delik Adat

Jenis-jenis delik adat antara lain:9

1) Delik yang paling berat adalah segala pelanggaran yang

memerkosa perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib serta

segala pelanggaran yang memerkosa susunan masyarakat.

2) Delik terhadap diri sendiri, kepala adat, juga masyarakat

seluruhnya karena kepala adat merupakan penjelmaan masyarakat.

3) Delik yang menyangkut perbuatan sihir atau tenung.

4) Segala perbuatan dan kekuatan yang menggangu batin masyarakat,

dan mencemarkan suasana batin masyarakat.

5) Delik yang merusak dasar susuna masyarakat, misalnya incest

kawin dengan saudara sedarah.

6) Delik yang menentang kepentingan umum masyarakat dan

menentang kepentingan hukum suatu golongan family.

7) Delik yang melanggar kehormatan keluarga dan melanggar

kepentingan hukum seoarang sebagai suami.


9
Ibid, hlm. 177.
17

8) Delik mengenai badan seseorang, misalnya melukai.

b) Objek Delik Adat.

Reaksi masyarakat terhadap perilaku yang dianggap

menyeleweng yang diwakili oleh pemimpin-pemimpinya, untuk

menangani perihal yang menjadi objek delik adat, yaitu sebagai

berikut:10

1) Merumuskan pedoman bagaimana warga masyarakat seharusnya

berperilaku, sehingga terjadi integrasi dalam masyarakat.

2) Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat sehingga

dapat dimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban.

3) Mengatasi oersengketaan, agar keadaan semula pulih kembali.

4) Merumuskan kembali pedoman-pedoman yang mengatur

hubungan antara warga-warga masyarakat dan kelompok-

kelompok apabila terjadi perubahan-perubahan.

Perilaku yang melanggar akan mendapat reaksi yang negative

pula dari masyarakat dalam pemilihan keadaan yang dianggap telah

rusak. Akan tetapi, dalam praktik kehidupan sehari-hari sulit untuk

memisahkan antara reaksi adat dan koreksi. Secara teoritis, reaksi

merupakan suatu perilaku serta-merta terhadap perilaku tertentu, yang

kemudian diikuti denga usaha untuk memperbaiki keadaan koreksi yang

mungkin berwujud sanksi negatif. Reaksi adat merupakan suatu perilaku

untum memberikan klasifikasi tertentu pada perilaku tertentu, sedangkan

koreksi merupakan usaha untuk memulihkan perimbangan antara dunia


10
Ibid, hlm. 178.
18

lahir denga dunia gaib, seperti yang dinyatakan oleh Soepomo, yaitu

sebagai berikut.11

1. Pengganti kerugian immaterial dalam berbagai rupa, seperti paksaan

menikah gadis yang telah dicemarkan;

2. Bayaran uang adat kepada orang yang terkena, berupa benda yang

sakti sebagai pengganti kerugian rohani;

3. Selamatkan korban untuk membersihkan masyarakat dari segala

kotoran gaib;

4. Penutup malu, permintaan maaf;

5. Berbagai rupa hukuman badan;

6. Pengasingan dari masyarakat dan pengucilan dari pergaulan

masyarakat.

Dengan demikian, reaksi adat dan koreksi sama-sama bertujuan

untuk memulihkan keseimbangan kosmis, berakibat pada warga

masyarakat yang melakukan penyelewengan.

2.1.3 Unsur-Unsur Hukum Adat

Hukum adat di Indonesia terbentuk dari peraturan adat istiadat

yang sudah ada sejak zaman kuno, zaman pra-Hindu yang merupakan

adat-adat Melayu Polinesia. Lambat laun masuklah agama di tanah

nusantara melalui perdagangan yang masuk ke dalam sendi-sendi

kehidupan masyarakat dan akhirnya mempengaruhi hukum yang hidup

(Living Law) dalam masyarakat yang bersangkutan.12


11
Ibid, hlm. 179.
12
Soerojo Wignodipoero, 1992, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, CV. Haji
Masagung, Jakarta, hlm. 25.
19

Agama yang datang terlebih dahulu adalah Hindu, Budha dan

dilanjutkan oleh kehadiran Agama Islam dan Kristen yang masing-

masing mempengaruhi kebudayaan asli yang telah dimiliki oleh

masyarakat.13 Agama berakulturasi secara apik dengan Living Law

masyarakat untuk membentuk hukum adat.

Dapat disimpulkan bahwa hukum adat di Indonesia terdiri dari

dua unsur, yaitu:

1. Hukum Asli

Hukum asli adalah hukum tidak tertulis yang ada, hidup dan

berkembang dalam dalam masyarakat sesuai dengang jiwa

masyarakat yang senantiasa digunakan sebagai pedoman hidup dalam

berperilaku sehari-hari yang merupakan penjelmaan dari kebudayaan

masyarakat di mana hukum tersebut berlaku.14 Von Savigny

menjabarkan bahwa hukum mengikuti volksgeist (jiwa/semangat

rakyat) dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. Hukum adat

terbentuk dan berasal dari pengalaman empiris masyarakat pada masa

lalu, yang dianggap adil atau patut dan telah mendapatkan legitimasi

dari penguasa sehingga mengikat dan wajib dipatuhi. Masyarakat

menggap bahwa perintah tersebut memang demikianlah tanpa

memandangnya sebagai sebuah paksaan.15

2. Agama

13
Soerjono Soekanto, 1985, Meninjau hukum adat Indonesia suatu pengantar untuk
mempelajari hukum adat, Rajawali, Jakarta, hlm. 25.
14
Ibid, hlm. 26.
15
Otje Salman Soemadiningrat, 2015, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer,
Alumni, Bandung, hlm. 27.
20

Agama memberikan pengaruh terhadap hukum yang berlaku di

dalam masyarakat sebuah bangsa. Tidak semua hukum agama dapat

mempengaruhi hukum dalam masyarakat hanya yang berkaitan dengan

kepercayaan dan hidup batiniah saja karena agama adalah suatu

innerlijke belevenis, yaitu suatu kepercayaan kehidupan batiniah yang

ketentuannya bersifat mutlak.16

Agama yang masuk ke dalam masyarakat Indonesia berlahan

mempengaruhi semua sendi kehidupan masyarakat dari semua kegiatan

yang dilakukan sehari-hari sampai dengan aturan dalam bermasyarakat.

Pengaruh hukum agama Hindu, Budha, Kristen dan Islam sangat besar

terhadap perkembangan hukum adat yang ada dalam masyarakat. Agama

mempunyai pengaruh yang amat besar dan perlahan mendesak hukum

asli sehingga hukum asli bangsa Indonesia hampir tidak ada sekarang.17

Hukum adat yang merupakan hukum asli tergantikan dengan

hukum agama yang mulai masuk ke Indonesia dan menyimpang dari

hukum asli karena hukum agama di nomor satukan dan hukum adat yang

merupakan hukum asli ketika ada yang tidak sesuai dengan hukum

agama akan dikesampingkan pemberlakuannya bahkan tidak boleh

diberlakukan bila menyimpang dari hukum agama.18

Unsur hukum adat yang dapat menimbulkan adanya kewajiban

hukum (Opinio Necessitas) bagi anggota Masyarakat Adat disebutkan:19

16
Bushar Muhammad, Op. Cit., hlm. 5.
17
Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 65.
18
Siti Hapsah Isfardiyana, 2018, Hukum Adat, UII Press, Yogyakarta, hlm. 25.
19
C. Dewi Wulansari, 2018, Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar, Cet-5, PT. Refika
Aditama, Bandung, hlm. 11.
21

1. Unsur kenyataan bahwa adat dalam keadaan yang sama selalu

diindahkan oleh rakyat atau anggota masyarakat adat;

2. Unsur psikologis, bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat atau

anggota masyarakat adat, bahwa adat dimaksud memiliki kekuatan

hukum.

2.2. Tinjauan Tentang Hukum Adat Dayak Di Kalimantan Tengah

2.2.1 Sejarah Hukum Adat Dayak di Kalimantan Tengah

Provinsi Kalimantan Tengah dengan luas wilayah 153.564

km² memiliki 13 kabupaten dan satu kota. Dari ke13 kabupaten

tersebut, terdapat 3 kabupaten berada di wilayah pesisir (laut

Jawa), sedangkan 10 kabupaten dan 1 kota berada di dataran

rendah dan datar, namun sedikit berbukit-bukit serta dilalui oleh

aliran sungai besar seperti sungai Barito, Kapuas, Kahayan,

Mentaya, Lamandau, Seruyan, Katingan, Arut, Kumai,

Sebangau, dan Jelai, dan lebih dari 20 sungai kecil yang masih

bisa dilayari dengan perahu kecil.

Kalimantan Tengah yang memiliki luas hutan mencapai

134.937,25 atau mencapai 87,87% dari luas wilayahnya sangat

dikenal dengan hasil hutan terutama kayu. Hutan inilah yang

menjadi sumber kehidupan satu-satunya bagi warga masyarakat

yang tinggal di daerah pedalaman. Kelompok masyarakat yang

tinggal di daerah pesisir relatif mudah dijangkau dibanding

kelompok masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman atau


22

hulu-hulu sungai. Di daerah pesisir pada umumnya didominasi

oleh etnis Melayu(Banjar, Bugis dan Madura), sedangkan di

daerah pedalaman dan hulu-hulu sungai di dominasi oleh suku

bangsa Dayak.

Dayak adalah sebuah nama dan sekaligus sebagai ciri

identitas etnis bagi suku bangsa proto Melayu (Melayu Tua)

yang diklaim sebagai penduduk pribumi pulau Kalimantan,

termasuk Kalimantan Utara. Berdasarkan sejarah perkembangan

manusia, nenek moyang suku bangsa Dayak berasal dari daerah

Yunan(Cina Selatan). Diperkirakan sekitar awal abad ini terjadi

over population di Cina sehingga sebagian penduduk ke luar

untuk mencari daerah permukiman baru.

Di antaranya setelah menyeberang laut Cina Selatan

mereka terdampar di pulau Kalimantan. Awalnya profesi

mereka adalah sebagai penambang emas di Kalimantan Barat,

namun kemudian sebagiannya beralih profesi sebagai pekebun,

petani, pedagang, dan nelayan. Pada perkembangan selanjutnya,

datanglah kelompok Deutro Melayu ke pulau Kalimantan yang

tujuannya adalah berdagang dengan menggunakan kapal-kapal

kecil. Akibat gelombang migrasi secara besar-besaran dari

kelompok Deutro Melayu, kelompok Proto Melayu yang

awalnya tinggal didaearh pesisir, semakin terdesak ke daerah

pedalaman yang kemudian di kenal dengan suku bangsa Dayak,


23

dan mereka yang tinggal di daerah pantai/pesisir disebut sebagai

orang Melayu. Suku bangsa Dayak.

Nama-nama sub etnis itu pada umumnya dibuat sendiri

oleh masing-masing sub kelompok etnis berdasarkan ciri-ciri

tempat tinggal seperti daerah aliran sungai dan daerah

pedalaman. Maka tidak heran banyak nama sub etnis Dayak

yang berhubungan dengan nama sungai dan berkonokasi udik

atau pedalaman. Misalnya nama suku yang diawali dengan kata

Batang..., Long..., Lepo...semuanya berarti sungai; sedangkan

Makam Ulu, Ot Danum, Ngaju, Maanyan, Bukit, dan lain-lain

semua berarti udik atau pedalaman. Di Kalimantan Tengah

sendiri, menurut data tertulis, suku bangsa Dayak berjumlah

lebih dari 20 sub etnis. Diantaranya yang sudah dikenal dan

cukup besar populasinya adalah Dayak Ngaju, Ot Danum,

Maanyan, Lawangan (lowangan), Dusun, Taboyan, Tamuan dan

lain-lain.

Di Kalimantan Tengah konsep religi(kepercayaan) suku

bangsa Dayak di kenal dengan nama Agama Kaharingan.

Agama Kaharingan memiliki konsep keyakinan yang sangat

abstrak yaitu disamping mereka percaya pada adanya eksistensi

Tuhan yang satu, mereka juga memuja roh-roh nenek moyang

(anchestral belief). Banyak penulis asing bahkan juga penulis


24

Indonesia cendrung menyebut keyakinan orang Dayak sebagai

animisme. Namun sebutan demikian mendapat reaksi negatif

dari orang Dayak sendiri karena sesungguhnya mereka bukan

menyembah batu, pohon, dan gua-gua besar.

Namun anggapan mereka roh-roh nenek moyang mereka

bersemanyam pada pohon yang besar, gua atau batu yang besar

sehingga ritual keagamaan sering menggunakan media seperti

itu. Dengan konsep keyakinan yang demikian tadi maka inti dari

kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini bagi orang Dayak

bukan terletak pada aspek kebendaan(material), tetapi pada

keseimbangan kosmos. Kesanggupan manusia untuk menjaga

keharmonisan/keseimbangan kosmos merupakan sumber dari

semua kedamaian, kesejahteraan, keabadian, kemakmuran, dan

keselamatan hidup ini.

Perwujudan dari konsep keyakinan yang mengutamakan

keseimbangan kosmos ini yaitu kemampuan untuk menjaga

keharmonisan multi hubungan, yaitu manusia dengan Tuhan,

manusia dengan roh-roh nenek moyang, manusia dengan

sesamanya, manusia dengan alam dan segala isinya. Oleh sebab

itu orang Dayak tidak boleh merusak alam, mereka harus tunduk

(submissive) pada kekuatan dan kekuasaan alam. Bentuk

ketaatan itu yaitu mereka harus mengelola lingkungan hidup

secara selektif, bijak dan bertanggungjawab.


25

Sistem kekerabatan yang dianut oleh suku bangsa Dayak

adalah bilateral, yaitu menarik garis keturunan melalui pihak

ayah dan ibu. Dengan demikian sistem pewarisanpun tidak

membedakan anak laki-laki dan anak perempuan. Bentuk

kehidupan keluarga terdiri atas dua jenis yaitu keluarga

batih(nuclear family) dan keluarga luas(extended family). Pada

kedua bentuk keluarga ini biasanya terdapat wali/asbah yang

berfungsi untuk mewakili keluarga dalam berbagai kegiatan

sosial dan politik di lingkungan dan di luar keluarga.

Wali/asbah dalam keluarga batih adalah anak laki-laki

tertua, sedangkan dalam keluarga luas yang berhak menjadi

wali/asbah adalah saudara laki-laki ibu dan saudara laki-laki

ayah. Misalnya dalam hal pernikahan, maka orang yang paling

sibuk mengurus masalah ini sejak awal hingga acara selesai

adalah para wali/asbah. Dengan demikian semua permasalahan

dan keputusan keluarga harus dikonsultasikan dengan

wali/asbah.

Penunjukan wali/asbah biasanya dilakukan berdasarkan

kesepakatan keluarga dan bukan melalui pemilihan. Perkawinan

yang boleh dilakukan dalam keluarga paling dekat adalah antara

saudara sepupu dua kali. Sepupu satu kali dianggap masih

saudara kandung. Tidak jarang terjadi semacam incest , yaitu

perkawinan antara paman dan keponakan atau saudara sepupu


26

sekali sehingga harus ditangani secara adat. Perkawinan yang

paling ideal menurut budaya suku bangsa Dayak adalah sistem

endogami, yaitu perkawinan dengan sesama suku dan masih ada

Taman Budaya Kalimantan Tengah hubungan keluarga.

Pada umumnya kehidupan setelah menikah menganut pola

matrilokal atau, yaitu suami mengikuti pihak keluarga istri,

namun dewasa ini ada kcendrungan menganut pola neolokal,

yaitu terpisah dari keluarga kedua belah pihak. Pada saat Huma

Betang (longhouse) masih dipertahankan , maka keluarga baru

tersebut harus menambah bilik pada sisi kanan atau sisi kiri

huma betang itu sebagai tempat tinggal mereka. Dulu

perkawinan diatur oleh orang tua(dijodohkan) sebagai upaya

orang tua untuk semakin mendekatkan tali-temali/hubungan

kekeluargaan dan upaya mempertahankan sistem pewarisan

dalam keluarga, seperti tanah, kebun buah, kebun rotan, dan

benda-benda pusaka lainnya yang berharga.

Adat-istiadat adalah nilai-nilai normatif yang mengatur

tata kehidupan orang Dayak sehingga mereka disebut dengan

Belom Bahadat atau hidup beradat. Adat dibagi menjadi dua,

yaitu adat yang mengatur tentang kehidupan(siklus kehidupan

mulai di dalam perut, kelahiran hingga kematian, dan berbagai

aktivitas dan interaksi sosial selama hidup di dunia), dan adat

yang mengatur tentang upacara kematian.


27

Adat tentang kehidupan tentu lebih rumit perwujudannya

karena mengandung berbagai aturan berupa anjuran dan

larangan. Berbicara adat(adat-isitadat) tentu inklusif di

dalamnya hukum adat, yaitu suatu institusi yang berwenang

memberikan sangsi atas pelanggaran adat-istiadat. Pelaksanaan

hukum adat juga terbagi menjadi dua aspek, yaitu aspek

hukum(pengadilan adat), dan aspek ritual berupa ritual khusus

yang diselenggarakan setelah pengadilan adat selesai. Yaitu

upacara tampung tawar dengan menggunakan darah binatang

untuk mengembalikan keseimbangan kosmos yang rusak akibat

pelanggaran adat tadi. Adat-istiadat harus ditaati dan

diwujudkan dalam setiap prilaku dan aktivitas sehari-hari dan

dalam jalinan hubungan dengan berbagai unsur kosmos.

Orang yang tidak mentaati adat dicap sebagai Belom Dia

Bahadat atau hidup tidak beradat. Oleh karenanya orang

semacam itu harus diusir dan keluar dari wilayah hukum adat di

mana ia tinggal. Sebagai contoh: bila ada seorang perempuan

hamil di luar nikah, maka kedua anak muda itu harus dihukum

dengan memberi mereka makan pada tempat dimana biasanya

orang memberikan makanan babi. Mereka telah melanggar adat,

mereka tidak beradat, mereka sama dengan binatang, dan setelah

makan di tempat makanan babi mereka berdua segera diusir dan

pergi keluar wilayah hukum adat di mana mereka tinggal.


28

2.2.2. Hukum Adat Dayak Ngaju

Pengertian hadat (adat) dalam masyarakat Dayak Ngaju

adalah : “bentuk-bentuk yang bersumber pada kekuatan Raying

Hatalla Langit (Sang Pencipta).20 Adat ini mencakup tentang

tata cara kehidupan dan kerja sehari-hari, etika pergaulan sosial,

aspek perkawinan, aspek hukum, aspek ritual keagamaan, serta

hal-hal yang menyangkut segala sesuatu yang berhubungan

dengan keyakinan dan kepercayaan, atau agama suku tersebut.

Oleh karena itu, hadat yang telah dilakukan secara turun-

temurun ini merupakan ukuran dan penilaian atas suatu

perbuatan dalam kehidupan suku Dayak Ngaju. Suku Dayak

Ngaju memiliki filosofi hidup “Belom Bahadat” artinya “hidup

beradat.”21Filosofi ini melandasi seluruh aspek kehidupan orang

Dayak Ngaju.Pengaruh dan peranan adat dalam masyarakat

Dayak Ngaju sangat kuat.

Salah satu tatanan kehidupan yang masih dipertahankan

dan tetap dilestarikan adalah penyelenggaraan perkawinan.

Dalam masyarakat Dayak Ngaju, perkawinan merupakan

sesuatu yang luhur, suci dan terhormat.

20
Hermogenes Ugang, 1983, Menelusuri Jalur-Jalur Keluhuran. Jakarta, BPK Gunung
Mulia, hlm 48-49.

21
.T. Suan, dkk, 2011, Budaya Dayak Permasalahan dan Alternatifnya, Malang, Bayu
Media, hlm 322.
29

Perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan adat yang

berlaku, bertujuan untuk mengatur hubungan antara pria dan

wanita agar meiliki perilaku yang baik dan tidak tercela (belom

bahadat), menata kehidupan rumah tangga yang baik sejak dini,

santun, beradab dan bermartabat, menetapkan status sosial

dalam masyarakat, sehingga ketertiban masyarakat tetap

terpelihara.22

Masyarakat Dayak Ngaju sangat menghindari bentuk

perkawinan yang tidak lazim karena hal itu akan sangat

memalukan, tidak hanya bagi calon kedua mempelai tetapi juga

bagi seluruh keluarga dan keturunan mereka kelak. Orang

Dayak yang telah menyatu dengan tatanan hidup yang telah

diwariskan oleh nenek moyang di masa lalu sangat menjunjung

tinggi nilai luhur budaya itu. Oleh sebab itu, sebelum acara

pelaksanaan perkawinan dan resepsi (pesta kawin) dilaksanakan,

biasanya terlebih dahulu dilaksanakan acara adat, yaitu

penyerahan/pemenuhan hukum adat, yang disebut manyarah

jalan hadat (penyerahan barang-barang adat perkawinan).

Perjanjian perkawinan menurut adat Dayak Ngaju adalah

sebuah perjanjian tertulis yang isinya telah disepakati bersama

dan ditandangani oleh kedua mempelai, saksi-saksi dari kedua

belah pihak, Damang atau Kepala Adat.Adapun, Surat


22
Tjilik Riwut,1993,Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan, Yogyakarta ,PT.
Tiara Wacana Yogya.
30

perjanjian perkawinan menurut adat Dayak adalah bukti tertulis

yang disahkan oleh Damang Kepala Adat.23

Terdapat perbedaan dengan perjanjian perkawinan

menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan yang mana perjanjian perkawinan di sahkan oleh

pegawai pencatatan perkawinan.10Sebagian besar suku Dayak

Ngaju sekarang masih melaksanakan ketentuan-ketentuan adat

seperti yang berlaku dalam surat perjanjian perkawinan tersebut,

baik yang beragama Kaharingan, Kristen, Katolik maupun

Islam. Walaupun masing-masing agama tersebut juga telah

memiliki perjanjian kawin secara agamawi.

Pengetahuan tentang Perjanjian Perkawinanakan

dipaparkan dalam pandangan suku Dayak Ngaju di Palangka

Raya. Konsep perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan digunakan sebagai

perbandingan untuk menganalisa keberadaannya yang

berdampingan dengan adat perkawinan suku Dayak Ngaju

Kalimantan Tengah.

2.3 Dasar Negara Mengakui Hukum Adat


Pemerintah Indonesia mempunyai basis hukum yang kuat

untuk merealisasikan perlindungan sosial terhadap masyarakat

hukum adat. Pasal 18 B UUD 1945 menyatakan negara

23
Syarif Ibrahim Alqadrie,1994, Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Transformasi
Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, Jakarta , PT Grasindo, hlm 20.
31

mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup

dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam

undang-undang. Frase diatur dalam undang-undang

menunjukkan bahwa wujud pengakuan dan penghormatan

terhadap masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya itu

dilakukan bukan dengan undang-undang baru. Artinya,

pengaturannya tidak mensyaratkan adanya satu undang-undang

khusus tentang pengakuan tersebut, melainkan dilakukan

menurut undang-undang yang sudah ada. Hampir semua

undang-undang yang mengatur tanah dan kekayaan alam telah

mengatur pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan

dan hak-hak masyarakat hukum adat.

2.4 Kedamangan Jekan Raya

Dengan dikeluarkannya Peraturan daerah Propinsi

Kalimantan Tengah No. 1 tahun 2010 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun

2008 Tentang Kelembagaan Adat Dayak Di Kalimantan Tengah

secara legal formal menempatkan Dewan Adat Dayak dan

Damang Kepala Adat (Damang) mempunyai Kedudukan,

Tugas, dan Fungsi yang patut diperhitungkan oleh siapa saja

dalam masyarakat Kalteng khususnya maupun diluar


32

masyarakat Kalteng pada umumnya. Pasal 7 Perda No. 1 tahun

2010 menetapkan:

(1).Damang Kepala Adat berkedudukan di ibu kota kecamatan

sebagai mitra Camat dan mitra Dewan Adat Dayak

kecamatan, bertugas dalam bidang pelestarian,

pengembangan, dan pemberdayaan, adat-istiadat,

kebiasaan- kebiasaan dan berfungsi sebagai penegak hokum

adat dayak dalam wilayah Kedamanganbersangkutan.

Sehubungan dengan fungsi Damang, dalam pasal 9

menetapkan bahwa:

(2). Fungsi Damang Kepala Adat adalah mengurus,

melestarikan, memberdayakan, dan mengembangkan adat-

istiadat kebiasaan-kebiasaan, hukum adat dan lembaga

kedamangan yang dipimpinnya. Menegakkan hukum adat

dengan menangani kasus dan atau sengketa berdasarkan

hukum adat dan merupakan peradilan adat tingkat terakhir,

dan sebagai penengah dan endamai atas sengketa yang

timbul dalam masyarakat berdasarkan hukum adat.

(3) Selain fungsi sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1),

Damang Kepala Adat juga mempunyai fungsi selaku

inisiator untuk membawa penyelesaian terakhir sengketa

antara para Damang terkait tugas dan fungsinya kepada

Dewan Adat Dayak Kabupaten/Kota.Di era globalisasi ini,


33

dimana perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan

informasi berkembang pesat, menyebabkan hubungan dunia

luar seolah-seolah sudah tanpa batas lagi, apa yang terjadi

dibelahan dunia luar dengan segera diketahui dibelahan

dunia lainnya pada saat itu juga. Pesatnya perkembangan

ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi membawa

perubahan yang cepat pula di segala bidang kehidupan umat

manusia. Perubahan yang serba cepat dan kompleks dalam

kehidupan umat manusia mendorong terjadinya persaingan

yang semakin ketat baik di bidang politik, ekonomi, sosial,

budaya, dan lain-lain.

2.5 Pengertian Tanah

Kamus besar bahas Indonesia terbitan pustaka Departemen

Pendidikan Nasional dan Kebudayaan, mengemukakan bahwa yang

dimaksud tanah adalah lapisan permukaan atau lapisan bumi yang

di atas sekali.24

Pengertian tanah ditinjau dari segi geologis-agronomis,

Tanah adalah lapisan lepas permukaan bumi yang paling atas.

Dimanfaatkan untuk menanam tumbuh-tumbuhan disebut tanah

garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian dan tanah perkebunan.

24
Mohammad Hatta, 2005, Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan,
Media Abadi,Yogyakarta, hlm. 24.
34

Sedangkan yang digunakan untuk mendirikan bangunan disebut

tanah bangunan.25

Tanah adalah permukaan bumi, yang dalam

penggunaannya meliputi juga sebahagian tubuh bumi yang ada

dibawahnya dan sebahagian dari ruang yang diatasnya, dengan

pembatasan dalam pasal 4, yaitu: sekedar diperlukan untuk

kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah

yang bersangkutan, dalam batas-batas menurut UUPA dan

peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang

kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan

atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah

berbeda dengan hak penggunaan atas tanah.26

Apabila melihat ketentuan Pasal 16 jo. Pasal 53 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), maka macam-macam hak

atas tanah dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu :

1. Hak atas tanah yang bersifat tetap, yaitu hak-hak atas tanah yang

akan tetap ada selama UUPA masih berlaku. Macam-macam

hak atas tanah yang masuk dalam kelompok ini yaitu Hak Milik,

Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa

25
Y.W Sunindhia, dan Ninik Widiyanti. 1998, Pembaharuan Hukum Agraria, Bina
Aksara. Jakarta., hlm 8.
26
Boedi Harsono, 2000, Hukum Agraria Indonesia,Jilid I Hukum Tanah Nasional, Jakarta,
Djambatan,hlm.330.
35

untuk Bangunan, Hak Membuka Tanah, dan Hak Memungut

Hasil Hutan.

2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang,

maksudnya adalah hak atas tanah yang akan lahir kemudian,

yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Hak atas tanah

yang disebutkan dalam Pasal 16 jo. Pasal 53 UUPA tidak

bersifat limitatif, artinya, di samping hak-hak atas tanah yang

disebutkan dalam UUPA, kelak masih dimungkinkan lahirnya

hak atas tanah baru yang diatur secara khusus dengan undang-

undang.

3. Hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu Hak atas tanah

yang sifatnya sementara, dalam waktu singkat diusahakan akan

dihapus sebab mengandung sifat-sifat pemerasan, feodal, dan

yang tidak sesuai dengan jiwa atau asas-asas UUPA. Macam-

macam hak atas tanah yang bersifat sementara ini adalah Hak

Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi

Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.27

2.6 Dasar Hukum Hak Atas Tanah

Hak atas tanah diatur dalam pasal 16 Undang-Undang Pokok

Agraria yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,

hak sewa, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan serta hak-

27
Chulaemi Ahmad, 1993, Hukum Agraria, Perkembangan, Macam-macam Hak atas
Tanah, Semarang, FH UNDIP.
36

hak lain yang bersifat sementara yang diatur dalam pasal 53 yakni hak

gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah

pertanian.

Berikut ini adalah pengertian hak-hak atas tanah yang diatur dalam

UUPA:

a. Pengertian Hak Milik Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat,

dan terpenuhi yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan

mengingat ketentuan Pasal 6 ( berfungsi sosial ). Hak milik dapat

beralih dan dialihkan ( Pasal 20). Dalam UUPA, hak milik atas tanah

diatur pada Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 UUPA.

b. Pengertian Hak Guna Usaha Hak guna usaha adalah hak untuk

mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam

jangka waktu yang ditentukan guna untuk perusahaan pertanian,

perikanan dan peternakan. Hak guna usaha di atur pada Pasal 28-34

UUPA Jo. Pasal 2-18 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun1996.

c. Pengertian Hak Guna Bangunan Hak guna bangunan adalah hak untuk

mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan

miliknya dalam jangka waktu paling lama 30 tahun, dan dapat

diperpanjang 20 tahun (Pasal 35 UUPA ). Hak guna bangunan diatur

dalam Pasal 35-40 UUPA jo. Pasal 19-38 PP Nomor 40 tahun 1996.

d. Pengertian hak pakai Hak pakai adalah hak untuk menggunakan

dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh


37

negara atau milik orang lain dengan jangka waktu yang tidak tertentu

(Pasal 41 UUPA).

e. Pengertian hak sewa Hak sewa adalah hak untuk menggunakan tanah

milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar sewa

kepada pemiliknya ( Pasal 44 UUPA ).

f. Pengertian hak membuka tanah dan memungut hasil hutan Hak

membuka tanah dan memungut hasil hutan adalah hak yang berasal

dari hukum adat sehubungan dengan adanya hak ulayat. Hak

membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh

warga negara Indonesia yang diatur dengan Peraturan Pemerintah

( Pasal 46 UUPA ).

g. Hak-hak yang bersifat sementara Hak-hak yang bersifat sementara

adalah hak-hak atas tanah yang diatur pada Pasal 53 UUPA. Hak atas

tanah yang bersifat sementara ini adalah hak yang sangat merugikan

pemilik tanah gadai dan penggarap tanah.

Berikut ini adalah macam-macam hak atas tanah yang bersifat

sementara: Hak gadai adalah hak gadai tanah pertanian merupakan

pengertian “jual gadai” tanah yang berasal dari hukum adat. Jual gadai

adalah penyerahan sebidang tanah oleh pemiliknya kepada pihak lain

dengan membayar uang kepada pemilik tanah dengan perjanjian

bahwa tanah akan dikembalikan pkan agar hak-hak ini dihapuskan

dari hukum pertanahan atau hukum agraria nasional.

2.7. Pengertian Pneyerobotan Tanah


38

Penyerobotan tanah merupakan perkara yang kerap terjadi di

Indonesia dengan berbagai modus. Paling umum adalah dengan

mengubah hak kepemilikan tanah orang lain. Penyerobotan tanah

jelas perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain,

terutama para pemilik tanah sebagai korbannya. Maka itu, tindakan

tersebut dinilai sebagai perbuatan tidak sah yang melawan hukum,

sehingga pelakunya bisa dijerat hukuman penjara. Ketentuan tindak

pidana penyerobotan tanah diatur dalam Pasal 167 KUHP ayat 1

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 385 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kedua pasal tersebut,

biasa dijadikan acuan dalam memberi vonis hukuman bagi pelaku

tindak kejahatan sesuai perbuatannya. Sebagaimana dirumuskan

dalam pasal 167 Ayat 1 KUHP yaitu :

“Barangsiapa dengan melawan hak orang lain masuk dengan

memaksa ke dalam rumah atau ruangan yang tertutup atau

pekarangan, yang dipakai orang lain, atau sedang ada disitu dengan

tidak ada haknya, tidak dengan segera pergi dari tempat itu atas

permintaan orang yang berhak atau atas nama orang yang berhak

dihukum penjara selama-lamanya 9 bulan, atau denda sebanyak-

banyak Rp4.500”.

Sedangkan Pasal 385 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

yaitu :
39

1. Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri

atau orang lain dengan melawan hak menjual, menukar, atau

menjadikan tanggungan utang sesuatu hak rakyat dalam memakai

tanah pemerintah atau tanah partikulir atau sesuatu rumah,

pekerjaan, tanaman atau bibit di tanah tempat orang menjalankan

hak rakyat memakai tanah itu, sedang diketahuinya bahwa orang

lain yang berhak atau turut berhak atas barang itu.

2. Barang siapa dengan maksud yang serupa menjual, menukar, atau

menjadikan tanggungan utang sesuatu hak rakyat dalam memakai

tanah pemerintah atau tanah partikulir atau sebuah rumah,

perbuatan tanaman atau bibit di tanah tempat orang menjalankan

hak memang sudah dijadikan tanggungan utang, tetapi ia tidak

memberitahukan hal itu kepada pihak yang lain.

3. Barang siapa dengan maksud yang serupa menjadikan tanggungan

utang sesuatu hak rakyat dalam memakai tanah pemerintah atau

tanah pertikulir dengan menyembunyikan kepada pihak yang lain,

bahwa tanah tempat orang menjalankan hak itu sudah digadaikan.

4. Barang siapa dengan maksud yang serupa menggadaikan atau

menyewakan sebidang tanah tempat orang menjalankan hak

rakyat memakai tanah itu, sedang diketahuinya, bahwa orang lain

yang berhak atau turut berhak atas tanah itu.

5. Barang siapa dengan maksud yang serupa menjual atau


40

menukarkan sebidang tanah tempat orang menjalankan hak rakyat

memakai tanah itu yang telah digadaikan, tetapi tidak

memberitahukan kepada pihak yang lain, bahwa tanah itu telah

digadaikan.

6. Barang siapa dengan maksud yang serupa menyewakan sebidang

tanah tempat orang menjalankan hak rakyat memakai tanah itu

untuk sesuatu masa, sedang diketahuinya bahwa tanah itu untuk

masa itu juga telah disewakan kepada orang lain.

2.8. Unsur – Unsur Penyerobotan Tanah Dalam KUHP

Tindak pidana penyeroboton tanah yang terdapat dalam KUHP

pada dasarnya memuat unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur subyektif:

1) Melawan hukum;

2) Sengaja.

b. Unsur obyektif:

1) Dengan melawan hak masuk dengan paksa ke dalam rumah,


ruangan tertutup, dan sebagainya;

Tindak Pidana ini pada waktu perolehan berlandasan pada


adanya tindak pidana penipuan yang diatur pada Pasal 385 KUHP, yang
diberi kualifikasi sebagai stelionat atau dapat disebut penipuan yang
berhubungan dengan hak atas tanah. Ketentuan pidana pada pasal ini
bertujuan untuk melindungi hak atas tanah yang dimiliki oleh penduduk
asli berdasarkan hukum adat, ataupun atas bangunan-bangunan atau
tanaman-tanaman yang terdapat di atas tanah. Pasal 385 KUHP, pada
pasal ini tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur subyektif:
41

1) Dengan Maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan


dengan melawan hukum;

2) Diketahui tanah tersebut ada orang lain yang lebih berhak;

3) Tidak memberitahukan kepada orang lain bahwa tanah tersebut


telah dijadikan tanah tanggungan utang atau telah digadaikan.

b. Unsur subyektif :

1) Barang siapa;

2) Menjual, menukarkan, menyewakan atau menjadikan


tanggungan utang sesuatu hak rakyat dalam memakai tanah
pemerintah dan partikelir;

3) Menggadaikan atau menyewakan tanah orang lain;

4) Menyewakan tanah buat suatu masa, sedang diketahuinya tanah


tersebut telah disewakan sebelumnya kepada orang lain.

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN PENYELESAIAN

PENYEROBOTAN TANAH SECARA HUKUM ADAT DAYAK


42

NGAJU DI KEDAMANGAN JEKAN RAYA

KOTA PALANGKA RAYA

3.1. Penyelesaian Penyerobotan Tanah Secara Hukum Adat Dayak Ngaju


Di Kedamangan Jekan Raya Kota Palangka Raya

Hukum Adat Dayak mempunyai tipe yang bersifat tradisional dengan

berpangkal kepada kebiasaan turun temurun nenek moyang. Peraturan-

peraturan hukum adat Dayak juga dapat berubah tergantung dari pengaruh

kejadian-kejadian dan keadaan hidup yang silih berganti. Perubahannya

sering tidak diketahui, bahkan kadang-kadang tidak disadari masyarakat. Hal

itu karena terjadi pada situasi dalam kehidupan sehari-hari.

Dari sumber hukum yang tidak tertulis itu hukum adat dapat

disesuaikan dengan keadaan dan bersifat elastis. Peradilan adat, baik dalam

bentuknya yang sederhana maupun yang terlembaga merupakan sarana untuk

menyelesaikan berbagai sengketa/konflik dan persoalan karena pelanggaran

atas tata-prilaku, baik antar sesama masyarakat maupun dengan alam dan

lingkungan sekitarnya.

Peradilan adat dipertimbangkan sebagai alternatif bagi institusi

peradilan negara dalam menghadirkan keadilan bagi masyarakat adat

didaerahnya. Dikaji dari perspektif peraturan perundang-undangan Indonesia

saat ini, hukum adat dikenal dengan istilah hukum yang hidup dalam

masyarakat, living law, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
43

masyarakat, hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan, hukum Indonesia asli,

dan lain sebagainya.28

Pengakuan Negara terhadap peradilan adat tidak terlepas dari hak asasi

yang dimiliki oleh masyarakat masyarakat hukum adat yang dijamin oleh

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Deklarasi

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Masyarakat Adat.

Secara harfiah hak asasi (manusia) adalah hak yang melekat pada diri

manusia, oleh karena itu harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi. Tidak ada

suatu kuasa apapun yang dapat mengurangi, merampas, serta

mengabaikannya. Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia

semata-mata karena ia manusia. Bagi masyarakat Indonesia, konsep peradilan

ternyata bukanlah hal yang baru dikenal setelah masuknya hukum kolonial.

Jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa lain yang menawarkan sistem

hukumnya di semua komunitas masyarakat wilayah Nusantara, telah

berlangsung proses menyelesaikan permasalahan berdasarkan mekanisme

yang beragam dan bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan sosial

melalui pemberian keadilan kepada para pihak. Prosesnya berlangsung dan

terkelola oleh lembaga-lembaga adat atau lokal yang dari segi bentuknya

sangat beragam. Pada kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah

Indonesia, istilah-istilah yang digunakan sangat beragam untuk menyebut

mekanisme penyelesaian perkara (sengketa/pelanggaran) yang sering disebut

peradilan adat.
28
Abdillah Muhammad, 2020, Kedudukan Sistem Peradilan Pidana Adat Dayak
Bangkalaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Nasional, Universitas Islam Kalimantan Muhammad
Arsyad Al-Banjari,hlm.6.
44

Istilah yang sering digunakan adalah “sidang dewan adat”, “sidang

adat”, “rapat adat” atau ungkapan khas masing-masing daerah. Selain itu

yang memutuskan perkara adat dalam penyelesaian masalah adalah kepala

adat masyarakat hukum adat setempat. Penyelesaian masalah dalam

kehidupan masyarakat oleh orang-orang yang dipercayai langsung oleh

masyarakat setempat bersifat terbuka dan transparan.29

Putusan atau sanksi yang diberikan berdasarkan musyawarah sehingga

istilah adil lebih menyentuh pada peradilan adat. Kehadiran peradilan adat ini

semakin penting demi mencegah peradilan jalanan. Disini perlu dipikirkan

format peradilan adat tersebut sehingga penyelesaian yang sudah

dipercaryakan tingkat adat tidak lagi menjadi pertentangan dan harus dibawa

ke tingkat hukum positif. Dikaji dari perspektif filosofis, sosiologis, dan

yuridis.30

Eksistensi Peradilan Adat harus diakui, aspek dan dimensi ini beracuan

kepada ketentuan Pasal 18B ayat (2). Pasal 281 Ayat (3) dan Pasal 24 Ayat

(3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Amanat

dasar dari ketentuan tersebut hakikatnya diatur, diakui, dan dihormatinya

eksistensi kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya.

Kemudian, adanya penghormatan terhadap identitas budaya, keragaman

budaya bangsa dan hak masyarakat tradisional sebagai bagian dari hak asasi

manusia sehingga selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

29
Hasil Wawancara dengan Bapak Kardinal Tarung, selaku Damang Kepala Adat Jekan
Raya pada hari sabtu Tanggal 15 Mei 2023, Pukul 13.00 WIB Tempat : Kedamangan Jekan
Raya.
30
Mohammad Jamin. 2014. Peradilan Adat Pergeseran Politik Hukum, Perspektif
Undang-Undang Otonomi,Graha ilmu, Yogyakarta, hlm. 34.
45

Pada tataran kebijakan yang bersifat lokal eksistensi Peradilan Adat

tetap diakui. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya Peraturan Daerah

Kabupaten atau Kota yang mengatur tentang Pengakuan dan Perlindungan

Masyarakat Hukum Adat, salah satu Peraturan Daerah tersebut yaitu

Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No. 16 Tahun 2008 tentang

Peraturan Daerah (PERDA) tentang Kelembagaan Adat Dayak Di

Kalimantan Tengah. Dijelaskan bahwa bagian Hak Masyarakat Hukum Adat

dijelaskan bahwa Masyarakat Hukum Adat berhak untuk menyelenggarakan

kebiasaan-kebiasaan yang khas, spiritualitas, tradisi-tradisi, dan sistem

peradilan adat yang berkembang dari waktu ke waktu sesuai dengan

perkembangan Masyarakat Hukum Adat.

Pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat juga ditegaskan

pada Peraturan Daerah No.16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat yang

menjelaskan tentang kewenangan Lembaga Adat dalam menjalankan Hukum

dan Peradilan Adat dan yang menjelaskan bahwa dalam hal Penyelesaian

masalah yang timbul didalam Masyarakat Hukum Adat diutamakan

menggunakan hukum adat. Hal ini selaras dengan peraturan yang lebih tinggi

yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal 103 huruf d

yang menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa adat berdasarkan Hukum

Adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip

hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah.

Meninjau dari penjelasan diatas, hukum adat nyatanya masih eksis hingga
46

sekarang meski pengakuannya hanya diakui pada ruang lingkup masing-

masing Provinsi di Indonesia.

Hadirnya peraturan tentang Masyarakat Hukum Adat secara nasional

sangat diperlukan demi terciptanya kepastian hukum dan melindungi seluruh

Masyarakat Adat di Indonesia, juga dapat memberikan kedudukan Peradilan

Pidana Adat diakui dalam Peradilan Pidana Nasional. Selain itu pula nilai-

nilai yang terkandung pada proses peradilan Adat baiknya diterapkan oleh

Sistem Peradilan Pidana Nasional khususnya pada proses Tindak Pidana

Ringan. Karena kita menyadari bahwa penyelesaian yang melalui proses

pengadilan seperti pada umumnya hanya memecahkan permasalahan hukum,

tetapi belum tentu memecahkan masalah sosial dalam ikatan persaudaraan.

Diterapkannya nilai-nilai peradilan Adat pada proses persidangan atau

pada pengambilan putusan persidangan diharapkan mampu memberikan rasa

keadilan yang lebih tinggi karena pada dasarnya proses yang digunakan

adalah sistem musyawarah yang pastinya akan menemukan titik tengah atau

win-win solution yang tidak akan merugikan kedua belah pihak sehingga

ikatan persaudaraan akan tetap terjalin dan tidak menimbulkan dendam turun

temurun yang pada intinya diharapkan melahirkan perdamaian.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata damai diartikan sebagai

suatu keadaan yang tidak bermusuhan, tidak ada perang, tidak ada

perselisishan, berbaik kembali, adanya suasana tentaram. Bahwa kata damai

menyangkut berbagai aspek kehidupan, misalnya: dalam keluarga,

masyarakat, berbangsa dan bernegara.sedangkan kata perdamaian adalah


47

merupkan bentuk kata benda yang berasal dari kata dasar “damai” ditambah

dengan awalan “per” dan akhiran “an”. Dalam penmbahan imbuhan ini, kata

perdamaian menjadi suatu kata yang didalamnya terdapat unsur kesengajaan

untuk berbuat dan melakukan sesuatu, yakni membuat supaya damai, tidak

berseteru atau bermusushan, dan lai-lain.31

Perdamaian dalam konteks pluralisme agama adalah ketika umat

beragama yang satu menghormati dan menghargai umat yang lain. Rasa

hormat dan menghargai bukan karena kepentingan, tetapi dengan ketulusan,

jujur dan kondusif tanpa ada pengaruh dari siapapun. Budaya damai juga

diartikan sebagai sekumpulan nilai, sikap, tradisi, aturan, perilaku, dan gaya

hidup yang didasarkan pada:

1. Penghormatan atas kehidupan

2. Penghormatan terhadap prinsip-prinsip kekuasaan sesuai dengn hukum

internasional

3. Penghormatan dan peningkatan terhadap semua hak asasi manusia

4. Memiliki komitmen untu menyelesaikan konflik secara damai

5. Berupaya memenuhi kebutuhan pembangunan dan yang terkait bagi

generasi masa kini dan mendatang

6. Menghargai dan meningkatkan hak untuk pembagunan perdamaian

7. Menghargai dan meningkatkan persamaan hak dan peluang bagi laki-laki

dan perempuan

8. Menghargai dan meningkatkan hak semua orang,untuk bebas menyatakan

pendapat dan informasi


31
Laksanto Utomo,2017,Hukum Adat,Raja Grafindo Persada, Depok, hlm. 5.
48

9. Mengikuti prinsip keadilan, kebebasan, demokrasi, toleransi, solidaritas,

kerjasama, pluralisme, keragamaan budaya, dialog, pemahaman pada

semua tingkat masyarakat, dan antar berbagai bangsa serta

memberdayakan lingkungan nasional maupun intern yang kondusif bagi

perdamaian.

Penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat didasarkan pada

pandangan hidup yang dianut oleh masyarakat Dayak itu sendiri. Pandangan

hidup ini dapat diidentifikasikan dari ciri masyarakat hukum adat Dayak yang

berbeda dengan masyarakat modern. Karakteristik masyarakat ada dua kutub

saling berbeda, yaitu masyarakat modern dan masyarakat adat. Masyarakat

adat adalah masyarakat yang berlabel agraris, sedangkan masyarakat modern

cenderung berlabel industri. Pelabelan ini didasarkan pada pandangan dan

filsafat hidup yang dianut masing-masing masyarakat.

Penyelesaian sengketa dalam masyarakat adat Dayak, sangat

ditentukan oleh pandangan dan ciri masyarakat adat. Penyelesaian

permasalahan menurut hukum adat yang ada di wilayah kedamangan jekan

raya berasaskan nilai-nilai kebersamaan, yang mengutamakan keselarasan

dan keseimbangan dalam kehidupan.

Dalam menyelesaikan suatu perkara adat (Tindak Pidana Adat)

diperlukan suatu mekanisme penyelesaian yang berdasarkan kebersamaan

yaitu musyawarah dan mufakat. Bahkan Damang Katingan Hulu mengatakan

bahwa kasus-kasus kecil dan tidak merugikan kepentingan Negara serta


49

masyarakat sebaiknya terlebih dahulu di selesaikan untuk berdamai sebelum

ada kekuatan hukum tetap.32

Pola penyelesaian yang diterapkan harus mengacu pada nilai-nilai

keadilan, nilai kepastian hukum dan kemanfaatan. Adapun Hak Masyarakat

Hukum Adat dijelaskan bahwa Masyarakat Hukum Adat berhak untuk

menyelenggarakan kebiasaan-kebiasaan yang khas, spiritualitas, tradisi-

tradisi, dan sistem peradilan adat yang berkembang dari waktu ke waktu

sesuai dengan perkembangan Masyarakat Hukum Adat tentang kewenangan

Lembaga Adat dalam menjalankan Hukum dan Peradilan Adat dan yang

menjelaskan bahwa dalam hal Penyelesaian masalah yang timbul didalam

Masyarakat Hukum Adat diutamakan menggunakan hukum adat. Hal ini

selaras dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2014 Tentang Desa Pasal 103 huruf d yang menjelaskan bahwa

penyelesaian sengketa adat berdasarkan Hukum Adat yang berlaku di Desa

Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan

mengutamakan penyelesaian secara musyawarah. Meninjau dari penjelasan

diatas, hukum adat nyatanya masih eksis hingga sekarang meski

pengakuannya hanya diakui pada ruang lingkup masing-masing Provinsi di

Indonesia.

32
Hasil Wawancara dengan Bapak Kardinal Tarung, selaku Damang Kepala Adat Jekan
Raya pada hari sabtu Tanggal 15 Mei 2023, Pukul 13.00 WIB Tempat : Kedamangan Jekan
Raya.
50

Hadirnya peraturan tentang Masyarakat Hukum Adat secara nasional

sangat diperlukan demi terciptanya kepastian hukum dan melindungi seluruh

Masyarakat Adat di Indonesia, juga dapat memberikan kedudukan Peradilan

Pidana Adat diakui dalam Peradilan Pidana Nasional. Selain itu pula nilai-

nilai yang terkandung pada proses peradilan Adat baiknya diterapkan oleh

Sistem Peradilan Pidana Nasional khususnya pada proses Tindak Pidana

Ringan. Karena kita menyadari bahwa penyelesaian yang melalui proses

pengadilan seperti pada umumnya hanya memecahkan permasalahan hukum,

tetapi belum tentu memecahkan masalah sosial dalam ikatan persaudaraan. 33

Diterapkannya nilai-nilai peradilan Adat pada proses persidangan atau

pada pengambilan putusan persidangan diharapkan mampu memberikan rasa

keadilan yang lebih tinggi karena pada dasarnya proses yang digunakan

adalah sistem musyawarah yang pastinya akan menemukan titik tengah atau

win-win solution yang tidak akan merugikan kedua belah pihak sehingga

ikatan persaudaraan akan tetap terjalin dan tidak menimbulkan dendam turun

temurun.

Rasa keadilan terkadang hidup diluar undang-undang, yang jelas

undang-undang akan sangat sulit untuk mengimbanginya. Begitupula

sebaliknya undang-undang itu sendiri dirasakan tidak adil ketika rasa keadilan

itu benar benar dirasakan oleh mayoritas kolektif maka kepastian hukum akan

bergerak menuju rasa keadilan itu sendiri. Kepastian hukum adalah rasa

33
Hasil Wawancara dengan Bapak Kardinal Tarung, selaku Damang Kepala Adat Jekan
Raya pada hari sabtu Tanggal 15 Mei 2023, Pukul 13.00 WIB Tempat : Kedamangan Jekan
Raya.
51

keadilan itu sendiri, sebab keadilan dan hukum bukanlah dua elemen yang

terpisah. Berikut penyelesaian sengketa tindak pidana penyerobotan tanah

yang dapat diselesaikan melalui hukum adat di wilayah keddamangan jekan

raya.

Pelaksanaan penyelesaian kasus penyerobotan tanah menurut hukum

adat dayak ngaju di kedamangan jekan raya yaitu : 34

1. Persiapan Penyelesaian

a. Penentuan masalah pokok atau duduk permasalahan yang terjadi;

b. Penunjukan Mantir adat yang akan membantu damang dalam

penyelesaian masalah;

c. Penentuan waktu dan tempat pertemuan;

2. Pelaksanaan penyelesaian :

a. Pembukaan oleh Damang Kepala Adat;

b. Penyamaan persepsi damang, mantir adat dan para pihak yang

bersengketa serta para saksi;

c. Pemaparan oleh masing-masing pihak, dalam kasus ini Pelanggar

berjumlah 11 (sebelas orang) hanya Pelanggar 1 (satu) sampai dengan

Pelanggar IX (sembilan) yang tidak hadir sedangkan pelanggar 10

(sepuluh) dan 11 (sebelas) hadir dalam sidang adat. Para pihak yang

berperkara berhak untuk :

1) Para pihak mengetahui kedudukan dan posisinya masing-masing

2) Masing-masing pihak berhak memberikan dan memperoleh

informasi atau data yang disampaikan dengan jujur dan benar.


34
Ibid.
52

3) Para pihak dapat membantah atau meminta klarifikasi dari lawan

dan wajib menghargai pihak lainnya.

d. Penyampaian pendapat

Dalam hal ini para pihak diminta menyampaikan permasalahan atau opsi-

opsinya atau penyelesaian yang ditawarkan sehingga terselesaikan

permasalahan agar proses negosiasi tidak melebar.

e. Pengumpulan pendapat

Pengumpulan pendapat dengan opsi-opsi para pihak adalah:

1) Pengumpulan pendapat sebagai hal yang utama dilakukan secara

umum tentang peraturan yang ada dalam Hukum Adat Dayak Ngaju

sehingga terdapat hubungan antara Hukum Adat dengan

permasalahannya.

2) Dengan pengumpulan pendapat secara umum dapat digambarkan

bagaimana cara menyelesaikan pendapat tersebut melalui negosiasi

maka proses negosiasi lebih mudah.

3) Opsi adalah sejumlah tuntunan dari penyelesaian terhadap permasalahan

dalam suatu proses penyelesaian.

f. Negosiasi

Negosiasi ini merupakan kesepakatan final dari para pihak yang

berperkara dalam mengenai sanksi terhadap pihak yang terbukti bersalah.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Damang Jekan Raya semua sub

suku Dayak menerapkan sanksi Perjanjian Tumbang Anoi 1894 sebagai

pedoman mengambil keputusan dan sanksi adat meskipun tidak tertulis.


53

Akhir dari dari penyelesaian melalui hukum adat dayak ngaju di

kedamangan Jekan Raya, berdasarkan kesepakatan dan kehendak dari para

pihak melakukan penyelesaian melalui Damang Kepala Adat. Dengan

demikian penyelesaian tindak pidana penyerobotan tanah menurut hukum adat

Dayak Ngaju di kedamangan Jekan Raya tetap dipertahankan karena pada

prinsipnya bersifat kekeluargaan dengan cara musyawarah dalam mencapai

suatu keputusan yang dilakukan dengan perantara Damang Kepala Adat dan

mantir Adat.35

Penyelesaian perkara dalam hukum adat dimana Damang dan Mantir

Adat tidak memihak dan bersifat netral. Mereka hanya membantu pihak-pihak

yang berperkara guna memperoleh penyelesaian kasus penyerobtan tanha yang

disepakati kedua belah pihak agar dapat berdamai kembali.

Dalam penyelesaian kasus penyerobotan tanah Jl.Tjilik Riwut km. 8-9

Kota Palangka Raya di Kedamangan Jekan Raya masih menganut penyelesaian

yang bersifat kekeluargaan dengan cara musyawarah dalam mencapai suatu

keputusan berdasarkan ketentuan adat yang dilakukan dengan perantara

Damang Kepala Adat.36

2.1. Sanksi Penyerobotan Tanah Secara Hukum Adat Dayak Ngaju Di


Kedamangan Jekan Raya Kota Palangka Raya

Dalam bidang hukum pidana, di daerah yang masyarakatnya masih

dipengaruhi oleh adat dan sifat kedaerahan yang kental, selain hukum
35
Hasil Wawancara dengan Bapak Kardinal Tarung, selaku Damang Kepala Adat Jekan
Raya pada hari sabtu Tanggal 15 Mei 2023, Pukul 13.00 WIB Tempat : Kedamangan Jekan
Raya.
36
Hasil Wawancara dengan Bapak Kardinal Tarung, selaku Damang Kepala Adat Jekan
Raya pada hari sabtu Tanggal 15 Mei 2023, Pukul 13.00 WIB Tempat : Kedamangan Jekan
Raya.
54

nasional, sumber hukum yang diakui adalah hukum pidana adat. Hukum

pidana adat adalah hukum yang hidup (living law) dan akan terus hidup

selama ada manusia budaya, ia tidak akan dapat dihapus dengan perundang-

undangan.

Setiap pelanggaran adat akan mengakibatkan ketidakseimbangan pada

masyarakat. oleh karena itu, setiap pelanggaran harus diberi sanksi adat yang

berfungsi sebagai sarana untuk mengembalikan rusaknya keseimbangan, yang

terganggu akibat adanya pelanggaran adat.Sanksi adat selalu disertai dengan

suatu kejadian atau perbuatan yang harus dipertanggungjawabkan oleh si

pelaku maupun keluarganya.

Hukum adat tidak mengadakan pemisahan antara bidang hukum pidana

dan bidang hukum perdata. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum adat tidak

ada perbedaan acara (prosedur) dalam hal acara perdata dan penuntutan

secara kriminil. Demikian pula dengan isi dari hukum adat Dayak Ngaju,

tidak hanya berupa kejahatan dan hukuman adatnya, yang merupakan hukum

materiil, tetapijuga mengatur hukum formilnya, mengenai kedudukan, tugas,

dan fungsi lembaga adat. Bahkan juga memuat beberapa ketentuan yang

masuk dalam lingkup hukum perdata, misalnya tentang pernikahan dan

perceraian, serta pertanggungan terhadap anak akibat perceraian dan harta

gono gini.

Hukum Adat Ngaju memuat beberapa bentuk kejahatan dan

pelanggaran,antara lain yaitu:


55

1. Kejahatan dan pelanggaran terhadap keamanan wilayah dan hak

masyarakat adat Dayak Ngaju;

2. Kejahatan terhadap pemanfaatan hutan dan sumber daya sungai wilayah

masyarakat Dayak Ngaju;

3. Kejahatan pengrusakan hutan, ladang, dan kebun;

4. Kejahatan terhadap martabat temenggung dan pengurus lembaga adat

Dayak Ngaju dan/atau pemimpin pemerintahan dusun/desa/kelurahan di

wilayah masyarakat Dayak Ngaju;

5. Kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang;

6. Kejahatan penghinaan;

7. Kejahatan terhadap kemerdekaan orang;

8. Kejahatan terhadap nyawa;

9. Kejahatan penganiayaan;

10. Perkelahian;

11. Pencurian;

12. Pemerasan dan pengancaman;

13. Penghancuran atau pengrusakan barang;

14. Kecelakaan.

Keberadaan Lembaga Adat Dayak telah diakui sebagaimana tertuang

dalam Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat

Dayak di Kalimantan Tengah. Pasal 1 angka 15 menyebutkan bahwa Adat

Istiadat Dayak adalah seperangkat nilai dan norma, kaidah dan keyakinan

sosial yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan


56

perkembangan masyarakat adat Dayak serta nilai atau norma lain yang masih

dihayati dan dipelihara masyarakat terwujud dalam berbagai pola nilai

perilaku kehidupan sosial masyarakat setempat. Selanjutnya pada Pasal 1

angka 18 menyebutkan Kelembagaan Adat Dayak adalah organisasi

kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah

tumbuh dan berkembang bersamaan dengan sejarah Masyarakat Adat Dayak

dengan wilayah hukum adatnya, serta berhak dan berwenang untuk mengatur,

mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan dengan

mengacu kepada adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat Dayak.

Hukum adat menjadi hukum yang tidak terpisahkan dengan hukum

nasional yang ada, tumbuh dan berkembang di masyarakat hukum adat.

Setiap pelaku kejahatan baik bersifat berat atau ringan di masyarakat hukum

adat dayak, selalu diproses diberikan sanksi pada pelaku sesuai dengan

kejahatan dan hukum adat yang berlaku.

Di sisi lain kepolisian sebagai penegak hukum, menjalankan fungsi

keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, termasuk di dalamnya

masyarakat hukum adat. Pelanggaran dan kejahatan diatur di Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) yang membahas mengenai sanksi

yang dapat dikenakan kepada seseorang apabila melakukan perbuatan

melanggar hukum. Namun di masyarakat hukum adat, sanksi adat terhadap

pelanggaran dan kejahatan tetap diberlakukan.

KUHP merupakan peraturan hukum pidana tertulis yang berlaku bagi

seluruh wilayah lndonesia. KUHP memuat ketentuan umum, kejahatan dan


57

pelanggaran, serta ketentuan khusus. Perumusan kejahatan dan pelanggaran

dalam KUHP langsung diikuti dengan ancaman sanksi pidana terhadap

pelakunya. Sanksi pidana terdiri atas pidana pokok (pidana mati, pidana

penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana tutupan) dan pidana

tambahan (pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu,

pengumuman putusan hakim).37

Untuk dapat melaksanakan ancaman hukuman, diadakan ketentuan

yang mengatur kekuasaan badan-badan peradilan dan acara penyelesaian

pelanggaran hukum pidana materiil yang disebut sebagai hukum pidana

formil. Hukum pidana formil merupakan ketentuan perundang-undangan

yang mengatur prosedur agar pelaku pelanggaran dan kejahatan dapat

dihadapkan ke muka sidang pengadilan. Dalam hukum nasional hal itu diatur

ketentuan hukum acara pidana yang tertuang dalam Undang-Undang No. 8

tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

KUHAP mengatur pelaksanaan tugas badan-badan peradilan yang

dilakukan oleh hakim, jaksa/penuntut umum dan penyidik/polisi. Hakim

memeriksa dan mengadili perkara pidana maupun perdata yang diajukan

kepadanya. Jaksa/penuntut umum melakukan penyidikan dan penuntutan

yang pelaksanaannya hanya dalam bidang hukum pidana. Sedangkan

penyidik melakukan penyidikan hanya dalam bidang hukum pidana.

Walaupun KUHP dan KUHAP dinyatakan berlaku bagi seluruh wilayah

37
Faisal Salam Moch, 2001, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju,
Bandung, ,hlm,2.
58

Indonesia, namun, banyak daerah yang memberlakukan hukum adat, di

samping hukum nasional.

Bentuk kejahatan dan pelanggaran hukum adat tersebut terbatas dan

umumnya telah diatur dalam KUHP atau hukum pidana lain di luar KUHP,

yaitu Kejahatan Pengrusakan Hutan, Ladang, dan Kebun sepadan dengan

Pasal 548 KUHP; Kejahatan yang Membahayakan Keamanan Umum Bagi

Orang atau Barang sepadan dengan Pasal 187 juncto Pasal 489 KUHP;

Kejahatan Penghinaan sepadan dengan Pasal 310 KUHP; Kejahatan terhadap

Kemerdekaan Orang sepadan dengan Pasal 324 KUHP; Kejahatan terhadap

Nyawa sepadan dengan Pasal 340 KUHP; Kejahatan Penganiayaan sepadan

dengan Pasal 351 KUHP; Perkelahian sepadan dengan Pasal 182 KUHP;

Pencurian sepadan dengan Pasal 362 KUHP; Pemerasan dan Pengancaman

sepadan dengan Pasal 368 KUHP; Penghancuran atau Pengrusakan Barang

sepadan dengan Pasal 406 KUHP; dan Kecelakaan sepadan dengan Pasal 359

KUHP juncto UU No. 22Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan.

Pada setiap wilayah Hukum Adat, terdapat berbagai macam sistem

peradilan adat di wilayahnya masing masing. Sebagaimana yang berlaku pada

wilayah Hukum Adat Dayak di Kedamangan Jekan Raya.

Kedamangan Jekan Raya khususnya Adat Dayak Ngaju telah memiliki

struktur mekanisme peradilannya tersendiri untuk Masyarakat Adat sekitar

apabila ingin menyelesaikan perkara atau permasalahan secara Adat, untuk

melaksanakan Peradilan Perkara Adat biasanya disebut dengan Sidang Adat


59

dan tempat untuk menyelenggarakan peradilan adat bertempat di kantor

kedamangan Jekan Raya.

Sebelum memulai Sidang Adat tersebut ada beberapa tahapan pertama

yang harus terlebih dahulu dilakukan yaitu melaporkan atau memberitahukan

suatu kejadian perkara kepada Damang Kepala Adat dan Mantir Adat.

Kedua para tokoh adat akan berkumpul untuk membicarakan waktu dan

berapa jumlah orang yang mengikuti Sidang Adat, dan terakhir Kepala Adat

akan memanggil Keluarga korban atau Pelaku untuk mempersiapkan Sidang

Adat. Proses peradilan Sidang adat dihadiri oleh satu Damang Kepala Adat

dan didampingi oleh dua sampai tiga orang Mantir Adat, dimana posisi

Damang Kepala Adat sebagai Pimpinan Sidang dan Mantir Adat sebagai

pendamping yang bertugas untuk memberikan pandangan-pandangan agar

Pimpinan Sidang dapat menentukan besaran sanksi yang diberikan ke pelaku

pelanggar Hukum Adat. 38

Dalam proses Peradilan Adat ini setelah para pihak menjelaskan duduk

permasalahannya, para Mantir Adat memberikan pandangan atas perkara

yang telah dilanggar oleh pelaku dengan cara mengingat kembali

permasalahan yang sebelumnya pernah terjadi dan mengingat kembali juga

berapa besaran sanksi yang diberikan atas pelanggaran yang sama, misalnya

pada suatu hari dilaksanakan Sidang Adat dengan perkara penyerobotn tanah,

lalu pada proses persidangan adat tersebut para Mantir Adat mengingat

38
Hasil Wawancara dengan Bapak Kardinal Tarung, selaku Damang Kepala Adat Jekan
Raya pada hari sabtu Tanggal 15 Mei 2023, Pukul 13.00 WIB Tempat : Kedamangan Jekan
Raya.
60

kembali peristiwa persidangan sebelumnya dan mengingat berapa besaran

sanski yang pernah diberikan atas suatu perkara yang sama.39

Hal ini terjadi karena Hukum Adat di kedamangan jekan raya sudah

tertulis namun pada pelaksanaannya juga diputuskan berdasarkan kasus

serupa yang pernah terjadi sebelumnya, jadi para Mantir dan Damang Kepala

Adat harus selalu mengingat tentang sanksi yang diberikan kepada pelanggar

Hukum Adat. Persidangan Adat dapat dilaksanakan maksimal tiga kali,

apabila proses Persidangan Adat tidak menemukan jalan keluar maka yang

bertindak selanjutnya yaitu proses persidangan nasional. Adapun jenis sanksi

yang diberikan yaitu berupa denda yang disebut dengan singer, singer dibayar

menggunakan piring besar berwarna putih polos yang disebut dengan

pinggan. Jumlah denda dalam pemberian sanksi adat Dayak Ngaju. 40

Masyarakat Hukum Adat Dayak Ngaju tidak mengenal suatu perkara

pidana ataupun perdata, mereka hanya mengenal dengan yang namanya

pelanggaran adat. Pelanggaran apapun yang terjadi dilingkungan adat Dayak

Ngaju harus diselesaikan melalui sidang adat terlebih dulu. Penyelesaian

konflik dengan menggunakan hukum adat dirasakan lebih menjamin keadilan

bagi masyarakat hukum adat dibandingkan hukum nasional yang biasanya

kurang berpihak. Hal ini disebabkan karena hukum adat merupakan

kesepakatan yang dihasilkan dari Musyawarah mufakat dari masyarakat

setempat yang telah mempertimbangkan kepentingan-kepentingan

masyarakat, individu, maupun pihak yang bertikai. Contohnya pada kasus

39
Ibid.
40
Ibid.
61

Penyerobotan Tanah dikalangan suku Adat Dayak Ngaju di Kedamangan

Jekan Raya, di mana jika terjadi maka kepala suku Adat Dayak Ngaju atas

dasar pengaduan korban akan menyelidiki pengakuan korban, kemudian

mencari pelaku dan menyelidikinya. Jika pelaku terbukti bersalah maka

pelaku diwajibkan untuk membayar ganti rugi serta membayar denda yang

telah ditetapkan.

Penyelesaian ini terlihat begitu sederhana, namun bagi masyarakat adat

mekanisme tersebut dianggap dapat memberikan keadilan ketimbang hukum

nasional. Peradilan Adat memang tidak memiliki pengakuan terhadap

peradilan lainnya, hal ini sudah dijelaskan pada Pasal 18 Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang membatasi

bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Meskipun Peradilan Adat tidak diakui dalam lingkup Kekuasaan Kehakiman,

bukan berarti putusan Peradilan Adat hanya berlaku pada lingkungan hukum

adat setempat. Posisi hasil putusan dari proses penyelesaian permasalahan

adat pun diakui sebagai salah satu sumber hukum (yurisprudensi) bagi hakim.

Hal ini beracuan pada Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 50 Ayat (1) Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang pada intinya

kedua pasal tersebut menjelaskan bahwa hakim wajib untuk mempelajari


62

hukum yang hidup dalam masyarakat dan hukum yang tidak tertulis agar bisa

menjadi bahan pertimbangan saat memutus suatu perkara.

Diakuinya keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Peraturan Daerah

setempat pastinya akan memberikan kedudukan hukum bagi masyarakat

hukum adat untuk berperkara di pengadilan nasional. Maka dalam hal ini

dapat disimpulkan meskipun dalam hierarki kekuasaan kehakiman putusan

peradilan adat tidak diakui secara tegas, tetapi dalam praktiknya keberadaan

putusan tersebut tetap diakui apabila memiliki kedudukan hukum tentang

pengakuan adanya Masyarakat Hukum Adat yang dimuat dalam Peraturan

Daerah setempat. Sehingga setiap putusan yang dikeluarkan oleh hakim adat

berlaku mengikat bagi Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan..

Di Kedamangan Jekan Raya khususnya Adat Dayak Ngaju telah

memiliki struktur mekanisme peradilannya tersendiri untuk masyarkat adat

sekitar apabila ingin menyelesaikan perkara atau permasalahan secara adat,

unutk melaksanakan Peradilan Perkara Adat biasanya disebut dengan Sidang

Adat dan tempat untuk menyelenggarakan peradilan adat bertempat di Kantor

Kedamangan Jekan Raya.

Sebelum memulai Sidang Adat tersebut ada beberapa tahapan pertama

yang harus terlebih dahulu dilakukan yaitu melaporkan atau memberitahukan

suatu kejadian perkara kepada Damang Kepala Adat dan Mantir Adat.

Kedua para Damang dan Mantir akan berkumpul untuk membicarakan

waktu dan berapa jumlah orang yang mengikuti Sidang Adat, dan terakhir
63

Damang Kepala Adat akan memanggil Pelanggar atau pelaku untuk

mempersiapkan sidang adat. 41

Proses peradilan Sidang adat dihadiri oleh satu Damang Kepala Adat dan

didampingi oleh dua sampai tiga orang Mantir Adat, dimana posisi Damang

Kepala Adat sebagai pimpinan sidang dan mantir adat sebagai pendamping

yang bertugas untuk memberikan pandangan-pandangan agar Damang Kepala

Adat dapat menentukan besaran sanksi yang diberikan ke pelaku pelanggar

adat tersebut.

Dalam proses Peradilan Adat Dayak Ngaju ini setelah para pihak

menjelaskan duduk permasalahannya, para tetua adat memberikan pandangan

atas perkara yang telah dilanggar oleh pelaku dengan cara mengingat kembali

permasalahan yang sebelumnya pernah terjadi dan mengingat kembali juga

berapa besaran sanksi yang diberikan atas pelanggaran yang sama, misalnya

pada suatu hari dilaksanakan sidang adat dengan perkara penganiayaan, lalu

pada proses persidangan adat tersebut para tetua adat mengingat kembali

peristiwa persidangan sebelumnya dan melihat dokumen berapa besaran

sanski yang pernah diberikan atas suatu perkara yang sama.

Persidangan Adat dapat dilaksanakan maksimal tiga kali, apabila proses

persidangan adat tidak menemukan jalan keluar maka yang bertindak

selanjutnya yaitu proses persidangan menggunakan hukum nasional. Adapun

jenis sanksi yang diberikan yaitu berupa denda yang disebut dengan Singer.

Singer dibayar menggunakan piring besar berwarna putih polos yang disebut

dengan pinggan.
41
Ibid.
64

Masyarakat Hukum Adat Dayak Ngaju tidak mengenal suatu perkara

pidana ataupun perdata, mereka hanya mengenal dengan yang namanya

pelanggaran adat. Pelanggaran apapun yang terjadi di wilayah kedamangan

jekan raya harus diselesaikan melalui sidang adat terlebih dulu.

Penyelesaian kasus dengan menggunakan hukum adat dirasakan lebih

menjamin keadilan bagi masyarakat hukum adat dibandingkan hukum

nasional yang biasanya kurang berpihak. Hal ini disebabkan karena hukum

adat merupakan kesepakatan yang dihasilkan dari musyawarah mufakat dari

masyarakat setempat yang telah mempertimbangkan kepentingan-

kepentingan masyarakat, individu, maupun pihak yang bertikai.

Dalam citranya tampak bahwa “masyarakat seimbang” menjadi tujuan

singer. Oleh karena itu, setiap warga dalam konteks sosial kemasyarakatan di

wilayah kedamangan jekan raya dituntut menjaga keseimbangan tersebut.

Jika diartikan, keseimbangan mencakup 13 aspek sebagai berikut :

1. Perkawinan

2. Perzinahan

3. Etika dan Moral

4. Keyakinan dan Kepercayaan

5. Tanggung jawab Sosial

6. Perjanjian

7. Tanggung jawab terhadap Lingkungan Alam

8. Pengangkatan saudara

9. Harta benda
65

10. Tuduhan

11. Pencurian

12. Perkelahian dan,

13. Pembunuhan.

Dalam konteks itulah bukan hanya mengatur soal bagaimana seseorang

menjaga tingkah laku dalam lingkup adat, tapi juga menjadi medium

penyelesaian secara damai terhadap pelanggaran yang terjadi. Hal ini

dimaksudkan agar pelanggaran itu tidak terjadi lagi dalam masyarakat. Ke-13

hukum keseimbangan tersebut, dituangkan dalam Hukum Adat yang terdiri

atas 98 Pasal Perjanjian Tumbang Anoi.

Pada kasus penyerobotan tanah termuat dalam Pasal 90 Perjanjian

Tumbang Anoi perkara Takian Holang Tana, Bahu, Kabun (perkara

perselisihan batas ladang, kebun, dan bekas berladang dan bekas berkebun)

penjelasan yaitu :

“Perselisihan tata batas perwatasan, bekas ladang, bekas kebun

merupakan hal yang rutin dibicarakan di lingkungan masyarakat adat.

Walaupun biasa kadang-kadang menjadi persoalan/ permasalahan yang

cukup rumit. Masalah pinggir sungai yang erosi, bahagian lain pinggir

sungai yang bertambah, tanda batas yang tidak jelas, dan keterangan

yang tidak lengkap, kesemuanya menjadi rumit persoalannya. Dua orang

berselisish tata batas diperlukan bahan-bahan pendahuluan bagi para

hakim adat”.
66

Sedangkan pelaksanaan dalam Pasal 90 Perjanjian Tumbang Anoi perkara

Takian Holang Tana, Bahu, Kabun (perkara perselisihan batas ladang, kebun,

dan bekas berladang dan bekas berkebun) penjelasan yaitu :

“Berita acara komisi di lapangan dan situasi lapangan, keterangan orang

yang berbatasan langsung, keterangan para saksi masing-masing pihak

dan pendapatumum setempat dan keterangan mereka yang berselisihan.

Semuanya menjadi bahan para pemangku adat untuk mempertimbangkan

keputusannya, jika perlu dipakai sistem padu atau menenung dengan

sistem sumpah acara adat warisan. Dan biasanya selalu ditutup dengan

pesta makan bersama, jika perkara itu sudah dapat didamaikan dengan

keputusan dalam sidang adat itu”.

Pada kasus yang terjadi di wilayah kedamangan Jekan Raya Kota

Palangka Raya kasus penyerobotan tanah Jl.Tjilik Riwut km. 8-9 Kota

Palangka Raya yang melibatkan 11 Pelanggar sebagai pelaku, terkecuali

Pelanggar 1 (satu) sampai dengan pelanggar 9 (sembilan) yang tidak hadir

hanya pelanggar 10 (sepuluh) dan pelanggar 11 (sebelas) telah berhasil

dilakukan perdamaian diantara pihak yang terlibat didamaikan pada 25

November 2021, namun pihak pelaku diputuskan tetap harus membayarakan

kompensansi kepada Penuntut (korban). Berdasarkan keterangan pelanggar

(pelaku) karena ketidaktahuan atas riwayat tanah obyek perkara.


67

Berdasarkan penyelidikan dan pemeriksaan kemudian di jatuhkanlah

sebuah keputusan oleh Damang Kedamangan Jekan Raya yaitu :42

1. Memerintahkan kepada para pelanggar mengembalikan hak atas tanah

kepada Penuntut sebagai ahli waris yang sah.

2. Memberikan Kompensasi atas dasar musyawarah mufakat dengan

penuntut memaknai ungkapan Handipe dia Besuh bakatak diam matei

(Atas dasar saling menguntungkan)

3. Keputusan kerapatan Mantir Adat kelurahan Bukit Tunggsl Batal Demi

Hukum.

4. Memberikan Teguran Keras kepada para pelanggar untuk tidak lagi

melakukan tindakan – tindakan yang dapat menimbulkan gangguan

ketentraman dan ketertiban di dalam masyarakat di wilayah kedamangan

Jekan Raya akibat mengabaikan kearifan lokal setempat, dimana bumi

dipijak disitu langit dijunjung.

BAB IV

PENUTUP
42
Hasil Wawancara dengan Bapak Kardinal Tarung, selaku Damang Kepala Adat Jekan
Raya pada hari sabtu Tanggal 15 Mei 2023, Pukul 13.00 WIB Tempat : Kedamangan Jekan
Raya.
68

4.1. Kesimpulan

Kesimpulan berdasarkan pembahasan di atas, dapat menyimpulkan

beberapa hal bahwa:

1. Pelaksanaan penyelesaiannya dengan adanya laporan atau

memberitahukan suatu kejadian perkara kepada Damang Kepala Adat,

Mantir Adat. Damang Kepala Adat akan berkumpul untuk

membicarakan waktu dan berapa jumlah orang yang mengikuti Sidang

Adat, dan terakhir Kepala Adat akan memanggil korban dan pelanggar

(Pelaku) untuk mempersiapkan Sidang Adat. Proses peradilan Sidang

adat dihadiri oleh satu Damang Kepala Adat dan didampingi oleh dua

orang Mantir Adat, dimana posisi Damang Kepala Adat sebagai

Pimpinan Sidang dan Mantir Adat sebagai pendamping yang bertugas

untuk memberikan pandangan-pandangan agar Pimpinan Sidang dapat

menentukan keputusan yang diberikan ke pelaku pelanggar Hukum

Adat. Dalam proses Peradilan Adat ini setelah para pihak menjelaskan

duduk permasalahannya, Damang dan Mantir adat memberikan

pandangan atas perkara yang telah dilanggar oleh pelaku.

2. Pada kasus yang terjadi di wilayah kedamangan Jekan Raya Kota

Palangka Raya kasus penyerobotan tanah Jl.Tjilik Riwut km. 8-9 Kota

Palangka Raya yang melibatkan 11 Pelanggar sebagai pelaku,

terkecuali Pelanggar 1 (satu) sampai dengan pelanggar 9 (sembilan)

yang tidak hadir hanya pelanggar 10 (sepuluh) dan pelanggar 11


69

(sebelas) telah berhasil dilakukan perdamaian diantara pihak. Maka

sanksi dalam keputusan kedamangan jekan raya yaitu :

1. Memerintahkan kepada para pelanggar mengembalikan hak atas

tanah kepada Penuntut sebagai ahli waris yang sah.

2. Memberikan Kompensasi atas dasar musyawarah mufakat dengan

penuntut memaknai ungkapan Handipe dia Besuh bakatak diam

matei (Atas dasar saling menguntungkan)

3. Keputusan kerapatan Mantir Adat kelurahan Bukit Tunggsl Batal

Demi Hukum.

4. Memberikan Teguran Keras kepada para pelanggar untuk tidak lagi

melakukan tindakan – tindakan yang dapat menimbulkan gangguan

ketentraman dan ketertiban di dalam masyarakat di wilayah

kedamangan Jekan Raya akibat mengabaikan kearifan lokal

setempat, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.

4.2. Saran
70

Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan sehubungan dengan

hasil penelitian ini adalah:

1. Penyelesaian kasus penyerobotan tanah semestinya lembaga adat

memberikan sanksi kepada pelanggar yang tidak hadir pada proses

penyelesaian. Pelanggar yang tidak hadir tidak patuh dan taat kepada

lembaga adat kedamangan jekan raya sebagaimana belom bahadat.

2. Semestinya Ada ketentuan dibuat yang mengatur ukuran besaran saksi

berupa jipen pada pasal 90 perjanjian tumbang anoi yang akan

diberikan kepada pelanggar (pelaku) penyerobotan tanah.

Anda mungkin juga menyukai