Anda di halaman 1dari 5

TUGAS SISTEM HUKUM INDONESIA

BUDAYA HUKUM

Oleh:
1. Dhya’sa Cessarisinta Hanief (153190129)
2. Aurellio Yudiprasetyo (153190132)
3. Faradisa Citra Dewi (153190138)
4. Aqila Fadiya Hayah (153190141)
5. Sabilia Wahyu Kurnia (153140131)

Kelompok 3
Kelas: E

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UPN “VETERAN” YOGYAKARTA
2020
Pengertian Budaya Hukum
Budaya Hukum adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap
gejala-gejala hukum. Tanggapan tersebut merupakan kesatuan padangan terhadap nilai-nilai dan
perilaku hukum. Budaya hukum tersebut juga menunjukkan tentang pola perilaku individu
sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan yang sama terhadap kehidupan
hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan (Hadikusuma, 1986).
Budaya Hukum masyarakat juga bisa dikatakan sebagai bahan informasi yang penting,
mengapa demikian? Karena untuk lebih mengenal susunan masyarakat setempat, sistem hukum,
konsepsi hukum, norma-norma hukum dan perilaku manusia. Tentu saja budaya hukum bukan
merupakan budaya pribadi, melainkan budaya menyeluruh dari masyarakat tertentu. Sehingga
tidak lepas dari pembicaraan mengenai keadaan, sistem dan susunan suatu masyarakat.
Tipe Budaya Hukum dikelompokkan menjadi 3 wujud perilaku manusia dalam
kehidupan masyarakat, yaitu :
1. Budaya Parokial (Parochial Culture)
Dimana cara berpikir masyarakatnya masih terbatas (picik), tanggapannya terhadap
hukum hanya terbatas dalam lingkungannya sendiri. Masyarakat ini masih memegang
teguh kaidah hukum yang telah digariskan leluhur yang diturunkan secara turun-
temurun, misalnya tradisi. Pada umumnya, masyarakatnya sederhana, sifat budaya
hukumnya etnosentris, dimana lebih mengutamakan dan membanggakan budaya
hukum sendiri dan menganggap hukum sendiri lebih baik dari hukum orang lain
(Kantaprawira, 1983). Kami mengambil contoh Budaya Politik Parokial, dimana
masyarakat pedalaman tidak diikutsertakan dalam pemilu atau sesepuh desa
digunakan sebagai pemimpin.

2. Budaya Subjek atau Kaula (Subject Culture)


Cara berpikir masyarakat sudah ada perhatian, dengan kata lain sudah ada kesadaran
hukum yang umum terhadap keluaran dari penguasa yang lebih tinggi. Masukan dari
masyarakat masih sangat kecil bahkan belum ada sama sekali, bisanya dikarenakan
pengetahuan, pengalaman dan pergaulan anggota masyarakat masih terbatas dan ada
rasa takut pada ancaman dari penguasa. Tipe ini bersifat menganggap dirinya tidak
berdaya mempengaruhi, apalagi berusaha mengubah sistem hukum walaupun yang
dirasakan bertetangan dengan kepentingan pribadi dan masyarakatnya (Kartaprawira,
1983). Contohnya, tidak berani untuk menyampaikan pendapat politiknya di depan
umum, tidak mau ikut serta dalam urusan pemilihan presiden dan perangkatnya
karena bagi mereka presiden yang terpilih nantinya tidak akan membawa perubahan
apapun dan memilih untuk tidak ikut pemilu.

3. Budaya Partisipant (Participant Culture)


Cara berpikir dan berperilaku anggota berbeda-beda, ada yang berbudaya takluk
namun sudah banyak merasa berhak dan berkewajiban berperan serta karena ia
merasa sebagai bagian dari kehidupa hukum yang umum. Masyarakat sudah merasa
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintah.
Bedanya dengan Budaya Subjek adalah, masyarakat disini tidak mau dikucilkan
terhadap kegiatan tanggapan masukan dan keluaran hukum, mereka ikut menilai
setiap peristiwa hukum dan peradilan, merasa terlibat dalam kehidupan hukum baik
yang menyangkut kepentingan umum maupun keluarga dan diri sendiri. Pengalaman
dan pengetahuannya sudah luas, sudah ada organisasi (Kantaprawira, 1983). Kita
mengambil contoh dari masyarakat Indonesia itu sendiri, hampir 90% masyarakat
Indonesia mengamalkan budaya politik ini yang mana masyarakat dituntut untuk aktif
dan menyuarakan pendapat politiknya yang dilindungi oleh UU.

Budaya Hukum adalah keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum
memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Elemen
budaya hukum (legal culture) yang harus diartikan sebagai people’s attitudes toward law and
the legal system – their beliefs, values, ideas and expectations. Yang dimana itu adalah bagian
dari general culture yang berkaitan dengan sistem hukum, maksudnya adalah masyarakat
kalangan bawah tidak percaya kepada pengadilan, mereka lebih memilih menyelesaikan perkara
di luar pengadilan. Sebagai contoh koruptor tanpa punya rasa bersalah dan malu tampil di media
layaknya selebriti, hal itu memprihatinkan di negara Indonesia, membuang sampah tidak pada
tempatnya, menyuap penegak hukum pada saat melanggar peraturan lalu lintas hal tersebut
contoh-contoh kecil dari persoalan yang kompleks.

Peranan Budaya Hukum Dalam Penegakan Hukum


Untuk menegakkan sebuah hukum perlu keterkaitan satu sama lain, ia tidak dapat berdiri
sendiri. Maksudnya adalah hukum bukan hanya sebagai sistem nilai, tetapi juga hukum sebagai
sub sistem dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat dimana hukum diberlakukan.
Maksud dari hukum sebagai sub sitem adalah agar kita dapat memahami hukum sevara
komprehensif, tidah sepotong-potong dan parsial. Shrode dan Voich memaparkan bahwa hukum
itu rumit dan kompleks yaitu hukum bukan hanya sebagai sistem nilai, tetapi juga hukum sebagai
sub siste dari sistem sosial yang lebih besar. Maksud dari sub sistem disini adalah hukum bukan
hanya sistem tunggal dalam masyarakat, tetapi bagian dari sub sistem sosial lainnya, misal
ekonomi, politik, budaya dan konsekuensi.
Hukum sebagai sistem nilai merupakan das sein dan das solen, tidak mudah dipertemukan
bahkan sering bertolak belakang dengan perilaku hukum masyarakat yang seharusnya. Sulitnya
penyelarasan tersebut tidak terlepas dari faktor non yuridis yang hidup dan berkembang, salah
satunya adalah kultur hukum. Budaya sebagai produk masyarakat amat beragam dan berbeda,
misalnya adalah budaya hukum seorang pedagang dengan guru, sopir dengan pegawai dan
lainnya.
Komponen-Komponen yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Tujuan dan fungsi hukum seringkali tidak seperti yang diharapkan, hal itu dikarenakan
banyaknya faktor, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar yang mempengaruhi
bekerjanya hukum. Faktor berasal dari dalam seperti sistem hukum seperti aparat yang tidak
memiliki kemampuan, poltik penguasa yang tidak mewakili rasa keadilan masyarakat artinya apa
yang diinginkan oleh hukum berbeda dengan keinginan masyarakat. Terjadinya ketimpangan ,
kebebasan antara hukum “solen” dengan hukum”sein” bisa terjadi karena aparat penegak hukum
sudah terwujud masyarakat beraksi menolaknya, dengan berbagai cara seperti memprotes,
melanggar, bahkan tidak menghiraukannya.
Faktor diluar sistem hukum berasal dari kesadaran hukum masyarakat dan perkembangan
dan perubahan sosial, politik hukum penguasa, tekanan dunia internasional, maupun budaya
hukum masyarakat.
Dengan kata lain hukum tegak jika seluruh komponen sistem hukum bekerja sama.
Namun jika salah satu tidak bekerja sebagai sebagaimana mestinya, entah dari pihak aparat,
hukum ataupun masyarakat, maka hukum yang tegak hanya sebuah angan-angan belaka, bahkan
aparat penegak hukum dianggap “absent” jika dalam law making process nilai-nilai masyarakat
direduksi, disimpangi hasilnya hukum hanya menguntungkan golongan tertentu, kelas tertentu,
persekutuan –persekutuan tertentu, penguasa, orang-orang kaya dan sebagainya. Dalam
penegakannya (law inforcement process) aparat mudah disuap, suka memutar balikkan fakta,
membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar.
Disisi lain masyarakatnya mengembangkan budaya yang tidak kondusif dan mendukung
tegaknya hukum seperti main hakim sendiri, tidak bersahabat dengan aparat untuk mencegah
penyimpangan, pengabaian hukum dan sebagainya, maka hakikat sistem sebagai keteraturan
hanya mitos, karena yang terjadi justru konflik dalam sistem hukum karena masing-masing
komponen, elemen, dan sub-sistem memilki kontribusi rapuhnya penegakan hukum.

Faktor Dasar Kebudayaan


1. Anthropos 
Faktor ini berkaitan dengan manusia. Pada dasarnya manusia bukanlah mahluk rasional
yang sudah selesai dan sempurna. Artinya, manusia perlu berkarya agar dapat membuat
dunianya menjadi lebih bermakna. Potensi manusia inilah yang menjadikannya sebagai
agen kebudayaan yang kreatif.
2. Oikos
Faktor ini berarti alam atau lingkungan tempat manusia melakukan proses kreativitas.
Lingkungan inilah yang menjadi tempat perjuangan manusia, sehingga muncul
hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya.
3. Tekne
Faktor ini berkaitan dengan teknologi sebagai sarana prasarana yang digunakan
manusia dalam membantu mengelola  kehidupannya. Hukum dapat saja dipandang
sebagai tekne apabila dipahami sebagai alat untuk mencapai tujuan kehidupan
bermasyarakat yang lebih baik.
4. Ethnos
Faktor ini berkaitan dengan komunitas. Karya manusia yang sebaik apapun, termasuk
hukum positif yang dibuat oleh manusia, tidak akan bermakna jika tidak didukung oleh
semangat kolektif. Hukum yang baik harus dilahirkan karena memang dikehendaki oleh
masyarakat dan diterapkan sebagai konsekuensi dari kesepakatan sosial.

Anda mungkin juga menyukai