Anda di halaman 1dari 18

MODEL PENGATURAN HAK MASYARAKAT ADAT

PASCA KELUARNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI


NOMOR 35/PUU-X/2012
(Studi Hutan Adat Tembawang, Kabupaten Melawi Kalimantan Barat)

Reanda Nelis
Email: reandanls@gmail.com
Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta

Lego Karjoko
Email: legokarjoko.staff.hukum.uns.ac.id
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta

Abstract
This article aims to find out and analyze the existence of indigenous peoples'
rights over Tembawang Adat Forest, Melawi Regency West Kalimantan Province
after the enactment of Constitutional Court Decision No 35 / PUU-X / 2012. This
article is an approach of the law. The legal materials used are primary legal
materials and secondary legal materials. The technique of legal material analysis
uses deduction with syllogistic method. The results of this article shows that the
Melawi District has not given recognition to the existence of indigenous and tribal
peoples. This is indicated by the absence of legal products that regulate the
existence of customary law community in general or specific. Due to the absence
of legal product regulating, Melawi Regency is prone to agrarian conflict with
indigenous and tribal peoples.

Keywords: Existence of Rights of Indigenous Peoples; Decision of the


Constitutional Court Number 35 / PUU-X / 2012; Indigenous;
Indigenous Forest

Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis eksistensi hak
masyarakat adat atas Hutan Adat Tembawang, Kabupaten Melawi Provinsi
Kalimantan Barat setelah berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi No 35/PUU-
X/2012. Pendekatan artikel ini adalah pendekatan undang-undang. Bahan hukum
yang dipergunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Teknik analisa bahan hukum menggunakan deduksi dengan metode silogisme.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kabupaten Melawi belum memberikan
pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat. Hal tersebut ditunjukkan
dengan belum adanya produk hukum yang mengatur keberadaan masyarakat
hukum adat baik secara umum maupun spesifik. Dikarenakan belum ada produk
hukum yang mengatur maka di Kabupaten Melawi rawan terjadinya konflik
agrarian dengan masyarakat hukum adat.

138
Kata Kunci: Eksistensi Hak Masyarakat Adat; Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 35/PUU-X/2012; Masyarakat Adat, Hutan Adat

A. Pendahuluan

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar menyatakan bahwa bumi, air


dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat. Makna “dikuasai
oleh Negara” ini menimbulkan ketidakjelasan sejauh mana Negara dalam hal
ini menguasai sumber daya alam, untuk itu Negara membentuk Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Pada Pasal 18 huruf B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan
bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.
Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki
oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan
lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat
untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam
wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya
yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun
dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah
yang bersangkutan (https://sukatulis.wordpress.com/ , 13 Maret 2017).
Hubungan antara masyarakat adat dengan sumberdaya alamnya atau
hak ulayat merupakan kondisi konstitutif bagi eksistensi masyarakat adat.
Hubungan antara masyarakat dengan tanah atau sumber daya alamnya adalah
inti dari konsep ulayat. Konsep ulayat lahir dari hak alamiah (natural rights),
kemudian dalam negara modern atau negara demokratis konstitusional, ulayat
sebagai natural rights itu dikonversi menjadi natural law di dalam hukum
positif. Tidak semua negara yang mengadopsi konsep ulayat di dalam hukum

139
positifnya. Adopsi ulayat sebagai hak dalam hukum positif merupakan suatu
upaya mendamaikan antara hukum modern yang dipakai untuk menata
kehidupan (secondary rules) dengan hukum asli yang ada di dalam komunitas
masyarakat (primary rules) (Arizona, 2017).
Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-
masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria bahwa sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa
serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-
peraturan lain yang lebih tinggi (Harsono, 2007: 570).
Faktanya banyak permasalahan yang ditemukan mengenai keberadaan
hak ulayat dan masyarakat hukum adat sehingga Negara membentuk Peraturan
Menteri Negeri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional. Dalam Pasal 2
ayat (2) Peraturan Menteri Negeri Agraria / Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat, disebutkan bahwa keberadaan hak ulayat
pada masyarakat hukum adat dikatakan masih ada apabila memenuhi syarat,
yaitu (a) terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan
hukum adatnya, (b) terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan
hidup warga persekutuan hukum adat, (c) terdapat tatanan hukum adat
mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat. Jadi
keberadaan hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada memberikan hak
kepada masyarakat hukum adat untuk menguasai wilayah adatnya dan segala
hal yang terdapat didalamnya termasuk hutan. Berdasarkan Pasal 1 butir 6
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa Hutan Adat
adalah:
“Hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Bagi kesatuan masyarakat Hukum Adat”

Pasal 1 butir 6 Undang-Undang tentang Kehutanan tersebut menimbulkan


ketidakpastian hak atas wilayah adatnya.

140
Penggolongan hutan adat kebagian hutan Negara, mengakibatkan
masyarakat hukum adat sering kali berkonflik baik antara Pemerintah maupun
dengan badan hukum dalam mempertahankan wilayah yang dianggap sebagau
wilayah adat dari masyarakat hukum adat (Abdul Wahab Usman : 2013, hlm.
2). Berbagai aliansi masyarakat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi
terkait dengan Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan agar dinyatakan tidak sah yang selanjutnya keluar Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Dalam Putusan
35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi memisahkan antara hutan Negara
dengan hutan adat yang dirumuskan bahwa “terhadap hutan Negara, Negara
mempunyai wewenang penuh untuk mengatur dan memutuskan persediaan,
peruntukan, pemanfaatan, pengurusan serta hubungan-hubungan hukum yang
terjadi di wilayah hutan Negara. Kewenangan pengelolaan oleh Negara di
bidangnya meliputi urusan kehutanan. Terhadap hutan adat, wewenagan
Negara dibatasi sejauh mana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat
(http://www.hukumonline.com/, 13 Maret 2017).
Pada penelitian ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian di
Hutan Adat Tembawang Kabupaten Melawi Provinsi Kalimantan Barat. Kasus
yang terjadi adalah masyarakat hutan adat di Tembawang mendesak
pemerintah untuk mengakui keberadaan hutan adat. Desakan dilakukan
sejumlah tokoh masyarakat dari tujuh desa di Kabupaten Melawi, Kalbar yang
menuntut pemerintah segera mengakui keberadaan hutan adat sesuai amanat
konstitusi putusan Mahkamah Konstitusi. Desa-desa yang menuntut itu adalah
Desa Gelata, Nanga Tangkit, Landau Kabu dan Nanga Potai di Kecamatan
Sokan. Kemudian Desa Piawas dan Nanga Raya di Kecamatan Belimbing
Hulu serta Desa Mawang Mentatai di Kecamatan Menukung
(http://www.mongabay.co.id/ /, 13 Maret 2017).
Pengakuan terhadap hutan dapat mencegah bencana alam karena sudah
banyak pohon di hutan yang ditebang. Diharapkan dengan adanya status
kepemilikan bahwa Hutan Tembawang adalah milik masyarakat dan hanya
dpaat dikelola sepenuhnya oleh masyarakat. Selain itu, masyarkat adat juga

141
mendapat legalitas hukum terhadap Tembawang sebagi hutan yang dapat
mencegah terjadinya konflik sosial. Masyarakat Tembawang menilai bahwa
apabila pengelolaan hutan adat sudah diserahkan spenuhnya kepada
masyarakat, maka masyarakat dapat menjaga dan mencegah terjadinya
penebangan hutan secara besar-besaran.
Tembawang merupakan sistem penggunan lahan di masyarakat Suku
Dayak, Klimantan Barat. Tembawang atau sering disebut sebagai agroforest
Tembawang adalah suatu bentuk sistem penggunaan lahan yang terdiri dari
berbagai jenis tumbuhan, mulai dari pohon-pohon besar berdiamater lebih dari
100 sentimeter hingga tumbuhan bawah sejenis rumput-rumputan. Sistem ini
dkelola dengan teknik-teknik tertentu sesuai dengan kearifan local dan
mengikuti aturan-aturan sosial sehingga membentuk keanekaragaman yang
kompleks menyerupai ekosistem hutan alam. Tembawang dianggap sebagai
ekosistem yang unik, memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi,
mengandung nilai ekonomi dan konservasi (http://www.mongabay.co.id/ /, 13
Maret 2017). Hutan Tembawang masih terjadi tumpang tindih dengan kwasan
Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) sehingga masyarakat adat
mendesak pemerintah daerah setempat untuk memberikan pengakuan yang
terhadap status hutan Tembawang.
Pada tanggal 24 Juni 2014, menanggapi desakan dari Masyarakat adat
di Tembawang maka Sahaban Masyarakat Pantai (SAMPAN) Kalimantan
menginisiasi adanya pertemuan para pihak antara perwakilan masyarakat dari
tujuh desa dan Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah
Kabupaten Melawi. Dialog public dilaksanakan dengan harapan dapat
mendorong adanya skema kebijakan daerah untuk pengakuan dan
perlindungan Tembawang. Pengajuan masyarakat adat di desa-desa tersebut
sudah diberikan sejak 7 November 2013 ke Pemerintah Daerah Melawi
(http://www.mongabay.co.id/ /, 13 Maret 2017). Skema kebijakan daerah
dimaksud adalah Surat Keputusan Bupati tentang penetapan, pengakuan, dan
perlindungan tembawang masyarakat hukum adat, serta Peraturan Bupati
tentang Tata cara Pengakuan dan Perlindungan Tembawang di Kabupaten

142
Melawi. Kemudian adanya tindak lanjut pengesahan kebijakan pengakuan dan
perlindungan Tembawang Masyarakat hukum adat di tujuh desa di Kabupaten
Melawi.
Dari hasil dialog publik tersebut maka pemerintah daerah Kabupaten
Melawi mengupayakan akan membuat suatu kebijakan berupa Peraturan
Daerah (PERDA) sebagaimana amanat UUD 1945 serta Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Pemerintah Daerah Kabupaten Melawi
telah membuat draft Surat Keputusan (SK) Bupati yang dibuat karena adanya
kekosongan kebijakan di Kabupaten Melawi untuk mengakui entitas
masyarakat hukum adat dan hak-haknya sebagaimana surat edaran Menteri
Kehutanan tentang serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-X/2012. Surat edaran itu memerintahkan pemerintah daerah membuat
kebijakan berupa Peraturan Daerah untuk mengakui dan melindungi
masyarakat hukum adat beserta hak-haknya.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untuk
mengkaji lebih lanjut bagaimanakah eksistensi hak masyarakat hukum adat
atas Hutan Adat Tembawang, Kabupaten Melawi Provinsi Kalimantan Barat
setelah berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi No 35/PUU-X/2012?

B. Metode Penelitian
Penelitian yang dilaksanakan untuk memperoleh data yang telah teruji
kebenaran ilmiahnya, untuk memecahkan masalah dan memeriksa suatu
gejala dari pengetahuan manusia dijadikan penelitian, maka metode yang
digunakan untuk penelitian hukum doctrinal (doctrinal legal research) atau
dogmatik, atau metode yuridis normative atau juga disebut sebagai penelitian
hukum kepustakaan. Penelitian hukum serta dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder.
Sifat penelitian hukum ini adalah bersifat Preskriptif, Objek ilmu
hukum adalah koherensi antara norma hukum dan prinsip hukum, antara

143
aturan hukum, norma hukum, serta koherensi antara tingkah laku individu
dengan norma hukum (Marzuki, 2010: 42) Pendekatan dalam penulisan
hukum (tesis) ini penulis menggunakan pendekatan undang-undang (statue
approach), yang dilakukan dengan mengkaji peraturan - peraturan yang
terkait dengan hak masyarakat adat pasca keluar Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor: 35/PUU-X/2012. Penelitian ini menggunakan bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai sumber data penelitian
Teknik analisa bahan hukum dalam penelitian hukum ini adalah
bersifat deduksi dan menggunakan metode silogisme guna memperoleh bahan
hukum dalam penelitian ini. Metode deduksi adalah metode yang berpangkal
dari pengajuan premis mayor yang terdiri dari teori hak menguasai atas hutan,
teori hak tenurial penguasaan lahan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku terkait dengan hak masyarakat hutan adat yang kemudian di analisa
menjadi fakta hukum untuk diterapkan dalam menentukan premis minor
dalam penelitian ini yaitu bagaimana eksistensi hak Masyarakat Adat atas
Hutan Adat Tembawang, Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat
setelah berlakunya Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 dan bagaimanakah
Pengaturan Hutan Adat Tembawang setelah Putusan MK yang mengakui
Masyarakat Hukum Adat sebagai subyek hak atas hutan. Tahap akhir adalah
penarikan konklusi yaitu menarik kesimpulan dari keseluruhan penelitian
yang sah dilakukan.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Konflik Hutan Adat di Kabupaten Melawi


Sebagian besar konflik agraria yang terjadi di wilayah Kabupaten
Melawi mayoritas merupakan akibat dari penerapan kebijakan pemerintah
pusat seperti penunjukkan areal konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH),
izin pertambangan, Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan dan penunjukan
kawasan taman nasional yang mengambil sebagian atau seluruh wilayah
kelola masyarakat lokal dan adat.

144
Kawasan hutan Kabupaten Melawi berdasarkan Rencana Tata
Ruang Wilayah pada tahun 2005 seluas 1.064.080 hektar. Sebanyak 52,45
persen kawasan hutan ini digunakan sebagai hutan produksi, yang lainnya
sebesar 3,95 persen sebagai hutan tanaman nasional. 20,63persen sebagai
hutan lindung dan sisanya sebesar 22,97 persen digunakan sebagai
pertanian lahan kering (Agustinus Agus dan Sentot Setyasiswanto: 2012,
hlm. 6).
Perusahaan‐perusahaan skala besar yang ada di Kalimantan Barat
seperti batu bara dan kelapa sawit mengancam keberadaan hak‐hak
masyarakat hukum adat atas sumber daya alam/agrarian. Konflik yang
terjadi tidak hanya melibatkan masyarakat hukum adat dengan perusahaan,
tetapi juga melibatkan Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat
sebagai pihak yang mengeluarkan izin‐izin untukperusahaan tersebut.
Tidak jarang konflik agraria melibatkan aparat keamanan (Polisi, TNI)
yang berujung dikriminalkannya masyarakat hukum adat karena ingin
mempertahankan hak‐hak masyarakat adat atas sumber daya alam/agraria.
Studi‐studi tentang konflik agraria dan sumber daya alam yang
terkait dengan penetapan kawasan taman nasional telah banyak dilakukan
di Kalimantan Barat. Studi‐studi itu pada umumnya menyatakan bahwa
penyebab konflik agraria adalah kekerasan negara terhadap penduduk
lokal di masa Orde Baru (Peluso, 2005, 2009), kesalahan pembangunan di
masa desentralisasi (Hirotsune, 2001), pertarungan antara komunitas lokal
dan pendatang sebagai buah eksploitasi sumber daya alam di masa Orde
Baru (Van Klinken, 2008) dan ekspansi modal yang merampas hak hidup
penduduk lokal (Potter, 2008; Sirait, 2009).
Dimensi konflik agraria di kabupaten Melawi pada dasarnya
kebanyakan merupakan konflik yang melibatkan masyarakat hukum adat
dengan para investor dan atau badan negara di tingkat nasional.
Kebanyakan investor yang berkonflik kebanyakan merupakan investor
nasional yang memiliki jaringan dan koneksi politik yang jauh lebih tinggi
dari para pejabat Melawi. Pada konteks konflik antara masyarakat dengan

145
perkebunan kelapa sawit, meski kelihatannya bernuansa lokal karena
perusahaannya menggunakan nama dan orang lokal, tetapi pada
kenyatannya perusahaan‐perusahaan tersebut adalah anak‐anak perusahaan
perkebunan besar berskala nasional. Hanya saja sulit untuk membuktikan
perusahaan‐perusahaan besar mana saja yang menjadi induk dari
perusahaan‐perusahaan lokal yang berkonflik karena mereka tidak pernah
terbuka kepada publik. Demikian halnya konflik dengan badan negara,
badan‐badan negara yang terlibat pada umumnya adalah badan‐badan
negara di tingkat nasional sehingga secara politik dan perundang‐undangan
memiliki kekuatan yang lebih tinggi (Agustinus Agus dan Sentot
Setyasiswanto: 2012, hlm. 24).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh HuMa dapat diketahui
bahwa Pemkab Melawi belum memiliki kemampuan untuk menangani
konflik‐konflik agraria karena struktur organisasi yang ada tidak memiliki
badan yang fokus pada urusan penyelesaian konflik agraria baik di dalam
dan luar kawasan hutan. Badan atau lembaga pemerintah daerah lebih
banyak diarahkan pada urusan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan
proyek‐proyek pembangunan baru, sementara problem‐problem konflik
agraria yang diakibatkan atas proyek‐proyek tersebut tidak mampu
ditangani.
Ketidakmampuan Pemkab Melawi ini pun juga dapat dilihat dari
lambatnya cara merespon keluhan‐keluhan masyarakat lambatnya terkait
dengan konflik agraria yang dihadapi, terutama ketika konflik tersebut
melibatkan para investor ataupun lembaga pemerintahan di atas provinsi
atau nasional. Alasan tidak adanya payung hukum yang memberikan
kewenangan kepada mereka untuk menyelesaikan konflik serta sulitnya
tudingan ego masyarakat yang terlalu tinggi menunjukkan juga bahwa
sesungguhnya pemerintahan ini sangatlah lemah secara politik.
Masyarakat adat juga melemah ketika berhadapan dengan pemerintahan
diatasnya, sehingga hampir seluruh konflik agraria yang melibatkan badan
atau lembaga negara yang lebih tinggi selalu masyarakat adat abaikan.

146
Upaya penyelesaian konflik yang dilakukan oleh Pemkab Melawi
masih jauh dari kepuasan para pihak yang berkonflik. Cara merespon yang
lambat dan terlalu berat sebelah ke pihak swasta atau investor adalah dasar
dari ketidakpuasan ini. Pemkab Melawi selalu berposisi untuk melindungi
para investor dari setiap konflik, dan menyalahkan penduduk sekitar yang
menolak kehadiran investor sehingga keluhan‐keluhan masyarakat terkait
pencaplokan lahan tidak pernah diproses, apalagi hingga diselesaikan.
Tidak mengherankan jika kemudian masyarakat kerap memilih
penyelesaian melalui mobilisasi massa daripada mengikuti arahan dan
petunjuk pemerintah daerah (Agustinus Agus dan Sentot Setyasiswanto:
2012, hlm. 26).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan dengan
Bagian Pertanahan Kantor wawancara terhadap Kepala Bidang Pertanahan
Nasional Kabupaten Melawi dapat diketahui bahwa Pemkab Melawi
belum memiliki aturan atau kebijakan khusus berkaitan dengan
penanganan atau penyelesaikan konflik agraria. Kabupaten Melawi belum
mempunyai dinas atau lembaga khusus yang menangani atau menerima
kasus‐kasus konflik agraria. Meskipun demikian, jika dilihat dari
tupoksinya, ada sejumlah SKPD yang terkait dengan penanganan konflik
agraria itu. Jika konflik itu berkaitan dengan investasi, ekonomi dan
penanam modal, maka penanganannya oleh Bagian Ekenomi dan
Penanaman Modal Daerah. Jika konflik berkaitan dengan pemberian atau
penerbitan izin‐izin lahan/tanah untuk hak guna usaha (HGU), maka
penanganannya oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Daerah.
Apabila konflik berkaitan dengan pelepasan kawasan hutan, maka
penanganan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Melawi,
dan apabila konflik berkaitan dengan perencanaan pembangunan daerah
atau berkaitan dengan tata ruang, maka ditangani oleh Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Melawi (Agustinus Agus dan
Sentot Setyasiswanto: 2012, hlm. 20).

147
Belum adanya Dinas atau Lembaga khusus di Pemerintahan
Daerah (Pemda) Kabupaten Melawi yang menangani atau tempat
masyarakat hukum adat mengadu kasusnya. Pemkab Melawi belum
memiliki strategi dan metode khusus dalam menyelesaikan konflik agraria.
Namun demikian, prinsip Pemerintah Kabupaten Melawi dalam
menangani atau menyelesaikan konflik agraria antara masyarakat hukum
adat dengan perusahaan (swasta) dan lainnya, yakni “damai bagi
masyarakat hukum adat, damai bagi pihak perusahaan, maka damai juga
bagi Pemerintah Kabupaten Melawi”. Melalui prinsip tersebut, Pemkab
Melawi berharap agar konflik agraria antara masyarakat hukum adat
dengan perusahaan swasta atau dengan lainnya dapat diselesaikan secara
kekeluargaan dan secara damai. Proses penyelesaiannya diserahkan
kepada para pihak yang bersengketa sesuai dengan keinginan dan
kesepakatan bersama antar pihak. Pemkab Melawi dapat memfasilitasi dan
menjadi mediator bagi kedua belah pihak.

2. Pengakuan terhadap Hak Masyarakat Adat atas Hutan Adat


Tembawang di Kabupaten Melawi
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengakui dan menghormati
keberadaan masyarakat adat, seperti tercantum dalam Pasal 18B ayat (2)
menyatakan pengakuan dan penghormatan negara atas kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Walaupun telah
ada pengakuan masyarakat adat melalui konstitusi dan peraturan
perundangan lainnya, namun pemerintah pusat dan daerah tidak memiliki
data keberadaan masyarakat adat dan peta wilayah adatnya. Tidak ada
tempat dan kebijakan secara khusus mengatur proses pendaftaran wilayah
adat di Indonesia (Widodo, 2015: 5).
Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu UU
Desa, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Permendagri 52
Tahun 2015 terdapat kriteria-kriteria untuk mengakui masyarakat adat
melalui produk hukum daerah. Kriteria tersebut adalah 1) Memiliki

148
karakteristik paguyuban; 2) Memiliki hukum adat; 3) Memiliki wilayah
adat; 4) Memiliki kelembagaan adat/sistem pemerintahan; dan 5) Memiliki
harta kekayaan dan/atau benda adat.
Tembawang merupakan penyebutan umum yang biasa digunakan
masyarakat Dayak di Kalimantan Barat. Istilah ini merujuk pada sebidang
lahan beserta tumbuhan di atasnya yang dimiliki oleh suatu komunitas
adat.Paat ini, tidak ada optimalisasi peremajaan tanaman sebagai dampak
dari keterbatasan penguasaan dan penggunaan teknologi masyarakat.
Permasalahan paling mendesak yang dihadapi saat ini adalah
belum adanya pengakuan dan perlindungan Tembawang dalam bentuk
kebijakan daerah. Faktor ini membuat Tembawang tergeser dan berubah
menjadi investasi berbasis hutan dan lahan (Widodo, 2015: 5).
Berdasarkan identifikasi wilayah dan tutupan hutan tahun 2013
yang dilakukan SAMPAN di Kabupaten Melawi, dari total wilayah
Melawi 10.640,80 km persegi hanya 411,673.40 hektar saja yang memiliki
tutupan hutan. Wilayah hutan tersebut sudah dikapling untuk kegiatan
pertambangan, perkebunan sawit, dan perkebunan kayu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Perkumpulan HuMa
Indonesia dengan Pusat Studi Hukum Adat Djojodigoeno FH UGM dapat
diketahui bahwa di Kabupaten Melawi belum ada pengakuan terhadap
masyarakat hukum adat (Widodo, 2015: 5). Dari riset terhadap 13 lokasi
dan salah satunya di Kabupaten Melawi, masyarakat adat di Kabupaten
Melawi belum mendapatkan pengakuan sementara wilayah lain sudah
mendapatkan pengakuan baik secara umum maupun secara khusus.
Paska putusan MK 35, Perkumpulan HUMA dengan 12 mitra
lokalnya, melakukan upaya-upaya untuk mendorong pelaksanaan putusan
tersebut. Salah satu langkah awal adalah melakukan riset di 13 lokasi yang
diselenggarakan sepanjang Februari-Oktober 2014. Salah satu tujuan
utama dari riset tersebut adalah memeriksa tingkat pemenuhan produk
hukum daerah di 13 daerah terhadap persyaratan yang dikehendaki oleh
peraturan perundangan nasional berkenaan dengan pengakuan masyarakat

149
adat. Ketiga belas lokasi riset tersebut adalah: 1) Seko di Kabupaten Luwu
Utara, Sulawesi Selatan; 2) Marga Serampas di Kabupaten Merangin,
Jambi; 3) Mukim Lango di Kabupaten Aceh Barat, Aceh; 4) Kasepuhan
Karang di Kabupaten Lebak, Banten; 5) Ammatoa Kajang di Kabupaten
Bulukumba, Sulawesi Selatan; 6) Malalo Tigo Jurai di Kabupaten Tanah
Datar, Sumatera Barat; 7) Margo Suku IX di Kabupaten Lebong,
Bengkulu; 8) Ketemenggungan Desa Belaban Elladi Kabupaten Melawi,
Kalimantan Barat; 9) Ngata Marena di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah;
10) Lipu Wana Posangke di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengan; 11)
Mukim Beungga di Kabupaten Pidie, Aceh; 12) Ketemenggungan Desa
Tapang Semadak di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat; dan 13)
Kampong Mului di Kabupaten Paser (Widodo, 2015: 2).
Hasil riset di 13 lokasi tersebut menunjukan bahwa sebagian
daerah sudah memiliki produk hukum daerah (Perda, SK) yang
mengukuhkan atau menetapkan masyarakat hukum adat tertentu. Sebagian
yang lain belum memiliki produk hukum daerah tersebut.Terhadap daerah-
daerah yang sudah memiliki produk hukum daerah, perlu diperiksa apakah
bentuk dan muatan produk-produk hukum daerah tersebut sudah sesuai
dengan yang ditentukan oleh peraturan perundangan nasional. Bentuk
menyangkut jenis peraturan sementara muatan terkait dengan kriteria
masyarakat hukum adat. Pemeriksaan tersebut akan sangat menentukan
apakah pengakuan bisa dilanjutkan ke dua tahapan berikutnya yaitu
pelepasan dari kawasan hutan negara dan pengakuan hak.
Pada 13 daerah yang menjadi lokasi riset terdapat dua bentuk
produk hukum daerah yang digunakan untuk mengukuhkan atau
menetapkan keberadaan masyarakat adat, yakni Peraturan Daerah (Perda)
dan Surat Keputusan (SK). Produk hukum daerah tersebut mencakup yang
sudah diberlakukan dan yang masih dalam bentuk rancangan. Selain itu,
dari segi muatan, produku hukum daerah tersebut mengatur dua hal, yaitu:
pengakuan dan/atau pengukuhan keberadaan serta penetapan hak (hutan
adat).

150
Hasil penelitian HuMa menunjukkan bahwa 9 daerah memiliki
produk hukum daerah dengan rincian 6 dalam bentuk Perda dan 3 dalam
bentuk SK. Sementara sisanya, sebanyak 2 daerah dalam proses
penyusunan rancangan peraturan daerah. Enam masyarakat yang
pemerintah daerahnya sudah mengakui dalam bentuk Perda adalah:
Mukim Lango, Mukim Beungga, Malalo Tigo Jurai, Kampong Mului,
Ngata Marena, Suku Tau Taa Wana Posangke. Tiga Masyarakat yang
pemerintah daerahnya sudah mengakui dalam SK adalah Seko, Marga
Sarampas, Kasepuhan Karang. Sementara dua masyarakat yang
pemerintah daerahanya dalam proses penyusunan rancangan peraturan
daerah adalah Ammatoa Kajang, dan Margo Suku IX.Berkenaan dengan
muatan produk hukum daerah, 8 daerah memiliki produk hukum daerah
mengenai pengakuan dan/atau penetapan keberadaan masyarakat adat.
Satu daerah memiliki produk daerah menge-nai pegakuan hak (hutan
adat). Dari 8 daerah yang memiliki produk hukum daerah pengakuan dan
penetapan keberadaan, 5 bersifat umum dan 3 bersifat spesifik.
Produk hukum daerah bersifat umum berarti bahwa produk hukum
daerah tersebut menyatakan pengakuannya terhadap masyarakat hukum
adat di daerahnya, namun pengakuan tersebut baru sebatas peng-akuan
terhadap kelompok masyarakat hukum adat dalam konsepnya yang
generik. Sementara produk hukum bersifat khusus berarti produk hukum
daerah tersebut menyatakan penetapan terhadap masyarakat hukum adat
tertentu di daerahnya. Berikut ini merupakan tabel dari hasil penelitian
yang dilakukan oleh HuMa:
Tabel 1 Hasil Penelitian HuMa tentang Pengakuan Hak
Masyarakat Hukum Adat
Belum Sudah Diakui
Diakui Pengakuan Dasar Hukum Pengakua Dasar Hukum
dengan n dengan
Perda SK Bupati
Margo Suku Mukim Qanun Kabupaten Seko SK Bupati Luwu

151
IX Lango Aceh Barat No 3 Utara No. 300 Tahun
tahun 2010 yang 2004 Tentang
mengatur Pengakuan
Pemerintahan KeberadaanMasyarak
Mukim di at Adat Seko
Kabupaten Aceh
Barat Peraturan Daerah
Kabupaten Luwu
Utara No. 12 Tahun
2004 Tentang
Pemberdayaan,
Pelestarian,Pengemba
ngan
Adat Istiadat dan
Lembaga Adat

Ammatoa Mukim Qanun Kabupaten Marga Keputusan Bupati No.


Pidie No 7 tahun 146/DIS-BUNHUT/2
Kajang Beungga Serampas
2011 tentang 015
Pemerintahan tentang Penetapan
Mukim Hutan
Adat Desa Rantau
Kermas
Kecamatan Jangkat
Kabupaten Merangin
(Rantau Kermas
merupakan salah satu
desa dalam wilayah
Serampas)
Ketemenggu Malalo Tigo Peraturan Daerah Kasepuhan Surat Keputusan
Kabupaten Tanah Karang Bupati
ngan Desa Jurai
Datar Nomor. 4 Lebak Nomor:
Tapang Tahun 2008 430/kep-238/Disdikb
tentang Nagar ud/2013 tentang
Semadak
Pengakuan
keberadaan
masyarakat adat di
wilayah Banten
Kidul.

Ketemenggu Kampong Perda Kabupaten


Paser No. 3 tahun
ngan Desa Mului
2000 tentang
Belaban Ella Pemberdayaan,
Pelestarian,
Perlindungan dan

152
Pengembangan
Adat Istiadat dan
Lembaga Adat.

Ngata Perda Kab Sigi No


15 tahun 2014
Marena
tentang
pemberdayaan dan
perlindungan
Masyarakat
Hukum adat

Suku Tau Perda Kabupaten


Morowali No. 13
Taa Wana
Tahun 2012
Posangke tentang Pengakuan
dan Perlindungan
Masyarakat hukum
Adat Suku Wana

Sumber : Penelitian HuMa tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat.

Berdasarkan tabel 1 tersebut di atas meskipun pengakuan


masyarakat hukum adat, dalam bentuk pengaturan kelembagaan adat,
pengukuhan keberadaan dan penetapan hutan adat, telah dilakukan di
sebagian besar daerah namun hanya sebagian yang dapat dilanjutkan ke
tahapan pelepasan dari hutan negara, dan pengakuan hak. Faktor yang
menyebabkan sebagian besar daerah belum bisa diteruskan kedua tahapan
berikutnya karena masih bersifat umum. Pengukuhan keberadaan tidak
dilakukan pada masyarakat hukum adat tertentu namun pada masyarakat
hukum adat secara umum pada suatu daerah. Untuk masyarakat adat yang
keberadaannya sudah dikukuhkan melalui Perda atau SK Bupati/Walikota
yang sudah bersifat spesifik, juga belum bisa diteruskan ke langkah
berikutnya karena tidak memuat letak dan batas-batas wilayah adat
sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 24 A No. P.62/Menhut-II/2013 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2012

153
tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.Di samping itu masih daerah yang
masih dalam tahapan penyusunan rancangan peraturan daerah. Sebagian
bahkan belum menyusun rancangan produk hukum daerah sama sekali.

D. Simpulan
Kabupaten Melawi belum memberikan pengakuan terhadap
eksistensi masyarakat hukum adat. Hal tersebut ditunjukkan dengan belum
adanya produk hukum yang mengatur keberadaan masyarakat hukum adat
baik secara umum maupun spesifik. Dikarenakan belum ada produk hukum
yang mengatur maka di Kabupaten Melawi rawan terjadinya konflik agrarian
dengan masyarakat hukum adat.

E. Saran
Pemerintah Kabupaten Melawi diharapkan membuat produk hukum
daerah yang mengakui masyarakat hukum adat sehingga dapat berlanjut ke
tahapan pelepasan hutan adat dari kawasan hutan negara. Produk hukum
dapat bersifat umum atau khusus yang menyatakan penetapan terhadap
masyarakat hukum adat.

F. Daftar Pustaka

154
Abdul Wahab Usman. 2013. Penguasaan dan Penetapan Hutan Adat Setelah
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Jurnal Beraja
Niti. Volume 2 Nomor 12 Tahun 2013.

Agustinus Agus dan Sentot Setyasiswanto. 2012. “Kesiapan Pemerintah


Daerah Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat untuk Menyelesaikan
Konflik Agraria”. Kertas Kerja Epistema Nomor 08/2012. Jakarta:
Epistema Institute

Boedi Harsono. 2007. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan


Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya. Jakarta:
Penerbit: Djambatan

HuMa Indonesia dengan Pusat Studi Hukum Adat Djojodigoeno FH UGM..


“Penetapan Hutan Adat Menuju Pengakuan Hak Masyarakat Adat”. Kertas
Kebijakan. Yogyakarta: FH UGM

Iqbal Perdana, Hak ulayat dan Contohnya, terdapat dalam,


https://sukatulis.wordpress.com/2012/04/25/hak-ulayat-dan-contohnya/ ,
13 Maret 2017, 21.15

Widodo dkk. 2015. Pedoman Registrasi Wilayah Adat Badan Regristasi


Wilayah Adar (BRWA). Bogor: BRWA

Yance Arizona, Mengintip Hak Ulayat Dalam Konstitusi di Indonesia,


https://yancearizona.files.wordpress.com/2008/07/mengintip-hak-ulayat-
dalam-konstitusi-di-indonesia.pdf, 13 Maret 2017, 22.00

ASh. 2012. “Aliansi Masyarakat adat Gugat UU Kehutanan”,


http://www.hukumonline.com/berita/baca/ lt4f672033a97be/aliansi-
masyarakat-adat-gugat-uu-kehutanan, 13 Maret 2017, 22.05

Yusrizal. 2014. “Mengakui Hutan Adat, Menjaga Tembawang di Tujuh Desa


Melawi”, http://www.mongabay.co.id/2014/07/10/mengakui-hutan-adat-
menjaga-tembawang-di-tujuh-desa-melawi/, 13 Maret 2017, 22.10

155

Anda mungkin juga menyukai