Anda di halaman 1dari 9

KONSEP MUSYAWARAH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

HUKUM ADAT
Oleh :
Raudhatul Utrajjah (utrajjahraudhatul8@gmail.com)
Jeliana (jeliyanaa635@gmail.com)
Lailia Sari (sarilailia55@gmail.com)

1.1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap sengketa yang timbul dalam masyarakat dapat mengganggu
keseimbangan tatanan masyarakat. Oleh karena itu, perlu diupayakan setiap
sengketa dapat diselesaikan sehingga keseimbangan tatanan masyarakat dapat
dipulihkan. Pada dasarnya, keberadaan cara penyelesaian sengketa sama tuanya
dengan keberadaan manusia itu sendiri. Dalam setiap masyarakat telah
berkembang berbagai tradisi mengenai bagaimana sengketa di tangani. Sengketa
dapat diselesaikan melalui berbagai cara, baik melalui forum formal yang
disediakan oleh negara maupun melalui forum-forum lain yang tidak resmi
disediakan oleh Negara (Suparman, 2004)1
Di Indonesia, selain pengadilan negara sebagai lembaga formal penyelesaian
sengketa yang keberadaannya diatur dalam UU No.48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, dikenal juga lembaga penyelesaian sengketa lain yang
mengacu pada hukum adat. Hal tersebut dilatarbelakangi adanya pluralisme
hukum yang berlaku di Indonesia, hukum yang berlaku bukan hanya hukum yang
berasal dari pemerintah atau negara (hukum negara), tetapi juga hukum yang
berasal dari adat kebiasaan masyarakat (hukum adat) serta hukum yang berasal
dari ajaran agama (hukum agama).
Di dalam masyarakat hukum adat sudah sejak lama sengketa-sengketa yang
terjadi diselesaikan secara musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga
adat yang biasa disebut peradilan adat. Biasanya yang bertindak sebagai hakim

1
Suparman, Eman. (2004). Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa komersial untuk Penegakan Keadilan.
Jakarta: Tata Nusa

1
dalam lembaga tersebut adalah tokoh-tokoh adat (kepala adat) dan pemuka agama.
Kewenangan dari hakim peradilan adat ini tidak semata-mata terbatas pada
perdamaian saja, tetapi juga kekuasaan memutus sengketa dalam semua bidang
hukum yang tidak terbagi ke dalam pengertian pidana, perdata dan publik.
(Hadikusuma, 2003)2
Dalam perkembangannya, pengakuan terhadap peradilan adat di Indonesia
telah mengalami pasang surut. Pada masa orde baru, pemerintah membuat
beberapa ketentuan yang membatasi bahkan menghilangkan lembaga peradilan
adat. Pada Era reformasi, kedudukan lembaga peradilan adat kembali diberi ruang
dan tempat seiring dengan menguatnya pengakuan terhadap masyarakat hukum
adat. Masyarakat Hukum adat di Indonesia keberadaannya mendapat pengakuan
dan perlindungan hukum yang jelas dan tegas di dalam Undang-Undang Dasar
1945 pasal 18 B ayat (2) mengatur bahwa negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Berkaitan atas perkara tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui
musyawarah, peneliti dapat merujuk pada pendapat Mudzakir yang mengatakan
pengkategorian sebagai ukuran dan lingkup atas kasus yang bisa penyelesaiannya
bisa dilakukan diluar pengadiln lewat mediasi secara penal diantaranya:3
1. Kejahatan yang masuk dalam kejahatan dengan pengaduan termasuk yang
mutlak dan relative.
2. Kejahatan mempunyai ancaman hukuman didenda dan pelaku sudah
melakukan pembayaran denda tersebut (Pasal 80 KUHP).
3. Pelanggaran merupakan jenis perlawanan, bukan pidana, yang ancamannya
hukuman denda belaka. Penyimpangan tersebut termasuk kejahatan hukum
administrasi yang menjadikan sanksipidana sebagai ultimum remedium.
4. Pelanggaran itu merupakan jenis pelanggaran ringan (tipiring) dan para
penegak hukum memakai kewenangannya atas dasar diskresi.
2
Hadikusuma, Hilman. (2003). Pengantar Ilmu Adat Indonesia. Bandung: Mandar Maju
3
Mudakkir. (2007). Alternatif Disput Rsolution (ADR): PenyelesaianPerkara Pidanadalam Sistem
PeradilanPidana Indonesia. Makalah Workshop: Jakarta, hal.33.

2
5. Kejahatan yang bisa diberhentikan dan tak berlanjut ke peradilan atau
deponiring oleh Jaksa Agung atas dasar kewenangan yang diembannya.
Menurut hukum adat penyelesaian sengketa secara adat tetap memperhatikan
hak-hak dari para pihak yang bersengeta. Para fungsionaris Peradiloan Adat haru
selalu menjamin perlindungan hak-hak para pihak yang bersenketa/berperkara.
Perlindungan hak ini diimplimentasikan dalam mekanisme pemnyelesaian
sengketanya. Mekanismenya mengakomodir prinsip Thesa, Anti Thesa dan
Sinthesa, sebagaimana lazimnya digunakan dalam peradilan formal, dengan
langkah-lagkah penyelesaiannya, secara singkat sebagai berikut.
a. Pengaduan/laporan (bisa juga atas inisiaif fungsionaris adat)
b. Rapat Persiapan dan Pengamanan kalau diperlukan
c. Penelusuran duduk sengketa
d. Sidang persiapan keputusan
e. Penawaran alternatif penyelesaian (yg bukan pelanggaran adat/tidak
menyangkut dua pihak )
f. Rapat pengambilan keputusan/Pengumuman
g. Pelaksanaan Putusan
h. Sayam dan Pesijuek4
Dalam kehidupan masyarakat adat sering terjadi persoalan-persoalan
seperti masalah sengketa batas tanah, perkebunan dan pembukaan lahan dan
lain-lain antar sesama masyarakat sendiri. Hal ini disebabkan karena
masyarakat adat merupakan masyarakat agraris, yaitu masyarakat yang
mempunyai keterkaitan dengan masalah pertanahan ataupun pertanian.
Persoalan-persoalan tersebut terjadi karena kesalah pahaman dalam
mengklaim batas tanah ataupun batas perkebunan. Dalam masyarakat adat
jika terjadi sengketa-sengketa seperti tersebut diatas, masyarakat lebih suka
menyelesaikan masalahnya melalui lembaga adat atau yang lebih berperan
dalam menyelesaikannya adalah ketua adat atau kepala desa. Kasus tanah
yang muncul dari tahun ke tahun masih saja mendomnasi di Kepulauan
Kangean khususnya Desa Duko, secara umum yang menjadi sumber sengketa
4
Abdurrahman, 2009, Peradilan Adat di Aceh sebagai Sarana Kerukunan Masyarakat, Majelis Adat Aceh,
hlm. 42-43.

3
tanah adalah perebutan hak penguasaan tanah seperti hak milik perorangan
dll. Perebutan hak ini bisa bersumber dari pembagian waris maupun jual beli,
tukar menukar dan ada juga sengketa tanah yang muncul karena adanya
penyerobotan lahan yang sama-sama mengklaim milik pihak-pihak yang
bersengketa tanpa adanya bukti kepemilikan hak atas tanah yang sah secara
hukum yaitu sertifikat.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya sengketa tanah hak milik
perorangan

a. Kurang jelasnya proses sertifikasi tanah.


b. Kurang memperhatikan proses administrasi sehingga mudah diklaim orang
lain.
c. Keterbatasan sumber daya manusia.
d. Kebijakan yang belum optimal.
e. Pelaksanaan administrasi pertanahan yang kurang tertib.

B. Rumusan Masalah
1. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya sengketa tanah hak
milik perorangan di desa duko?
2. Bagaimana upaya penyelesaian sengketa tanah hak milik perorangan berbasis
adat istiadat di desa duko?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis dari penulisan hukum ini ialah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya
sengketa tanah hak milik perorangan di desa duko!
2. Untuk mengetahui upaya penyelesaian sengketa tanah hak milik perorangan
berbasis adat istiadat di desa duko!

1.2 PEMBAHASAN

4
A. Cara penyelesaian sengketa-sengketa adat
Cara penyelesaian sengketa-sengketa adat oleh kepala desa selaku
pimpinan desa dan juga selaku hakim perdamaian desa mirip dengan “mediator”
dimana kepala desa bertindak sebagai pihak netral yang membantu dua pihak
yang bersengketa dalam proses penyelesaian sengketa melalui perundingan atau
cara mufakat. Kepala desa tidak memiliki kewenangan memutus, hanya
membantu para pihak yang bersengketa mencari penyelesaian yang dapat diterima
para pihak. Upaya untuk menyelesaikan konflik adat dengan pendekatan hukum
adat yaitu berdasarkan asas: rukun, patut, dan laras, sebagai berikut:
1. Asas Rukun: dalam pengertian hukum adat, rukun adalah salah satu
macam asas kerja yang menjadi pedoman dalam menyelesaikan konflik
adat. Asas kerukunan merupakan suatu asas yang isinya berhubungan
erat dengan pandangan hidup bersama di dalam suatu lingkungan
dengan sesamanya, untuk mencapai masyarakat yang aman, tenteram,
dan sejahtera. Penerapan asas rukun dalam penyelesaian konflik adat
dimaksudkan untuk mengembalikan keadaan kehidupan seperti keadaan
semula, status dan kehormatannya, serta terwujudnya hubungan yang
harmoni sesama warga desa.
2. Asas Patut: patut adalah pengertian yangmenunjuk kepada alam
kesusilaan dan akal sehat, yang ditujukan kepada penilaian atassuatu
kejadian sebagai perbuatan manusia maupun keadaan. Pendekatan asas
patut dimaksudkan agar penyelesaian konflik adat dapat menjaga nama
baikpihak masing-masing, sehingga tidak ada yang merasa diturunkan
atau direndahkan status dan kehormatannya.
3. Asas Laras: asas laras dalam hukum adat digunakan dalam
menyelesaikan konflik adat yang konkret dengan bijaksana, sehingga
para pihak yang bersangkutan dan masyarakat adat merasa puas.
Penggunaan pendekatan asas keselarasan dilakukan dengan
memperhatikan tempat, waktu, dan keadaan (desa, kala, patra) sehingga
putusan terhadap konflik adat diterima oleh para pihak dan masyarakat.

5
B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Masyarakat Memilih Kearifan
Lokal
Sebelum tiba pada permasalahan mengapa masyarakat masih memilih
kearifan lokal termasuk hukum adat dalam menyelesaikan perselisihan, perlu
dijelaskan terlebih dahulu mengapa masyarakat enggan memilih penegak hukum
(peradilan negara) menyelesaikan perselisihan yang terjadi di masyarakat. Ada
beberapa gambaran (konvensional)penegak hukum39 dalam pelaksanaan
tugasnya:
1. Perilaku penegak hukum dalam memahami dan membaca hukum
dilakukan linier, deterministik dan mekanistik yang semuanya
dipengaruhi oleh arus berpikir legal positivis.
2. Penegak hukum konvensional sangat erat sekali dengan tipe cara
berhukum yang mempertahankan pola status quo dalam hukum artinya
semata-mata hanya menjalankan kepastian undangundang saja.
Biasanya karakteristik itu merupakan representasi dari penegak hukum
yang menggunakan cara-cara konvensional, tetapi mereka hanya
mengedepankan kepastianundang-undang dan telah menjadikan dirinya
sebagai tawanan undang-undang.
Selain hal-hal tersebut, tidak kalah pentingnya masih terdapat beberapa
hal yang membuat masyarakat (pencari keadilan) enggan menggunakan
pengadilan menyelesaikan konflik yang sedang dihadapi karena asas peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan5 masih sebatas slogan saja, dalam praktek justru
sebaliknya yang terjadi. Ketiga asas tersebut seharusnya dapat membuat proses
pemeriksaan suatu perkara sampai diputus terukur sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku, terukur dari segi waktu tidak berlarut-larut (walaupun telah ada
SEMANo. 4 Tahun 2014 yang membatasi pemeriksaan suatu perkara harus sudah
diputus dalam empat bulan pada pengadilan tingkat pertama dan pengadilan
tingkat banding selama tiga bulan, kalau bisa lebih cepat?). Demikian juga dengan
biaya ringan harus terukur jangan sampai para pihak sudah menjadi korban tetapi

5
Hatta Ali, M, Peradilan Sederhana, Cepat & Biaya Ringan, Alumni, Bandung, 2012, 230-231

6
masih harus mengeluarkan biaya yang besar lagi. Biaya ini dengan sendirinya
akan menjadi biaya mahal/besar apabila proses penyelesaiannya menjadi lama.
Mengenai peranan hukum adat menyelesaikan berbagai perkara/konflik
sudah banyak dan bahkan masih berlangsung sampai sekarang karena masyarakat
lebih suka perkara/ perselisihan yang terjadi diselesaikan dengan cara
musyawarah, kekeluargaan sesuai dengan semangat budaya hukum yang
berlandaskan Pancasila yaitu hukum responsif 6 yang selama ini terkesan hukum
dijalankan secara otonom bahkan represif. Hukum represif dibutuhkan untuk
menyelesaikan berbagai masalah fundamental dalam mendirikan tatanan politik
yang merupakan prasyarat bagisistem hukum dan ssistem politik mencapai
sasaran-sasaran yang lebih tinggi. Hukum otonom merupakan antitesa hukum
represif yang terpenting adalah hukum otonom terpisah dari politik dan hal-hal
lain di luar hukum mengejar keadilan prosedural, perhatian utamanya bagaimana
menjaga integritas insstitusional, untuk itu hukum mengisolali diri, mempersempit
tanggungjawabnya dan menerima formalisme yang buta demi mencapai sebuah
integritas.
Penyelesaian konflik dengan menggunakan kearifan lokal (termasuk
hukum adat) dapat terjadi apabila dalam suatu daerah:
1. Dalam masyarakat gemeinschaft (paguyuban) yang belum memiliki
peradilan negara (yang merata dan melembaga) model penyelesaian
konflik sebagai kelanjutan dari praktik kebiasaan dan adat.
2. Dalam masyarakat gessellschaft (patembayan) potensi lokal banyak
digunakan karena dipandang efisien, sukup memuaskan pihak-pihak
yang berselisih.
Dari kedua penyelesaian perselisihan ini para pihak merasa puas terhadap
putusan yang dihasilkan karena perselisihan dapat dilokalisir tidak menjadi
konflik terbuka, karena para pihak lebihmengutamakan pada musyawarah,
konsensus menuju keharmonisan sedemikian rupa sehingga dapat mempersingkat
waktu, menekan jumlah biaya serta dapat langsung dilaksanakan.

6
Philippe Nonet, Philip Selznick, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung, 2008, hlm. 86-87

7
1.3 Kesimpulan
Eksistensi lembaga lembaga peradilan dan penyelesaian sengketa pada
masyarakat hukum adat Maluku Tengah masih tetap ada dan berlangsung.
Struktur lembaga adat menyatu dengan pemerintahan negeri, aturan-aturan hukum
adat yang masih tetap dijalankan seperti Hukum Sasi, tata cara penyelesaian
sengketa yang dilaksanakan secara terus menerus dan tetap, serta budaya hukum
yang masih ada dan dilestarikan oleh masyarakat seperti hubungan Pela,
Gandong, Badati, Masohi, Maano. Kewenangan Lembaga adat dalam
penyelesaian Sengketa di Masyarakat Hukum Adat Maluku Tengah mulai
menguat. Penyelesaian delik adat dan sengketa adat oleh raja dan kepala soa
secara musyawarah dan mufakat. Keputusan dan sanksi yang ditetapkan oleh raja
dan kepala soa ditaati oleh masyarakat dengan tingkat derajat ketaatan yang
tinggi. Pemerintah daerah kabupaten Maluku Tengah perlu membuat suatu
peraturan daerah yang secara khusus mengatur tentang wewenang dan fungsi
lembaga adat dalam penyelesaian sengketa, Raja dan Kepala Soa perlu melakukan
sosialisasi dan pembinaan hukum adat kepada masyarakat untuk meningkatkan
kesadaran dan ketaatan terhadap aturan hukum adat.

8
Daftar Pustaka

Suparman, Eman. (2004). Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa komersial


untuk Penegakan Keadilan. Jakarta: Tata Nusa
Mudakkir. (2007). Alternatif Disput Rsolution (ADR): PenyelesaianPerkara
Pidanadalam Sistem PeradilanPidana Indonesia. Makalah Workshop:
Jakarta, hal.33.

Hadikusuma, Hilman. (2003). Pengantar Ilmu Adat Indonesia. Bandung: Mandar


Maju
Abdurrahman, 2009, Peradilan Adat di Aceh sebagai Sarana Kerukunan
Masyarakat, Majelis Adat Aceh, hlm. 42-43.
Hatta Ali, M, Peradilan Sederhana, Cepat & Biaya Ringan, Alumni, Bandung,
2012, 230-231

Philippe Nonet, Philip Selznick, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung, 2008,


hlm. 86-87

Anda mungkin juga menyukai