Anda di halaman 1dari 20

DAMPAK PENERAPAN PERATURAN PERUNDANG

UNDANGAN TERHADAP EKSISTENSI DAN


PENGAKUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

DISUSUN OLEH :

 IRAYATA BR GURUSINGA - 217005111


 MADALAINE - 217005044
 JERI FRANSISCO SITORUS - 217005048

IRAYATA GURUSINGA

217005111

PASCA SARJANA ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM USU

2021
KATA PENGANTAR

            Alhamdulillah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT,atas segala nikmat
dan ridlonya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah
ini di buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum adat yaitu tentang Eksistensi
Masyarakat Hukum Adat. Makalah ini dibuat dengan mengacu pada berbagai sumber baik
media cetak maupun  media elektronik.

Kami berharap semoga makalah tentang Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dapat
bermanfaat untuk masyarakat dan dapat memberikan manfaat maupun  inpirasi terhadap
pembaca. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan. Untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca. Amin Ya
Robbal alamin.

Semarang, April 2017

Kelompok 10

DAFTAR ISI
 

Kata pengantar ………………………………………………………………………………..ii

Daftar isi …………………………………….


…………………………………………………………..iii

BAB I PENDAHULUAN …………...………………………………………………………..1

1.1 Latar Belakang Masalah ……………….………………………………………………….1

1.2. Rumusan Masalah ………………………………………..………………………………1

1.3. Tujuan …………………………………………………………………………………….2

BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………………………..3

2.1. Pengertian Masyarakat Hukum Adat ……………………………………………...……..3

2.2. Peraturan Perundang-Undangan ………………………………………………………….4

2.3. Dampak Penerapan Peraturan Perundangan Terhadap Keberadaan Masyarakat Hukum


Adat ………………………………………………………………………………...….. ..4

2.4. Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Dalam Mempertahankan Sumber Daya Alam ….…9

2.5. Pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat ………..………………………13

BAB III PENUTUP ………………………………………………………………………….14

3.1.Kesimpulan ………………………………………………………………………………14

3.2.Saran ……………………………………………………………………………………..14

Daftar Pustaka …………………………………...…………………………………………..16

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang masalah

Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum,  dimana diakui 
keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya sebagian
masyarakatmasih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
Secara resmi, hukum adat diakui keberadannya namun dibatasi dalam peranannya.

Berkaitan dengan keberadaan sistem hukum adat, dimana merupakan seperangkat norma
dan aturan adat/kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah yang sebagian besar dalam bentuk
aturan tidak tertulis dan tersebar di berbagi masyarakat indonesia, sebenarnya merupakan
suatu kekhasan dan kekayaan dari kemajemukan bangsa Indonesia yang seharusnya kita jaga.
Upaya untuk melestarikan budaya dan tradisi dengan sendirinya tidak akan terlepas dari
upaya mempertahankan norma dan aturan adat atau kebiasaan tersebut. Keberadaan hukum
adat dan hukum pidana sebagai hukum positif akan memunculkan persmasalahan mengenai
bagaimana penegakan hukum harus dilakukan terhadap pelanggaran norma dan aturan adat
atau kebiasaan dalam kaitannya dengan berlakunya hukum pidana. Terlebih lagi jika
dikaitkan dengan asas legalitas yang menentukan bahwa hukum pidana harus didasarkan
pada hukum yang tertulis agar dapat dicapai suatu kepastian hukum, sedangkan hukum
(pidana) adat sebagian besar tidak tertulis.

Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

Apa yang dimaksud dengan hukum adat dan masyarakat hukum adat ?

Apa peraturan yang mengatur masyarakat hukum adat ?

Bagaimana dampak penerapan peraturan-peraturan terhadap eksistensi masyarakat  hukum


adat ?

Bagaimana eksistensi masyarakat adat dalam mempertahankan sumber daya alam ?

Bagaimana pengakuan dan perlindungan eksistensi masyarakat adat dalam hukum ?

1.3       Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah :

Menjelaskan pengertian hukum adat dan masyarakat hukum adat.

Menjelaskan peraturan yang mengatur tentang masyarakat hukum adat di Indonesia.

Menjelaskan dampak penerapan peraturan-peraturan terhadap eksistensi masyarakat.

Menjelaskan eksistensi masyarakat adat dalam mempertahankan sumber daya alam.

Menjelaskan bagaimana pengakuan dan perlindungan eksistensi masyarakat adat dalam


hukum.

 
 

BAB II

PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat menurut UU No.32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan


lingkungan hidup, Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara
turuntemurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul
leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang
menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,dan hukum.

Masyarakat hukum adat akan diakui sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan  masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara
unsur-unsur untuk adanya pengakuan sebagai berikut.

Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap).

Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya.

Ada wilayah hukum adat yang jelas.

Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati.

Membaca pengaturan tersebut di atas, kita tidak akan mendapatkan siapa yang dimaksud
sebagai masyarakat hukum adat. Sementara unsur-unsur yang akumulatif, masih diragukan
kebenaran unsurnya. Sebagai contoh, terdapat kesalahan fatal dalam membuat persamaan
antara paguyuban dengan rechtsgemeenschap. Paguyuban tidak bisa disamakan dengan
rechtsgemeenschap, yang secara harafiyah berarti persekutuan hukum, karena sifat dari unsur
tersebut akumulatif, maka jika salah satu unsur diragukan kebenarannya, ia akan
menggugurkan pengakuan meski telah memenuhi ke empat unsur lainnya.

Dalam situasi ketidakjelasan definisi mengenai masyarakat hukum adat, kita menjadi sadar
bahwa negara sebenarnya sedang mempersiapkan kuburan bagi masyarakat hukum adat
menuju kepunahan sosial, politik dan budayanya. Akibat ketidakjelasan pengaturan
masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum, akibat kekaburan dalam penentuan kriteria
dan unsur pengakuan, maka keberadaan masyarakat hukum adat tidak memiliki jaminan
hukum apapun dari negara.

2.2  Peraturan Perundang-Undangan Yang Mengatur Tentang Msasyarakat Hukum Adat

Jumlah Undang-Undang yang diterbitkan Pemerintah Pusat sejak Tahun 1950 sampai  
dengan tahun 2005 kurang lebih berjumlah 1137 Undang-Undang. Ribuan lainnya berupa
peraturan pelaksana dari mulai PP sampai Peraturan Presiden. Sementara pada tingkat Perda,
hanya dalam waktu 7 tahun, sudah terdapat 13.530 Perda yang diterbitkan oleh Pemerintah
Daerah bersama DPRD. Dari belasan ribu peraturan yang diterbitkan, cukup sulit untuk
menelusuri seluruh pengaturan mengenai masyarakat hukum adat. Dari sumber-sumber data
yang tersedia, perda-online (www.perdaonline.org) hanya mencatat 29 Perda yang mengatur
mengenai lembaga adat dari2 639 Perda. Sementara data Perda yang disajikan oleh HuMa
(CD Perda dan Aturan Lokal), hanya menemukan 3 buah Perda yang langsung menunjuk
masyarakat hukum adat tertentu (misal Baduy,Rejang dan Desa Guguk) sebagai pemegang
otoritas atas wilayah adatnya. Minimnya pengakuan langsung melalui peraturan perundang-
undangan khususnya perda terhadap masyarakat hukum adat mengakibatkan lemahnya posisi
masyarakat hukum adat terhadap otoritas pemerintah. Sementara pada tingkat Undang-
Undang, sebagaimana telah disinggung di atas, justru menempatkan masyarakat hukum adat
berada dalam ketidakjelasan status hukumnya.

2.3  Dampak Penerapan Peraturan Perundangan Terhadap Keberadaan Masyarakat Hukum


Adat

Meskipun tidak ada yang dapat memastikan berapa jumlah anggota/jiwa masyarakat hukum
adat dari 40-60 juta masyarakat, berdasarkan pendampingan di sejumlah tempat,
menunjukkan bahwa hampir seluruh anggota masyarakat hukum adat hidup di dalam dan
sekitar kawasan hutan. Dengan banyaknya jumlah masyarakat hukum adat yang hidup di
dalam dan sekitar kawasan hutan, maka penerapan peraturan mengenai kehutanan, menjadi
signifikan dampaknya kepada masyarakat hukum adat. Data luas kawasan hutan menurut
pemerintah adalah 120 juta ha. Jumlah luasan tersebut didapatkan melalui proses
penunjukkan kawasan oleh pemerintah. Dengan demikian, UU Kehutanan menjadikan
kawasan hutan dengan luas 120 ha tersebut sebagai objek pengaturan. Selanjutnya menurut
data yang dikumpulkan oleh HuMa di beberapa provinsi dan kabupaten, kawasan hutan yang
ditunjuk tersebut, faktanya berada di atas hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum
adat. Tumpang tindih ini sesungguhnya tidak terjadi begitu saja, tetapi disadari dan di dasari
oleh klaim negara sebagai pemegang kuasa atas seluruh kekayaan alam di Indonesia,
termasuk hutan (HMN). HMN yang juga dianut oleh UU Kehutanan dijadikan justifikasi
untuk menguasai seluruh kawasan hutan yang ditunjuk secara sepihak, termasuk di dalamnya
ruang-ruang hidup masyarakat hukum adat. Huma menemukan fakta-fakta lapangan
mengenai dampak-dampak penerapan UU Kehutanan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan
hak ulayatnya, Diantaranya :

Putusnya Hubungan Masyarakat Hukum Adat dengan Hutan

Karena hutan masyarakat hukum adat telah beralih menjadi kawasan hutan negara, maka
negara memiliki kewenangan untuk membuat aturan di atasnya. Termasuk aturan yang
membatasi dan bahkan melarang orang untuk memasuki dan beraktivitas di dalam kawasan
hutan. Begitu juga aturan yang membolehkannya memberikan hak kepada orang atau badan
hukum tertentu untuk mengambil manfaat atas hasil hutan. Pembatasan, pelarangan atau
bahkan pengusiran masyarakat hukum adat dari kawasan hutan berawal dari kewenangan ini.
Didalam kawasan pelestarian alam dan kawasan suaka alam, pada zona dan blok tertentu
dilarang untuk melakukan kegiatan apapun, sementara pada zona dan blok lain hanya
diperbolehkan melakukan kegiatan tertentu saja. Pada kawasan yang telah dibebani izin atau
hak, pemerintah memberikan hak kepada pemegang izin atau hak untuk melarang setiap
orang yang memanfaatkan kawasan tersebut tanpa seizin pemegang izin atau hak tersebut.
Tidak bisa disangkal bahwa pelarangan atau pembatasan masyarakat hukum adat untuk
masuk ke dalam kawasan hutan telah memenggal relasi mereka dengan hutan. Dalam bentuk
yang sederhana, pemenggalan ini telah menyebabkan masyarakat hukum adat kehilangan
akses dalam mengelola hutan, seperti yang terjadi di Kawasan Ekosistem Halimun.
Pelarangan yang sama juga dapat ditemui di Kampung Ponti Tapau, Kecamatan Entikong,
Kabupaten Sanggau.

Masyarakat di Desa Maholo, Watutau, Tamadue, Wuasa, Alitupu, Winowanga dan Wanga di
Kecamatan Lore Utara, bahkan dilarang untuk memasuki kebun dan sawahnya. Kejadian
lebih ironis dialami oleh warga Nagari Simarasok. Sekitar tahun 80-an, penduduk Nagari ini
diperintahkan oleh pegawai Dinas Kehutanan Propinsi untuk menanam pohon pinus. Karena
menganggap bahwa lahan yang akan ditanami pinus tersebut termasuk ke dalam hak ulayat
nagari, penduduk pun dengan senang melakukannya. Lahan yang ditanam mencapai 100Ha.
Ternyata, setelah besar dan siap panen, penduduk dilarang mengambil kayu tersebut dengan
alasan bahwa pohon pinus tersebut berada di dalam kawasan hutan lindung. Larangan
memasuki kawasan hutan bukan hanya menghilangkan akses untuk mengelolahutan tetapi
juga menyebabkan punahnya situs-situs budaya. Situs-situs itu punah karena masyarakat
hukum adat tidak bisa lagi merawatnya sejak dilarang memasuki kawasan hutan seperti yang
terjadi di Kampung Banglo, Kecamatan Bastem, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.
Sementara di sejumlah desa di Kabupaten Donggala dan Poso, kepunahan situs-situs budaya
ditandai dengan kenyataan-kenyataan berikut ini:

Hilangnya situs-situs megalith;

Rusaknya kuburan-kuburan tua;

Punahnya tempat-tempat bersejarah antara lain kampung tua, kuburan leluhur, tempat- tempat
ritual keagaaman, simbol-simbol ketahanan pangan.

Karena hutan merupakan bagian dari wilayah atau ruang hidup (lebensraum) masyarakat
hukum adat, pemisahannya dengan masyarakat hukum adat selalu menyebabkan perubahan
atau pergeseran pada faham, nilai dan tatanan sosial. Faham, nilai dan tatanan sosial
masyarakat lokal lahir dari hasil melakukan interaksi dengan alam, termasuk hutan.
Logikanya, bila hutan dipisahkan dari mereka sama artinya meniadakan sumber lahirnya
faham, nilai dan tatanan sosial tersebut. Mengambil hutan dari mereka identik dengan
mengambil faham, nilai dan tatanan sosial mereka. Kini, masyarakat hukum adat di Melawi
(Kalbar) berpotensi meninggalkan faham komunal mereka yang mengibaratkan rimba
sebagai ibu yang mampu menyediakan dan memenuhi kebutuhan hidup bagi masyarakat.
Bersamaan dengan hilangnya hutan dari kehidupan mereka, orientasi nilai juga turut berubah.
Hutan tidak lagi dilihat sebagai manifestasi simbolik (misalnya hutan sebagai Ibu) melainkan
komoditas. Begitu juga dengan tanah yang menjadi wadah bertumbuhnya hutan. Bila
sebelumnya hutan rimba dipandang sebagai milik bersama yang memiliki fungsi religi dan
ekologis, saat ini ia diperebutkan dan diklaim sebagai milik perorangan dengan pertimbangan
keuntungan ekonomi semata. Bahkan, tanah-tanah yang tidak berhutan lagi dijual kepada
perusahaan kelapa sawit atau kepada perusahaan pertambangan.

Masyarakat dengan mudah melepaskan tanah-tanah tersebut walaupun perusahaan hanya


menyampaikan janji-janji kesejahteraan. Semakin masyarakat terintegrasi ke dalam budaya
modern, semakin merosot pengetahuan ekologi mereka seperti yang terjadi di Kawasan
Ekosistem Halimun karena Kerusakan Sosial dan Biofisik.
Sementara dalam Penjelasan UUD 1945, dinyatakan bahwa dalam teritori Indonesia terdapat
lebih kurang 250 zelf besturende land schappen dan volksgemeen shappen, seperti Desa di
jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya.
Daerah- daerah mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat diaggap sebagai daerah
yang bersifat istimewa. Kemudian dinyatakan pula “Negara Republik Indonesia menghormati
kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai
daerah-daerah itu akan mengingati hak asal usul daerah.

Eksistensi masyarakat hukum adat dapat diuraikan menurut aspek teoritis dan aspek yuridis.

Aspek teoritis

Ter Haar (1981), mendiskripsikan persekutuan-persekutuan hukum atau untuk mudahnya


disebut saja masyarakat hukum adat yaitu: “……gerombolan-gerombolan yang teratur,
bersifat tetap dengan mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan, yang
berwujud dan tidak berwujud..

Hazairin (dalam Soerjono Soekanto, 1981), menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat
adalah seperti Desa di jawa, marga di sumatera, Selatan Nagaridi Minangkabau Kuria
diTapanuli, Wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan-kesatuan masyarakat yang
mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai
kesatuan hukum, kesataun penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasar hak bersama
atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal,
matrilineal, dan bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahanya. Semua anggotanya sama
dalam hak dan kewajibannya.

Ada 4 (empat) faktor untuk memastikan adanya masyarakat hukum adat yaitu:

1.) Adanya satu kesatuan manusia yang teratur.

2.) Menetap di suatu daerah tertentu.

3.) Mempunyai penguasa.

4.) Mempunyai kekayaan berwujud dan tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan
masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang sewajarnya 
menurut kodrat alam, dan tidak seorangpun diantara para angota itu mempunyai pikiran  atau
kecederungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu, atau  meninggalkannya,
dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.

 
Ciri-ciri dan model sebagaimana dikemukakan oleh Hazairin di atas sudah sejak lama dikenal
di Propinsi Maluku dengan ukuran dan nama yang beragam.. Kesatuan masyarakat hukum
adat ini dari dahulu eksistensinya sangat berpengaruh dalam berbagai aspek, baik
pemerintahan, ekonomi, pengelolaan dan pengendalian sumber daya alam.

R.Z Titahelu (2003), menyatakan diperlukan konsep yang jelas mengenai masyarakat hukum
adat, menurutnya secara sederhana dapat dikatakan bahwa masyarakat hukum adat adalah
masyarakat yang masih menggunakan hukum adat di dalam pergaulan hidup sehari-hari tidak
saja di dalam lapangan keagamaan, akan tetapi juga di dalam lapangan pemerintahan, sosial,
ekonomi maupun budaya.

Lebih lanjut dikemukakan oleh Titahelu,ada tiga kriteria untuk dapat membantu menetapkan
ada tidaknya masyarakat hukum adat yaitu sebagai berikut.

Adanya sebuah masyarakat yang langsung menyebut dirinya sebagai masyarakat adat.

Adanya susunan khas dan turun temurun dalam lingkup sosial maupun pemerintahan
masyarakat itu.

Adanya wewenang dalam hal penyelenggaraan pemerintahan (umumnya sangat


berpengaruh), maupun dalam penyelenggaraan di bidang social, politik, budaya maupun
ekonomi masyarakat secara keseluruhan di atas wilayah tertentu yang cukup luas bukan
sekedar suatu wilayah pemukiman dan sumber kehidupan seadanya.

Dengan demikian, adanya masyarakat tertentu dengan wilayah petuanan (ulayat) dimana
mereka menjalani kehidupan di bidang politik, sosial, ekonomi maupun budaya secara teratur
dan menjadi satu kesatuan dengan dirinya, merupakan tanda adanya masyarakat hukum adat.

Aspek Yuridis

Secara yuridis formal pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat serta hak-haknya di
Indonesia diakui. Disadari pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat itu sangat beragam
dari sektor satu dengan sektor lainnya. Demikian pula bentuk pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat oleh daerah-daerah juga berbeda-beda.

Untuk pertama kalinya , Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Hukum Agraria (UUPA), telah memuat ketentuan yang
menyatakan bahwa undang-undang ini berdasarkan hukum adat (Pasal 5) , dan mengakui
salah satu aspek hak masyarakat adat yang terpenting terkait dengan ruang hidupnya
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3, yakni apa yang disebut sebagai hak ulayat. Pasal
3: “Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal1 dan Pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-
hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataanya masih ada harus
sedemikian rupa sehingga sesuai denga kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan
atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan
yang lebih tinggi”. Dengan ketentuan tersebut jelaslah bahwa hak ulayat memang diakui,
tetapi dengan pembatasan tertentu mengenai eksistensinya yakni bila sepanjang kenyataannya
masih ada, dan pelaksanaannya harus memenuhi syarat-syarat limitatif.

UUPA sendiri tidak menjelaskan tentang hak ulayat itu, kecuali menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan hak ulayat adalah beschikkingsrecht sebagaimana dipahami dalam
kepustakaan hukum adat. suatu beschikkingsrecht meliputi berbagai kewenangan seperti
mengambil hasil-hasil alam dari hutan atau air, berburu hewan-hewan liar, mengambil dan
memiliki pohon-pohon tertentu dalam hutan, dan membuka tanah dalam hutan dengan seizin
kepala masyarakat hukum adat (lihat Ter Haar).

2.4  Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Dalam Mempertahankan Sumber Daya Alam

Dengan adanya pengakuan secara hukum (Juridicial Recognation). Terhadap masyarakat


hukum adat dan hak-haknya melalui berbagai peraturan perundang-undangan sebagaimana
dikemukakan di atas, itu menandakan bahwa eksistensi masyarakat hukum adat di dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah legal menurut hukum. Hak-hak tradisional yang
dimaksud adalah termasuk hak-hak masyarakat atas sumber daya alam di wilayah ulayatnya.
Selain itu sebagaimana disebutkan di atas bahwa eksistensi masyarakat hukum adat untuk
hidup dalam corak budaya sendiri adalah merupakan kenyataan yang juga harus dihormati.

Dengan Pengakuan itu maka perlu diberi kesempatan untuk mengembangkan eksistensi dan
kulturnya. Pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat kiranya juga meliputi
selain atas sumber-sumber daya alam yang menjadi  lebensraumnya yaitu sumber-sumber
kehidupan baik secara simbolis maupun realis, akan tetapi termasuk didalamnya pengakuan
terhadap strukrur organisasi pemerintahan adat setempat, mekanisme kerja, dan peraturan-
peraturan serta berbagai hak dan kewajiban yang terkandung di dalam sistem kelembagaan
masyarakat setempat, karena tanpa pengakuan itu maka pengakuan terhadap hak-hak
masyarakat hukum adat hanya menjadi retorika politik belaka.
Di Provinsi Maluku, sampai saat ini dijumpai kesatuan-kesatuan masyarakat adat yang hidup
didasarkan pada hukum adatnya dengan nama dan ukuran yang beragam. Melihat kesatuan
masyarakat hukum adat sebagai suatu realitas, yang kepadanya diberikan pengakuan dan
penghormatan sehingga eksistensinya merupakan hak, maka menurut Titahelu (2005), hak
sebagai suatu kesatuan masyarakat adat sebenarnya merupakan sesuatu yang ada dengan
sendirinya dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapan yang ada di dalam hukum
Negara, baik konstitusi maupun perundang-undangan. Lebih lanjut Titahelu mengatakan
bahwa isi atau content ini dapat ditentukan sejauh mana kesatuan masyarakat adat ini hendak
diidentifikasi. Hal ini dapat dlakukan berdasarkan apa yang dinyatakan oleh mereka yang
menyebut diri sebagai masyarakat hukum adat itu sendiri. Jadi, pernyataan dalam konstitusi
saat ini adalah suatu pengukuhan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat, sedangkan isi
sesungguhnya dari apa yang disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum adat adalah suatu
realita (sosicial reality) yang ditentukan oleh masyaraat hukum adat itu sendiri berdasarkan
prinsip cultural self identification. Oleh karena itu proses memperoleh pengetahuan tentang
kesatuan masyarakat hukum adat itu harus dapat diperoleh langsung dari kesatuan
masyarakat yang menyatakan dirinya sebagai masyarakat hukum adat.

Masalahnya sekarang adalah, apakah masyarakat hukum adat yang secara normatif maupun
empirik diberikan ruang untuk mempetahankan apa yang menjadi hak-haknya atas sumber
daya alam dan hak-hak tradisional lainnya, dan lebih dari sekedar mempertahankan hak-
haknya itu, apakah masyarakat hukum adat dapat menggunakan hak-haknya itu. Hal ini
menjadi penting untuk dikemukakan karena dari berbagai pengalaman dapat dilihat bahwa
masyarakat hukum adat, maupun individu yang ada di dalamnya sebagai suatu realitas
seringkali diabaikan dan dipinggirkan. Agar masyarakat hukum adat dapat mempertahankan
dan menggunakan hak atas sumber daya alamnya dengan baik, maka Pemerintah (Negara,
Provinsi, Kabupaten/Kota) harus memberikan perlakuan yang adil dan memberikan
kesempatan sehingga mereka dapat menyusun program dan kegiatan yang menghasilkan
sesuatu secara luas, melampaui cara hidup subsisten.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa setidaknya ada sejumlah hak yang
melekat pada kesatuan masyarakat hukum adat,yakni adanya hak millik baik individu (hak
milik) maupun kolektif (hak ulayat, hak petuanan) atas tanah dan sumber daya alam lainnya
termasuk air, sungai, hutan, hewan, laut dan pesisir dan sebagainya. Agar kesatuan
masyarakat hukum adat secara individu ataupun secara keseluruhan dapat berperan dalam
mempertahankan dan menggunakan hak-haknya atas sumber daya alam untuk menghasilkan
sesuatu yang lebih baik, maka hak untuk hidup sehat agar dapat bekerja, hak untuk memiliki
lingkungan yang mampu menghasilkan kebutuan hidup, hak untuk menentukan dapat
tidaknya pihak lain (investor) melakukan pengelolaan sumber daya alam di dalam wilayah
yang dikuasai masyarakat hukum adat dengan “persetujuan awal tanpa paksaan”(free and
prior informed cosent), harus diberikan juga kepada mereka.

Dalam kaitannya dengan hak untuk menentukan dapat tidaknya investor melakukan
pengelolaan sumber daya alam, menurut Sumardjono, Pemerintah Daerah berperan penting
dalam 2 (dua) hal. Pertama, dalam upaya menyeimbangkan kepentingan investor dan
masyarakat hukum adat melalui upaya fasilitasi antara kedua pihak untuk mencapai
musyawarah tentang bentuk dan isi kerjasama yang menguntungkan kedua belah pihak dan
masyarakat luas. Kedua, dengan cara merancang kebijakan daerah yang memberikan
keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan dan perlindungan hukum bagi semua pihak terkait,
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Selain itu pemerintah maupun pihak
perusahaan memberikan dukungan melalui cara memberi fasilitas dalam proses produksi
yang efisien, pelatihan, managemen, pemberian kredit, pemasaran dan lain-lain sepajang
diperlukan oleh masing-masing masyarakat hukum adat. Perusahaan juga mempunyai
kewajiban sosial untuk membantu masyarakat sekitar termasuk masyarakat hukum adat, baik
dalam bentuk fisik (fasilitas pendidikan, ibadah, kesehatan, infrastruktur dan sebagainya)
maupun non fisik berupa beasiswa dan pemberian peluang untuk melakukan
kerjasama/kemitraan.

Dengan pengakuan, penghormatan terhadap masyarakat hukum adat serta hak-haknya atas
sumber daya alam bukan hanya sekedar retorika belaka tetapi benar-benar dapat diwujudkan
untuk tujuan kesejahteraan. Untuk itu dalam rangka mewujudkan tata pengaturan pengelolaan
lingkungan hidup yang baik (good environment governance) serta mengakhiri praktik-praktik
pengelolaan sumber daya alam yang bercorak ekploitatis, sentralistik, sektoral, dan represif,
maka Pemerintah dalam pembentukan undang-undang sumber daya alam perlu
memperhatikan prinsip-prinsip sebagaimana dikemukakan oleh Nurjaya (2008) antara lain
sebagai berikut:

(1)  Mengatur mekanisme koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan sumber
daya alam.

(2) Menggunakan paradigm pengelolaan suber daya alam yang berbasis masyarakat
(community-based resource managemen).

(3)  Menyediakan ruang bagi transparansi dan partisipasi public yang sejati (genuine public
participation) sebgai wujud demokratis dalam pengelolaan sumber daya alam.
(4)  Memberi ruang bagi pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM), terutama
akses dan hak-hak masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya
alam.

(5) Menyerahkan wewenang pengelaan sumber daya alam kepada daerah berdasarkan prinsip
desentralisasi (decentralization principle).

(6) Mengatur mekanisme pengawasan dan akuntabilitas pengelolaan sumber daya alam
kepada public (public accountability).

2.5   Pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat

Prinsip-prinsip Penting Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat

Ada beberapa prinsip penting dalam pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat
adat yang patut dimasukan ke dalam RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat
Adat, antara lain:

Prinsip partisipasi

Partisipasi merupakan keterlibatan masyarakat adat dalam setiap proses pengakuan dan
perlindungan hak-hak mereka. Partisipasi yang ideal adalah ‘partisipasi penuh dan efektif’
dalam pembangunan di mana setiap orang di dalam masyarakat terlibat dalam semua tahapan
dan menjadi pihak yang menentukan dalam pengambilan keputusan atas segala program atau
proyek yang dilakukan di wilayah kehidupan mereka.

Melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan program instansi negara lainnya dalam
pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat

Memfasilitasi penyelesaian konflik antara masyarakat adat dengan instansi negara maupun
perusahaan dengan prinsip-prinsip FPIC.

2. Tanggung Jawab Pemerintah


Di lihat dari perspektif HAM dan juga dari konstitusi Indonesia, tanggung jawab negara dan
pemerintah adalah mengakui, menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dan
masyarakat adat. Konsepsi bahwa negara mengakui berarti ada pernyataan penerimaan dan
pemberian status keabsahan oleh negara dan hukum negara terhadap eksistensi hukum dan
hak-hak warga negara baik sebagai perorangan maupun kesatuan masyarakat sebagai
perwujudan konstitutif dari negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak
asasi warga negara.

Konsep “menghormati” berarti mengharuskan negara untuk tidak melanggar hak-hak


masyarakat adat, termasuk dengan cara memberlakukan hukum-hukum yang menjamin hak-
hak masyarakat adat. Konsep “melindungi” mengharuskan pemerintah mencegah dan
menindak pelanggaran-pelanggaran hak-hak masyarakat adat yang dilakukan oleh pihak-
pihak bukan negara dengan menegakan hukum-hukum yang berlaku. Sedangkan konsep
“memenuhi” mengharuskan pemerintah mengevaluasi berbagai kebijakan dan peraturan serta
merencanakan dan melaksanakan kebijakan untuk dinikmatinya hak-hak masyarakat adat.

Selain empat konsep tanggungjawab pemerintah di atas, pemerintah juga bertanggungjawab


untuk memajukan hak masyarakat adat melalui program-program pemerintahan baik untuk
mengupayakan adanya pengakuan hukum maupun agar pengakuan hukum yang sudah ada
bisa diimplementasikan untuk memajukan hak masyarakat adat.

c. Lembaga Yang berwenang

Saat ini banyak lembaga pemerintahan yang berurusan dengan masyarakat adat, misalkan
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Budaya dan
Pariwisata, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Sosial,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Badan Pertanahan
Nasional. Namun belum ada satu lembaga khusus yang fokus dalam pengakuan dan
perlindungan hak masyarakat adat. Lembaga khusus sebenarnya diperlukan untuk mengatasi
sektoralisme dalam memandang keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Ketiadaan satu
lembaga khusus ini membuat pengakuan terhadap hak masyarakat adat secara utuh sulit
untuk dilakukan.Tugas-tugas pokok dari lembaga yang bertangungjawab terhadap pengakuan
dan perlindungan hak masyarakat adat antara lain:

Memastikan tersedianya prosedur pengakuan dan perlindungan yang mengutamakan


pemajuan hak-hak masyarakat adat
Melaksanakan program-program yang bertujuan untuk mendorong pengakuan, perlindungan
dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat, sebab saat ini yang terjadi adalah masyarakat adat
tidak dipandang sebagai warga Negara

 D. Penyelesaian Sengketa

Sengketa dan juga konflik terkait dengan hak masyarakat adat merupakan persoalan yang
banyak dialami oleh masyarakat adat. Sengketa atau konflik tersebut dapat terjadi di dalam
komunitas masyarakat adat, antar komunitas masyarakat adat, antara masyarakat adat dengan
perusahaan maupun antara masyarakat adat dengan instansi pemerintah. Masyarakat punya
mekanisme sendiri untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di wilayahnya berdasarkan
hukum adat. Sedangkan negara dengan hukum negara sering memaksakan berlakunya hukum
negara untuk menyelesaikan konflik. Secara umum, peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang sumber daya alam memberikan pilihan penyelesaian sengketa baik di
dalam pengadilan maupun di luar pengadilan.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah melaksanakan Inkuiri Nasional di
7 lokasi, yaitu Medan, Pontianak, Rangkasbitung, Mataram, Palu, Ambon dan Abepura.
Inkuiri Nasional ini mendengar dan mencatat dengar keterangan umum (DKU) yang
disampaikan oleh 40 masyarakat hukum adat (MHA), terkait isu MHA di kawasan hutan.

Keberadaan masyarakat hukum adat tidak saja telah mendapatkan perlindungan secara
yuridis konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2), melainkan
perlindungannya lebih kuat lagi karena dipertegas dalam Pasal 28I tentang HAM. Di satu
pihak, secara yuridis, otonomi desa yang bersifat otonom asli diakui oleh negara. Pasal 18B
ayat (2) UUD 1945 menyatakan secara jelas “Negara. mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang.

UU nasional bersifat sektoral telah memberikan jaminan yang sama akan pengakuan terhadap
hak-hak tradisional MHA, termasuk di dalamnya hak ulayat tanah, hak ulayat air, hak ulayat
hutan, hak ulayat atas tempat mengembala, dan hak-hak tradisional lainnya. Misalnya, hak
keturunan dan gelar adat, hak milik benda-benda keramat atau regalia, hak cipta dan Hak
Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atas karya dan hak cipta adat. Adapun UU tersebut adalah
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No. 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dll.
 

  BAB III

PENUTUP

3.1  Kesimpulan

Masyarakat hukum adat menurut UU No.32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan


lingkungan hidup, Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun
temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur,
adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang
menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,dan hukum.

Beberapa peraturan yang mengatur masyarakat adat, dari sumber-sumber data yang tersedia,
perda-online (www.perdaonline.org) hanya mencatat 29 Perda yang mengatur mengenai
lembaga adat dari2 639 Perda. Sementara data Perda yang disajikan oleh HuMa (CD Perda
dan Aturan Lokal), hanya menemukan 3 buah Perda yang langsung menunjuk masyarakat
hukum adat tertentu (misal Baduy,Rejang dan Desa Guguk) sebagai pemegang otoritas atas
wilayah adatnya. Minimnya pengakuan langsung melalui peraturan perundang-undangan
khususnya perda terhadap masyarakat hukum adat mengakibatkan lemahnya posisi
masyarakat hukum adat terhadap otoritas pemerintah. Dampak dari penerapan peraturan
antara lain putusnya hubungan masyarakat adat dengan hutan, karena hutan yang ditempati
masyarakat adat diakui oleh negara, sehingga status masyarakat dalam hutan tersebut tidak
jelas bahkan hilang.  Dengan adanya pengakuan secara hukum (Juridicial
Recognation). Terhadap masyarakat hukum adat dan hak-haknya melalui berbagai peraturan
perundang-undangan sebagaimana dikemukakan di atas, itu menandakan bahwa eksistensi
masyarakat hukum adat di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah legal menurut
hukum. Hak-hak tradisional yang dimaksud adalah termasuk hak-hak masyarakat atas sumber
daya alam di wilayah ulayatnya. Pengakuan konstitusi kita terhadap keberadaan kelompok
masyarakat yang memakai hukum adat dalam kehidupannya merupakan sesuatu yang baru,
karena selama kurun waktu lebih setengah abad, minimal masa diberlakukan UUD 1945
periode pertama (18 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949) pasca kemerdekaan dan kedua
sebelum perubahan kedua konstitusi (5 Juli 1959 s/d 18 Agustus 2000) hampir dilupakan.
Keberadaan masyarakat

hukum adat dan hukum adat sendiri belum mendapat tempat yang semestinya, karena alam
pemikiran kita dimonopoli dengan pendekatan hukum positivis dan legalistik.
Keberadaan masyarakat hukum adat tidak saja telah mendapatkan perlindungan secara
yuridis konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2), melainkan
perlindungannya lebih kuat lagi karena dipertegas dalam Pasal 28I tentang HAM. Di satu
pihak, secara yuridis, otonomi desa yang bersifat otonom asli diakui oleh negara. Pasal 18B
ayat (2) UUD 1945 menyatakan secara jelas “Negara. mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang.

3.2  Saran

1.) Pemerintah hendaknya merubah ketentuan tentang ”hutan adat” yang dimuat di dalam
UUKehutanan.
2.) Perlu dibuat UU yang mengatur tentang hak-hak masyarakat adat sesuai dengan amanat
UUD NRI Pasal 18 B. Bahkan bila perlu UU yang bersifat ”memayungi” seluruh ketentuan
tentang hak-hak masyarakat adat.

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih
fokus dan detail dalam menyusun makalah tersebut dan dapat dipertanggungjawabkan.

Daftar Pustaka

Wignjodipoero,Soerojo.1986. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta : PT Toko


Gunung Agung.

Tikok,Sumbodo.2009. Hukum Tata Negara. Jakarta : PT Eresco.

Gunarsa,Arip.2005. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung : PT Retika Aditama.

Sianturi,S.1996. Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya . Jakarta : Gramedia.

Dr. Dewi S.2015.Pengantar Hukum Adat. Bandung : Pustaka Setia.

TAUFIK,ILHAMDI_PERLINDUNGAN DAN PENGAKUAN BAGI MASYARAKAT


HUKUM ADAT. HTTP://WWW.EPISTEMA.OR.ID/DOWNLOAD/ILHAMDI_TAUFIK
PENGAKUAN_DAN_PERLINDUNGAN_BAGI_MASYARAKAT_HUKUM_ADAT.PDF
. DIAKSES PADA 1 APRIL 2017.

ARIANTO,JOENI_PERLINDUNGAN DAN PENGAKUAN MASYARAKAT HUKUM


DALAM KERANGKA HUKUM
NEGARA. (HTTPS://JOENIARIANTO.FILES.WORDPRESS.COM/2008/07/PENGAKUA
N-DAN-PERLINDUNGAN-EKSISTENSI-MASYARAKAT-ADAT-DALAM-
KERANGKA-NEGARA-HUKUM-INDONESIA.PDF). DIAKSES PADA 1 APRIL 2017.

K.MATUANKOTTA,JENNY_EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM


MEMPERTAHANKAN
SDA. (HTTP://JURNAL-PERSPEKTIF.ORG/INDEX.PHP/PERSPEKTIF/ARTICLE/DOW
NLOAD/92/84.PDF). DIAKSES PADA 1 APRIL 2017.

ANNON_EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT.


(HTTPS://WWW.SCRIBD.COM/DOC/55979725/MAKALAH-EKSISTENSI-HUKUM-
ADAT). DIAKSES PADA 1 APRIL 2017.

Anda mungkin juga menyukai