Anda di halaman 1dari 3

Nama : Raihan Maulana

Nim : 202010110311033
Kelas : A
Pidana Internasional
Pengaturan Extradisi Dalam Hukum Internasional
Ekstradisi ini sudah diakui atau diterima oleh para sarjana hukum internasional
sebagai hukum kebiasaan internasional (International Customary Law). Hal ini memang bisa
dipahami, karena ekstradisi ini sudah berumur cukup tua. Sebuah Perjanjian Perdamaian antara
Raja Ramses II dari Mesir dengan Raja Hattusili II dari Kheta yang dibuat pada tahun 1279
SM, yang salah satu isinya adalah berupa kesediaan para pihak untuk saling menyerahkan
pelaku kejahatan yang melarikan diri atau yang ditemukan di dalam wilayah pihak
lainnya, dipandang sebagai embrio dari hukum ekstradisi ini.

Pengaturan terkait Extradisi ini telah banyak dikuti oleh negara-negara lain dalam
membuat perjanjian-perjanjian ekstradisi maupun dalam perundang-undangan ekstradisi.
Pengaturan ini dibentuk pada tanggal 14 Desember 1990, dimana Majelis Umum PBB
menyetujui resolusi Nomor 45/117 tentang Model Treaty on Extradition. Bentuk-bentuk hukum
yang mengaturnya, baik berbentuk perjanjian-perjanjian internasional bilateral, multilateral
regional, maupun berbentuk peraturan perundang-undangan nasional Negara-negara. meskipun
hanya berupa model hukum saja, dan belum merupakan hukum internasional positif, tetapi dapat
dijadikan sebagai acuan oleh Negara-negara dalam membuat perjanjian-perjanjian tentang
ekstradisi. Kini hampir semua Negara di belahan bumi ini sudah mengenal lembaga hukum yang
bernama ekstradisi ini.

Lalu dalam Hukum Internasional terdapat konvensi yang dapat dikatakan memberikan
landasan bagi pengembangan ekstradisi sebagai instrument kerjasama penegakan hukum,
pencegahan dan pemberantasan kejahatan adalah Konvensi PBB tentang Kejahatan
Transnasional (United Nations Convention against Transnational Organized Crime , disingkat
UNTOC) yang ditandatangani di Palermo, Italia pada tahun 2000. Di dalam UNTOC masalah
ekstradisi diatur dalam Pasal 16 dan Konvensi PBB tentang Anti Korupsi (United Nations
Convention against Corruption, disingkat UNCAC) yang ditandatangani di Merida, Meksiko
pada tahun 2003. dalam UNCAC masalah ekstradisi diatur dalam Pasal 44. Kedua Konvensi
Internasional tersebut merupakan tonggak perkembangan ekstradisi sebagai Instrumen dalam
Upaya Penegakan Hukum mengingat jumlah negara yang menandatangani dan meratifikasi
kedua Konvensi terbilang cukup besar, Kedua Konvensi Internasional menyatakan bahwa dalam
hal sebuah negara mengatur ekstadisi hanya dapat dilaksanakan berdasarkan perjanjian, maka
negara tersebut pada saat ratifikasi konvensi tersebut, dapat menganggap konvensi tersebut
sebagai perjanjian ekstradisi dengan negara- negara pihak lainnya.

Sebagai sebuah instrumen hukum dalam hukum internasional, keberadaan ekstradisi dalam
perkembangannya telah ditunjang oleh berbagai konvensi internasional. Dalam konvensi
konvensi tersebut, khususnya konvensi yang lahir pada tahun tujuh puluhan dan sesudahnya,
ekstradisi mendapat tempat pengaturan tersendiri dalam salah satu pasalnya. Konvensi-konvensi
tersebut diantaranya adalah :

1) Konvensi Menentang Kejahatan Perbudakan (Slavery Convention 1926, besertadengan


protokol-protokolnya).
2) Konvensi Pemberantasan Kejahatan Perdagangan Orang dan Eksploitasi atasProstitusi
(Convention for The Suppression of The Traffic in Persons and of TheExploitation of
The Prostitution of Others, 1949).
3) Konvensi Tentang Kejahatan Genocide (Convention on The Prevention and
ThePunishment of the Crime of Genocide, 1948).
4) Kejahatan Penerbangan yang diatur di dalam tiga konvensi, yaitu:
a.Konvensi Tokyo, 14 September 1963 (Kejahatan-kejahatan dan TindakanTertentu
Lainnya yang Dilakukan di dalam Pesawat Udara/Convention ofOffences and Certain
Other Acts Committed on Board Aircraft .
b.Konvensi Den Haag, 16 Desember 1970 (Penanggulangan Pembajakan atauPenguasaan
Pesawat Udara Secara Melawan Hukum /Convention for theSuppression of Unlawful
Seizure of Aircraft).
c. Konvensi Montreal, 23 September 1971 (Penanggulangan Perbuatan MelawanHukum
Terhadap Keamanan Penerbangan Sipil /Convention for theSuppression of Unlawful
Acts Against the Safety of Civil Aviation).
5) Konvensi Tentang Kejahatan Terhadap Orang-orang yang Dilindungi SecaraInternasional
(Convention on The Prevention and Punishment of Crimes AgainstInternationally
Protected Persons, Including Diplomatic Agents, 1973).
6) Konvensi Menentang Penyiksaan dan Kekejaman Lainnya, Perlakuan atauPenghukuman
yang Tidak Manusiawi atau yang Merendahkan MartabatKemanusiaan (Convention
Against Torture and Others Cruel, Inhuman orDegrading Treatment or Punishment ,
1987).

Daftar Pustaka, Sumber :

I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, (Bandung: CV Yrama


Widya, 2004), Hal. 128.

Christien Pristi Gresilo Putri Amanda, Dkk, (2021), Kedudukan International Criminal Police
Organization (ICPO-Interpol) dalam Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Australia,
Jurnal Ilmu Hukum, No. 1 Vol 1 Hal 390.

Dwi Melia Nirmalananda Dewi, Dkk, (2020), Ekstradisi Sebagai Upaya Pencegahan Dan
Pemberantasan Kejahatan Internasional, Jurnal Analogi Hukum, No. 1 Vol. 1 Hal 19.

Marcelina Pricilia Wenzen, (2019), Urgensi Pengakuan (Recognition)


Dalam Menjalin Kerjasama Antarnegara Di Bidang Ekstradisi Menurut
Hukum Internasional, Jurnal Lex Et Societatis, No. 12 Vol. 8 Hal 92.

Anda mungkin juga menyukai