Anda di halaman 1dari 7

Kasus-kasus Perselisihan di Indonesia yang Berkaitan dengan

Antropologi Hukum

Pendahuluan

Perselisihan merupakan sebuah hal yang lazim kita temui di kehidupan


sehari-hari. Termasuk di Indonesia. Ada berbagai macam perselisihan yang
terjadi. Kita dapat melihat kasus sengketa warisan antara sesama saudara, ada
kasus sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan, kasus sengketa
pemanfaatan lahan antara masyarakat dengan pemerintah, dan masih ada banyak
kasus-kasus sengketa dan perselisihan lainnya.

Sejumlah perselisihan yang terjadi tersebut tidak terlepas dari fakta bahwa
manusia merupakan mahluk sosial yang mempunyai tujuan dan kepentingan yang
berbeda di mana dari perbedaan tersebut dapat memunculkan suatu perselisihan
atau konflik. Perselisihan dapat didefinisikan sebagai kondisi yang ditimbulkan
oleh adanya kekuatan yang saling bertentangan 1. Perselisihan merupakan gejala
kemasyarakatan yang melekat di dalam kehidupan masyarakat, dan oleh karena
itu, tidak mungkin dilenyapkan. Sebagai gejala kemasyarakat yang melekat di
dalam kehidupan setiap masyarakat, ia hanya akan lenyap bersamaan dengan
lenyapnya masyarakat itu sendiri.

Perselisihan dapat terjadi karena berbagai macam sebab, mulai dari


perbedaan perorangan, perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan, dan
perubahan yang terlalu cepat. Di sisi lain, perselisihan dapat terjadi di berbagai
skala dan pihak yang terlibat pun bisa siapa saja selama mereka merupakan bagian
dari masyarakat. Entah itu perselisihan antara sesama individu di sebuah wilayah,
perselisihan antar ras, hingga perselisihan yang terjadi antara masyarakat dengan
perusahaan.

1
Niniek Sri Wahyuni dan Yusnianti, "Manusia dan masyarakat", (Jakarta: Ganeca Exact.
2007), hal 30.
Berhubungan dengan hal tersebut untuk, mengantisipasi dampak buruk
dari perselisihan yang terjadi tersebut, manusia telah merancang sejumlah aturan
yang disepakati bersama untuk kemudian menjadi pedoman hidup. Selain
membuat aturan-aturan yang menjadi pedoman hidup, masyarakat juga membuat
sejumlah badan-badan yang diberi wewenang untuk menjalankan aturan-aturan
tersebut. Lembaga tersebut tidak lain adalah pengadilan.

Kehadiran lembaga peradilan diharapkan dapat menjadi pemutus dari


berbagai perselisihan yang terjadi di masyarakat. Namun nyatanya, ada begitu
banyak perselisihan yang selesai tanpa perlu melibatkan pengadilan di dalam
pemutusan duduk perkaranya. Hal ini dapat terjadi karena adanya penerapan
sistem hukum yang mendukung pihak yang terlibat perselisihan untuk
menyelesaikan masalahnya tanpa perlu berhadapan di persidangan.

Pembahasan

Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa sistem hukum memiliki 3


(tiga) unsur yaitu: (a) struktur hukum, (b) substansi hukum dan (c) budaya
hukum. Unsur struktur hukum meliputi lembaga pengadilan dan ruang lingkup
kompetensinya, lembaga legislatif dan lain-lain yang membentuk dan
menegakkan hukum. Unsur substansi hukum adalah aturan atau norma dalam
sistem hukum yang memberi tuntutan untuk melakukan perilaku yang seharusnya.
Unsur budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum
yang berkaitan dengan kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya. Sikap
manusia terhadap hukum dan sistem hukum itu akan tercermin dari bagaimana
manusia itu bertindak mematuhi hukum, menghindari atau menyalahgunakannya2.

Ketiga unsur sistem hukum tersebut dapat dibedakan tetapi tidak dapat
dipisahkan karena saling mempengaruhi antara satu sama lain. Unsur struktur
hukum berkaitan erat dengan substansi hukum karena substansi hukum seperti
Undang-undang dibentuk oleh badan legislatif dan eksekutif serta ditegakkan oleh
badan pengadilan (yudikatif). Unsur substansi hukum berkaitan erat dengan unsur

2
M. Sastraprateja. “Pendidikan Nilai”, dalam K. Kaswardi (penyunting), Pendidikan Nilai
Memasuki Tahun 2000. (Jakarta : Grasindo, 193). Hal 7.
budaya hukum karena budaya hukum berkaitan erat dengan sikap dan perilaku
masyarakat terhadap substansi hukum, yaitu apakah hukum itu dipatuhi, dihindari,
atau dilanggar. Budaya hukum yang tercermin dari perilaku masyarakat yang
melanggar, mematuhi, dan atau menghindari, menunjukkan bahwa dalam
kenyataannya substansi hukum tersebut tidak dengan sendirinya berlaku meski ia
dibuat oleh badan pembentuk hukum yang berwenang, karena faktanya banyak
dilakukan pelanggaran terhadap substansi hukum tersebut. Karenanya, Friedman 3
mengemukakan, “Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan
berdaya –seperti ikan mati yang berenang di keranjang, bukan seperti ikan hidup
yang berenang di lautnya.” Analogi Friedman ini memperjelas betapa eratnya
hubungan antara substansi hukum dengan budaya hukum.

Latar belakang budaya hukum dari masyarakat setempat yang kemudian


digunakan sebagai model antropologi hukum. Ini memberikan gambaran bahwa
hukum tidak hanya dilihat pada persoalan perundangan (normatif) atau hukum
adat melainkan ada peran budaya. Peran tersebut bisa dilihat dari cara
menyelesaikan masalah dengan nilai budaya yang telah tertanam. Hukum tidak
bisa melihat nilai budaya tersebut tanpa mempelajari antropologi hukum sebab
pendekatan dari penyelesaian masalah ini memerlukan pemahaman latar belakang
budaya setempat.

Antropologi hukum sendiri merupakan kajian antropologis terhadap


makna sosial dari dan pentingnya hukum dengan menelaah bagaimana hukum
dibuat termasuk bagaimana konteks sosial pembuatan hukum tersebut, bagaimana
hukum mempertahankan dan mengubah institusi sosial lainnya, dan bagaimana
hukum membangun perilaku sosial. Adapun masalah pokok yang merupakan
ruang lingkup antropologi hukum adalah sebagai berikut:

1. Apapun dalam setiap masyarakat terdapat hukum, dan bagaimana karakteristik


hukum yang universal.

2. Bagaimana hubungan antara hukum dengan aspek kebudayaan dan organisasi


sosial.
3
Ibid
3. Mungkinkah mengadakan tipologi hukum tertentu, sedangkan variasi
karakteristik hukum terbatas.

4. Apakah tipologi hukum itu berguna untuk menelaah hubungan antara hukum
dan aspek kebudayaan dan organisasi sosial. Mengapa pula hukum itu berubah.

5. Bagaimana cara mendeskripsi sistem-sistem hukum, apakah akibat jika sistem


hukum dan subsistem hukum antara masyarakat dan kebudayaan yang saling
berhubungan, dan bagaimana kemungkinan untuk membandingkan sistem
hukum yang satu dengan yang lain4

Meskipun pengadilan masih dipercaya oleh masyarakat untuk


menyelesaikan sengketa, kenyataannya mediasi di pengadilan belum efektif
karena masih membutuhkan peningkatan kualitas dan kuantitas SDM, sarana dan
prasarana yang mendukung terciptanya sistem, dan lembaga mediasi di
pengadilan harus konsisten dalam pelaksanaannya5.

Realitanya, banyak persoalan sengketa yang tidak terdaftar dalam


pengadilan, itupun diatasi dengan budaya hukum. Budaya tersebut diselidiki
melalui model antropologi hukum. Menurut Nader dan Todd, model tersebut
membagi tiga tahap proses sengketa yaitu tahap pra-konflik, tahap konflik dan
tahap sengketa. Budaya hukum juga memiliki prinsip yaitu ide, sikap,
kepercayaan, harapan, dan pandangan tentang hukum. Disinilah, Nader dan Todd
membagi tujuh cara penyelesaian sengketa yaitu lumping it (membiarkan saja),
avoidance (mengelak), coercion (paksaan), negotiation (perundingan), mediation,
arbitration, dan adjudication (peradilan)6.

Contoh perselisihan yang terjadi di Indonesia yang berkaitan dengan


antropologi hukum adalah sengketa di Desa Adat Tengger dan di Kawasan Sungai
Brantas Daerah Kabupaten Kediri. Sengketa yang terjadi di Desa Adat Tengger

4
Hilman Hadikusuma. “Pengantar Antropologi Hukum”. (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2004). Hal 7.
5
Amarini, Indriati. “Penyelesaian Sengketa yang Efektif dan Efisien Melalui Optimalisasi
Mediasi di Pengadilan”. Jurnal Kosmik Hukum Vol. 16 No. 2 tahun 2016. Hal 104
6
Siregar, Gabriel V A. “Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus
Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo,
Kabupaten Kediri”. Jurnal BioKultur Vol. 1 (2) tahun 2012. Hal 180.
mengenai pemanfaatan hutan konservasi, yang menimbulkan konflik agraria
dengan polisi hutan. Secara konflik struktural, antropologi hukum melihat bahwa
sengketa tersebut terjadi karena kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada
masyarakat. Setelah ditelusuri secara historis, konflik tersebut merupakan warisan
dari kebijakan masa lalu yang belum ditangani serius oleh pemerintah produk
reformasi. Ini menjadikan rakyat korban konflik/sengketa terus menerus dilanda
konflik agraria tanpa adanya penyelesaian, dikarenakan kebijakan pemerintah dan
pihak pemilik hutan tidak menempatkan rasa kemanusiaan dan keadilan sosial
terhadap masyarakat sekitar7.

Kasus lain yang berhubungan dengan antropologi hukum terjadi pada


sengketa di Sungai Brantas Kawasan Kediri pada penambang pasir hingga
mengalami delampan tahapan penyelesaian sengketa. Persoalan ini menemukan
titik temu tetapi dikembalikan kepada keputusan pemerintah. Berdasarkan model
antropologi hukum, rekomendasi yang dikeluarkan yaitu pemerintah harus lebih
peduli terhadap penambang pasir tradisional dan manual, yang merupakan
pekerjaan membudaya secara turun temurun. Pembuatan kebijakan dan penerapan
peratura perundangan juga perlu melibatkan warga masyarakat setempat,
khususnya penambang pasir. Penegak hukum juga harus tegas dalam
menindaklanjuti aktivitas penambang pasir mekanik yang merusak ekologis, dan
segera memperbaiki serta membangun kembali prasarana yang rusak, sebagai
wujud terciptanya kesadaran warga masyarakat akan lingkungan8.

Perselisihan lain yang dapat dikaitkan dengan antropologi hukum terjadi di


kasus sengketa lahan hutan antara perusahaan HPH PT. Diamond Raya Timber
dengan Masyarakat lokal di wilayah Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Pada
proses penyelesaiannya, pihak yang bersengketa melakukan kombinasi model
mediasi negosiasi. Masyarakat setempat memilih LSM sebagai pembela. Di pihak

7
Kinasih, Sri E. “Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi pada
Masyarakat Adat di Jawa Timur”. Jurnal BioKultur Vol. 5 (1) tahun 2016. Hal 81.
8
Siregar, Gabriel V A. 2012. op cit. Hal 183.
lain, perusahaan HPH menggunakan prosedur formal dan menempatkan
pemerintah, dalam hal ini adalah Departemen Kehutanan sebagai mediator9.

Penutup

Antropologi hukum adalah kajian antropologis terhadap makna sosial dari


dan pentingnya hukum dengan menelaah bagaimana konteks sosial pembuatan
hukum tersebut, bagaimana hukum mempertahankan dan mengubah institusi
sosial lainnya, dan bagaimana hukum membangun perilaku sosial. Peranan
antropologi hukum dapat terasa dengan sangat jelas di berbagai kasus, khususnya
pada sengketa yang terjadi di masyarakat dan tidak melibatkan pengadilan di
dalamnya. Hal ini juga lah yang menyebabkan banyak kasus sengketa yang tidak
tercatatat di pengadilan.

Ada tujuh cara penyelesaian sengketa yaitu lumping it (membiarkan saja),


avoidance (mengelak), coercion (paksaan), negotiation (perundingan), mediation,
arbitration, dan adjudication (peradilan). Meski demikian, metode yang paling
lazim ditemukan dari berbagai kasus sengketa yang telah disebutkan
menitikberatkan pemecahannya pada negosiasi dan mediasi.

Daftar Pustaka

Amarini, Indriati. 2016. Penyelesaian Sengketa yang Efektif dan Efisien Melalui
Optimalisasi Mediasi di Pengadilan. Jurnal Kosmik Hukum Vol. 16 No. 2.
Hal 104

Didik Sujarjito. 2001. Proses Penyelesaian Sengketa Lahan Hutan: Suatu Kajian
Antropologi Hukum. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. VII (1). hal 1-
14.

Hilman Hadikusuma. 2004. Pengantar Antropologi Hukum, Bandung : citra


Aditya Bakti.

9
Didik Sujarjito. “Proses Penyelesaian Sengketa Lahan Hutan: Suatu Kajian Antropologi
Hukum”. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. VII (1) tahun 2001. Hal 12.
Kinasih, Sri E. 2016. Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan
Konservasi pada Masyarakat Adat di Jawa Timur. Jurnal BioKultur Vol. 5
(1) hal. 75 – 96.

M. Sastraprateja. 1993. Pendidikan Nilai, dalam K. Kaswardi(penyunting),


Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta : Grasindo.

Niniek Sri Wahyuni dan Yusnianti. 2007. Manusia dan masyarakat. Jakarta:
Ganeca Exact. 2007.

Siregar, Gabriel V A. 2012. Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas:


Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa
Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri. Jurnal BioKultur
Vol. 1 (2) hal. 179-198.

Anda mungkin juga menyukai