Anda di halaman 1dari 9

A.

Parliamentary Threshold dan District Magnituted

1. Parliamentary Threshold
Pada setiap Negara tentu memilik ketentuan parliamentary threshold dipengaruhi
oleh keberadaan kultural serta historis dalam negara tersebut. Tidak ada besaran resmi
bagi suatu negara mengenai penerapan parliamentary threshold. Pada negara-negara
yang menerapkan parliamentary threshold, tidak batas mutlak bagi setiap negara. Batas
mutlak ini tidka membubuhkan adanya suatu keharusan bagi setiap negara untuk
menerapkannya. Hal yang lazim ada adalah terdapat pengecualian dari mekanisme
parliamentary threshold.

Di Indonesia parliamentary threshold merupakan syarat ambang batas perolehan


suara partai politik untuk bisa masuk di parlemen. Jadi, setelah hasil jumlah suara
masing-masing partai politik diketahui seluruhnya, lalu dibagi dengan jumlah suara
secara nasional. Ketentuan tersebut diterapkan dalam pemilihan umum 2009,
ketentuan tersebut dirumuskan secara implisit dalam pasal 202 Undang-undang No. 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Adapun bunyi dari pasal
tersebut adalah :

1) Partai Politik Peserta Pemilu Umum harus memenuhi ambang batas perolehan
suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah suara sah
secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada aya (1) tidak berlaku dalam penentuan
perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

Sedangkan di beberapa negara menerapkan ambang batas penempatan


anggota parlemen oleh partai politik sangat bervariasi dimulai dari angka 2% hingga
5%. Angka-angka tersebut tidak dapat dijelaskan darimana perolehannya yang pasti
angka tersebut telah disepakati oleh parlemen yang merupakan perwujudan dari
kehendak rakyat.
Di Indonesia penetapan angka 2,5% tersebut dinilai oleh beberapa pihak dalam
hal ini anggota partai politik adalah inkonstitusional(tidak sesuai dengan konstitusi).

Dalam putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut dapat


disimpulkan bahwa lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal
policy bagi eksistensi partai politik berbentuk electoral threshold maupun parliamentary
threshold. Dalam pertimbangan putusan tersebut diuraikan “Kebijkan seperti ini
diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena pada
hakikatnya adanya Undang-Undang tentang Sistem Kepartaian atau Undang-Undang
Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat pembatasan-pembatasan
sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi.”

Sedangkan mengenai berapa besarnya angka ambang batas, menurut


Mahkamah Konstitusi, adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk
membentuknya tanpa boleh dicampuri oleh MK selama tidak bertentangan dengan hak
politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas. Akan tetapi hakim konstitusi lainnya memiliki
pandangan yang berbeda.

Ketentuan parliamentary threshold 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional
untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR, sungguh-sungguh
mengesampingkan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh rakyat
pemilih untuk memilih wakilnya di DPR, akan tetapi tidak dijadiikan tolak ukur untuk
DPRD. Hal ini demikian dilakukan dengan dalih untuk melakukan penyederhanaan
partai politik yang berada di DPR sebagi salah satu strategi penguatan sistem
presidensil1.

Kelebihan ataupun efektivitas dalam penerapan parliamentary threshold adalah


untuk menyederhanakan partai politik yang akan duduk di kursi parlemen dan hal itu
tanpa membatasi kepesertaan partai politik dalam pemilu seperti halnya penerepan dari
electoral threshold (ET) yang membatasi peserta parpol dengan perolehan suara
minimum tertentu untuk mengikuti pemilu berikutnya. Hanta Yudha menyatakan :
Pemberlakuan PT juga terbukti berpotensi besar mengubah jumlah kekuatan politik di
1
Firdaus, “Relevansi Parliamentary Threshold Terhadap Pelaksanaan Pemilu Yang Demokratis.” Jurnal Konstitusi,
Volume 8, Nomor 2, April 2010, hal 93-98
DPR yang bermula pada tahun 2009. Jika pemilu sebelumnya Pemilu 2004
mengantarkan 16 partai politik ke DPR, dan pada Periode 2009-2014 berkurang
menjadi hanya 9 partai politik yaitu Partai Demokrat, Golkar, PDIP Perjuangan, PKS,
PAN, PPP, PKB, GERINDRA dan HANURA. karena itu meskipun peserta pemilu 2009
lebih banyak dari pada pemilu 2004, jumlah partai politik yang berhasil ke parlemen
lebih sedikit pada pemilu 2009, itu artinya sistem kepartaian akan mengalami
penyederhanaan.

Kedua, syarat konstitusionalitas, Kebijakan pembentukan UndangUndang untuk


melakukan penyederhanaan partai politik pada hakikatnya tergantung pada syarat
konstitusionalitas yang pada analisis akhir ditegakkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Terkait dengan itu maka hal prinsip yang harus diperhatikan adalah sebagai kebijakan
pembentuk Undang-Undang yang dikaitkan dengan pasal 22E Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka Mahkamah Konstitusi telah memberikan
jaminan bahwa hal itu adalah ranah kebebasan dari pembentuk Undang-Undang
sepanjang dilakukan tidak melanggar HAM atau bertentangan dengan prinsip
kedaulatan rakyat, prinsip persamaan, prinsip keadilan dan prinsip non diskriminasi.
Artinya untuk menaikan secara sah ambang batas yang dikehendaki oleh pembentuk
Undang-Undang dalam penerapan parliamentary threshold masih terbuka.

Secara teoritis tidak ada referensi yang menjelaskan tentang rasio atau alasan
dalam penentuan besaran parliamentary threshold. Hal ini sepenuhnya merupakan
politik hukum di mana praktek masing-masing Negara berbeda. Dengan kata lain
penentuan parliamentary threshold bukan masalah teoritis. Meskipun demikian, secara
logis tetap dapat dirumuskan suatu pengertian bahwa semakin tinggi besaran
parliamentary threshold maka semakin besar pula dampak penyederhanaan partai
politik yang dapat ditimbulkannya. Sesuai pengertian ini maka supaya jumlah partai
politik yang hadir di parlemen dapat semakin dibatasi maka hal itu tentunya bergantung
pada besaran parliamentary threshold yang hendak ditetapkan.

Adapun kekurangan dalam penerapan parliamentary threshold menurut peneliti


adalah sebagai berikut:
1. Kepentingan Partai Politik Parlemen Masih Mendominasi

Indonesia merupakan negara demokrasi yang mana pelaksanaan demokrasi


tersebut berdasarkan atas hukum. Artinya bahwa demokrasi yang dimaknai sebagai
sebuah kebebasan atau kemerdekaan masyarakat tetap berjalan dalam kontrol hukum
yang dibuat oleh para legislator. Demokrasi tidak dimaknai sebagai kebebasan yang
seluas-luasnya melainkan kebebasan yang selalu memiliki batas dan aturan tertentu.
Hal ini dimaksudkan agar kebebasan atau kemerdekaan tersebut tidak berbenturan
dengan kemerdekaan atau kebebasan orang lain. Pengaturan sebuah ketentuan
hukum, dengan demikian menjadi penting dan menjadi sebuah keniscayaan demi
terwujudnya sebuah ketertiban dan ketenteraman dalam sebuah negara demokrasi.
Pengaturan sebuah ketentuan hukum tersebut secara khusus diberikan kepada para
legislator untuk merumuskannya. Para legislator yang merupakan wakil rakyat yang
dipilih oleh rakyat dalam sebuah pemilihan umum sebenarnya dan seharusnya mampu
memperjuangkan kepentingan rakyat dan bukannya kepentingan partai atau golongan
tertentu. Prinsip ini sebenarnya tidak boleh dilepaskan dalam perumusan sebuah aturan
hukum. Aturan hukum yang dibentuk oleh para legislator sebenarnya mampu menjawab
persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat.

Perumusan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum


Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah khususnya berkaitan dengan ketentuan ambang batas parlemen
(parliamentary threshold) menemui jalan buntu karena masing-masing fraksi di Dewan
Perwakilan Rakyat mempertahankan kepentingan fraksi (partainya) sendiri.
Kesepakatan mengenai pemberlakuan ambang batas ini akhirnya ditempuh melalui
mekanisme voting. Tarik-menarik kepentingan tersebut kemudian dimenangkan oleh
fraksi yang mendukung pemberlakuan ambang batas secara nasional.

2. Penentuan Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold) masih Bersifat


Eksperimentatif

Ide dasar untuk menaikan besaran ambang batas parlemen (parliamentary


threshold) dari 2,5% ke 3,5% atau naik 1% adalah hasil yang diperoleh dalam pemilihan
umum tahun 2009. Pemilihan umum tahun 2009 dengan jumlah partai politik peserta
pemilihan umum sebanyak 34 menghasilkan partai yang masuk parlemen hanya
berjumlah 9 partai. Jumlah partai politik yang ada di parlemen hasil pemilihan umum
tahun 2009 dianggap masih terlalu banyak sehingga perlu disederhanakan lagi.
Penentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) untuk pemilihan umum
tahun 2014 sebesar 3,5% diharapkan mampu mengurangi jumlah partai di parlemen,
namun nyatanya bahwa harapan tersebut tidak terealisasi. Pemilihan umum tahun 2014
walaupun dengan jumlah partai yang lebih sedikit dari pemilihan umum tahun 2009,
menghasilkan 10 partai masuk parlemen. Dengan demikian maksud penyederhanaan
partai di parlemen tidak berjalan efektif. Artinya bahwa para pembentuk Undang-
Undang (legislator) belum memiliki grand design dalam perumusan mengenai
ketentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold).

Kekhawatiran yang bisa terjadi adalah setiap kali menjelang pemilihan umum,
angka persentase ambang batas terus dinaikkan sesuai dengan kepentingan politik
masing-masing partai. Anggapan ini bisa saja terjadi karena desain awal menaikan
besaran ambang batas dari 2,5% menjadi 3,5% dan menjadi 4% untuk menghasilkan
sedikit partai yang masuk parlemen tidak terealisasi. Para pembentuk Undang-Undang
masih tersandera oleh kepentingan partai yang mengakibatkan kualitas Undangundang
sangat memprihatinkan2.

2. District Magnituted
Penentuan district magnitude berpengaruh terhadap keberjalanan pemerintahan
Indonesia yang bersistem presidensial. Sementara telah diketahui cela daripada apa
yang diterapkan sekarang, maka yang menjadi terpenting adalah mencari formulasi
guna penyempurnaannya kemudian. Telah menjadi perbincangan dimana-mana,
bahwa besaran district magnitude di Indonesia perlu diperkecil. Pengecilan besaran
district magnitude akan berdampak pada penyederhanaan partai politik secara alamiah
berbasis pada kompetisi perebutan suara yang kompetitif, bukan berdasarkan cara
pintas seperti pemberlakuan parliamentary threshold yang membuat suara terbuang
secara sia-sia. Pilihan mempekecil district magnitude dapat dimulai dengan

2
Purnama, Yusuf Agung Purnama - Fsh.hal 29-32
menetapkan alokasi 3-6 kursi atau maksimum 3-8 kursi untuk setiap satu daerah
pemilihan.

Secara teoretis, memperkuat sistem pemerintahan presidensial dengan jalan


memperkecil district magnitude sehingga multipartai menjadi sederhana, memang lebih
mendapat dukungan daripada dengan menggunakan parliamentary threshold. Mark P.
Jones misalnya, sebagaimana dikutip Djayadi Hanan, mengemukakan bahwa terdapat
banyak variabel institusional dan non-institusional yang bila dikombinasikan dapat
membantu berjalannya sebuah sistem presidensial multipartai. Salah satu yang ia
sarankan adalah agar sistem presidensial multipartai membuat kombinasi ideal dari
variabel-variabel berikut :

1. Formula plurality untuk memilih eksekutif/presiden;


2. Pelaksanaan pemilu presiden dan pemilu legislatif secara serentak (concurrent);
3. Sistem representasi proporsional (PR) dalam pemilu legislatif;
4. Jumlah kursi di dapil yang moderat antara lima sampai delapan;
5. Lembaga legislatif satu kamar (unicameral), dengan asumsi majelis tinggi
(senate/upper house) dicalonkan melalui afiliasi partai seperti juga pemilihan untuk
majelis rendah (lower house).

Mengacu pada apa yang dikemukakan Jones, saat ini Indonesia telah
mengambil apa yang dituangkan pada poin kedua dan ketiga. Sementara itu, poin
pertama dan kelima tidak mungkin mudah untuk diambil mengingat semuanya adalah
desain konstitusional. Sebaliknya, poin keempat, yakni menetapkan district magnitude
dari 5 sampai maksimum 8 kursi per dapil, pada dasarnya adalah kebijakan hukum
terbuka (open legal policy), sehingga bukan menjadi sesuatu yang sukar untuk
dilakukan.

Pada akhirnya, memperkecil district magnitude adalah opsi yang layak untuk
dipertimbangkan. Ia terukur untuk merealisasikan harapan menyederhanakan
multipartisme dalam tubuh DPR RI. Ini penting, karena dengan semakin sederhananya
parpol yang duduk di DPR RI, maka kondisi pemerintahan presidensial akan berjalan
semakin efektif, sehingga semangat purifikasi sistem presidensial dapat tercapai sesuai
amanat UUD NRI Tahun 1945.

Besaran district magnitude selama ini telah menyebabkan keberjalanan


pemerintahan Indonesia cenderung tidak stabil, mendorong terjadinya negosiasi
pragmatis dan bahkan politik transaksional antara eksekutif dan DPR RI. Hal ini sama
sekali tidak sejalan dengan komitmen terhadap sistem pemerintahan presidensial, dan
harapan dibalik keberadaan DPR RI yang tiada lain adalah untuk mewakili kepentingan
publik. 2. Besaran district magnitude yang diperkecil sampai 3-6 kursi atau maksimum
3-8 kursi per dapil dapat menyederhanakan komposisi partai di DPR RI, sehingga
hanya dengan koalisi ramping, Presiden dapat menjalankan pemerintahan secara
efektif sebagaimana menjadi visi dari sistem pemerintahan presidensial.

Dalam regulasi kepemiluan selanjutnya, Presiden bersama dengan DPR RI perlu


segera mengadopsi besaran district magnitude yang lebih kecil. Dengan begitu,
diharapkan pemilu 2024 nantinya dapat menghasilkan komposisi DPR RI yang lebih
kompatibel terhadap sistem pemerintahan presidensial 3.

B. Penghitungan Perolehan Kursi


Sistem representasi proporsional (proportional representation) atau lebih dikenal
dengan perwakilan berimbang adalah metode konversi suara pemilih ke kursi di
parlemen sesuai dengan proporsi perolehan suara pemilih. Dibanding dengan sistem
distrik, sistem proporsional lebih banyak digunakan oleh negara-negara di dunia.
Pertimbangan utama negara-negara yang mempergunakan sistem ini biasanya
berangkat dari keberatan terhadap sistem distrik yang tingkat disproporsionalitasnya
sangat tinggi. Varian dari sistem proporsional representatif meliputi: (a) List Proportional
Representation (List PR); (b) Mixed Member Proportional (MMP); dan (c) Single
Transferable Vote (STV).

Di Indonesia menggunkan sistem List Proportional Representative (List PR). List


Proportional Representative (List PR) pada dasarnya ada dua bentuk, yaitu sistem

3
Muzzammil, “Memperkecil District Magnitude, Menuju Multipartai Sederhana Di Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.”hal 76-77
daftar tertutup (Closed List System) dan sistem daftar terbuka (Open List System).
Dalam sistem daftar tertutup, para pemilih harus memilih partai politik peserta pemilu,
dan tidak bisa memilih calon legislatif. Dalam sistem ini, para calon legislatif telah
ditentukan dan diurutkan secara sepihak oleh partai politik yang mencalonkannya.
Sementara pada sistem daftar terbuka (Open List System), para pemilih bukan hanya
dapat memilih partai politik yang diminati, namun juga berkesempatan menentukan
sendiri calon legislatif yang disukainya. Dengan demikian, pemilih di samping memilih
tanda gambar partai juga memilih gambar kandidat legislatif.

Dalam konteks Indonesia, sistem yang digunakan adalah List PR with Open List
System. Dalam sistem List PR, transfer suara ke kursi bisa dilakukan melalui dua cara,
yaitu: (a) berdasarkan rata-rata tertinggi atau biasa disebut dengan pembagi (devisor);
dan (b) suara sisa terbesar (largest remainder) atau disebut dengan kuota. Di Indonesia
mengadopsi cara largest remainder untuk melakukan penghitungan suara. Langkah-
langkahnya adalah menentukan kuota suara dan besarnya kursi yang diperoleh
masing-masing partai berdasarkan jumlah suara yang diperoleh. Sementara sisa suara
yang belum terbagi akan diberikan kepada parpol yang mempunyai jumlah sisa suara
terbesar.

Dalam largest remainder dikenal 2 metode penghitungan, yaitu:

a. Kuota Hare (Hare Quota/HQ)


HQ = v : s
Kuota Hare (Hare Quota/HQ) dihitung berdasarkan jumlah total suara yang sah
(vote/v) dibagi dengan jumlah kursi yang disediakan dalam suatu distrik (seat/s).
b. Kuota Droop (Droop Quota/DQ)
DQ = v : s + 1
Kuota Droop (Droop Quota/DQ) dihitung dari jumlah total suara (vote/v) dibagi
dengan jumlah kursi yang disediakan dalam suatu distrik (seat/s) ditambah 1

Selanjutnya perlu dibahas pula mengenai District Magnitude yang menjadi salah
satu unsur dalam pemilu legislatif. Besaran Distrik (District Magnitude/DM) adalah
berapa banyak kursi yang diperebutkan dalam suatu daerah pemilihan. Dalam
pembagian DM dikenal 3 kategori, yaitu: (a) Kategori Distrik Kecil (2-5 kursi); (b)
Kategori Distrik Sedang (6-10 kursi); (c) Kategori Distrik Besar (>10 kursi).Semakin
besar DM maka tingkat persaingan partai politik semakin rendah untuk memperebutkan
kursi yang ada di daerah pemilihan tersebut, begitu pula sebaliknya ketika DM
diperkecil, maka secara kausal tingkat kompetisi partai politik akan semakin tinggi
dalam memperebutkan kursi. Disinilah sebenarnya mekanisme kontrol akan kualitas
dari partai politik dapat dilaksanakan.

Dengan penggunaan metode ini maka akan mereduksi secara alami jumlah
partai politik yang duduk di parlemen. Dengan metode Droop ini keinginan untuk
menyederhanakan sistem multipartai dapat terwujud. Sejalan dengan digunakannya
metode kuota Droop dapat berdampak lebih signifikan dalam menyederhanakan partai
politik ketika jumlah kursi yang diperebutkan (district magnitude) dapat diperkecil
dengan cara melakukan pemisahan daerah pemilihan yang mempunyai jatah kursi yang
besar. Nantinya diharapkan dengan semakin sedikitnya partai politik yang duduk di
lembaga perwakilan rakyat maka kondisi pemerintahan presidensial akan berjalan
semakin efektif, sehingga semangat purifikasi sistem presidensial dapat tercapai sesuai
amanat UUD NRI Tahun 19454.

C. Penghitungan Calon Terpilih

4
Wicaksono, “Reformulasi Metode Konversi Suara Menjadi Kursi Dalam Sistem Pemilihan Umum Legislatif Di
Indonesia.”, Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 1, April 2014, hal 76-81

Anda mungkin juga menyukai