Anda di halaman 1dari 10

Pengaruh Kebudayaan Terhadap Sistem Hukum Sebagai Instrumen

Penegakan Hukum Di Masyarakat

Abstrak

Hukum dan budaya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Budaya yang menjadi dasar dari
sistem hukum dalam suatu masyarakat dapat mempengaruhi individu dalam memberikan latar
belakang dan pandangan yang sama mengenai tujuan dan cita-cita dalam masyarakat. Dalam
pandangan antropologi hukum, memahami budaya hukum suatu daerah sangat penting untuk
meningkatkan sistem hukum dan ketaatan hukum di sana. Pemeliharaan budaya hukum dalam
masyarakat dapat membantu untuk memahami nilai-nilai dan pentingnya hukum dalam menjaga
keamanan, ketertiban, dan keadilan sosial. Dalam beberapa penelitian antropologi hukum,
terbukti bahwa memelihara budaya hukum di Indonesia dapat membantu meningkatkan
efektivitas penyelesaian sengketa secara damai dan penegakan hukum yang menyatu dalam
masyarakat dapat memberikan dampak positif terhadap masyarakat. Dalam suatu negara, budaya
lebih diutamakan dalam sistem hukum karena menjadi acuan dalam membuat kebijakan
sehingga tercipta ketertiban dan penegakan hukum di masyarakat. Sistem hukum negara
memberikan prioritas pada budaya di atas nilai-nilai lainnya, karena budaya memiliki konsep
abstrak yang menjadi tolak ukur baik buruknya tindakan manusia. Oleh karena itu, nilai budaya
menjadi panduan dalam pembuatan kebijakan untuk menciptakan ketertiban dan penegakan
hukum di masyarakat.

Kata Kunci: Antropologi Hukum, Hukum dalam Masyarakat, Kebudayaan, Hukum.

Abstract

Law and culture are interrelated and inseparable. Culture, which forms the basis of the legal
system in a society, can influence individuals in providing a common background and
perspective on goals and aspirations within the community. From the perspective of legal
anthropology, understanding the legal culture of a region is crucial to improving the legal
system and compliance there. The preservation of legal culture in society can help to understand
the values and importance of the law in maintaining security, order, and social justice. In
several legal anthropology studies, it has been proven that preserving legal culture in Indonesia
can help increase the effectiveness of peaceful dispute resolution and that law enforcement
integrated within the community has a positive impact on society. In a country, culture is given
priority in the legal system because it serves as a guide in policy-making that creates order and
law enforcement in society. The national legal system prioritizes culture above other values
because culture provides an abstract concept that serves as a benchmark for good and bad
human actions. Therefore, cultural values serve as a guide in policy-making to create order and
law enforcement in society.

Keywords: Legal Anthropology, Law in Society, Culture, Law.


A. PENDAHULUAN

Budaya hukum merupakan suatu norma, aturan, dan nilai-nilai yang telah ada di dalam
masyarakat yang harus dipegang teguh dan dijalankan secara benar. Dalam hal ini, penegakan
budaya hukum sangatlah penting untuk dilakukan agar tercipta suatu masyarakat yang adil dan
sejahtera. Pengaruh penegakan budaya hukum di masyarakat merupakan topik yang menarik
untuk dibahas dalam perspektif antropologi hukum. Antropologi hukum adalah bidang studi
yang mempelajari hubungan antara masyarakat dan hukum, serta bagaimana hukum dan institusi
hukum mempengaruhi kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Dalam konteks ini,
penegakan budaya hukum dapat diartikan sebagai upaya untuk memperkuat pemahaman dan
penghargaan terhadap nilai-nilai hukum di masyarakat, serta meningkatkan kesadaran
masyarakat akan pentingnya hukum dalam menjaga keamanan, ketertiban, dan keadilan sosial.

Beberapa penelitian antropologi hukum telah menunjukkan bahwa penegakan budaya


hukum di masyarakat memiliki dampak yang signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan
sosial, seperti tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum, efektivitas penegakan
hukum, dan kualitas kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Sebagai contoh, sebuah
penelitian menunjukkan bahwa penegakan budaya hukum yang kuat di masyarakat Indonesia
dapat membantu meningkatkan efektivitas penyelesaian sengketa secara damai, serta mengurangi
kecenderungan untuk menggunakan kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan konflik.

Budaya hukum yang kuat dan positif dapat mempengaruhi penegakan hukum yang
efektif di masyarakat. Ketika masyarakat memiliki keyakinan yang kuat pada nilai-nilai hukum,
maka mereka akan cenderung menghormati dan mematuhi hukum yang ada, serta memandang
penegakan hukum sebagai suatu hal yang penting dan positif. Sebaliknya, bila budaya hukum
yang ada di suatu wilayah sangat lemah atau negatif, maka masyarakat cenderung mengabaikan
hukum dan bahkan memandang penegakan hukum sebagai suatu hal yang buruk atau tidak
relevan.

Selain itu, budaya hukum juga dapat mempengaruhi cara penegakan hukum di suatu
wilayah. Contohnya, di beberapa wilayah yang memiliki budaya hukum yang sangat kuat,
masyarakat mungkin cenderung lebih memilih penyelesaian masalah secara musyawarah dan
mufakat daripada melalui pengadilan formal. Di sisi lain, di wilayah-wilayah lain yang budaya
hukumnya lemah, masyarakat mungkin cenderung mencari cara-cara lain untuk menghindari
penegakan hukum formal, seperti melalui hubungan atau suap.

Dalam pandangan antropologi hukum, penting untuk memahami budaya hukum suatu
wilayah ketika ingin memperbaiki sistem hukum dan penegakan hukum di sana. Dalam hal ini,
pemahaman budaya hukum dapat membantu mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
cara masyarakat dalam memandang hukum dan penegakan hukum, sehingga dapat diambil
langkah-langkah yang sesuai untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum di suatu
wilayah.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana Korelasi Budaya dengan Hukum di dalam Kehidupan ?
2. Bagaimana budaya hukum dapat mempengaruhi penegakan hukum di masyarakat ?

Kajian Terdahulu
Beberapa Penelitian yang mengkaji tentang pengaruh hukum dan kebudayaan terhadap
penegakan hukum , salah satunya M. Muhtaro dengan judul penelitian Pengaruh Budaya Hukum
Terhadap Kepatuhan Hukum Dalam Masyarakat pada tahun 2015. Hasil penelitian tersebut
menunjukan kepatuhan terhadap hukum dan konflik hukum dipengaruhi oleh keanekaragaman
nilai-nilai di masyarakat. Ketidakpatuhan terhadap hukum dan masalah konflik hukum saat ini
memerlukan penyelesaian yang sistematis, bukan hanya mengutamakan sanksi-sanksi melainkan
mensosialisasikan program positif yang bertujuan membangkitkan kesadaran budaya hukum
yang baru.

Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Ika Darmika yang berjudul Budaya Hukum
(Legal Culture) dan Pengaruhnya Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia pada tahun 2016.
Penelitian ini membahas tentang hubungan penegakan hukum dan moral. Penelitian tersebut
mengemukakan bahwa penegakan hukum merupakan penerapan diskresi yang menyangkut
membuat keputusan yang tidak diatur oleh kaidah hukum. Faktor berjalannya penegakan hukum
yaitu faktor hukumnya, sarana atau fasilitas, masyarakat, dan faktor kebudayaan. Selain itu
berjalannya penegakan hukum dan kepatuhan hukum akan berbeda karena perbedaan persepsi
antara kelompok sosial melihat ketentuan hukum.

B. PEMBAHASAN

1. Korelasi hukum dan kebudayaan


Hukum dan kebudayaan adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan hubungannya. Hal
ini dikarenakan oleh hukum itu sendiri merupakan hasil daripada adanya kebudayaan yang
tinggal di dalam masyarakat. Kebudayaan juga dapat disebut sebagai dasar dari adanya hukum
karena kebudayaan merupakan ways of life yang kemudian akan menuntun masyarakat untuk
hidup sesuai aturan sehingga kedamaian dapat tercipta ditengah masyarakat.

Menurut Koentjaraningrat, hubungan hukum dan kebudayaan tergambarkan dalam sistem


tata kelakuan manusia yang berupa norma-norma, hukum, dan aturan-aturan khusus, semua
berpedoman kepada sistem nilai budaya masyarakat.

Berikut ini adalah beberapa pemikiran ataupun teori yang dapat menjelaskan hubungan antara
hukum dan kebudayaan:

1. Mazhab sejarah dan kebudayaan

Pada mazhab ini dikatakan bahwa jika ingin mengerti tentang hukum maka
caranya adalah dengan menelaah sejarah dan kebudayaannya dimana hukum tersebut
tercipta. Tokoh penting dalam mazhab sejarah dan kebudayaan adalah Friederich Karl
Von Savigny (1779-1861). Friederich berpendapat bahwa asal hukum itu bukan dari
pembentuk undang-undang tetapi dari adat istiadat dan kepercayaan. Karena menurutnya,
hukum itu merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat (Volkgeist). Jadi,
jika masyarakatnya sudah mulai kompleks maka hukum juga akan ikut berubah sesuai
keadaan saat itu. Keputusan pembentuk undang-undang (badan legislatif) terkadang
dianggap bisa membahayakan masyarakat karena keputusan tersebut belum tentu sesuai
dengan kesadaran hukum masyarakatnya.

Konsep pemikiran Friedrich ini melihat bahwa hukum itu ditentukan oleh
kehidupan sosial masyarakatnya, bukan dibuat (product by-design). Pokok pengajaran
Friederich menekankan pada aspek dinamis dari hukum bahwa hukum itu lahir dan
tumbuh dalam masyarakat secara dinamis. Dalam pandangan Friederich, hukum itu tidak
mengenal kata berhenti, prosesnya akan terus berjalan seiringnya waktu sehingga hukum
itu adalah suatu produk budaya yang menyejarah.

2. Aliran sociological jurisprudence

Tokoh dalam aliran ini adalah Eugen Ehrlich (1862-1922). Menurut Eugen,
hukum positif itu hanya akan berjalan dengan efektif jika selaras dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat (living law). Ajaran aliran sociological jurisprudence
berkembang dan popular di Amerika Serikat pada tahun 1870-1964 atas jasa Roscoe
Pound. Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum itu harus dilihat sebagai suatu lembaga
masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial secara maksimal, dan
selanjutnya Roscoe Pound menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses
(law in action).

Konsep law in action ini diterapkan dalam hukum adat sebagai acuan dalam
meneliti kedudukan hukum adat dalam sistem hukum yang berlaku saat ini. Tumbuh dan
berkembangnya hukum adat selalu sejalan dan selaras dengan kehidupan masyarakatnya.
Persamaan pemikiran milik Eugene dan Friederich adalah ditekankannya bahwa “hukum
yang hidup dalam masyarakat” yang berdasarkan pada kehidupan sosial masyarakatnya.

3. Teori hukum pembangunan (Mazhab Unpad)

Teori ini dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Mochtar mengatakan


bahwa hukum yang harus dibuat itu adalah hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum
masyarakat dan hukum tidak boleh menghambat perkembangan. Kemunculan teori ini
dilatarbelakangi oleh 2 aspek, yaitu:

● Muncul asumsi bahwa hukum tidak mengambil peran atau menjadi penghambat
perubahan masyarakat;
● Dalam kenyataan yang terjadi pada masyarakat Indonesia, telah terjadi perubahan
alam pemikiran masyarakat kearah hukum modern.

Maka dari itu, Mochtar mengatakan bahwa tujuan utama hukum akan berbeda-
beda isi dan ukurannya sesuai dengan masyarakat dan zamannya. Pada umumnya, tujuan
hukum dikemukakan sebagai alat untuk menciptakan kepastian dan keadilan. Namun,
dalam pandangan Mochtar, tujuan utama hukum adalah ketertiban yang didalamnya telah
mengandung nilai kepastian dan keadilan.

Teori-teori hukum pembangunan milik Mochtar ini setidaknya berlandaskan atas


3 hal, yaitu masyarakat pluralistik Indonesia, ideologi Pancasila, dan hukum sebagai
pemberi arah pembaharuan masyarakat. Inti dari teori hukum pembangunan milik
Mochtar adalah hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.

4. Teori sistem hukum

Teori ini dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman dalam bukunya yang berjudul
The Legal System A Social Science Perspective (Sistem Hukum Dalam Perspektif Ilmu
Sosial). Friedman mendefinisikan hukum itu adalah seperangkat aturan atau norma yang
tertulis maupun tidak tertulis tentang suatu kebenaran dan kesalahan, perilaku, tugas,
tanggung jawab serta hak. Friedman juga berpendapat, menurutnya hukum dianggap
sebagai sesuatu yang independen atau sebagai sesuatu yang terlepas dari tata kehidupan
sosial. Teori ini memandang bahwa sistem hukum terdiri dari 3 komponen, yaitu:

● Struktur hukum (legal structure)

Struktur hukum adalah kerangka, bagian yang tetap bertahan, bagian yang
memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan instansi-instansi
penegak hukum. Struktur hukum mencakup berbagai institusi yang diciptakan
oleh sistem hukum yang berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung
bekerjanya sistem hukum tersebut.

● Substansi hukum (legal substance)

Substansi hukum adalah aturan-aturan, norma-norma, dan pola perilaku nyata


manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkannya,
mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun.
Lawrence mengatakan “substansi adalah apa yang kita sebut aturan atau norma
aktual yang digunakan oleh institusi, (atau sesuai kasusnya) pola perilaku nyata
yang dapat diamati dari aktor dalam sistem”. Substansi hukum yang dimaksud
adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum adat dan
kedudukan majelis desa pakraman dalam peranannya di bidang pembangunan
hukum nasional.

● Budaya hukum (legal culture)

Lawrence mendefinisikan budaya hukum sebagai sikapsikap dan nilai-nilai yang


ada hubungannya dengan hukum atau sistem hukum, berikut sikap-sikap dan
nilai-nilai yang memberikan pengaruh kepada tingkah laku yang berkaitan dengan
hukum dan institusi hukum, positif maupun negatif

5. Teori responsif

Teori ini dikemukakan oleh Nonet dan Selznick pada saat terjadinya banyak kritik
pedas yang muncul Neo-Marxis terhadap liberal legalism. Hukum responsif berorientasi
pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Nonet dan Selznick
berpendapatan bahwa hukum itu bukanlah sekedar rules (logic and rules), tetapi juga ada
logika-logika lain. artinya, diberlakukannya jurisprudence saja tidak cukup tetapi harus
disertai dengan adanya ilmu-ilmu sosial, dengan tujuan dapat membebaskan diri dari
kekangan hukum murni yang kaku dan analitis.

Ditengah banyaknya kritikan yang terjadi pada saat itu, Nonet dan Selznick
mengajukan model hukum responsif. Dimana mereka memberikan perhatian khusus pada
variabel-variabel yang berikatan dengan hukum. Nonet dan Selznick menjadikan hukum
sebagai sarana respons terhadap ketentuan sosial dan aspirasi publik.

6. Teori hukum progresif

Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Prof. Satjipto Rahardjo. Prof. Tjip
menempatkan manusia sebagai dasar penentu dan titik orientasi hukum atau pemikiran
hukum dikembalikan pada filosofi dasarnya yaitu hukum untuk manusia. Maka dari itu,
hendaknya hukum dapat melayani manusia bukan sebaliknya. Prof. Tjip berpendapat
bahwa hukum itu harus dapat mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab
perubahan zaman dengan segala dasar didalamnya, serta mampu melayani kepentingan
masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia
penegak hukum itu sendiri.

Karakteristik dari hukum progresif ini antara lain: hukum yang membebaskan,
dalam arti membebaskan dari belenggu struktur-struktur hukum atau asas asas hukum
lama (doktrin), menolak status quo, melakukan rule breaking, adanya kreativitas operator
hukum berupa terobosan hukum, law in the making dan tidak pernah final. Maka dari itu,
pelaku hukum diharapkan untuk menjadi kreatif, arif, dan visioner dalam memahami
berbagai aturan yang ada
Dengan adanya beberapa pemikiran dan teori tersebut, dikemukakan hukum dan
kebudayaan sangat sulit untuk dipisahkan karena hukum baru akan efektif jika telah
sesuai dengan budaya (nilai-nilai) yang hidup didalam masyarakat, sehingga hukum
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, keadilan, kebenaran, dan kepatutan.

2. Pengaruh Budaya Hukum dalam Penegakan Hukum di Masyarakat

Kejahatan yang terjadi dalam masyarakat sangat dipengaruhi rendahnya kesadaran dan
sulitnya mewujudkan penegakan hukum di masyarakat. Menurut Roscoe Pound hukum tidak
hanya berfungsi sebagai kontrol sosial tetapi sebagai alat mengubah masyarakat atau a tool of
social engineering. Hambatan di dalam penegakan hukum seringkali terjadi karena
ketidakserasian antara nilai-nilai budaya yang menjelma menjadi kaidah-kaidah yang simpang
siur, hal ini dapat mengganggu kondusifitas di masyarakat.

Masalah pokok penegakan hukum yang terjadi di masyarakat, antara lain :

a. Faktor hukumnya
b. Faktor pranata hukumnya
c. Faktor sarana fasilitas yang mendukung penegakan hukum
d. Faktor masyarakat, lingkungan tempat berlakunya suatu hukum
e. Faktor kebudayaan

Dari faktor permasalahan pokok penegakan hukum salah satunya faktor budaya. Budaya
hukum di Indonesia memiliki kompleksitas tinggi yang menyebabkan keanekaragaman aspek
suatu kelompok sosial dengan kelompok sosial yang lain. Dalam budaya hukum disana terdapat
nilai, gagasan dan harapan atas norma dalam kehidupan sosial masyarakat. Berdasarkan definisi
Friedman mengatakan bahwa sistem hukum terdiri tiga aspek, yaitu : Legal substance,
merupakan aturan, norma, dan pola perilaku dari manusia yang berada di dalam sistem tersebut ;
legal structure, Yaitu lembaga dan pranata yang bertugas menegakan hukum; legal culture atau
budaya hukum. Ketiga aspek menjadi faktor penting dalam berjalannya suatu sistem hukum yang
baik. Soerjono Soekanto menguatkan argumen dari Friedman yaitu ketiga aspek tersebut
merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan, karena jika dipisahkan akan
menyebabkan ketidakselarasan di dalam penegakan hukum.

Meskipun aspek sistem hukum saling berkaitan satu sama lain, legal culture atau budaya
hukum merupakan salah satu aspek penting dalam optimalisasi penegakan hukum di masyarakat.
Keberhasilan dan pengaruh budaya hukum di dalam penegakan hukum di masyarakat dapat
dilihat pada tingkat kesadaran masyarakat yang cenderung positif, proaktif dan memiliki
kesadaran hukum yang tinggi serta berpengaruh pada pola sosial masyarakat terhadap hukum
yaitu berubah yang awalnya sebagai kontrol sosial bergeser ke arah perubahan tingkah laku
masyarakat.
Bekerjanya hukum di dalam masyarakat beranjak dari sebuah budaya yang
melatarbelakanginya. Di dalam Budaya hukum terdapat suatu eksistensi nilai, pola pikir, dan
kebiasaan sebagai pondasi dalam bekerjanya sistem hukum di masyarakat. Budaya akan
menstimulasi sikap kepatuhan seseorang yang yang berdampak pada keefektifan hukum dalam
mencapai perubahan sosial di masyarakat. Sejatinya norma hukum tidak dibentuk oleh pemikiran
manusia saja, tetapi norma itu lahir karena pola dan kebiasaan dalam masyarakat itu sendiri.

Von Savigny berpendapat bahwa budaya memberikan peran dan warna hukum di dalam
masyarakat. Budaya sangat mempengaruhi individu dalam memberikan latar belakangnya dan
kerangka berpikir yang sama dan akan memiliki tujuan dan cita-cita yang sama dalam sebuah
kelompok sosial. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Leon Duguit, yang berpendapat bahwa
kelompok sosial akan mempengaruhi bekerjanya sistem hukum karena hukum terbentuk bukan
dari kebijakan penguasa, tetapi karena solidaritas suatu kelompok sosial yang saling simpati dan
empati suatu kelompok sosial. Oleh karena adanya solidaritas sosial suatu sistem hukum dapat
berjalan dengan tertib sehingga hukum bisa ditegakan.

Nilai yang terkandung di dalam ide, pendapat, dan pola perilaku masyarakat merupakan
sebuah indikasi telah terbentuk sebuah norma hukum dan norma itulah yang dapat menentukan
dan mempengaruhi perubahan di masyarakat, termasuk kepatuhan terhadap norma hukum.
Lawrence M. Friedman berpendapat budaya hukum merupakan salah satu sumber hukum. Setiap
individu memiliki latar belakang budaya, sifat, dan pola pikir yang berbeda, tetapi ketika hal-hal
tersebut dipertemukan di dalam suatu kelompok sosial yang bertahan sangat lama, maka akan
terciptanya ide dan perilaku tertentu sebagai awal terjadinya legal culture atau budaya hukum.

Sejatinya perwujudan sistem hukum di suatu negara menempatkan budaya lebih utama
dibandingkan nilai lainnya. Hal ini karena budaya terdapat suatu gagasan abstrak yang menjadi
indikator baik buruknya suatu perbuatan manusia, kemudian nilai ini lah yang menjadi acuan
dalam membuat suatu kebijakan sehingga terjadi ketertiban dan penegakan hukum di
masyarakat.

C. PENUTUP
Kesimpulan
Korelasi hukum dan kebudayaan Hukum dan kebudayaan adalah suatu hal yang tidak
dapat dipisahkan hubungannya. Hal ini dikarenakan oleh hukum itu sendiri merupakan hasil
daripada adanya kebudayaan yang tinggal di dalam masyarakat. Kebudayaan juga dapat disebut
sebagai dasar dari adanya hukum karena kebudayaan merupakan ways of life yang kemudian
akan menuntun masyarakat untuk hidup sesuai aturan sehingga kedamaian dapat tercipta
ditengah masyarakat. Hubungan hukum dan kebudayaan tergambarkan dalam sistem tata
kelakuan manusia yang berupa norma-norma, hukum, dan aturan-aturan khusus, semua
berpedoman kepada sistem nilai budaya masyarakat.
Berbekal beberapa Teori, Mazhab, dan Tokoh yang sudah disebutkan diatas, yang
berlatar belakang berbeda dan terpencar di seluruh belahan dunia yang berbeda, kesimpulan yang
dapat ditarik adalah umumnya, dan sudah sepatutnya bahwa hukum hadir dan hidup dari
kebiasaan dan kebudayaan yang hidup dalam masyarakat sosial. Seharusnya juga hukum hidup
dan hadir untuk melayani manusia dan bukan sebaliknya jika menurut Prof. Tjip yang menganut
mazhab Hukum Progresif. Garis besar yang dapat ditarik dari teori Hukum Progresif adalah
hukum itu harus dapat mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman
dengan segala dasar didalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan
menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.
Hukum itu merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat (Volkgeist). Jadi,
jika masyarakatnya sudah mulai kompleks maka hukum juga akan ikut berubah sesuai keadaan
saat itu. Keputusan pembentuk undang-undang (badan legislatif) terkadang dianggap bisa
membahayakan masyarakat karena keputusan tersebut belum tentu sesuai dengan kesadaran
hukum masyarakatnya. Teori ini melihat bahwa hukum itu ditentukan oleh kehidupan sosial
masyarakatnya, bukan dibuat (Product by-Design). Teori ini menekankan pada aspek dinamis
dari hukum bahwa hukum itu lahir dan tumbuh dalam masyarakat secara dinamis.
Hukum itu tidak mengenal kata berhenti, prosesnya akan terus berjalan seiringnya waktu
sehingga hukum itu adalah suatu produk budaya yang menyejarah. Hukum positif itu hanya akan
berjalan dengan efektif jika selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (Living Law).
Hukum itu harus dilihat sebagai suatu lembaga masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhan-
kebutuhan sosial secara maksimal, dan selanjutnya Roscoe Pound menganggap hukum sebagai
suatu proses (Law in Action).

DAFTAR PUSTAKA

Barus, Z. (2014). Analisis Antropologi Hukum Tentang Pengaruh Nilai-Nilai Budaya Terhadap
Budaya Hukum Masyarakat Batak-Toba Terkait Dengan Batas Usia Kawin Menurut UU
Nomor 1 Tahun 1974. Yustisia Vol. 3 No.2 https://business-law.binus.ac.id/2019/10/04/apa-
itu-budaya-hukum/

Darmika, Ika. “Budaya Hukum ( Legal Culture ) Dan Pengaruhnya.” Jurnal Hukum Tora 2, No.
3 (2016).

Fachri, F. K.. (2022). Mengulas Intisari Teori Hukum Pembangunan Prof Mochtar
Kusumaatmadja. Hukumonline.com. https://www.hukumonline.com/berita/a/mengulas-
intisari-teori-hukum-pembangunan-prof-mochtar-kusumaatmadja-lt629f18555b875/?
page=all.
Friedman, L. M. (2019). Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial. Nusamedia.
Lesmana, Teddy. (2013) . “Pokok-Pokok Pikiran Lawrence Meir Friedman; Sistem Hukum
Dalam Perspektif Ilmu Sosial”, https://nusaputra.ac.id/article/pokok-pokok-pikiran-lawrence-
meir-friedman-sistem-hukum-dalam-perspektif-ilmu-sosial/. Diakses pada 12 Maret 2023.
Lubis, Marzuki. “Peranan Budaya Hukum Dalam Perspektif Pembangunan Hukum
Nasional.” Penegakan Hukum 1, No. 1 (2014): 16–37.
Mahanani, Anajeng Esri Edhi. “Rekonstruksi Budaya Hukum Berdimensi Pancasila Dalam
Upaya Penegakan Hukum Di Indonesia.” Jurnal Yustika 22, No. 1 (2019): 1–10.
Maharani&Gunawan. (2022). Beberapa Teori Mengenai Hakikat Hukum: Maszhab Historis,
Mazhab Positivis, Mazhab Hukum Murni.
Mulyadi, L. (2019). Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, Ll.
M. Jurnal Hukum Indonesia, 8, 1-29.
Muhtarom, M. “Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Kepatuhan Hukum Dalam Masyarakat.”
Jurnal Suhuf 27, No. 2 (2015): 121–44.
Nurita, Riski Febria, And Laga Sugiarto. “Membangun Budaya Hukum Indonesia Di Era
Globalisasi.” Jurnal Cahaya Keadilan 6, No. 1 (2018): 90–109.
Nuryadi, H. D., & SH, M. (2016). Teori Hukum Progresif Dan Penerapannya Di Indonesia.
Jurnal Ilmiah Hukum DE'JURE: Kajian Ilmiah Hukum, 1(2), 394-408.
Parwata, A. A. G. O., dkk. (2016). MEMAHAMI HUKUM DAN KEBUDAYAAN. Bali:
Pustaka Ekspresi.

Rahalus, Fredy. “Kajian Filosofis Terhadap Pembentukan Hukum Di Indonesia Berdasarkan


Pemikiran Filsafat Hukum Jacques Ranciere.” Jurnal Sapientia Et Vitrus 7, No. 1 (2022): 18–
33.
Rehata, Veriena. J. B., (2015). “Penerapan Hukum Responsif di Indonesia”,
https://fh.unpatti.ac.id/penerapan-hukum-responsif-di-indonesia/. Diakses pada 12 Maret
2023.
Shidarta. (2017). “PERAN KOMUNITAS INTELEKTUAL ALA VON SAVIGNY”,
https://business-law.binus.ac.id/2017/09/02/peran-komunitas-intelektual-ala-von-savigny/.
Diakses pada 12 Maret 2023.
Sulaiman, S. (2014). Hukum Responsif: Hukum Sebagai Institusi Sosial Melayani Kebutuhan
Sosial Dalam Masa Transisi (Responsive Law: Law as a Social Institutions to Service of
Social Need in Transition). Jurnal Hukum Samudera Keadilan, 9(2), 199-205.
Yamani, R. R. (2016). Pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo Tentang Hukum Progresif Dan
Relevansinya Dengan Hukum Islam Di Indonesia (Doctoral dissertation, Universitas Islam
Negeri Alauddin Makassar).

Anda mungkin juga menyukai