Anda di halaman 1dari 6

KETIKA MASYARAKAT ADAT BERHADAPAN DENGAN

NEGARA

Judul buku : Relasi Negara Dan Masyarakat Adat


Penulis : Rachmat Safa’at, I Nyoman Nurjaya, Imam Koeswahyono, Eddy
Susilo, Saafroedin Bahar
Editor : Rachmad Safa’at
Penerbit : Surya Pena Gemilang
Tahun terbit : 2015
Tebal : 372 halaman

Buku ini ditulis oleh beberapa akademisi di bidang hukum yang saat ini aktif
mengajar di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Selain itu juga terdapat
tulisan yang ditulis oleh Mantan Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Nasional
(KOMNAS HAM) yaitu Saafroedin Bahar. Para penulis telah melakukan
advokasi serta penelitian dengan tujuan memperkuat eksistensi sistem kearifan
lokal dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam. Editor buku ini
adalah Rachmad Safa’at yang sekaligus salah satu penulis dari buku ini. Beliau
lahir di Surabaya, 5 Agustus 1962. Rachmad Safaat berhasil menyelesaikan
pendidikan Strata I di Universitas Brawijaya, kemudian melanjutkan studi ke Ilmu
Ekologi pada Program Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Pada tahun 2011
beliau berhasil meraih gelar Doktor di Universitas Diponegoro. Rachmad Safa’at
giat melakukan penelitian ke seluruh penjuru Indonesia yang sebagian hasil
penelitiannya dituangkan dalam bentuk artikel, jurnal, ataupun buku.
Masyarakat adat yang ada di Indonesia telah hadir sejak dahulu, bahkan
sebelum bangsa Belanda memasuki Indonesia. Dengan masuknya bangsa Belanda
dan dimulainya era kolonialisme, tatanan kehidupan masyarakat adat mulai
terganggu. Terutama mengenai sumber daya alam. Terjadi perebutan penguasaan
sumber daya alam. Adanya semboyan Gold, Gospel, and Glory menimbulkan
suatu pemikiran bahwa pada hakikatnya sumber daya alam dimiliki oleh
pemerintah kolonial, sedangkan penduduk asli hanya sebatas pemakai atau
penyewa.
Walaupun Indonesia telah menyatakan kemerdakaannya, namun anggapan
bahwa sumber daya alam pada hakikatnya merupakan milik pemerintah masi terus
berlaku hingga sekarang. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dijadikan
dasar bahwa hak menguasai negara bersendikan kekuasaan negara untuk mengatur
penguasaan, pemilikan, pemeliharaan, dan persediaan atas sumber daya alam.
Dalam hal ini adanya perbedaan penafsiran antara pemerinah dan masyarakat adat
menganai hak menguasai negara. Hal ini berakibat pada mulai munculnya konflik
antara pemerintah dan masyarakat adat terkait sumber daya alam. Ketimpangan
hasil eksploitasi yang dilakukan oleh pemerintah, investor maupun swasta dengan
masyarakat hukum adat menjadi salah satu hal yang mendasari adanya konflik.
Tulisan-tulisan dalam buku ini membahas mengenai masyarakat adat yang
berupaya untuk mempertahankan sumber daya alam serta hukum adatnya yang
diwariskan secara turun temurun. Dalam buku ini memberikan fakta-fakta bahwa
masyarakat hukum adat mulai termarginalisasi dan upaya pemerintah untuk
menerapkan peraturan yang telah dibuat tanpa mengindahkan hak dan keadaan
tiap-tiap masyarakat adat di seluruh Indonesia. Hasil penelitian para penulis dalam
buku ini mengajak kita menjelajahi kedigupat masyarakat adat di berbagai daerah
serta melihat upaya-upaya yang dilakukan masyarakat adat untuk mengelola,
melestarikan serta memanfaatkan sumber daya alam dan kearifan lokal ditengah
perubahan kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum di Indonesia.
Pada bagian II buku ini menjelaskan mengenai sesanti Bhineka Tunggal Ika
pada lambang negara burung garuda memberikan pengaruh yang sangat besar
pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Sesanti tersebut menjelaskan bahwa di
tengah-tengah masyarakat Indonesia adanya pluralisme hukum. Sehingga dalam
membuat kebijakan mengenai pengelolaan lingkungan, pemerintah hendaknya
memperhatikan dan menagkomodasi kearifan lingkungan masyarakat lokal
(masyarakat adat). Pengetahuan masyarakat adat mengenai lingkungan masih
bercorak magis-kosmis. Mereka menemmpatkan manuisa sebagai bagian yang ak
terpisahkan dar alam lingkungannya. Masyarakat hukum adar mengidentifikasi
dirinya sebagai bagian dari alam semesta dalam hubungan saling terkait,
tergantung, dan saling mempengaruhi. Perilaku masyarakat dalam menjaga
lingkungan yang bercorak magis-kosmis merupakan startegi yang efektif untuk
tetap menjaga lingkungannya. Danau, bukit, pantai, hutan, pohon besar, dan lain-
lain yang dianggap keramat oleh masyarakat adat telah terbukti dapat menjauhkan
dari perbuatan negatif manusia terhadap alam.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah cenderung bersifat
sentralistik, berpihak pada pemodal besar, sektoral, menutup ruang bagi
transparansi dan partisipasi publik, serta mengabaikan hak-hakmasyarakat adat.
Kebijakan inilah yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran sumber daya
alam, secara tidak langsung juga merusak sistematis kebudayaan masyarakat adat
yang kehidupannya sangat bergantung pada sumber daya tersbut. Pada bagian III,
dijelaskan bahwa untuk tercapainya hukum yang lebih akomodatif terhadap akses
masyarakat adat atas pengelolaan lingkungan sumber daya alamnya, maka perlu
adanya perubahan politik hukum dengan memebangun tata hukum nasional dan
daerah yang berbasis pada keraifan lokal dan hukum adat. Hal ini merupakan
langkah yang strategis untuk mewujudkan otonomi daerah yang mendasar pada
prinsip pemerataan keadilan, kemudahan, kepastian, kesederhanaan,
desentralisasi, dan local accountability.
Paradigma dan kebijakan dasar pembangunan yang dominan saat ini,
berorientasi pada industrialisasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Salah satu
contohnya diuraikan dalam bagian V mengenai kehidupan suku Baduy pada Desa
Kenekes yang berupaya untuk tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya
hutannya. Orang suku Baduy memiliki kearifan yang tinggi dalam menjaga,
mengelola, dan melindungi, termasuk menjaga kesucian dan kesakralan kawana
hutan yang merupakan titipan leluhur (titipan karuhun). Penjarahan sumber daya
hutan mulai banyak terjadi. Hal ini merupakan dampak dari dikeluarkannya
kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat yang menetapkan wilayah adat
Desa Kenekes seluas lebih dari 5000 hektar ditetapkan sebagai kawasan hutan
negara. Pemerintah Kabupaten Lebak juga menetapkan Desa Kenekes sebagai
objek wisata budaya dengan Surat Keputusan Bupati Nomor
556.4/SK.01/HUK/1993. Kebijakan ini menambah beban adat suku Baduy untuk
menangkal pengaruh budaya luar yang mengunjungi kampung-kampung orang
Baduy di Desa Kenekes. Dapat dilihat bahwa otoritas dalam pengambilan
keputusan kebijakan-kebijakan startegis yang menyangkut hajat hidup masyarakat
daerah masih dipercayakan kepada lembaga-lembaga negara, semenara
keterlibatan masyarakat secara langsung masih kurang, bahkan belum mendapat
tempat.
Sama halnya dengan masyarakat suku Baduy, masyarakat Desa Adat
Tenganan juga memiliki peraturan khusus yang telah turun temurun dalam
merawat hutan desa. Dalam Bagian XV menjelaskan mengenai cara masyarakat
Desa Tenganan mengelola hutannya dengan baik, mengenai tata cara menebang
pohon, jenis pohon yang dapat ditebang, hingga sanksi adat yang diterapkan
secara tegas apabila melanggar peraturan desa. Pengaturan mengenai tata kelola
dumber daya alam yang ada di desa tersebut juga dipengaruhi oleh kepercayaan
masyarakat setempat yang didominasi oleh agama Hindu. Masyarakat desa
percaya bahwa adanya Tri Hita Karana, Karmaphala, adanya roh-roh leluhur
yang menjaga desa, serta kepercayaan animisme dan dinamisme lainnya.
Tidak hanya sumber daya alam masyarakat adat yang berada di atas tanah
yang mulai terhimpit kebijakan-kebijakan pemerintah, namun sumber daya alam
yang berada di air pun juga mulai didatangi sejumlah masalah. Seperti yang
dijelaskan pada bagian IX, strategi pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan
yang dilakukan pemerintah selama ini mengabaikan sistem hukum, nilai, sosial,
ekonomi, dan budaya masyarakat lokal. Kebijakan eksploitasi sumber daya pesisir
dan lautan secara berlebihan untuk memenuhi pasar komersial telah terbukti
merusak lingkungan dan menghancurkan sumber ekonomi masyarakat lokal.
Dasar pengelolaan sumber daya pesisir dan laut haruslah berbasis kearifan lokal
dan disesuakan dengan kebutuhan masyarkat. Masyarakat pesisir pantai telah
memiliki cara-cara tersendiri untuk mengetahui jumlah sumber daya yang
tersedia, waktu yang tepat untuk mengambil sumber daya tersebut, hingga cara
pelestarian sumber daya alam yang berkelanjutan.
Kebijakan pemerintah demi memenuhi pasar komersil membuat masyarakat
pesisir belomba-lomba untuk mendapatkan ikan tanpa mengindahkan kelestarian
lingkungan. Konflik antar komunitas nelayan pun banyak terjadi. Hal ini
disebabkan karena pemerintah mengeluarkan sebuah kbijakan moderniasai alat
penangkapan ikan di laut. Pada Bagian VII disebutkan bahwa dengan penggunaan
tekonologi penangkap ikan modern seperti mini trawl yang digunakan beberapa
nelayan mengundang kemarahan komunitas nelayan lainnya karena penggunaan
mini trawl ini terjadi kesenjangan hasil tangkapan antar nelayan,tidak semua
nelayan dapat memanfaatkan alat-alat modern penangkap ikan. Hal ini sama saja
mengancurkan sistem ekonomi para nelayan, seperti di daerah pesisir utara Jawa,
Maluku, Sumatera, dan Papua Barat. Pemerintah yang hanya mengejar kebutuhan
pasar, juga melupakan kesejahteraan masyarakat pesisir. Mereka harus mencari
alternatif pemasukan lainnya apabila nantinya mereka sudah tidak kuat lagi untuk
berlayar, terjadi kecelakaan kerja, atau pada saat belum musim panen. Contohnya
pada bagian X, jaminan sosial sosial bagi nelayan di Pantai Prigi, Kabupaten
Trenggalek belum mendapat pengautan yang khusus. Walaupun ada Keputusan
Bupati Trenggalek Nomor 61 tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pelelangan
Ikan Kabupaten Trenggalek, namun pasal di dalamnya hanya sceara eksplisit
mengatur jaminan sosial kerja sebatas nilai prosentase santunan yang diberikan
lembaga Tempat Pelelangan Ikan bagi nelayan yang mengalami kecelakaan kerja.
Dalam buku in juga dijelaskan masalah-masalah lain yang dialami oleh
masyarakat adat serta komunitas-komunitas masyarakat di daerah. Seperti
kepemilikan rumah di atas air di Pulau kapas DKI dan Semangka di Kalimantan
Timur (bagian XIV). Penduduk kelurahan Semangka yang bermata pencaharian
menjadi nelayan, bermukim dan mendirikan rumah di atas air dengan tiang-tiang
yang tertancap pada dasar pantai. Yang dapat mendirikan rumah di atas ai
hanyalah warga Kelurahan Semangka. Status hak atas tanah atau bangunan rumah
di atas air, antara pemuka masyarakat dan penghuni rumah di atas air dengan
instansi pemerintah, yaitu Kepala Kelurahan Semangka dan Kepala Dinas
Pertanahan Kota Bontang tidak ada keasamaan pendapat. Pejabat Dinas
Pertanahan menganalogikan dengan Pasal 1 UU No. 20 Tahun 2011 tentang
Rumah Susun sebagai hak atas sauan rumah di atas air. Sedangkan menurut
hukum adat, bangunan rumah dan tanah yang di atasnya berdiri bangunan rumah,
statusnya adalah hak milik.
Selain itu,tanah atau bangunan di atas air tersebut belum terdaftar, sehingga
belum memiliki alat bukti hak atas tanah (sertifikat). Masyarakat hanya
mempunyai alat bukti segel yang dikeluarkan oleh kepala Kelurahan Semangka.
Selain itu bangunan rumah di atas air belum mempunyai izin mendirikan
bangunan. Selain itu masyarakat yang di tinggal di atas air juga tidak membayar
pajak. Hal ini menunjukkan bahwa adanya persaingan dalam mengisi pengaturan
dalam masyarakat. Persaingan terjadi antara hukum negara dan hukum lokal
(hukum adat) dalam mengisi kebutuhan pengauran atas ruang di atas dan di bawah
permukaan. Belum ada pengaturan yang jelas dan rinci, serta peraturan yang ada
selamaini masih bersifat sektoral. Ketidakpastian peraturan dapat menimbulkan
suatu konflik di kemudia hari.
Di bagian VIII, dikenalkannya Partcipatory Action Research (PAR) yaitu
metode untuk mempelajari kondisi dan kehidupan masyarakat, fokus utama pada
metode PAR lebih banyak diarahkan pada keprihatinan dan keberpihakan pada
masalah kemiskitan dan ketidakadilan, baik yang kultural maupun struktural.
Pendekatan dan metode ini memberikan banyak harapan bagi terlaksananya satu
pemberdayaan masyarakat dan transformasi sosial menuju bentuk yang ideal dan
menguntungkan lapisan bawah di masyarakat.
Bila melihat pada hasil penelitian para penulis, dapat dikatakan bahwa
masyarakat adat yang hidup puluhan ribu tahun merupakan ilmuwan yang paling
tahu mengenai alam lingkungan mereka. Namun, pengetahuan masyarakat adat
belum banyak didokumentasikan, dipublikasi, dan disosialisasikan. Hukum
nasional yang sangat sentralistik diberlakukan secara beragam dengan
mengabaikan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Hukum nasional pada nantinya
akan meminggirkan, bahkan menghilangkan akses masyarakat adat atas sumber
daya alam lokalnya. Perlu adanya pencermatan mengenai eksistensi masyarakat
adat, terutama mengenai akar permasalahan yang acapkali dihadapi maupun
tuntutan-tuntutan mereka.
Dapat dikatakan bahwa buku ini cukup menarik untuk dibaca bagi semua
kalangan. Topik-topik yang dibahas dapat memberikan pengetahuan baru bagi
pembacanya mengenai kehidupan masyarakat adat, sistem hukumnya, serta
kearifan lokal yang dianut oleh masyarakat adat di seluruh Indonesia. Bahasa
yang sederhana sehingga mudah dipahami serta adanya contoh-contoh kasus pada
setiap sub bacaan menjadikan buku ini lebih mudah untuk dimengerti. Tulisan
pada buku ini bisa dijadikan sebuah rekomendasi bagi pemerintah dalam
mengeluarkan sebuah kebijakan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam
agar dapat melibatkan masyarakat adat dan kearifan lokalnya untuk bersama-sama
mengelola sumber daya alam. Walaupun tulisan-tulisan dalam buku ini menarik,
namun penataan halaman setiap tulisan bisa membuat pembaca sedikit bingung.
Dari topik yang membahas mengenai hutan adat, kemudian membahas tentang
sumber daya pesisir dan kemudian kembali lagi membahas mengenai hutan adat.
Dari segi harga, agak sedikit mahal, terutama bagi kantong mahasiswa yang harus
memenuhi kebutuhan tugas-tugas lainnya.
Penyusunan topik dalam buku ini sebaiknya disursun berdasarkan topik
pembahasan. Apabila membahas mengenai kelestarian hutan adat maka topik-
topik yang berkaitan dengan itu disusun secara runtut. Apabila topik pembahasan
mengenai kelestarian hutan telah selesai, maka bisa dilanjutkan dengan
pembahasan masalah-masalah mengenai kelestarian laut. Sehingga pembaca bisa
dengan runtut pula memahami isi tulisan. Harga yang sedikit terlalu mahal bisa
disiasati dengang membagi buku menjadi bagian satu dan bagian dua, sehingga
harga per-buku bisa menjadi lebih murah.
Buku ini layak untuk dibeli oleh masyarakat yang ingin mengetahui
kehidupan masyarakata adat serta kearifan lokalnya. Buku juga cocok dijadikan
bacaan bagi mahasiswa, karena didalamnya terdapat pemikiran-pemikiran yang
dapat dijadikan referensi dalam melakukan penulisan skripsi, tesis, atau disertasi.
Direkomendasikan kepada pemerintah, agar mengetahui permasalahan-
permasalahan masyarakat adat yang ada di daerah yang sering kali tidak di
ekspose di media-media Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai