Anda di halaman 1dari 10

KAJIAN UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HAM:

KAJIAN UNDANG-UNDANG TERORISME

Oleh
MUHAMMAD RANDA EDWIRA
NPM. 182201011

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019

0
KAJIAN UNDANG-UNDANG TERORISME

Konsepsi terorisme hingga kini masih belum menemui titik spesifikasi yang

kongkrit. Abstraknya definisi terorisme membuat hampir segala bentuk tindak

kejahatan yang merampas kehidupan manusia dan disertai kekerasan masuk dalam

definisi terorisme. Walaupun belum ada konsepsi tunggal dari terorisme, ada

beberapa unsur-unsur yang perlu dipenuhi agar suatu perbuatan dapat

dikatagorikan sebagai tindak kejahatan terorisme.

Doktrin para sarjana sebagai sumber hukum menarik berbagai unsur yang

terkandung dalam aksi teroisme, yakni; (i) perbuatan merampas hak manusia yang

bersifat non-derogable rights, (ii) disertai dengan kekerasan dengan target non-

selective,random dan indiscriminate, (iii) dan perbuatan disertai dengan

perencanaan yang matang atau terorganisasi, (iv) serta perbuatan menyebabkan

munculnya rasa takut yang nyata dan keresahan yang luar biasa di masyarakat.

Pengaturan tindak pidana terorisme dalam hukum nasional juga tidak

mendefinisikan terorisme secara spesifik. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor

9 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan

Terorisme menyatakan bahwa hampir seluruh perbuatan yang memenuhi unsur

tindak pidana dapat dikatagorikan sebagai terorisme. Namun, tindak pidana yang

dimaksud hanya sebatas dalam ketentuan Undang-Undang yang mengatur

pemberantasan tindak pidana terorisme saja. Karena begitu luasnya cakupan dari

definsi diatas, memberikan implikasi yuridis yang begitu lemah dalam

memberantas tindak pidana terorisme.

1
Perspektif yurudis kejahatan ini juga diatur dalam tataran global. Setidaknya

terdapat 12 Konvensi termasuk protokol utama yang telah diturunkan oleh

Perserikatan bangsa-bangsa. Jika di breakdown konsepsi terorisme juga seperti

hukum nasional, bahwa tidak ada aturan yang spesifik mengikat dan

mendefinisikan terorisme secara kongkrit. Hal ini mengingat bahwa kejahatan

terorisme dapat berbentuk apapun dan dalam kondisi apapun; seperti pembajakan

pesawat (Word Trade Center Tragedy 9/11), penembakan membabi-buta (Paris

Tragedy 2015), dan Pengeboman dengan alat peledak yang baru-baru ini terjadi di

Surabaya dan sekitarnya dengan berbagai titik yang berbeda.

Jika dikerucutkan semua merujuk pada situasi atau kondisi tertentu yang

menyebabkan kerugian baik materil maupun imateril termasuk pada hak-hak asasi

manusia yang tak dapat dikurangi dalam waktu dan kondisi apapun. Lebih lanjut,

efek domino kajahatan ini juga akan memberikan ancaman pada stabilitas dan

keamanan baik nasional maupun internasional.

Pengaturan internasional tentang terorisme agaknya lebih spesifik termaktub

dalam pasal 2 ayat 1 International Convention for the Suppression of Terrorist

Bombings. Definisi terorisme dalam pasal tersebut berbunyi “Any person commits

an offence within the meaning of this Convention if that person unlawfully and

intentionally delivers, places, discharges or detonates an explosive or other lethal

device in, into or against a place of public use, a State or government facility, a

public transportation system or an infrastructure facility:(a) With the intent to

cause death or serious bodily injury; or (b) With the intent to cause extensive

destruction of such a place, facility or system, where such destruction results in or

2
is likely to result in major economic loss. Pengertian yuridis diatas menjabarkan

secara spesifik unsur-unsur yang terkandung dalam tindak kejahatan terorisme

yakni (i)seseorang atau siapapun juga, (ii)melanggar hukum dan disengaja,

(iii)meledakakan alat peladak atau alat yang mematikan lainnya (iv)terhadap

tempat umum atau fasilita lainya, (v) dengan maksud menyebabkan kematian atau

cidera atau perusakan tempat atau kerugian ekonomi yang begitu hebat.

Semangat Negara-negara di dunia dalam melawan terorisme tertuang juga

dalam International Convention for the Suppression of the Financing of

Terrorism, 1999. Setidaknya tertulis ratusan daftar Negara yang menandatangani

konvensi tersebut, termasuk Indonesia. Negara kita juga termasuk dari sekian

banyak Negara yang meratifikasi konvensi ini pada tahun 2006. Terbukti lahirnya

undang-undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International

Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999. Lahirnya

undang-undang tersebut memberikan konsekuensi yuridis bagi Indonesia untuk

bekerja sama dengan dunia internasioal dalam mengusut tuntas tindak pidana

pendanaan Terorisme sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 hingga 15 konvensi

tersebut. Dasar hukum ini akan memberikan ruang gerak yang lebih sempit bagi

para pelaku teror yang marak terdengar dewasa ini, seperti ISIS (Islamic State of

Irak and Syria), Taliban, Abu Sayyaf hingga Al-Qaeda. Organisasi berbasi teror

tersebut telah mengembangkan sayap keberbagai belahan dunia termasuk

Indonesia. Tak lain adalah paham radikalisme yang dibawahnya menjadi media

dalam setiap sepak terjangnya.

3
Perbedaan waktu dalam ruang lingkup terorisme membuat perbedaan pula

maknanya. Terorisme dewasa ini dapat dikatakan menyandang status sebagai

kejahatan internasional karena sifatnya yang transnasional, diakui secara universal

sebagai tindak kejahatan, dan menjadi enemy of mankind. Walaupun memang

dalam statuta roma tentang international criminal court (icc) tidak menyebutkan

secara eksplisit kewenangan ICC dalam mengadili perkara terorisme, namun

karena sifat terorisme yang mengancam stabilitas dan keamanan dunia

maka chapter VII United Nations charter harus dilaksanakan sebagai tanggung

jawab seluruh Negara dalam menciptakan perdamaian, kemananan dan ketertiban

dunia.

Dampak yang sistemik yang dihasilkan karena kejahatan ini membuat PBB

mengeluarkan berbagai resolusi, salah satunya Resolusi PBB nomor 1368 tahun

2001 yang Bertekad untuk memerangi dengan segala cara ancaman terhadap

perdamaian dan keamanan internasional yang disebabkan oleh aksi teroris.

Resolusi tersebut kala itu dilahirkan sebagai respon internasional akan tragedi

World Trade Center (9/11). Dasar diatas kiranya perlu bagi negara-negara di

dunia untuk mendesak International Criminal Court (ICC) dalam membuat

konstruksi baru akan definisi dan penangan kejahatan Terorisme sebagai

kejahatan Internasional (International Crime).

Aksi terorisme memang tak akan lepas dari perkembangan peradaban zaman.

Perbuatan ini merupakan implikasi dari derasnya perkembangan ideologi dan

teknologi, kerena 2 unsur tersebut selalu melekat sepanjang tindak terorisme

terjadi. Perlawanan terorisme membutuhkan kerjasama semua elemen masyarakat

4
demi terciptanya stabilitas dan kemanan nasional dan internasional. Tanggung

jawab kolektif merupakan kunci dari keberhasilan deradikalisasi terorisme.

Dalam soal terorisme, terdapat 12 konvensi termasuk aturan protokol utama yang

diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Perjanjian-perjanjian

internasional ini pada prinsipnya mengatur norma-norma termasuk tanggungjawab

negara dalam menjawab problem terorisme. Jika ditelisik, tidak ada satu pun

perumusan definisi terorisme dalam standar hukum internasional yang diadopsi

oleh PBB, baik perjanjian internasional maupun resolusi-resolusi yang

dikeluarkan Dewan Keamanan atau Majelis Umum. Karenanya, instrumen hukum

yang memuat persoalan terorisme secara langsung menyebut situasi dan kejadian

atau insiden yang spesifik.

Situasi atau insiden yang dirumuskan sebagai terorisme antara lain: kejahatan

yang dilakukan di atas pesawat terbang atau juga seringkali disebut dengan

kejahatan terhadap keamanan penerbangan (Konvensi Tokyo, 1963). Kejahatan

pembajakan pesawat udara (Konvensi Hague, 1970), secara spesifik juga diatur

soal kejahatan yang dilakukan terhadap penerbangan sipil (Konvensi Montreal,

1971).

Singkatnya, tindakan kejahatan ini dapat dikatakan mengancam atau berakibat

negatif terhadap hak atas hidup (the right to life), kebebasan (liberty) dan

keamanan seseorang (security of person) dan mempunyai implikasi luas bagi

keamanan dan perdamaian global. Di awal era 70-an, standar hukum internasional

yang diadopsi oleh PBB terutama berkaitan dengan kejahatan terhadap individu-

individu yang secara hukum internasional dilindungi keselamatannya. Individu-

5
individu ini antara lain pejabat pemerintah senior dan para diplomat. Aturan ini

misalnya dimuat dalam Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan

terhadap Individu Yang Dilindungi Menurut Hukum Internasional tahun 1973.

Kemudian, juga diadopsi aturan-aturan seperti: standar hukum internasional

tentang kejahatan penyanderaan (Hostages Convention, 1979), Konvensi

kejahatan penggunaan material nuklir (Nuclear Materials Convention, 1980),

Konvensi Kejahatan terhadap Keamanan Navigasi Maritim (1988), Konvensi

yang berkaitan dengan kejahatan penyediaan bahan-bahan kimia yang digunakan

untuk sabotase (1991), Konvensi Anti Teroris yang Menggunakan Bom atau

bahan-bahan peledak (1997), dan Konvensi tentang Pembiayaan Kegiatan

Terorisme (1999).

Dari kerangka hukum internasional tersebut, ada beberapa prinsip dasar yang

mesti dipatuhi oleh negara dalam menjalankan kewajiban internasionalnya

mencegah dan menjawab problem-problem yang berkaitan dengan kejahatan

terorisme. Setidaknya ada 4 prinsip utama.

1. Pertama, situasi dan kejadian atau insiden yang terjadi melanggar hukum

pidana (offences against penal law). Karenanya, kejahatan yang dilakukan

mesti dibuktikan unsur-unsur pidananya, dan bukan semata-mata berdasarkan

asumsi-asumsi atau bersandar pada teori konspirasi. Dalam konteks ini,

terdapat juga prinsip mesti adanya alasan pembenar yang kuat (reasonable

grounds) untuk melakukan suatu tindakan-tindakan yang masuk akal

(reasonable measures), baik dalam melakukan pencegahan (reasonable

6
preventive measures) maupun mengatasi kejahatan dengan mengacu pada

kebutuhan-kebutuhan yang memang diperlukan (necessity principle)

2. Kedua, semua tindakan negara tidak diperkenankan dilakukan bersasarkan

pertimbangan-pertimbang diskriminatif, baik secara politik maupun

berdasarkan diskriminasi ras dan agama (non-discrimination principles).

3. Ketiga, prinsip yang penting lainnya adalah perlakuan yang benar dan adil

(fair treatment principle). Negara diwajibkan untuk menjamin perlakuan yang

adil berdasarkan standar internasional yang berlaku di setiap level atau

disetiap tahapan atau proses hukum yang dilakukan. Perlakuan yang adil ini

seperti tidak dibenarkan pejabat negara atau otoritas negara melakukan

kejahatan hak asasi manusia, yaitu kejahatan terhadap hak hidup seseorang

atau yang lebih dikenal dengan hak-hak yang tidak bisa dilanggar (non-

derogable rights).

4. Keempat, dalam rangka kerja-kerja pencegahan dan penanggulangan

terorisme, PBB juga mengadopsi ketentuan tentang kedaulatan negara

(sovereign rights of a state). Secara kerangka hukum internasional, tidak

dibolehkan adanya interpretasi-interpretasi yang dibuat oleh sebuah negara

dengan tujuan untuk melanggar kedaulatan negara lain.

Merujuk pada kerangka hukum di atas, sebenarnya dapat ditentukan penilaian

terhadap materi Perpu No. 1/2002 Anti Terorisme. Tidaklah ada keberatan untuk

melawan kejahatan atau mencegah terjadinya kezaliman-kezaliman yang

merugikan masyarakat domestik dan komunitas internasional. Namun demikian,

perlulah dipertimbangkan dan dijalankan aturan main yang dapat menjaga

keseimbangan sosial politik yang berkesinambungan.

7
Dalam konteks Indonesia, aturan main ini bisa saja dibuat dengan prasyarat untuk

memperkuat konsolidasi demokrasi dan membangun sistem negara yang

demokratis, bukan malah memperlemah. Dengan demikian, jika malah

memperlemah, jawabannya: tidak diperlukan membuat aturan yang dibuat-buat.

Bisa saja Indonesia mengadopsi aturan-aturan internasional yang sudah ada.

Misalnya, meratifikasi terlebih dulu dua kovenan induk dan selanjutnya

meratifikasi konvensi-konvensi yang berkaitan dengan persoalan terorisme.

Dalam soal terorisme, merujuk pada norma internasional, patut dicatat negara juga

mempunyai wajib melindungi hak-hak warga negaranya yang oleh otoritas negara

lain dituduh sebagai pelaku kejahatan. Di sisi lain, satu negara diwajibakan

memberikan informasi sesegera mungkin tanpa penundaan-penundaan kepada

suatu otoritas di negara lain yang dianggap dapat melindungi hak-hak asasi 'si

tersangka'. Kewajiban ini juga termasuk memberikan peluang 'si tersangka' untuk

dikunjungi oleh pejabat atau perwakilan negara yang dianggap mempunya otoritas

dalam hal perlindungan hak-hak 'si tersangka'.

Lebih dari itu, dalam banyak perjanjian internasional atau konvensi dimuat

konsideran piagam PBB. Sebagai catatan, Indonesia sebagai anggota PBB tunduk

pada Pasal 55 yang intinya melekatkan diri pada kesadaran untuk menciptakan

kondisi keadilan dan perdamain global-negara-negara anggota PBB diwajibkan

untuk mempromosikan tiga kondisi utama

1. Pertama, adanya standar hidup yang tinggi, tersedianya lapangan pekerjaan

dan terpenuhinya hak-hak ekonomi, sosial warga negara dan pembangunan.

8
2. Kedua, terlibat dalam merumuskan dan mengimplementasikan solusi-solusi

internasional untuk menjawab problem-problem ekonomi, sosial, kesehatan

dan pendidikan warga negara.

3. Ketiga, penghormatan universal dan pemenuhan hak-hak asasi manusia dan

kebebasan-kebebasan dasar tanpa diskriminasi berdasarkan ras, jenis kelamin,

bahasa atau agama.

Dengan demikian, di satu sisi negara wajib melakukan upaya efektif dalam

menjawab problem terorisme dengan melakukan kerjasama internasional. Di sisi

lain, negara dituntut juga melakukan kewajiban-kewajibannya untuk memfasilitasi

terciptanya kondisi di mana rakyat menikmati keadilan, kemakmuran, dan

keamanan kolektif.

Anda mungkin juga menyukai