Anda di halaman 1dari 18

MAHKAMAH KONSTITUSI,

PEMENUHAN HAM WARGA NEGARA


DALAM PENGELOLAAN SUMBER
DAYA ALAM

Rate This

Oleh: Harli Muin[1]

Abstrak

Makalah ini bertujuan menggambarkan peran kritis Mahkamah Konstitusi dalam pemenuhan
hak-hak dasar warga negara terkait dengan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Dalam menyusun makalah ini, penulis menggunakan data dan informasi yang bersumber dari
literature review, desk study, observasi lapangan, dan refleksi yang disarikan dari
pengalaman pribadi penulis yang telah cukup lama berkecimpung dalam kegiatan advokasi
sebagai aktivis LSM lingkungan dalam membela dan memperjuangkan hak-hak komunitas
lokal vis a vis kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang sering kali
menihilkan hak-hak dasar sebagian warga negara. Gagasan utama makalah ini adalah untuk
memberikan rekomendasi atau koreksi terhadap kebijakan pemerintah melalui kekuasaan
Mahkamah Konstitusi dalam mengelola sumber daya alam yang selama ini belum memenuhi
kalau tidak dikatakan jauh rasa keadilan warga negaranya. Kebijakan yang ada sering kali
melahirkan konflik yang tidak jarang membawa korban jiwa. Konflik pengelolaan sumber
daya alam ini menunjukkan trend peningkatan dari tahun ke tahun.. Sebenarnya, konflik-
konflik tersebut tidak perlu terjadi karena perangkat hukum yang ada sebagaimana tercantum
dalam UUD 1945, konvensi dan UU HAM telah menyediakan kerangka kerja bagi
pemerintah, rakyat dan pelaku bisnis dalam pengelolaan sumber daya alam. Karena konstitusi
(UUD 1945) merupakan hukum tertinggi yang mendasari semua kebijakan publik di
Indonesia, dan Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang memiliki kekuasaan dan
wewenang dalam menjaga dan mengawal konstitusi, maka peran MK ini menjadi strategis
sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan HAM bagi seluruh warga negara dalam
pengelolaan sumber daya alam.

Key words: Pengelolaan Sumber Daya Alam, HAM, UUD 1945 dan Mahkamah
Konstitusi.
A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya alam sangat berlimpah yang bila
dimanfaatkan dan dikelola secara tepat akan dapat meningkatkan dan menjamin
kesejahteraan seluruh warganya. Dari ujung timur hingga ujung barat negara kepulauan ini,
terdapat beraneka ragam kekayaan alam baik hayati maupun non-hayati. Kekayaan hayati
seperti hutan tropis yang menyimpan aneka ragam biota dan ekosistem yang vital bagi
kehidupan masyarakat. Sedangkan kekayaan non-hayati berupa sumur minyak, ladang gas,
logam dan mineral yang sangat berlimpah[2]. Tidak heran bila banyak perusahaan multi-
nasional yang beroperasi di negara yang kaya ini. Namun, sayang sekali bahwa kekayaan
alam ini sering kali menciptakan ironi bagi sebagian besar warganya. Alih-alih sebagai
anugerah, pengelolaan sumber daya alam tersebut malah menimbulkan bencana dan kegetiran
berupa pelanggaran hak-hak warga. Pelanggaran hak ini termanifestasi dalam bentuk ketika
masyarakat lokal harus kehilangan tanah yang dirampas oleh korporasi yang didukung oleh
pemerintah dan aparatusnya. Pelanggaran HAM ini nampak dari maraknya kasus sengketa
lahan yang kerap berujung pada kehilangan nyawa di pihak warga lokal ketika
mempertahankan hak atas tanah mereka[3] (Rahmatullah, 2009).. Fakta-fakta yang
menampilkan kekerasan dan pelanggaran HAM ini secara gamblang menunjukkan bahwa
pengelolaan sumber daya alam dan sistem agraria di Indonesia telah menyimpang dari spirit
konstitusi dan cita-cita revolusi kemerdekaan 1945 pasal 33 (1 Sumber daya dan kekayaan
alam semestinya menjadi dimanfaatkan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi .
Negara sering kali abai dalam memenuhi kewajibannya dalam memberikan jaminan dan
perlindungan atas hak asasi warganya, malah dalam banyak kasus negara yang
direpresentasikan oleh pemerintah justru menciptakan regulasi yang berujung konflik dan
pembumihangusan hak-hak masyarakat lokal.

Untuk mengatasi ekses yang ditimbulkan oleh salah arah pengelolaan sumber daya alam ini,
UUD 1945 sebagai dasar bagi semua kebijakan publik sebenarnya sudah memberikan
jaminan penuh atas hak-hak seluruh warga negara yang tercermin dalam beberapa pasal yang
mengatur pengelolaan sumber daya alam dengan menempatkan dan Hak Asasi Manusia
(HAM) warga negara dalam prioritas. Di tingkat internasional, Indonesia merupakan salah
satu negara yang turut meratifikasi sembilan instrumen inti hukum international mengenai
HAM. Karena itu, pemerintah Indonesia terikat oleh kewajiban, sebagimana diperintahkan
oleh konstitusi dan konvensi internasional, untuk melindungi, mempromosikan, menegakkan
dan memenuhi HAM bagi seluruh warganya. Pada tingkat tertentu, negara telah menerapkan
perintah konstitusi tersebut yang tercermin dalam pembentukan institusi-institusi dengan
tugas membela hak-hak warga seperti misalnya mendirikan Komnas HAM dan Mahkamah
Konstitusi (MK), dua contoh lembaga yang dimaksudkan untuk menjadi sarana bagi warga
negara untuk mendapatkan keadilan hukum dan memulihkan hak-hak konstitusionalnya.
Meskipun lembaga-lembaga terkait telah ada, pemenuhan HAM bagi warga negara masih
menyisakan sejumlah persoalan, utamanya masalah keadilan bagi masyarakat lokal yang
tinggal di sekitar hutan yang rentan dengan kekerasan dan pelanggaran HAM. Kekerasan dan
konflik ini terutama terkait dengan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya
alam hutan atau rencana pemerintah yang hendak mengubah fungsi hutan yang
mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak komunitas masyarakat lokal dalam
memanfaatkan hutan tersebut. Sudah banyak kasus yang terjadi, dan kecenderungannya
bukan malah menurun, malah sebaliknya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tidak
sedikit kasus pelanggaran HAM ini merupakan produk kebijakan pembangunan masa lalu
yang keliru, kini mencuat ke permukaan. Kini, banyak petani kehilangan tanah, masyarakat
adat kehilangan wilayah hutan mereka, komunitas lokal kehilangan sarana sosial akibat
expansi perusahaan padat modal. Produk kebijakan yang memberi ruang bagi korporasi untuk
berkekspansi hingga merambah hutan melahirkan persoalan sosial baru berupa masyarakat
adat dan masyarakat lokal di sekitar hutan yang termiskinkan.

Pengelolaan sumber daya alam yang salah arah yang berujung pada pelanggaran HAM
tersebut masih terus terjadi sampai saat ini. Karena masalah ini terkait dengan produk
kebijakan dan regulasi yang kental dengan berbagai kepentingan di dalamnya, maka di
sinilah keberadaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan uji materi UU
terhadap produk-produk UUD 1945, kebijakan dan regulasi terkait dengan pemenuhan hak
asasi warga negara terhadap pengelolaan sumber daya alam menjadi strategis. Mahkamah
Konstitusi dengan kewenangan dan keputusan hukumnya yang mengikat dalam mengawal
konstitusi memberikan optimisme bagi pemenuhan HAM warga negara. Tidak heran bila
warga negara menyimpan harapan besar terhadap MK dalam menyelesaikan sengketa yang
terkait dengan produk UU atau kebijakan atau legislasi selama 10 tahun kiprah lembaga ini.

Meski menjanjikan harapan besar atas kinerja lembaga ini beserta kewenangan luar biasa
yang dimilikinya, Masih ada persoalan lain yang dapat menggerus kepercayaan terhadap
lembaga ini. Persoalan ini terkait dengan integritas para hakim yang memutus perkara yang
diadukan ke MK. Karena bukan tidak mungkin hakim konstitusi tidak bebas kepentingan dan
menyalahgunakan kewenanangan dengan memberi putusan hukum yang justru menjauhkan
rasa keadilan dari masyarakat, yang berakibat pada rendahnya legitimasi dan makna keadilan
dalam pemenuhan HAM warga negara. Oleh karena itu, selain meningkatkan kapasitas hakim
konstitusi, perlu juga pengawasan internal dan eksternal. Apa lagi sektor sumber daya alam
merupakan sektor yang memiliki nilai ekonomi tinggi sehingga berpeluang menumpulkan
nurani para hakim MK yang justru akan menghancurkan kredibilitas MK di mata publik.
Orang tidak menduga bagiaimana Akil Muhtar, mantan ketua MK tersandung kasus suap di
MK.

B. Pemasalahan dan Batan Masalah

Pembahasan mengenai pengelolaan sumber daya alam, HAM, konstitusi dan kewenangan
Mahkamah Konstitusi merupakan area bahasan yang luas. Baik yang berhubungan langsung
dengan tema tersebut, maupun yang tidak langsung. Oleh karena itu, pembahasan masalah
dalam makalah ini hanya difokuskan pada tiga masalah pokok. Pertama, bagaimana arah
pengelolaan sumber daya alam dan pelaksanaannya? Kedua, bagaimana hubungan HAM,
pengelolaan sumber daya dan UUD 1945? Ketiga, apa hambatan dan tantangan MK dalam
memenuhi HAM warga negara?

C. Metode Penulisan

Metode penelusuran data dan informasi yang digunakan dalam penulisan makalah meliputi
studi literatur berupa buku, jurnal dan berita atau informasi yang dikumpulkan dari media
massa. Selain itu, penulis juga menggunakan desk study, observasi lapangan, dan
pengalaman sebagai seorang profesional di bidang advokasi terhadap pengelolaan sumber
daya alam.

Tinjauan pustaka (literature review) penulis gunakan dalam menyoroti HAM, PSDA, UUD
1945 serta Mahkamah Konstitusi. Fokus literature review ditujukan terutama pada konteks
praktek pengelolaan sumber daya alam yang referensinya bersumber dari Konsorsium
Pembaruan Agraria, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, KPSHK dan Walhi. Penulis juga
memanfaatkan sumber literatur lainnya berupa makalah yang disampaikan oleh Jimly
Asshiddiqie, dan Mahfud MD yang mengupas masalah yang terkait dengan dengan konstitusi
dan Mahkamah Konstitusi. Kedua narasumber tersebut adalah mantan ketua MK. Sementara
data dan informasi yang terkait dengan HAM, makalah ini mengambil sumber beberapa
jurnal dan sumber pustaka lainnya.

Desk study adalah metode pengumpulan data dan informasi dengan melakukan review
terhadap sejumlah dokumen dan laporan yang berhubungan dengan kebijakan pengelolaan
sumber daya alam dan implementasi kebijakan-kebijakan tersebut. Selain itu, pengalaman
sebagai professional yang terlibat dalam berbagai aktivisme advokasi masyarakat lokal dan
masyarakat adat yang bermukim di sekitar hutan juga merupakan sumber utama penyusunan
makalah ini.

D. Arah Pengelolaan Sumber Daya Alam


Dalam Pasal 33 1 UU Dasar 1945, pengelolaan sumber daya alam di Indonesia didasarkan
atas prisip kebersamaan dan kekeluargaan. Dari sini dapat dipahami bahwa prinsip dasar
pengelolaan sumber daya alam secara tegas harus mencerminkan prinsip-prinsip sosial dan
kesejahteraan bersama. Selanjutnya pada Ayat 2 pada pasal 33 dinyatakan bahwa bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
secara maksimum untuk kemakmuran rakyat (Setneg-RI, 2002). Sebagai pengejawantahan
dari semangat dalam pasal-pasal tersebut, prinsip pengelolaan sumber daya alam harus
dibangun di atas landasan demokrasi ekonomi, prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan
ekonomi nasional (Setneg-RI, 2002). Namun prinsip-prinsip ideal tersebut tidak sejalan
dengan praktek di di lapangan dimana penyelenggaraan pengelolaan sumber daya alam tidak
seperti apa yang diamanatkan oleh konstitusi. Pengelolaan sumber daya alam dipenuhi
konflik, ketidakadilan, mengabaikan prinsip keberelanjutan, dan usaha-usaha strategis
sebagian besar dikuasai oleh pihak asing. Akibat salah kelola ini, sumber daya alam sebagai
sumber ketahanan pangan masyarakat di daerah terancam. Celakanya lagi, yang paling
merasakan kepahitan dampak ini adalah komunitas masyarakat lokal dan komunitas
masyarakat adat yang berdiam di sekitar hutan.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melalui release persnya di akhir tahun 2012
melaporkan bahwa konflik agraria di tanah air selama tiga tahun terakhir ini terus
menunjukkan grafik peningkatan. Dalam release persnya tersebut, KPA menyebutkan bahwa
pada tahun 2010 terdapat sedikitnya 106 konflik agraria di Indonesia, meningkat menjadi 163
kasus di 2011. Terdapat peningkatan sebanyak 57 kasus konflik dari sebelumnya. Sementara
itu di tahun 2012 terdapat 198 kasus konflik yang berarti berarti terdapat kenaikan signifikan
dari tahun sebelumnya. Konflik-konflik ini selalu disertai dengan tingkat kekerasan yang juga
meningkat (KPA, 2012). Data yang dikumpulkan oleh KPA menyebutkan 156 orang petani
ditahan, 55 orang mengalami luka-luka dan penganiayaan, 25 petani tertembak, dan tercatat 3
orang tewas pada tahun 2012 (KPA, 2012). KPA juga mencatat bahwa sepanjang tahun 2012,
luasan are konflik mencapai lebih dari 963.411,2 hektar dengan melibatkan 141.915 kepala
keluarga (KK) dalam konflik agrarian di seantero tanah air. Dari deretan kasus tersebut,
terdapat 90 kasus di sektor perkebunan, 60 kasus di sektor pembangunan infrastruktur seperti
jalan dan jembatan; 21 kasus di sektor pertambangan, 20 kasus di sektor kehutanan, 5 kasus
di sektor pertanian tambak dan pesisir, dan 2 kasus di sektor kelautan dan wilayah pesisir
pantai (KPA, 2012).

Fakta-fakta yang diungkapkan oleh KPA di atas sebenarnya merupakan warisan persoalan
yang bermula yang ditinggalkan oleh kebijakan pembangunan pada masa Orde Baru. Pada
masa Orde Baru, konflik-konflik agraria ini tidak begitu nampak di permukaan sebagai akibat
kebijakan represif pemerintah. Konflik agraria ini seperti gunung salju di tengah samudera
yang nampak sebagian kecil saja di permukaan, namun di bawah menyimpan api konflik
yang luar biasa besar dan akan meledak sewaktu-waktu. Semua konflik ini bermuara pada
satu hal; ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Sebenarnya pada
tahun 2001 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menghasilkan ketetapan No.
IX/MPR/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Lahirnya
ketetapan MPR ini, dilatarbelakangi oleh konflik-konflik agraria dan pemanfaatan sumber
daya alam yang mendahuluinya. Ada beberapa isu kritis yang mendorong keluarnya
ketetapan ini, yakni, pertama, pengelolaan sumber daya alam dan agraria selama ini telah
menurunkan kualitas lingkungan, melahirkan ketimpangan struktur penguasaan dan
kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria yang memicu konflik dan
kekerasan. Kedua, TAP MPR ini juga sebagai respon terhadap peraturan perundangundangan
terkait kebijakan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang saling tumpang tindih dan
bertentangan (MPRRI, 2001). Sebagaimana hasil investigasi LSM dan media, pada
praktiknya telah terjadi tumpang tindih kewenangan antara instansi pemerintah dalam
pengelolaan sumber daya alam yang tidak efisien dan memicu konflik antara komunitas
masyarakat adat/lokal di satu pihak dan korporasi yang didukung oleh pemerintah di pihak
lain (Kompas, 2010).

Dalam TAP MPR tersebut disebutkan bahwa tujuan dari pembaruan agraria dan pengelolaan
sumber daya alam adalah penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan sumber daya alam/agraria. Pengimplementasian TAP MPR 2001 ini diharapkan
untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi
seluruh rakyat Indonesia (MPRRI, 2001). Namun sampai saat ini implemetasi dari ketetapan
tersebut masih jauh panggang dari api. Tidak jalannya ketetapan MPR tersebut dalam tataran
implementasi dapat dilihat dari beberapa regulasi di sektor sumber daya alam yang masih
mengabaikan hak kelola rakyat, seperti misalnya regulasi atas migas, air, perkebunan dan
mineral baru.

Bersamaan dengan lahirnya TAP MPR RI di bidang pembaruan agraria dan pengelolaan
sumber daya alam, pada zaman pemerintahan Megawati Soekarnoputri dikeluarkan UU
Migas No.22/2001 tentang pengelolaan Migas yang sama sekali tidak mencerminkan
keadilan. Lihat saja migas menjadi ajang para koruptor untuk memperkaya diri dan sebagai
pundi-pundi partai berkuasa untuk memperoleh suplai dana. Dimulai dari penghapusan
kontrol perusahaan negara terhadap pengelolaan migas baik di sektor hulu maupun di sektor
hilir, dan penentuan harga minyak yang diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar
membawa implikasi serius dimana rakyat semakin sulit untuk mendapatkan minyak sebagai
sumber energi. Bila ditinjau dari konstitusi Pasal 3 UUD 1945, seperti Migas misalnya,
industri hulu dan hilir dari sumber daya alam strategis ini seharusnya dikelola oleh negara,
bukannya justru diserahkan pada mekanisme pasar (Setneg RI, 2003).

Contoh ketidakadilan lainnya terkait dengan pengelolaan sumber daya alam adalah produk
regulasi UU No.7/ 2004 tentang pemanfaatan sumber daya air. Dalam produk UU ini air
diletakkan sebagai sumber daya alam yang dapat dikelola oleh sektor swasta (private
company). Kebijakan ini serta merta ditentang oleh para aktivis LSM, organisasi masyarakat
sipil dan komunitas masyarakat pengguna air (Setiawan, 2004). Bagi para aktivis lingkungan,
air adalah sumber daya yang tidak dapat diprivatisasi karena kebutuhan air merupakan hak
yang paling dasariah bagi setiap orang. Para aktivis ini meneriakkan ungkapan yang menarik
namun menggelitik bahwa orang bisa hidup tanpa cinta, namun tidak bisa hidup tanpa
air. Ungkapan yang disuarakan oleh para aktivis ini cukup sangat beralasan karena sebelum
adanya regulasi ini, konflik-konflik penggunaan sumber daya air baik yang ditimbulkan oleh
kebutuhan air bersih maupun untuk irigasi sudah marak terjadi di tanah air. Para aktivis ini
tidak sendiri menyuarakan keprihatinannya, organisasi keagamaan utama seperti
Muhammadiyah dan NU juga menentang dan menggugat regulasi privatisasi air ini(Atriana,
2009; Burhani, 2010). Sebagaimana konflik pertambangan atau hutan, konflik perebutan air
ini pun selalu menimbulkan korban. Pihak yang paling dirugikan dari persoalan privatisasi air
ini adalah petani kecil dan petani penggarap (buruh-tani) yang secara politik memiliki posisi
yang lemah (Lall, Heikkila, Brown, & Siegfried, 2008).

Penerbitan regulasi lainnya yang memantik ptotes keras dan konflik adalah regulasi yang
terkait dengan perkebunan dan mineral baru. UU perkebunan Nomor 18/2004 misalnya bagi
banyak kalangan tidak memberikan perlindungan bagi petani, merugikan kaum petani serta
melanggengkan konflik agraria. Sebaliknya, produk undang-undang ini lebih banyak
menguntungkan korporasi-korporasi perkebunan skala besar seperti kebun sawit dan hutan
tanam industri. Menurut para aktivis agraria, UU Perkebunan ini bertentangan dengan
semangat TAP MPR tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.

Demikian pula dengan produk regulasi tentang mineral baru. UU No. 4 Tahun 2009 tentang
pertambangan mineral dan batubara menuai kecaman dan protes karena lebih menempatkan
mineral baru sebagai komoditi yang dimaksudkan untuk menopang pertumbuhan ekonomi.
Produk regulasi ini mendorong perusahaan pertambangan semakin agresif dan ekspansif
dalam mengeksploitasi kekayaan alam yang berujung rusaknya lingkungan dan ekosistem.
Pengeluaran regulasi ini jelas memperlihatkan bahwa pemerintah tutup mata dengan
kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh usaha penambangan di sektor ini. Ada kesan
kuat bahwa pemerintah menjadikan tambang sebagai sektor ekonomi primadona, sehingga
membolehkan penambangan di kawasan hutan lindung yang sebelumnya tidak dibolehkan.
Kegiatan penambangan yang membolehkan merambah kawasan hutan lindung ini tercermin
melalui penerbitan Perpu No.1/2004 yang mengabaikan UU Kehutanan No.41/1999 terutama
Pasal 12. Banyak kalangan termasuk organisasi non-pemerintah menentang penerbitan
regulasi ini karena dianggap lebih pro-perusakan lingkungan ketimbang perlindungan
terhadap lingkungan terutama semangat untuk melindungi fungsi hutan sebagai daerah
tangkapan hujan.

Sebelum dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, telah ada produk undang-unang yang
mengatur kehutanan yakni Pasal 1(6), Pasal 4 (3 )dan Pasal 5 (2) di dalam UU No. 41 Tahun
1999. Dalam produk undang-undang, makna menguasai oleh negara terkait dengan control
terhadap sumber daya hutan dianggap terlalu dominan (MK-RI, 2012). Bagi masyarakat yang
hidup di sekitar hutan, terutama masyarakat adat, kontrol negara yang terlalu dominan
tersebut dalam beberapa hal telah mengabaikan hukum adat dan melahirkan sejumlah konflik
antara masyarakat adat di satu sisi dengan pemerintah c.q departemen kehutanan di sisi lain
terkait pengelolaan sumber daya hutan (AMAN, 2010). Kerap kali konflik ini berujung pada
kekerasan. Ada hal lain yang paling menyesakkan dalam pusaran konflik ini yakni
pengelolaan sektor kehutanan selalu dipenuhi oleh praktik-praktik pemerintahan dan
birokrasi yang korup(Barr & Sayer, 2012).
Konflik-konflik sumber daya alam yang antara lain ditimbulkan oleh semakin angkanya
bahan baku yang disediakan alam akibat salah kelola semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Koflik-konflik ini tidak hanya semata-mata dipicu oleh persoalan yang paling dasariah seperti
persoalan mata pencaharian untuk menopang hidup bagi masyarakat lokal/komunitas adat di
sekitar hutan tersebut, ada persoalan lain lagi yang berdiri di belakang konflik-konflik
tersebut yakni terkait dengan kebutuhan untuk mengekspresikan nilai-nilai spiritualitas dan
identitas kebudayaan secara bebas dan aman. Bagi komunitas lokal/masyarakat adat yang
hidup dan tinggal di sekitar hutan, ekspresi identitas budaya dan spiritualitas jelas terkait erat
dengan lingkungan dimana mereka hidup dan berdiam. Oleh karena itu, perusakan hutan dan
pengalihan fungsi hutan jelas merupakan ancaman tidak hanya terhadap sumber kehidupan
mereka, tetapi juga mengancam identitas adat dan budaya mereka. Hak-hak untuk
mengekspresikan identitas ini secara tepat diakui oleh Human Development Report yang
merilis tujuh tipe pemenuhan kebutuhan manusia yang antara lain memasukkan kebutuhan
akan keamanan lingkungan hidup dan keamanan identitas budaya sebagai kebutuhan
universal setiap manusia(Gasper, 2006). Pengertian kecukupan bagi manusia secara universal
maksudnya adalah kecukupan tidak hanya ditinjau dari terpenuhinya kebutuhan pokok
manusia yang berupa pangan dan sandang, tetapi juga mencakup pemenuhan kebutuhan
kebebasan dan kemerdekaan (Fukuda-Parr, 2003). Terkait dengan potensi sumber daya alam
dalam menyediakan semua jenis kebutuhan dalam pengertian cukup lima jenis kecukupan,
perkembangan yang terjadi di Indonesia sudah mulai mengarah pada situasi yang
mengkhawatirkan dimana konflik, kekeringan, kelaparan, banjir yang kerap melanda tiap
tahun mengindikasikan semakin berkurangnya daya dukung lingkungan dalam menopang
kebutuhan masyarakatnya. Kejadian-kejadian tersebut merupakan sinyalemen bagi ancaman
kecukupan sumber penghidupan komunitas.

F. Hak Asasi Manusia, dan Sumber Daya


Alam

Tidak dapat dipungkiri bahwa sumber daya alam merupakan kekayaan yang bernilai ekonomi
tinggi dan dapat menjadi sumber pemasukan yang mendorong pertumbuhan ekonomi suatu
negara. Paradigma inilah yang mendorong kegiatan ekonomi agresif yang mengancam
kelestarian hutan dan sumber daya alam lainnya. Bagi masyarakat adat, pemanfaatan sumber
daya alam tidak hanya dimaknai sebagai untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sandang,
namun lebih dari itu hutan dan lingkungan di sekitar mereka memiliki nilai budaya dan
spiritualitas mereka. Bagi masyarakat adat, hutan dan lingkungan mereka adalah bagian
integral dari identitas keberadaan mereka. Dalam persfektif agama suku, seperti To-Wana
yang bermukim di sekitar Taman Nasional Morowali, hutan dianggap sebagai entitas
kehidupan yang harus dilestarikan karena hutan bagi mereka tidak hanya memenuhi
kebutuhan materi tetapi juga memenuhi kebutuhan yang bersifat non-materi. Oleh karena itu,
exploitasi sumber daya alam yang menyebabkan kerusakan hutan dilihat tidak hanya
menghancurkan mata pencaharian mereka tetapi juga menghancurkan identitas kultural
mereka. Dalam tingkat tertentu, negara turut andil dalam perusakan ini dengan menerbitkan
undang-undang atau regulasi yang sebenarnya melanggar HAM komunitas-komunitas adat
ini.

Selain apek-aspek ekonomi dan kultural tersebut di atas, hubungan HAM dan pengelolaan
sumber daya alam dapat juga dilihat dari beberapa aspek penting lainnya. Paling penting
adalah memastikan sumber daya alam dikelola berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana yang
tercantum di dalam deklarasi universal hak asasi manusia[4]. Sampai sejauh ini, ada empat
generasi rumusan hak asasi manusia yang sudah diakui sebagai hak-hak yang harus dipenuhi,
yakni rumusan HAM generasi pertama yang menyangkut hak sipil dan politik, generasi
rumusan HAM kedua menyangkut hak ekonomi sosnial budaya, generasi ketiga berkenaan
dengan pembagunan dan generasi kempat menyoroti kewajiban dan tanggung jawab negara
dalam hak-hak dasar warganya.

Terkait dengan prinsip pengelolaan sumber daya alam, terutama kovensi hak sipil, politik,
ekonomi sosial dan budaya yang dijamin dalam UUD 1945 merupakan komponen hak-hak
yang dapat dikurangi dan tak dapat dikurangi. Pernyataan ini menyiratkan bahwa ada hak-hak
yang tidak membolehkan intervensi (hak absolut) dan ada hak-hak yang membutuhkan
intervensi. Sebagian besar hak-hak yang tidak dapat dikurangi adalah hak-hak sipil dan
politik. Riyadi menyebut hak-hak tersebut tidak boleh diintervensi oleh negara, karena bila
terjadi intervensi maka akan rentan terjadi pelanggaran HAM (Riyadi, 2012). Human Rights
Centre sebagaimana dikutip oleh Riyadi membagi hak-hak manusia menjadi dua yakni non-
derogable rights atau hak-hak yang sifatnya absolut, atau hak-hak yang tak dapat dikurangi
degorable rights, yakni hak-hak yang dibatasi pemenuhannya oleh Negara (Centre, 2011)[5]..

HAM dalam UUD 1945 sebagai prinsip dasar yang melandasi pembuatan produk undang-
undang maupun produk hukum turunan lainnya tidak boleh bertentangan dengan prinsip
HAM yang ada dalam konstitusi 1945 tersebut. Secara garis besar, jaminan hak asasi manusia
dalam Undang-Undang Dasar 1945 mencakup hak sipil dan politik, hak ekonomi, hak sosial
dan budaya, hak-hak kolektif, hak atas pembangunan dan lain-lain. Jaminan hak asasi
manusia dalam UUD 1945 RI tersebar dalam sejumlah pasal. Pasal tentang hak sipil dan
politik terdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut: Pasal 18B (2), 26, 27-28, 28A-28J (Bab
XA), 29 mengenai kebebasan beragama, Pasal 23 (1) tentang APBN untuk kemakmuran
rakyat mengatur hak social dan budaya, Pasal 31-32 mengenai pendidikan dan kebudayaan,
Pasal 33-34 mengenai ekonomi dan kesejahteraan sosial; Pasal 30 tentang pertahanan dan
keamanan yang menjamin hak berpartisipasi dalam pembangunan dan bela negara.

Dari empat kelompok generasi rumusan hak asasi manusia tersebut di atas, semuanya dapat
ditemukan dalam UUD 1945. Jimly Asshiddiqie memastikan keempat kelompok generasi
rumusan HAM tersebut tercermin dalam konstitusi kita, dan lebih lanjut merincinya sebagai
berikut, pertama, hak sipil dan politik yang terbagi ke dalam empat belas jenis hak[6]. Hak-
hak tersebut mencakup hak untuk hidup, bebas dari perbudakan dan lainnya . Kedua, hak-hak
ekonomi, sosial, dan budaya yang meliputi 13 sub-kelompok hak-hak individu sebagai warga
negara[7]. Ketiga, hak-hak khusus dan hak atas pembangunan yang meliputi tujuh sub-
kelompok HAM[8]. Keempat, hak-hak yang mengatur tanggung jawab negara dan kewajiban
asasi manusia yang meliputi empat sub-jenis hak (Asshiddiqie, 2005).[9]

G. Mahkamah Konstitusi, Pemenuhan


HAM dan Pengelolaan SDA

Menurut Pasal 28 I Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, negara berkewajiban untuk
melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi hak asasi manusia. Ada beberapa
lembaga yang didirikan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak warga negara seperti Komnas
HAM dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi sejauh ini masih dipandang mampu
memberikan harapan bagi penegakkan hak asasi manusia di tanah air.Dalam rentang waktu
kurang lebih sepuluh (2003-2012) masa kiprahnya, lembaga ini telah menangani 532 perkara
pengujian materi undang-undang. Dari jumlah tersebut sebanyak 460 kasus dapat
diselesaikan (Panitia-Konas, 2013). Meskipun demikian, lembaga ini masih memiliki perlu
banyak berbenah dalam melakukan uji materi UU yang berkaitan dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam.

MK adalah sebuah institusi yang diberi kewenangan dalam UU1945 sebagai penjaga dan
pengawal konstitusi yang diatur oleh UU Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi memiliki empat wewenang yang diatur dalam Pasal
24C (1) UUD 1945 dan Pasal 10 (1), (2). Keempat kewenangan itu adalah melakukan uji
materi terhadap suatu produk undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan
mengkonfrontasikannya dengan konstitusi tetinggi yakni Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 [10](MK, 2004; Setneg-RI, 2003). Selain itu, Mahkamah Konstitusi
memiliki satu kewajiban yang diatur dalam Pasal 24C (2) UUD 1945 dan pasal 10 (3) yang
menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR
atau Presiden yang diduga melanggar hukum dan atau melakukan pebuatan tercela[11]
(Setneg-RI, 2003). Dalam Pasal 10 UU Nomor 24/2003 dinyatakan bahwa MK berwenang
memanggil para pihak yang dibutuhkan keterangannya (MK, 2004). Melihat tingginya
kewenangan yang dimilikinya, dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan
lembaga peradilan tertinggi yang menjamin prinsip-prinsip egalitarianisme (Mahfud,
2005).[12]

Meskipun sangat besar kewenangannya, Mahkamah Konstitusi memiliki beberapa kelemahan


dalam menafsikarkan pengujian materi UU yang terkait dengan pengelolaan sumber daya
alamantara lain karena isu ini berbeda dengan isu lainnya. Tiap kelompok masyarakat menilai
sumber daya alam dari sudut pandang yang berlainan. Kelompok masyarakat adat, misalnya,
berpandangan bahwa hutan bukan hanya sumber yang meyediakan kebutuhan material
semata-mata, tetapi juga dipandang sebagai bagian integral dalam kebudayaan dan
spiritualitas mereka. Lain lagi bagi kelompok bisnis yang melihat sumber daya alam sebagai
komiditi yang bernilai ekonomidan keuntungan materi. Bagi pemerintah sendiri, sumber daya
alam dilihat sebagai sumber devisa bagi Negara dalam bentuk penerimaan pajak. Perbedaan
paradigm dalam melihat fungsi kekayaan alam ini memungkinkan terjadinya bias dalam
penafsiran dan pemahaman dalam memperlakukan sumber daya alam. Perbedaan cara
pandang ini telah melahirkan konsekuensi-konsekuensi ekonomi, sosial, dan keamanan yang
serius berupa konflik sebagaimana direlease oleh KPA,.

Kedua, soal klaim dalam pengelolaan sumber daya alam sebagaimana yang terlihat pada
kasus uji materi UU Nomor 41/1999 tentang kehutanan dimana dalam Pasal 1 (6) dari
undang-undang tersebut menegaskan klaim negara atas semua wilayah hutan termasuk hutan
adat yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Klaim ini juga Pernyataan
disebutkan dalam Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (2) (MoFRI, 1999). Organisasi
Masyarakat Adat yang diwakili oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman)
menganggap ketentuan dalam UU kehutanan tersebut tidak sejalan dengan eksistensi dan
hak-hak masyarakat adat atas kawasan hutan yang terletak dalam wilayah hukum adat mereka
(MK-RI, 2012). Bagi masyarakat adat, ketentuan dalam undang-undang ini dirasa janggal,
karena telah mengabaikan hak-hak mereka atas wilayah hutan yang dikuasai turun-temurun
yang dimanfaatkan untuk menopang hidup komunitas mereka. Dengan diterbitkannya
undang-undang tersebut, komunitas-komunitas adat ini diharuskan harus minta izin terlebih
dahulu dari pemerintah c.q departemen kehutanan. Untungnya, MK mengabulkan gugatan
masyarakat adat ini.

Ketiga, peranan MK dalam menjadikan dirinya sebagai lembaga yang mampu memenuhi rasa
keadilan bagi warga Negara. Besarnya harapan dan kepercayaan ini tidak lepas dari
kemampuan dan pendekatan yang diterapkanMK dengan menjadikan hak asasi manusia
sebagai dasar dalam menyelesaikan sengketa di bidang sumber daya alam. Pendekatan HAM
ini terkait dengan dengan uji materi suatu produk undang-undang atau regulasi yang terkait
dengan pengelolaan hutan dan sumber daya alam lainnya. Keputusan yang dihasilkan MK
mengacu pada dua hal pokok yakni interpretasi HAM dan melepaskan pertimbangan hukum
dari unsur-unsur kepentingan politik. Dalam uji materi undang-undang MK berpegang pada
asas keadilan dan HAM yang telah dijamin oleh konstitusi tertinggi.. Sejalan dengan itu,
Michael Perry mengajukan dua pendekatan aspek utama yang harus dibedakan secara
mendasar dalam pengambilan keputusan, yakni interpretasi dan non-interpretasi. Perry tidak
menemukan kesulitan dalam melakukan claim legitimacy terhadap pengujian interpretasi (J.
Perry, 1982). Perry menggap bahwa pengujian non-interpretative merupakan hal penting dari
peradilan konstitusi yang berhubungan dengan hak asasi manusia dan bagaimana legitimasi
hokum tersebut dibangun (J. Perry, 1982).

Diluar itu, konvesi HAM menyediakan dokumen normatifdengan memberikan penekanan


pada dampak pengelolaan sumber daya alam terhadap hak-hak komunitas yang terkena
dampak tersebut (UN, 2012) serta menyediakan kerangka pemulihan bagi komunitas atau
warga negara yang dilanggar hak-haknyasehingga dampak yang luar biasa dan mengancam
kehidupan komunitas yang berlangsung beberapa generasi bisa dihindari. Berbeda dengan
produk undang-undang untuk sektor lainnya, UU pengelolaan sumber daya alam memiliki
dampak yang luas, bukan hanya bagi lingkungan hidup tetapi juga bagi kehidupan manusia
selama beberapa generasi selanjutnya. Undang Udang N UU Nomor 5/1990 tentang
keanekaragaman hayati dan sumber daya alam, misalnya, telah menyebabkan ratusan kepala
keluarga kehilangan hak atas tanah dan menyebabkan puluhan orang kehilangan nyawa dan
sebagian lainnya harus mendekam dalam penjara akibat yang ditimbulkan oleh pemberlakuan
undang undang tersebut. Di sektor kehutanan, undang-undang tersebut memberikan dampak
yang luas sebagai implikasi peralihan hak pengelolaan dan penguasaan hutan kepada
korporasi atau negara yang menihilkan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal di
sekitar hutan. Sebagai contoh, PT. Newmont Minahasa Rayatelah melakukan pencemaran di
teluk Buyat, Sulawesi Utara dan dampaknya baru tampak ketika puluhan tahun kemudian
sejak pertama kali beroperasi. Kasus PT. Newmont ini diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan bagi Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusan dalam kasus-kasus serupa.

H. Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan
Kesimpulan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Pengelolaan sumber daya alam sekarang ini telah menyimpang dari cita-cita
kemerdekaan dan perintah konstitusi. Buktinya, pengelolaan sumber daya alam yang
seharusnya menjadi sarana untuk menyediakan kesejahteraan bagi warga negara,
malah menimbulkan konflik, kekerasan, dan penghilangan hak atas tanah warga
negara dan mengancam mata pencaharian masyarakat yang bermukim di sekitar
hutan. Terlepas masih adanya perdebatan, pelanggara HAM terjadi karena exploitasi
sumber daya alam yang merusak hutan, sumber daya air dan fungsi alami hutan telah
mengalienasikan komunitas adat dan masyarakat lokal atas hak ekonomi, social, dan
kebudayaan mereka.
2. Definisi HAM saat ini sudah memasuki generasi ke-empat, dimulai dari generasi hak
sipil dan hak politik, hak sosial ekonomi dan budaya, hak atas pembangunan dan
kewajiban pemerintah untuk memenuhi HAM warganya. Dari keempat generasi itu,
semuanya sudah teraktualisasi dalam konstitusi negara, UUD 1945, beserta di
dalamnya 40 klausul mengenai HAM. Dari segi ini, dasar implementasi HAM
semakinmemungkinkan dilaksanakan. Namun hal itu juga, bergantung pada
kemampuan aparat negara memahami, menjabarkan, dan mengaplikasikan HAM ke
masyarakat.
3. Dengan kewenangan besar yang dimiliki Mahkamah Konstitusi, menciptakan harapan
bagi warga negara untuk memenuhi rasa keadilan dan pemenuhan hak asasi mereka.
Putusan hukum Mahkamah Konstitusi yang final, mengikat serta memiliki status
tertinggi yang mengatur penyelenggaraan negara berdasar prinsip demokrasi, maka
harapan besar dapat disematkan kepada MK dalam melindungi hak asasi warga
negara yang sebenarnya telah mendapatkan jaminan penuh dalam konstitusi. Dengan
demikian, keberadaan MK telah menjadikan konstitusi sebagai norma yang harus
dipatuhi dan menjamin hak-hak semua warga Negara. Meski demikian, , MK juga
memiliki celah bagi pemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi yang terkait
dengan integritas para hakimnya..
4. Karena masalah hak asasi manusia memiliki aspek yang luas dan menyentuh berbagai
dimensi, Mahkamah Konstitusi perlu membentuk dan mengembangkan kapasitas
hakim yang menguasai persoalan sumber daya alam dan pengelolaan hutan..

Rekomendasi
Rekomendasi dari makalah ini adalah:

Memperkuat kapasitas sumber daya manusia hakim konstitusi untuk memahami


konteks hak asasi manusia yang dapat dikurangi dan hak yang tidak dapat dikurangi
dalam kerangka pemenuhan HAM yang terkait dengan kewajiban negara terhadap
warganyamengingat HAM bukanlah isu yang bersumber dari dalam negeri, melainkan
tumbuh dan berkembang dalam konteks Barat sehingga para hakim MK mesti
menguasai isu-isu HAM dalam negeri serta konteks partikularitasnya.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi perlu diperluas mulai dari putusan hingga pada
eksekusi pelaksaan eksekusi. Namun kewenangan yang luas ini perlu pengawasan
yang ketat pula, sehingga dapat meminimilisir terjadinya penyalahgunaan
kewenangan oleh hakim konstitusi. Selain pengawasan internal, juga perlu melibatkan
pengawas external yang melibatkan gabungan masyarakat sipil dan organisasi lainya
yang dibentuk dalam satu dewan pengawasan terhadap lembaga peradilan yang terdiri
dari berbagai elemen masyarakat yang terkena dampak dari pemberlakuan produk
undang-undang sumber daya alam. Selain itu, registrasi pendaftaran perkara di
peradilan MK perlu dilakukan sentralisasi secara terpadu (online) yang cepat dan
terbuka untuk menjamin kredibilitas putusan yang dihasilkan.

Mengingat pengelolaan sumber daya alam telah didesentralisasikan ke daerah


kabupaten, makakewenangan Mahkamah Konstitusi perlu juga dipeluas ke daerah
sehingga dapat mengadili Peraturan Daerah yang bertentangan dengan UUD 1945.
Dengan daya jangkauan yang diperluas ini, peluang terjadinya kerawanan akan
semakin besar. Oleh karena itu, MK perlu diperkuat dengan penambahan jumlah
personel hakim konstitusi untuk menghindari penumpukkan kerja sehingga asas
mudah, cepat dan murah bisa terjaga.
Daftar Pustaka

AMAN. (2010). Country Technical Notes on Indigenous Peoples Issues Indonesia. Jakarta:
AMAN.

Atriana, R. (2009). Tolak Privatisasi Air, Muhammadiyah Pimpin Gugat UU ke MK,


DetikNews. Retrieved from http://news.detik.com/read/2013/09/24/194131/2368350/10/tolak-
privatisasi-air-muhammadiyah-pimpin-gugat-uu-ke-mk

Barr, C. M., & Sayer, J. A. (2012). The political economy of reforestation and forest
restoration in AsiaPacific: Critical issues for REDD+. Biological Conservation, 154, 9-19.
doi: 10.1016/j.biocon.2012.03.020

Burhani, R. (2010). PBNU: Tinjau Ulang UU Privatisasi Air, Antara. Retrieved from
http://news.detik.com/read/2013/09/24/194131/2368350/10/tolak-privatisasi-air-
muhammadiyah-pimpin-gugat-uu-ke-mk

Fukuda-Parr, S. (2003). New Threats to Human Security in the Era of Globalization. Human
Development, 4(3).

Gasper, D. (2006). Securing Humanity: Situating Human Security as Concept and


Discourse. Human Development, 6(2).

1. Perry, M. (1982). The Constitution, The Courts, and Human Rights. . Conneticut:
Yale University Press.

Kompas. (2010). Konflik Tata Ruang Butuh Perhatian. Jakarta: PT Gramedia Indonesia.

KPA. (2012). Laporan Akhir Tahun 2012 KPA: Terkuburnya Keadilan Agraria Bagi Rakyat
Melalui Reforma Agraria. Retrieved December 29, 2012, from
http://www.kpa.or.id/?p=1094

Lall, U., Heikkila, T., Brown, C., & Siegfried, T. (2008). Water In The 21st Century:
Defining The Elements Of Global Crises And Potential Solutions. Journal of International
Affairs, 61(2), 1-17.

1. (2004). UU Nomor 24 Tahun 2003Tentang Mahkamah Konstitusi. Jakarta Mahkamah


Konstitusi.

MK-RI. (2012). Putusan Nomor 35/PUU-X/2012. Jakarta Mahkamah Konstitusi.

MoFRI. (1999). UU No.41/1999 Tentang Kehutanan. from


http://www.dephut.go.id/files/UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41
TAHUN 1999.pdf
MPRRI. (2001). TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan
sumber daya alam. Jakarta: DPRRI.

Panitia-Konas. (2013). TOR Konferensi Nasional Mahkamah Konstitusi Dan Perlindungan


Hak Konstitusional Warga Negara. Paper presented at the Konferensi Nasional Mahkamah
Konstitusi Dan Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara.

Rahmatullah, A. (2009). Investasi Kelapa Sawit Malaysia Terindikasi Melanggar HAM


Aprizal Rahmatullah. Retrieved November 8, 2013

Riyadi, E. (2012). Kecendrungan Paradigma HAM di Indonesia. Paper presented at the


Advaced Training Hak Ekosob, Semarang.

Setiawan, U. (2004). Dinamika Politik Agraria Terkini, Memihak Siapa? Demokrasi, 2(5),
101.

Setneg-RI. (2002). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Amandemen keempat. Jakarta: Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia.

Setneg-RI. (2003). Perubahan Ke-empat Undan Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945. Jakarta: Sekretariat Negara.

1. (2012). How Can Civil Society use the UN guiding principles on bussiness and human
rights? Paper presented at the Global Rights Lene Wendland.

[1] Aktivis Lingkungan dan HAM. Email; harmuin@brandeis.edu.

[2] Perusahaan Multi Nasional di Indonesia: Exxon Mobile (Migas), Sumitomo Metal
Company (Mineral dan Gas), Freeport MC Moran(Emas), PT Inco (mineral) dan masih
banyak lagi.

[3] Walhi dan Sawit Wacth (2013) melaporkan terdapat lebih kurang 12 group besar yang
terdiri dari 166 perusahaan asal Malaysia. Hampir seluruhnya memberikan dampak buruk
bagi hak-hak masyarakat Indonesia. Dalam laporan itu disebutkan perusahaan itu melakukan
perampasan lahan, kriminalisasi warga, hilangnya sumber daya air, hingga pencemaran
lingkungan, jelasnya.

[4] Indonesia merupakan salah satu negara yang turut meratifkasi sembila-core dari konvesi
utama HAM. Kesembilan konvesi itu adalah Hak Sipil Politik (ICCPR), Hak Ekonomi Social
Budaya dan Sosial (ICESCR), Penghapusan segala bentuk diskriminasi(CERD), Anti
penghilangan orang secara paksa (ICPPED), Anti diskriminasi terhdap perempuan
(CEDAW), Hak-hak anak (CRC), Perlindungan terhadap buruh migran (ICRMW), Konvesi
anti penyiksaan dan segala bentuk tidak manusiawi (CAT), perlidungan terhdap hak-hak
orang cacat (RPD).
[5] Bagian ini dapat dilihat dalam beberapa pasal ICCPR adalah: a. Hak bebas dari
penghilangan secara paksa dan bentuk lai penghilangan (pasal 7); b. Hak bebas dari
perbudakan (pasal 8(1) dan (2); c. Larangan terhdap genocide (pasal 6 (3)); d. Larangan
penahanan yang sewenang-wenang (pasal 9 (1); f. Larangan penjara karena kegagalan untuk
memeuni unsur dalam sebuak clausal; g. larangan terhdap permbelakuakn hukum pidana
restro-active (pasal 15); h. Hak setiap orang untuk diakui dipersamakan sebagai individual
sebum hukum (pasal 16).

[6] Hak sipil politik dalam UUD 1945 adalah:

1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya;

2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain
yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan;

3) Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan;

4) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya;

5) Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran, dan hati nurani;

7) Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum;

8) Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan;

9) Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut;

10) Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah;

11) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;

12) Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan, dan
kembali ke negaranya;

13) Setiap orang berhak memperoleh suaka politik;

14) Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak
mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.

[7] Hak-hak yang termasuk kedalam ekonomi, social dan budaya

1) Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapatnya
secara damai dengan lisan dan tulisan;

2) Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga
perwakilan rakyat;
3) Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik;

4) Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi
kemanusiaan;

5) Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang
layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan;

6) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi;

7) Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan
memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat;

8) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi;

9) Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran;

10) Setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan
dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat
manusia;

11) Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal
selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa-bangsa;

12) Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional;

13) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing, dan untuk beribadat menurut kepercayaannya itu.

[8] Hak-hak kelopok ke-empat termasuk hak atas pembangunan, adalah:

1) Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat
yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama;

2) Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mendapai kesetaraan gender dalam
kehidupan nasional;

3) Hak khusus yang melekat pada diri perempuan uang dikarenakan oleh fungsi
reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum;

4) Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian, dan perlindungan orangtua, keluarga,
masyarakat dan negara bagi pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya;

5) Setiap warga negara berhak untuk berperan-serta dalam pengelolaan dan turut
menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam;

6) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
7) Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan yang sah yang dimaksudkan untuk menyetarakan
tingkat perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif
dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus tersebut tidak
termasuk dalam pengertian diskriminasi.

[9] Hak yang mengatur mengenai tanggungjawab negara dan kewajiban asasi manusia:

1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan
yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi
tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, dan kesusilaan, keamanan, dan
ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis;

3) Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan


hak-hak asasi manusia;

4) Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan, dan
kedudukannya diatur dengan undang-undang.

[10] Kewenangan Mahkamah Konstitusi menurut pasal 24c UUD 1945: 1) Menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; 2) Memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewengannya diberikan oleh Undang-Undang
Negara Republik Indonesia 1945; 3) Memutus pembubaran partai politik,dan 4) Memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum

[11] Mahkamah Konstitusi wajib memberi pertimbangan kepada lembaga negara dengan
syarat: Pertama, telah melakukan pelanggaran hukum berupa: Pengkhianatan terhadap
negara; Korupsi; Penyuapan; Tindak pidana berat lainnya. Kedua, perbuatan tercela; Ketiga,
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud
dalam UUD 1945

[12] Asas-asas itu adalah: 1) Persidangan terbuka untuk umum; 2) Independen dan impasial;
3) Peradilan Cepat, sederhana dan murah; 4) Putusan bersifat Erga Omnes (mengikat semua
warga Negara); 5) Hak untuk di Dengar secara seimbang; 6) Hakim bersifat aktif dan pasif
dalam persidangan; 7) Pengadilan tidak boleh menolak memeriksa,memtus dan mengadili
perkara (Ius curia novit); dan 8) asas praduga keabsahan

Anda mungkin juga menyukai