1. Parliamentary Threshold
Pada setiap Negara tentu memilik ketentuan parliamentary threshold dipengaruhi
oleh keberadaan kultural serta historis dalam negara tersebut. Tidak ada besaran resmi
bagi suatu negara mengenai penerapan parliamentary threshold. Pada negara-negara
yang menerapkan parliamentary threshold, tidak batas mutlak bagi setiap negara. Batas
mutlak ini tidka membubuhkan adanya suatu keharusan bagi setiap negara untuk
menerapkannya. Hal yang lazim ada adalah terdapat pengecualian dari mekanisme
parliamentary threshold.
1) Partai Politik Peserta Pemilu Umum harus memenuhi ambang batas perolehan
suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah suara sah
secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada aya (1) tidak berlaku dalam penentuan
perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Ketentuan parliamentary threshold 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional
untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR, sungguh-sungguh
mengesampingkan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh rakyat
pemilih untuk memilih wakilnya di DPR, akan tetapi tidak dijadiikan tolak ukur untuk
DPRD. Hal ini demikian dilakukan dengan dalih untuk melakukan penyederhanaan
partai politik yang berada di DPR sebagi salah satu strategi penguatan sistem
presidensil1.
Secara teoritis tidak ada referensi yang menjelaskan tentang rasio atau alasan
dalam penentuan besaran parliamentary threshold. Hal ini sepenuhnya merupakan
politik hukum di mana praktek masing-masing Negara berbeda. Dengan kata lain
penentuan parliamentary threshold bukan masalah teoritis. Meskipun demikian, secara
logis tetap dapat dirumuskan suatu pengertian bahwa semakin tinggi besaran
parliamentary threshold maka semakin besar pula dampak penyederhanaan partai
politik yang dapat ditimbulkannya. Sesuai pengertian ini maka supaya jumlah partai
politik yang hadir di parlemen dapat semakin dibatasi maka hal itu tentunya bergantung
pada besaran parliamentary threshold yang hendak ditetapkan.
Kekhawatiran yang bisa terjadi adalah setiap kali menjelang pemilihan umum,
angka persentase ambang batas terus dinaikkan sesuai dengan kepentingan politik
masing-masing partai. Anggapan ini bisa saja terjadi karena desain awal menaikan
besaran ambang batas dari 2,5% menjadi 3,5% dan menjadi 4% untuk menghasilkan
sedikit partai yang masuk parlemen tidak terealisasi. Para pembentuk Undang-Undang
masih tersandera oleh kepentingan partai yang mengakibatkan kualitas Undangundang
sangat memprihatinkan2.
2. District Magnituted
Penentuan district magnitude berpengaruh terhadap keberjalanan pemerintahan
Indonesia yang bersistem presidensial. Sementara telah diketahui cela daripada apa
yang diterapkan sekarang, maka yang menjadi terpenting adalah mencari formulasi
guna penyempurnaannya kemudian. Telah menjadi perbincangan dimana-mana,
bahwa besaran district magnitude di Indonesia perlu diperkecil. Pengecilan besaran
district magnitude akan berdampak pada penyederhanaan partai politik secara alamiah
berbasis pada kompetisi perebutan suara yang kompetitif, bukan berdasarkan cara
pintas seperti pemberlakuan parliamentary threshold yang membuat suara terbuang
secara sia-sia. Pilihan mempekecil district magnitude dapat dimulai dengan
2
Purnama, Yusuf Agung Purnama - Fsh.hal 29-32
menetapkan alokasi 3-6 kursi atau maksimum 3-8 kursi untuk setiap satu daerah
pemilihan.
Mengacu pada apa yang dikemukakan Jones, saat ini Indonesia telah
mengambil apa yang dituangkan pada poin kedua dan ketiga. Sementara itu, poin
pertama dan kelima tidak mungkin mudah untuk diambil mengingat semuanya adalah
desain konstitusional. Sebaliknya, poin keempat, yakni menetapkan district magnitude
dari 5 sampai maksimum 8 kursi per dapil, pada dasarnya adalah kebijakan hukum
terbuka (open legal policy), sehingga bukan menjadi sesuatu yang sukar untuk
dilakukan.
Pada akhirnya, memperkecil district magnitude adalah opsi yang layak untuk
dipertimbangkan. Ia terukur untuk merealisasikan harapan menyederhanakan
multipartisme dalam tubuh DPR RI. Ini penting, karena dengan semakin sederhananya
parpol yang duduk di DPR RI, maka kondisi pemerintahan presidensial akan berjalan
semakin efektif, sehingga semangat purifikasi sistem presidensial dapat tercapai sesuai
amanat UUD NRI Tahun 1945.
3
Muzzammil, “Memperkecil District Magnitude, Menuju Multipartai Sederhana Di Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.”hal 76-77
daftar tertutup (Closed List System) dan sistem daftar terbuka (Open List System).
Dalam sistem daftar tertutup, para pemilih harus memilih partai politik peserta pemilu,
dan tidak bisa memilih calon legislatif. Dalam sistem ini, para calon legislatif telah
ditentukan dan diurutkan secara sepihak oleh partai politik yang mencalonkannya.
Sementara pada sistem daftar terbuka (Open List System), para pemilih bukan hanya
dapat memilih partai politik yang diminati, namun juga berkesempatan menentukan
sendiri calon legislatif yang disukainya. Dengan demikian, pemilih di samping memilih
tanda gambar partai juga memilih gambar kandidat legislatif.
Dalam konteks Indonesia, sistem yang digunakan adalah List PR with Open List
System. Dalam sistem List PR, transfer suara ke kursi bisa dilakukan melalui dua cara,
yaitu: (a) berdasarkan rata-rata tertinggi atau biasa disebut dengan pembagi (devisor);
dan (b) suara sisa terbesar (largest remainder) atau disebut dengan kuota. Di Indonesia
mengadopsi cara largest remainder untuk melakukan penghitungan suara. Langkah-
langkahnya adalah menentukan kuota suara dan besarnya kursi yang diperoleh
masing-masing partai berdasarkan jumlah suara yang diperoleh. Sementara sisa suara
yang belum terbagi akan diberikan kepada parpol yang mempunyai jumlah sisa suara
terbesar.
Selanjutnya perlu dibahas pula mengenai District Magnitude yang menjadi salah
satu unsur dalam pemilu legislatif. Besaran Distrik (District Magnitude/DM) adalah
berapa banyak kursi yang diperebutkan dalam suatu daerah pemilihan. Dalam
pembagian DM dikenal 3 kategori, yaitu: (a) Kategori Distrik Kecil (2-5 kursi); (b)
Kategori Distrik Sedang (6-10 kursi); (c) Kategori Distrik Besar (>10 kursi).Semakin
besar DM maka tingkat persaingan partai politik semakin rendah untuk memperebutkan
kursi yang ada di daerah pemilihan tersebut, begitu pula sebaliknya ketika DM
diperkecil, maka secara kausal tingkat kompetisi partai politik akan semakin tinggi
dalam memperebutkan kursi. Disinilah sebenarnya mekanisme kontrol akan kualitas
dari partai politik dapat dilaksanakan.
Dengan penggunaan metode ini maka akan mereduksi secara alami jumlah
partai politik yang duduk di parlemen. Dengan metode Droop ini keinginan untuk
menyederhanakan sistem multipartai dapat terwujud. Sejalan dengan digunakannya
metode kuota Droop dapat berdampak lebih signifikan dalam menyederhanakan partai
politik ketika jumlah kursi yang diperebutkan (district magnitude) dapat diperkecil
dengan cara melakukan pemisahan daerah pemilihan yang mempunyai jatah kursi yang
besar. Nantinya diharapkan dengan semakin sedikitnya partai politik yang duduk di
lembaga perwakilan rakyat maka kondisi pemerintahan presidensial akan berjalan
semakin efektif, sehingga semangat purifikasi sistem presidensial dapat tercapai sesuai
amanat UUD NRI Tahun 19454.
4
Wicaksono, “Reformulasi Metode Konversi Suara Menjadi Kursi Dalam Sistem Pemilihan Umum Legislatif Di
Indonesia.”, Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 1, April 2014, hal 76-81