Anda di halaman 1dari 12

UJIAN TENGAH SEMESTER FILSAFAT HUKUM

“NENEK MINAH DALAM ALIRAN POSTIVISME”

OLEH

Ida Ayu Kade Irsyanti Nadya Saraswati

(196010201111001)

Kelas B

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Indonesia adalah negara hukum. Hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD 1945). Negara hukum yang artinya bahwa semua kegiatan
berbangsa dan bernegara harus didasari pada hukum yang berlaku di Indonesia.
Norma-norma hukum yang berlaku pada dasarnya bertujuan untuk mengendalikan
kekuasaan negara atau pemerintah sehingga menghindari terjadi kesewenang-
wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan.1

Negara hukum meletakkan hukum sebagai panglima tertinggi yang dijadikan


pedoman dalam kehidupan bernegara. Menurut Sri Soematri, unsur-unsur
terpenting suatu negara hukum yaitu:2

1. Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, pemerintah harus berdasar


pada hukum
2. Adanya jaminan hak asasi manusia bagi warga negara
3. Adanya pembagian kekuasaan
4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan

Hak warga negara seperti pada poin ke dua salah satunya adalah hak untuk
dipandang sama di mata hukum. Hal ini telah tercantum dalam Pasal 27 ayat (1)
UUD 1945.3 Pada tersebut mengatur bahwa pemerintah harus memperlakukan
semua warga negara secara adil, tanpa melihat asal usul dari orang tersebut. Setiap
orang diakui dan dijamin hak pribadinya. Semua orang memiliki kedudukan dan
derajat yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.

1
La Ode Husen, 2019, Negara Hukum, Demokrasi dan Pemisahan Kekuasaan, Social Politic
Genius, Makassar, h.13.
2
Sri Soematri M., 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung,
h.29-30
3
Pasal 27 ayat (1) : “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”
Sebagaimana diperkenalkan oleh Gustav Radburch, hukum memiliki tiga
buah nilai dasar yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum itu sendiri.
Tujuan dari tiga nilai dasar ini setidaknya adalah untuk menciptakan harmonisasi
pelaksanaan hukum dan lebih jauh kehidupan manusia. Dalam praktiknya,
pelaksanaan hukum kerap mengingkari kenyataan sosial dan berimbas
menghasilkan produk hukum yang pertentangan dengan sesedikitnya satu dari
tiga nilai dasar tersebut. Sebagai contoh, seorang nenek bernama Minah yang
memetik 3 buah cokelat yang tertanam di perkebunan milik PT. Rumpun Sari
Antan dengan maksud untuk disemai di lahan garapannya. Walaupun telah
meminta maaf karena memetik buah cokelat tersebut tanpa izin, namun kasus ini
terus bergulir hingga ke pengadilan. Pengadilan menjatuhkan hukuman kepada
Nenek Minah berupa hukuman penjara selama 1 bulan 15 hari dengan masa
percobaan 3 bulan.

Secara sosiologis, bagaimana masyarakat dalam hal ini keluarga, kerabat,


tetangga, para aktivis LSM bereaksi terhadap putusan hakim yang meringankan
hukuman nenek Minah dapat dijadikan tolak ukur nilai keadilan terhadap
pelaksanaan hukum. Hal ini dikarenakan nenek Minah sendiri sudah mengakui
dan menyesali perbuatannya. Sekalipun mungkin akan lebih adil rasanya apabila
penyelesaian perkara dilakukan diluar pengadilan.

Berdasarkan latar belakang seperti yang penulis uraikan di atas, maka


diadakan penelitian mengenai pandangan postivisme dalam kasus Nenek Minah,
dengan judul “NENEK MINAH DALAM ALIRAN POSITIVISME”

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep keadilan dalam kasus nenek Minah apabila ditinjau
dengan aliran positivisme hukum?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pandangan aliran
positivisme tentang keadilan melalui studi kasus Nenek Minah.
D. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah agar dapat memberikan informasi
mengenai konsep keadilan dalam aliran postivisme.
BAB II

PEMBAHASAN

Keadilan berasal dari kata “adil” yang menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia artinya adalah tidak sewenang-wenang, tidak memihak, tidak berat
sebelah.4 Salah satu tujuan akhir dari hukum adalah tercapainya sebuah keadilan.
Segala sesuatu yang berkaitan dengan berlakunya hukum harus diarahkan sepada
suatu sistem hukum yang paling sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Keadilan
bisa dicapai dengan institusi legal dan indpenden dalam sebuah negara. Walaupun
sebagian orang beranggapan bahwa dengan adanya penegak hukum, maka
keadilan dapat tercapai. Namun sesungguhnya konsep dari keadilan belum tentu
tercermin dari adanya penegak hukum, hal ini karena keadilan menurut satu orang
dengan orang yang lain berbeda-beda.

Setidaknya terdapat dua pandangan yang cukup mendasar dan penting untuk
diperhatikan apabila membahas tentang rumusan keadilan. Pertama, pandangan
awam yang meletakkan keadilan sebagai keserasian antara penggunaan hak dan
pelaksanaan kewajiban yang selaras dengan. Kedua, pandangan para ahli hukum
seperti Purnadi Purbacaraka yang pada dasarnya merumuskan bahwa keadilan itu
adalah keserasian antara kepastian hukum dan kesebandingan hukum.5

Pada hakekatnya keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau


tindakan dengan mengkajinya dengan suatu norma yang menurut pandangan
subyektif (subyektif untuk kepentingan kelompoknya, golongannya, dan
sebagainya) melebihi norma-norma lain.6 Karena keadilan didasarkan pada
padangan subyektif, maka keadilan bagi orang yang dengan orang lain tentu
memiliki pandangan yang berbeda.

4
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, URL : https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/adil, diakses tanggal 14 Oktober 2019.
5
Purnadi Purbacaraka dalam A. Ridwan Halim,2015, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya
Jawab,Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.176.
6
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,
h.77-78.
Menurut Soerjono Soekanto, masalah penerapan hukum tidak bisa dilepaskan
dari masalah keadilan yang merupakan muara dari hukum itu sendiri. Dan
berbicara mengenai keadilan tidak bisa dilepaskna dari masalah kemanusiaan
yang merupakan samudra dan muara keadilan.7

Menurut Budi Winarno, keadilan masih dilihat secara harfiah dengan


memaknai keadilan sebagai apa yang sesuai dengan hukum. Sebaliknya apabila
suatu perbuatan tidak sesuai dengan hukum maka akan dimaknai sebagai suatu
ketidakadilan.8 Setidaknya, pendapat ini bisa kita terima sebagai jaminan
kepastian keadilan yang obyektif dengan mempertahankan kepercayaan bahwa
hukum sebagai alat menuju keadilan itu sendiri sudah memiliki sifat adil
didalamnya.

Menurut Hans Kelsen, keadilan sosial dimaknai sebagai kebahagiaan sosial.


Kebahagiaan sosial tersebut akan tercapai jika kebutuhan individu terpenuhi. Tata
aturan yang adil adalah tata aturan yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan
tersebut. Namun, pada faktanya pemenuhan kebutuhan antar individu yang satu
dengan yang lainnya tidak jarang menimbulkan konflik kepentingan. Sehingga
dapat dikatakan bahwa keadilan adalah pemenuhan keinginan individu dalam
suatu tingkat tertentu.

Dalam filsafat hukum, aliran positivisme hukum adalah cabang yang lahir
dari aliran filsafat positivisme pada ilmu hukum. Positivisme lahir dan
berkembang dibawah aliran empirisme.9 Empirisme dan positivisme memiliki
dalil, bahwa panca indera adalah satu-satunya yang membekali akal manusia
dengan konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan. Artinya, konsep-konsep yang
tidak terjangkau oleh penginderaan tidak dapat diterima. Para positivis
menentang ilmu metafisika, yang ghaib, apa yang berada di luar batas pengalaman
manusia. Mereka menganggap metafisika sebagai tidak ada artinya bagi ilmu
pengetahuan, sebab metafisika menarik diri dari tiap usaha untuk verifikasi,

7
Umar Sholehudin, 2011, Hukum dan Keadilan Masyarakat, Setara Press, Malang, h.46
8
Ibid, h.50
9
Muh. Baqir Shadr, 1991, Falsafatuna. Mizan, Bandung, h. 56.
kebenaran atau ketidakbenaran pendirian yang tidak dapat ditetapkan.10 prinsip-
prinsip aliran positivisme dikemukakan oleh Arief Sidharta, sebagai berikut:11

a. Hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan yang syah.


b. Hanya fakta yang dapat menjadi obyek pengetahuan.
c. Metode filsafat tidak berbeda dari metode ilmu.
d. Tugas filsafat adalah menemukan asas umum yang berlaku bagi semua
ilmu dan menggunakan asas-asas ini sebagai pedoman bagi perilaku
manusia dan menjadi landasan bagi organisasi sosial.
e. Semua interpretasi tentang dunia harus didasarkan semata-mata atas
pengalaman (empiris-verifikatif).
f. Bertitik tolak pada ilmu-ilmu alam.
g. Berusaha memperoleh suatu pandangan tunggal tentang dunia fenomena,
baik dunia fisik maupun dunia manusia, melalui aplikasi metode-metode
dan perluasan jangkauan hasil-hasil ilmu alam.

Pemikir positivis melihat hukum sebagai obyek kajian dengan melihatnya


sebagai gejala sosial. Dalam hal ini, obyek positif dalam hukum yang ditelaah
adalah hukum positif, artinya hukum atau undang-undang yang berlaku.
Positivisme hukum memisahkan secara tegas hukum yang ada (das sein) dan
hukum yang seharusnya ada (das sollen), memisahkan hukum dari unsur-unsur
non hukum, dan mengedepankan hukum tertulis atau undang-undang sebagai
perintah dari otoritas yang sah. Karena positivisme hukum ini memisahkan secara
tegas dari aspek non-hukum, maka telah kehilangan substansi hukum lainnya
yaitu nilai-nilai moralitas, keadilan, dan kebenaran.

Bila melihat uraian di atas mengenai positivisme, maka pada hukum terdapat
prinsip-prinsip :

1. Hukum adalah perintah dari manusia


2. Adanya pemisahan antara hukum dengan moral serta pemisahan antara
hukum yang ada dan hukum yang seharusnya

10
N.E Algra dan K. Van Duyvendijk, 1983, Mula Hukum Beberapa Bab Mengenai Hukum
dan Ilmu untuk Pendidikan Hukum dalam Pengantar Ilmu Hukum, Bina Cipta, Jakarta, h.132.
11
Arief Sidharta, 1994, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remaja Rosda Karya,
Bandung, h. 50.
3. Analisis terhadap konsep-konsep hukum yang layak dilanjutkan dan harus
dibedakan dari penelitian yang bersifat historis mengenai sebab atau asal-
usul dari undang-undang
4. Keputusan-keputusan hukum dapat dideduksikan secara logis dari
peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu menunjuk
kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan, dan moralitas.12
5. Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh
penalaran rasional, pembuktian, atau pengujian.

Salah satu kasus hukum yang dapat dikritisi dengan menggunakan aliran
postivisme adalah keadilan bagi Nenek Minah. Kasus yang banyak mendatangkan
pertentangan mengenai keadilan dari putusan hakim adalah kasus Nenek Minah
yang dituntut karena dituduh mencuri buah cokelat di lahan milik PT Rumpun
Sari Antan. Nenek Minah pada waku itu memanen kedelai di lahan garapannya.
Kemudian Nenek Minah melihat pohon coklat dan memetik buahnya dengan
rencana untuk disemai di lahan garapannya. Setelah memetik, buah cokelat itu
tidak disembunyikan oleh nenek minah, melainkan hanya diletakkan di bawah
pohon. Kemudian mandor perkebunan PT Rumpun Sari Antan lewat dan melihat
buah pohon cokelat itu telah terpetik. Mandor menanyakan hal tersebut kepada
Nenek Minah. Nenek Minah mengaku itu adalah perbuatannyadan meminta maaf.

Nenek Minah mengira dengan meminta maaf masalah tersebut telah usai,
namun seminggu setelah kejadian itu Nenek Minah mendapat panggilan polisi
untuk memberikan keteangan terkait peristiwa tempo hari. Proses hukum terus
berlanjut hingga ke Pengadilan Negeri Purwokerto. Hakim menjatuhkan hukuman
kepada Nenek Minah berupan hukuman penjara selama 1 bulan 15 hari dengan
masa percobaan 3 bulan. Nenek minah dituntut atas dasar telah melanggar
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi barang siapa
mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,
dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian,

12
Johni Najwan, 2010, Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum, Inovative,
Jurnal Fakultas Hukum Universitas Jambi, h.20.
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak
sembilan ratus rupiah.13

Dalam pembacaan vonis, ketua majelis hakim terlihat menangis dan beberapa
kerabat terlihat menyalami Nenek Minah yng terlihat tegar mendengar putusan
tersebut. Banyak orang yang menyayangkan putusan hakim yang dinilai jauh dari
kata adil.

Aliran positivisme yang memang menolak konsep-konsep transenden dan


abstrak serta tak dapat dirasakan oleh panca indera pada akhirnya menihilkan atau
setidaknya mereduksi substansi hukum semacam konsep keadilan. Suatu aturan
pada akhirnya dapat dikatakan adil apabila suatu aturan diterapkan pada kasus
yang mana perbuatan dalam kasus tersebut memenuhi unsur-unsur dalam aturan
tersebut. Dikatakan tidak adil apabila suatu aturan hukum diterapkan pada suatu
perbuatan pelanggaran hukum yang tidak sesuai dengan isi dari aturan tersebut.
Hal ini senada dengan konsep keadilan sebagai fairness yang dikemukakan oleh
John Rawls. Tindakan individu adalah adil atau tidak sepanjang tindakan tersebut
sesuai atau tidak dengan norma hukum yang valid untuk menilai sebagai bagian
dari tata hukum norma postif.14
Dalam kasus yang dialami oleh nenek Minah, beliau divonis dengan pasal
362 KUHP dengan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu:
 Mengambil: suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai mencuri apabila
sunjek hukum dalam perbuatan tersebut mengambil benda dengan sengaja
dan memindahkan barang tersebut dari tempat yang seharusnya
 Barang yang diambil: dalam perbuatan yang dikualisfikasikan sebagai
perbuatan mencuri, barang yanng diambil juga harus dapat dipindahkan.
 Tujuan dari kepemilikan barang: pelaku pencurian adalah dengan sengaja
dan dengan melawan hukum mengambil barang yang pada saat itu
merupakan barang milik orang lain

Tindakan yang dilakukan oleh Nenek Minah yang mengambil coklat tanpa
izin dari perkebunan milik PT. Rumpun Sari Antan telah memenuhi unsur-unsur

13
Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
14
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, 2018, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi
Press, Jakarta, h. 21.
tersebut. Unsur “mengambil” terlihat bahwa Nenek Minah memang sengaja
memetik buah cokelat tersebut dengan tujuan untuk disemai di ladangnya.
Tanaman cokelat tersebut tumbuh di perkebunan milik PT. Rumpun Sari Antan
yang mana berarti buah cokelat tersebut adalah milik PT. Rumpun Sari Antan.
Nenek Minah memetik buah tersebut tanpa izin dari pemilik perkebunan.

Hukuman yang diberikan oleh Nenek Minah oleh Hakim Pengadilan Negeri
Purwokerto adalah adil, karena perbuatan Nenek Minah telah sesuai dengan
aturan dalam pasal 362 KUHP yang mana seperti yang telah diuraikan di atas
adalah adil apabila suatu hukuman dijatuhkan kepada perbuatan yang seusai
dengan isi norma. Hal ini karena menurut aliran positivisme, keadilan merupakan
legatlitas. Suatu atauran dikatakan adil apabila suatu aturan diterapkan pada kasus
yang mana perbuatannya dalam kasus tersebut memenuhi unsur-unsur dalam
aturan tersebut. Dikatakan tidak adil apabila suatu aturan hukum diterapkan pada
suatu perbuatan pelanggaran hukum yang tidak sesuai dengan isi aturan tersebut.15

Aliran positivisme memisahkan pandangan mengenai nilai-nilai moral dan


nilai-nilai sosial karena tujuan dari aliran postivisme adalah tercapainya kepastian
hukum. Masyarakat menjadi tahu secara pasti mana perbuatan yang harus
dilakukan dan mana perbuatan yang tidak dapat dilakukan. Menurut aliran
postivisme hukum harus tetap ditegakkan tanpa melihat baik buruknya atau adil
tidaknya suatu peraturan hukum yang diberlakukan.

Walaupun pada akhirnya Nenek Minah tidak membawa buah cokelat yang ia
petik dari lahan milik PT Rumpun Sari Antan, namun Nenek Minah tetap dapat
dikenakan hukuman mengenai pencurian karena selain dari sudut pandang aliran
positivisme, perbuatan yang dilakuakn nenek minah merupaka delik formil. Delik
formil adalah delik yang dalam perundang-undangan cukup disebut dengan
merujuk pada perbuatan tertentu atau kelalaian. Delik yang digolongkan sebagai
delik formil adalah delik yang dianggap selesai dengan dilakukannya perbuatan
atau dengan kata lain titik beratnya ada pada perbuatan itu sendiri.16

15
Ibid.
16
Zuleha, 2017, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Deepublish, Sleman, h.42.
Sehingga walaupun Nenek Aminah telah mengembalikan cokelat yang ia
petik, namun pada dasarnya ia telah melakukan perbuatan mengambil buah
cokelat tanpa izin yang dapat dikategorikan sebagai pencurian.

BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

Tafsiran positivisme yang menganggap keadilan adalah sesuatu yang telah


sesuai dengan undang-undang jelas menjadi masalah tersendiri. Positivisme
hukum menganggap hukum adalah undang-undang, tidak ada hukum selain
undang-undang. Positivisme hukum memisahkan secara tegas hukum yang ada
dan hukum yang seharusnya ada, memisahkan hukum dari unsur-unsur non
hukum, dan mengedepankan hukum tertulis atau undang-undang sebagai perintah.
Hukuman yang diberikan kepada Nenek Minah menurut aliran positivisme telah
mengabaikan nilai keadilan dan menganggap itu benar adanya. Positivisme
hukum hanya memiliki satu kelebihan yakni, adanya jaminan kepastian hukum
sehingga masyarakat dengan mudah mengetahui apa yang boleh dan apa yang
tidak boleh dilakukan. Lebih jauh, negara atau pemerintah akan bertindak dengan
tegas sesuai dengan apa yang telah diatur dalam undang-undang, sehingga tugas
hakim menjadi lebih mudah, karena tidak perlu mempertimbangkan nilai-nilai
keadilan dan kebenaran, tetapi hanya sekedar menerapkan ketentuan undang-
undang terhadap kasus konkrit. Lebih lanjut, keadaan ini jelas memberikan
banyak celah yang berpotensi menjadi kelemahan pada pelaksanaan sistem hukum
yaitu potensi penggunaan hukum sebagai alat untuk menindas oleh negara atau
setidaknya oleh sesama menjadi lebih besar. Lalu, potensi pembaharuan hukum
menjadi lebih lambat karena tidak mampu mengikuti perkembangan masyarakat
yang cepat. Hal ini disebabkan oleh karena hukum yang positif adalah hukum
yang tertulis, nyaris mustahil untuk menuliskan semua persoalan masyarakat
dalam bentuk undang-undang ditambah dengan kenyataan tidak diakuinya hukum
tidak tertulis.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Asshiddiqie, Jimmly dan M.Ali Safa’at, 2018, Teori Hans Kelsen Tentang
Hukum, Jakarta : Konstitusi Press.
Husen, La Ode, 2019, Negara Hukum, Demokrasi dan Pemisahan Kekuasaan,
Makassar : Social Politic Genius.

Mertokusumo, Sudikno, 2005, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta :


Liberty.

Purbacaraka, Purnadi dalam A. Ridwan Halim,2015, Pengantar Ilmu Hukum


Dalam Tanya Jawab, Jakarta : Ghalia Indonesia.

Sholehudin, Umar, 2011, Hukum dan Keadilan Masyarakat, Malang : Setara


Press

Sidharta, Arief, 1994, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Bandung :


Remaja Rosda Karya.
Sri Soematri M., 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung :
Alumni.

Zuleha, 2017, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Deepublish, Sleman.

JURNAL

Johni Najwan, 2010, Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum,


Inovative, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Jambi.

UNDANG-UNDANG

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

INTERNET

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016, Kamus Besar


Bahasa Indonesia, URL : https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/adil, diakses tanggal
14 Oktober 2019

Anda mungkin juga menyukai