Anda di halaman 1dari 22

ZAB

11 APRIL 22 KLAS GZ KULIAH KESEMBILAN


Judul
TERORISME NASIONAL DAN INTERNASIONAL

1. Pendahuluan

Bagi kawan-kawan yang interested in air law related to terorisme dijelaskan sekedar untuk
menambah wawasan mengenai pengertian terorisme, sejarah perkembangan terorisme, karakteristik
terorisme, kategori terorisme, pelaku terorisme, jenis terorisme, pencegahan dan pemberantasan terorisme
dan undang-undang terorisme di Indonesia, konvensi internasional dan resolusi PBB namun demikian
sebelum menguraikan hal tersebut lebih dahulu diuraikan latar belakangnya, agar para pembaca
memahami dengan baik sebagai perikut.

2. Latar Belakang

Beberapa tahun yang lalu Indonesia pada umumnya, khususnya masyarakat penerbangan dikejutkan
hasil temuan Transport Security Administration (TSA) Amerika Serikat di Ngurah Rai International
Airport, Denpasar, Bali yang menyatakan bahwa keamanan di bandar udara di Indonesia dapat
dikategorikan black star1 atau rawan untuk penerbangan internasional karena di bawah standar
internasional yang ditetapkan oleh ICAO. Selain pernyataan dari TSA Amerika Serikat tersebut, Australia
juga menyerukan kepada perusahaan penerbangannya yang akan terbang ke Indonesia, khususnya Ngurah
Rai International Airport, Denpasar, Bali agar meningkatkan pengamanan sesuai dengan rekomendasi
ICAO. Temuan TSA maupun seruan Australia tersebut mempunyai dampak terhadap penerbangan
internasional ke Indonesia yang berpengaruh terhadap wisatawan manca negara yang akan berkunjung ke
Indonesia.2

Bedasarkan temuan dan seruan tersebut menunjukkan adanya indikasi kuat bahwa Indonesia
umumnya, khususnya bandar udara di Indonesia kurang aman, apapun alasannya apakah kurangnya
fasilitas, personel, pemahaman dan kepedulian personel penerbangan maupun sebab-sebab lain. Indikasi
lain bahwa Indonesia kurang aman adalah adanya berbagai ledakan di beberapa kawasan seperti
penyerangan pos Brigade Mobil di Lokki, Piru, Seram di Maluku; penembakan di Villa Ambon, kapal
Lai-lai; penyelundupan detonator beserta sumber peledaknya; peledakan di Cimanggis yang menurut
Brigjen Adityawarman kelompok tersebut mempunyai jaringan sangat luas; demikian pula pernyataan
Duta Besar AS, Robert Geldbard terorisme internasional sudah beroperasi di Indonesia, bahkan di Solo
ditemukan 21 bom daya ledak tinggi disitas oleh Polisi.3 Peristiwa peledakan bom Bali pertama tahun
2000, disusul peledakan bom Bali Kedua Tahun 2005, beberapa ledakan seperti di Bursa Efek Jakarta,
Hotel Marriot Jakarta, di depan kedutaan besar Australia, di Palu, di Gereja, Poso serta tertangkapnya
Doktor Azhari dan pendukungnya di Malang, penangkapan Umar Patek meninggalkan trauma yang
mendalam, menunjukkan indikasi jaringan teroris nasional maupun internasional, semuanya
membuktikan bahwa di Indonesia sangat rawan terhadap keamanan.

1
Dalam tahun 1985 IFALPA juga menilai Flight Information Region (FIR) Ujung Pandang termasuk “Black Star” lihat Aart Van Wijk
dalam Matte N.M.,Annals of Air and Space Law. Vol. X Annals of Air and Space Law 486-496(1985).

2
Martono K., & Amad Sudiro.,Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public International and National Air Law).Jakarta :
Rajagrafindo, 2012.hlm.294

3
Tayangan TV-One tanggal 15 Agustus 2015 (running news).
Peristiwa pemboman yang terjadi di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 telah menimbulkan suasana
teror atau rasa takut yang sangat mendalam terhadap orang secara meluas, mengakibatkan hilangnya
nyawa serta kerugian harta benda, sehingga mempunyai pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap
kehidupan sosial, ekonomi, politik dan hubungan deplomatik Indonesia dengan dunia internasional.
Peristiwa pemboman tersebut telah menimbulkan ancaman bagi perdamaian nasional maupun
internasional sehingga PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 1438 (2002) yang pada intinya mengutuk
sekeras-kerasnya peledakan bom tersebut serta Resolusi Nomor 1373 (2001) yang menyerukan semua
negara untuk bekerja sama mendukung dan membantu pemerintah Indonesia untuk mengungkap pelaku
yang terkait dengan peristiwa terebut dan membawanya ke pengadilan.

Dalam rangka pemberantasan kejahatan penerbangan yang juga merupakan sarang terorisme, PBB
dan ICAO telah mengeluarkan berbagai resolusi, bahkan ICAO mengesahkan berbagai konvensi
internasional. Indonesia sebagai negara anggota ICAO sejak 27 April 1950 juga telah menambil langkah-
langkah yang diperlukan dengan meratifikasi Konvensi Tokyo 1963,4 Konvensi The Hague 1970,5
Konvensi Montreal 1971,6 mengesahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976, Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2009,7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003, menyiapkan berbagai peraturan keamanan
penerbangan sipil seperti peraturan pemerintah Nomor 3 Tahun 2001, 8 KM 295/U/1970,9 Keputusan
Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 1989,10 SKEP/275/XII/1998,11 SKEP/ 40/II/95,12 SKEP/
12/I/1995,13 dan SKEP/275/XII/199814 yang mengacu pada Annex 17 Konvensi Chicago 194415 di
samping membentuk National Civil Aviaiton Security yang beranggotakan berbagai instansi yang
berkaitan dengan keamanan penerbangan sipil serta melengkapi berbagai peralatan keamanan untuk
mencegah terjadinya tindak pidana kejahatan maupun pelanggaran di bidang penerbangan, namun

4
Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft, signed at Tokyo on 14 September 1963.

5
Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft, signed at the Hague on 16 December 1970.

6
Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation, signed at Montreal on 23 September 1971.

7
Undang-undang tentang Penerbangan (UURI No.1 Tahun 2009). Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956.

8
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan.

9
KM 295/U/1970 tentang Penertiban Penumpang Pesawat udara.

10
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 1989 tentang Penertiban Penumpang, Barang, dan Pos yang diangkut dengan
Pesawat Udara,

11
SKEP/275/XII/1998 tentang Pengangkutan Barang-Barang Berbahaya dengan Pesawat Udara,

12
SKEP/40/II/95 tentang Pelaksanaan KM 14 Tahun 1989 tentang Penertiban Penumpang, Barang dan Pos Yang Diangkut Dengan
Pesawat Udara,

13
SKEP/12/I/1995 tentang Surat Tanda Kecakapan Operator Peralatan Sekuriti

14
SKEP/275/XII/1998 tentang Pengangkutan Barang Berbahaya Dengan Pesawat Udara

15
Annex 17 Konvensi Chicago 1944 tentang Security
demikian Indonesia belum meratifikasi Protokol Montreal 198816 dan Konvensi Montreal 1991,17
Konvensi beserta Protokol Beijing 2010.

3. Pengertian

Sampai saat ini belum ada definisi atau pengertian atau batasan mengenai terorisme yang
memuaskan semua pihak, namun demikian bukan berarti tidak ada definisi atau pengertian atau batasan.
Beberapa sarjana atau buku membuat definisi atau pengertian atau batasan walaupun batasan tersebut
belum memuaskan. Terorisme sebagai Government by intimidation has directed and carried out by the
party in power in France during the Revolution of 1789-1794, the system of terror. A policy intended to
strike with terror those against whom it is adopted, the employment of methods of intimidation. 18” Batasan
atau pengertian tersebut belum dapat menggambarkan apa yang sebenarnya pengertian terorisme, tetapi
hanya menggambarkan perbuatan teroris yang terjadi pada saat itu dengan cara membuat semua orang
takut. Semua kebijakan yang dilakukan oleh Napoleon dengan menakut-nakuti (terror) dengan cara
intimidasi (intimidation). Tindakan-tindakan disengaja agar semua orang takut, ngeri, panik, gugup,
kacau, trauma yang sangat mendalam (traumatic) dalam suatu masyarakat untuk menghancurkan sistim
sosial dan menambahkan kesengsaraan serta penderitaan masyarakat.

Lord Chalfont mengatakan “Terrorisme is the deliberate, systematic murder, maiming or menacing
of the innocent to inspire fear in order to gain political end”. Dari batasan atau pengertian ini tampak
bahwa terorisme itu mengandung pengertian suatu tindakan yang dilakukan dengan “sengaja” untuk
menimbulkan ketakutan dalam usahanya untuk mencapai tujuan akhir yang biasanya bertujuan politik
(political goal). Sebenarnya terorime tidak semata-mata tujuan politik (political goal), karena terorisme
juga bertujuan untuk mencapai kepuasan pribadi (individual satisfaction) maupun kepuasan kelompok
atau kolektif. Menurut The Task Force 19 “Terrorism as a tactic or technique by means of which act or the
threat there of is used for the prime purpose of creating overwhelming fear for coersive purpose).”

Menurut Geneve Convention of 1937 tentang Convention for the Prevention and Punishment of
Terrorism terorism adalah …… act of terrorism means criminal acts directed againt a state and intended
or calculated to create a state of in the mind of particular persons, or a group of persons or the general
publikc”, sedangkan menurut Brian Jenkins, terorisme adalah sebagai ancaman berupa kekerasan, tindak
kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau serangkaian tindakan kekerasan yang dimaksudkan untuk
menanamkan rasa takut atau perbuatan yang dapat disebut tindakan terror. Menurut kamus
Purwodarminto,20 terorisme adalah praktik-praktik tindakan teror, penggunaan kekeraan untuk
menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan politik.”

Terorisme adalah suatu penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usahanya untuk
mencapai suatu tujuan tertentu, terutama tujuan politik, praktik-praktik tindakan teror. 21 Menurut rumusan
16
Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Aiport Serving International Civil Aviation, Supplementary to the
Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviiation, done at Montreal on 23 September 1971, signed at
Montreal 24 February 1988; Lihat dalam Dempsey P.S.Ed., Annals of Air and Space Law (2005) Vol. XXX-Part I. Toronto, Canada : The
Carswell Company, Limited, 2005.

17
Convention on the Marking of Plastic Explosive for the Purpose of Detection, signed at Montreal on 1 March 1991.

18
Dikutip oleh Menko Polkam dari Murray’s Oxford English Dictionary yang dipresentasikan dalam Seminar di Universitas Nasional
Jakarta 16 Januari 1990.

19
Lihat Jurnal Keadilan Vol.1 Noor 4 Oktober 2001, halaman 16.

20
W.J.S Purwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesi. Jakarta : PN Balai Pustaka, 1982.

21
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisik Kedua. Jakarta : Balai Pustaka, 1992.
Central Intelligence Agency terorisme adalah “The threat of use of violence for political purposes by
individual or group, whether acting for, or in opposition, established governmental authority, when such
action is intended to shock or intimidate a target group wider than …. ” 22. Menurut Peter Salim, teror
adalah perasaan takut yang sangat mencekam seseorang sehingga orang tersebut hampir tidak dapat
bergerak atau bertindak, sedangkan teroris adalah suatu yang berkenaan dengan terror.23

Kata “terorisme” berasal dari kata “terror” yang menurut Black’s Law Dictionary adalah “Alarm,
fright, dread, the state of mind inducted by the apprehension of hurt from some hostile or threatening
event or manifestation, fear caused by the apprearence of danger. In an andictment for riot at common
law, it must terror been charged that the acts done were to the terror of the people”. Seterusnya
“Terroristic threats” adalah a person is guilty of a felony if he threatens to commit any crime of violecnce
with purpose to building, place of assembly, or facility of public transportation, of otherwise to cause
serious public inconvenience, or in reckless disregard of the risk of causing such terror inconvenience”

Menurut Undang-undang Tahun 1976 di Inggris tentang Pencegahan Terorisme adalah “Terrorism
is defined as …… the use of violence for political ends, and includes any use of violence for the purpose of
putting the public or any section of the public in fear” (Terorisme diartikan sebagai ….. penggunaan
kekerasan untuk tujuan-tujuan yang bersifat politik dan termasuk beberapa penggunaan kekerasan untuk
maksud membuat masyarakat atau bagian masyarakat dalam ketakutan).

Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 200224 dan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 200325 “Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi
unsur-unur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
ini”. Menurut Pasal 6 …… setiap tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang
menimbulkan suasana teror atau takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang
bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain,
atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-bobyek vital yang strategis atau
lingkungan hidup atau fasiltias publik atau fasilitas internasional,……….

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa sampai saat ini belum ada kata sepakat secara universial apa
yang dimaksudkan dengan perkataan ”teroris” walaupun banyak yang mengemukakan definisi ” teroris.”
Menurut Konvensi Jenewa 1937 yang dimaksud ”teroris” adalah tindakan kejahatan yang diarahkan
kepada negara yang dimaksudkan atau diperkirakan menimbulkan rasa takut yang sangat besar terhadap
seseorang tertentu atu kelompok masyarakat atau masyarakat umum, sedangkan menurut Konvensi
Washington 1977 tidak memberi definisi secara tegas, melainkan hanya memberi beberapa jenis kejahatan
seperti penculikan, pembunuhan dan perkelaian yang harus dilindungi oleh pemerintah. Demikian pula
European Convention on the Suppression of Terorism 1977 juga tidak memberi pengertian apa yang
dimaksudkan dengan perkataan ”teroris.”

Secara umum barang kali dapat dikatakan teroris adalah seseorang yang mencoba atau
melaksanakan kehendaknya melalui suatu paksaan atau intimidasi. Paksaan atau intimidasi tersebut

22
Jurnal Keadilan Vol.I Nomor 4, Oktober 2001.

23
Peter Salim, The Cintemporary English-Indonesian Dictionalry, Eddisi Pertama. Jakarta : Modern English Press, 1985.

24
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Lembaran
Negara Republik Indonesia, Tahun 2002 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indoneia nomor 4232.

25
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002, menjadi Undang-undang, Lembaran Negara Republik
Indonesia, Tahun 2003 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indoneia Nomor 4285.
dengan menciptakan situasi atau kondisi rasa ketakutan seseorang atau kelompok masyarakat sehingga
seseorang atau kelompok masyarakat tersebut merasa kehilangan kepercayaan atau kehilangan
perlindungan. Kondisi rasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan tersebut diciptakan dengan tindakan
kekerasan dan kekejaman, tindakan mana dapat digolongkan sebagai kejahatan (crime, violence). Mereka
membunuh, melukai, meyandera dan tidak segan-segan meledakkan pesawa udara yang dapat
menimbulkan kerugian jutaan dollar Amerika Serikat. Di dalam dunia penerbangan ditemui berbagai
bentuk kekerasan dan pembunuhan telah dilakukan di beberapa banda udara. Dari Tahun 1973 sampai
dengan 1985 telah terjadi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh teroris seperti di Narita Airport, Jepang,
di Roma dan Vienna. Sebelumnya juga terjadi teroris di Calvi, Orly Airport, Heathrow airport, Tel Aviv
di Israel, Frankfurt, Callingwood, New Delhi, India,Beirut airport, Ajacci, Long Angles, Kabul, Cairo, La
Guardia dan lain-lain.26

Di samping teror di bandar udara, kadang-kadang juga dilakukan di pesawat udara. Dari tahun 1968
sampai dengn Tahun 1985 tidak kurang dari 45 pembajakan udara yang dilakukan oleh teroris. Mereka
membunuh, melukai, menyiksa dan menyandera penumpang, bahkan kadang-kadang meledakkan pesawat
udara. Di lihat dari perusahaan penerbangan yang menjadi sasaran, yang paling sering dibajak teroris
adalah Trans World Airlines (TWA), Aviana Airlines dan Lufthansa masing-masing di bajak 3 kali,
menyusul EL Al perusahaan penerbangan di Israel, PAL masing-masing dibajak dua kali, sedangkan
sisanya seperti Pakistan International Airlines (PIA), KLM dan BOAC dan lain-lain dibajak sekali. Dari
sisi lokasi pembajakan dilakukan oleh teroris sebagian besar di sekitar Timur Tengah terutama rute dari
atau ke Israel yang pada umumnya dilakukan oleh PFLP. Dari jumlah 45 kali pembajakan udara, 15 kali
dilakukan oleh PFLP.27 Sampai bulan Desember 1983, tercatat 48 kelompok teroris internasional seluruh
dunia.28

Dari semua definisi atau pengertian atau batasan yang dikutip di atas dapat disimpulkan bahwa
terorisme selalu mengandung unsur-unsur tindak pidana politik (political crime), kekerasan (violation)
yang bermaksud untuk menimbulkan rasa ketakutan, ngeri, gugup, takut yang mendalam (traumatic),
penderitaan, tersiksa yang dapat menghilangkan nyawa korban tanpa memandang korban, mengacaukan,
menakutkan, merugikan harta benda masyarakat sehingga dapat menimbulkan dampak yang luas
terhadap kehidupan social, ekonomi, politik dan hubungan internasional.

4. Sejarah Perkembangan Terorisme

Istilah “terorisme” telah digunakan sejak abad ke-18. Pengertian “terorisme” dapat dipahami dengan
baik dari dialog antara Alexander Agung dengan bajak laut yang dituturkan oleh St.Agustinus. 29 Dalam
dialog tersebut St.Agustinus menuturkan ceritera tentang seorang bajak laut yang tertangkap oleh
26
Martono K.,Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional. Bandung : Penerbit Madar Maju, 1995,
hlm.160

27
Martono K.,Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional. Bandung : Penerbit Madar Maju, 1995,
hlm.161

28
Kelompok teroris internasional adalah Populer Front for the Liberalization of Palestine (PFLP), yang terdiri atas berbagai aliran seperti
Black September Organization (BSO Al Fatah), Arab Nationalist Youth Organization for the Liberalization of Palestine (ANYOLP), Al
Sadr Brigade, Democratic Front for the Liberation of Palestine, Eagle of National Unity, Palestine Popular Front. Di kawasan Asia juga
terdapat teroris seperti Ananda Marg, Dal Khasa, Shekh Liberalization dan Khashmiri di India, Dev Sol dan Turkish People
Liberalization Army di Turki, Moro National Liberalization Front (MNLF) dan Kabatang Makabayan di Philipina, Pakistan
Liberalization Army (PLA), Red Army di Jepang, sedangkan teroris di kawasan Amerika Latin seperti the 19th April of Movement (M-19),
di Colombia, Badera Roja dan International Organ of the Proletariat di Venezuela, Honduran Revolusionary Union, Armed Communist
League (Mexico), Leftist Command of Chile dan lain-lain. Teroris di kawasan Africa seperti Abd Al-Nasr Movement di Mesir, Eritrean
Liberalization front di Ethiopian, Revolutionary youth Movement di Tanzania dan lain-lain. Para teroris tersebut umumnya pernah
membajak pesawat udara yang disertai kekerasan dan kekejaman.

29
Bintatar Sinaga, Kejahatan Terorisme, dalam Jurnal Keadilan, Vol.1 Nomor 4 Oktober 2001, halaman 18.
Alexander Agung. Alexandar Agung bertanya kepada pembajak “ Mengapa kamu berani mengacau laut?,
kemudian dijawab oleh bajak laut dengan pertanyaan “Mengapa kamu berani mengancam seluruh dunia?,
karena saya melakukan dengan perahu kecil, aku kalian sebut maling; kalian melakukan dengan kapal
besar, kalian disebut Kaisar. Dialog antara Alexander Agung dengan bajak laut ini sangat bagus untuk
memahami apa yang sebenarnya terorisme yang dikategorikan sebagai tindakan biadab oleh pihak yang
lain.

Sebenarnya teroris antar negara pada umumnya telah terjadi jauh sebelum tahun 1902. Hal ini
dibuktikan banyak konvensi internasional yang bermaksud mencegah dan memberantas teroris antar
negara,30 namun demikian teroris di bidang penerbangan baru diawali tahun 1931 dengan adanya
pembajakan udara yang dilakukan oleh seorang revolusioner Peru yang membajak pesawat udara
Perusian Airways untuk melarikan diri ke luar negeri. Dalam tahun tiga puluhan telah diantisipasi adanya
bentuk kejahatan kekerasan yang berbeda dengan kejahatan kekerasan secara konvensional, karena itu
diciptakan Konvensi Jenewa 1937.31 Kejahatan kekerasan ini disebut terorisme yang menjadi kenyataan
sangat menakutkan dalam tahun 1960’an. Tindakan kejahatan kekerasan tersebut justru lebih menakutkan
di bandingkan dengan bentuk kejahatan kekerasan yang lain, bahkan ada yang meramalkan akan terus
berlanjut pada tahun-tahun yang akan datang, walaupun berbagai negara berusaha untuk mencegah
tindakan terorisme.32

Hal-hal yang mendorong kelangsungan terorisme adalah masih banyak perbedaan pendapat antara
negara-negara maju dengan negara-negara yang sedang berkembang, perbedaan persepsi antar etnis,
agama, ideologi, dominasi negara-negara maju terhadap negara yang sedang berkembang, hak-hak
persamaan sosial, kebebasan, kemerdekaan, penguasaan yang terjadi antara negara-negara barat dengan
negara-negara Timur Tengah, Asia maupun Asia Tenggara. Adanya kecurigaan terhadap negara-negara
yang dianggap rawan seperti Irlandia Utara, Timur Tengah, Afrika, Afghanistan, Irak, Suriah, Yaman,
Amerika Latin, Indonsia sebagai sumber kejahatan atau kekerasan semuanya meratakan jalan
berkembangnya terorisme internasional.

Dalam Tahun 1960’an sejak pertikaian antara bangsa Palestina dengan bangsa Israel, tindakan
terorisme difokuska pada kejahatan terorisme di mana telah diumumkan ke penjuru dunia mengenai
penculikan Patricia Hearst oleh anggota-anggota Symbionese Liberation Army. Penculikan tersebut
sempat menggemparkan dunia, disusul merebaknya penculikan tokoh-tokoh masyarakat, pengacauan di
kampus-kampus, pembajakan udara. Pada Tanggal 6 September 1969 dalam kurun waktu satu hari terjadi
5 pembajakan udara yang dilakukan oleh Palestine Liberation Organisation (PLO), tiga pesawat udara
diledakan sekaligus di pangkalan udara Downson Field sebuah peawat udara diledakan di Mesir dan
sebuah pesawat udara di tangkap di bandar udara Heathrow Inggris dan pembajaknya bernama Laila
Khaled ditangkap dan ditukar dengan para penumpang yang disandera oleh pembajak.

Terorisme semakin mencuat ke permukaan setelah peristiwa Tahun 1977 di Washington Distrik
Columbia, di mana seorang Muslim bernama Hanafi menyandera 149 orang. Sejak kejadian tersebut
banyak terjadi di dunia ini dan malahan pada waktu terjadinya perang Teluk tidak kurang dari 179
kepentingan Amerika Serikat mengalami terror, malahan nampaknya terorisme tetap berlangsung terus
walaupun berbeda-beda arah kegiatan maupun bentuknya selalu berubah sesuai dengan tempat dan
waktunya. Pada saat perang dengan Irak, bahkan terorisme ISIS beredar adanya senjata kimia maupun
kuman yang dapat mematikan secara massal, di samping terror adanya senjata nuklir yang sangat

30
Konvensi-konvensi tersebut antara lain Traktat Mexico City 1902, Konvensi Buenes Aires 1920, Perjanjian Quito 1935, Konvensi
Jenewa 1935, Konvensi Washington D.C. 1971 dan Konvensi Washington D.C. 1977.

31
Konvensi Jenewa 1937, Convention of 1937 Convention for the Prevention and Punishment of Terrorism

32
Martono K., & Amad Sudiro., Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public International and National Air Law).Jakarta :
Rajagrafindo, 2012.
mengerikan. Secara kronologis dalam kurun waktu 30 tahun sejak 1969 sampai 2000 terdapat tidak
kurang dari lima belas33 tindakan terorisme yang bersifat umum dan dua 34 kali yang berkaitan dengan
penerbangan.

Di bidang penerbangan, tindak pidana terorisme juga berkembang sesuai dengan pertumbuhan
transportasi udara internasional. Dengan adanya tekanan sosial, politik, ekonomi, dominasi negara-negara
maju terhadap negara-negara yang sedang berkembang, perbedaan ideologi politik serta kepentingan
global, transportasi udara internasional terancam oleh teroris internasional yang pada saat Konvensi
Chicago 1944 disahkan belum pernah dipikirkan akan terjadi. Teroris melakukan berbagai ancaman
terhadap penumpang pesawat udara, keselamatan penerbangan dengan menggunakan kekerasan,
menguasai pesawat udara tersebut secara melawan hukum tidak terbatas pada batas kedaulatan negara
maupun politik.

Dalam Tahun 1960’an-1970’an tidak ada perusahaan penerbangan manapun kebal terhadap tindak
pidana terorisme yang dilakukan oleh pembajak. Para teroris memanfaatkan transportasi udara
internasional sebagai salah satu sarana untuk mencapai tujuan politik, menghimpun harta benda untuk
kepentingan sendiri maupun kelompoknya. Dengan melakukan tindak pidana terorisme, mereka dapat
menarik perhatian dunia internasional, melarikan diri dari ancaman hukuman suatu negara, memperoleh
dukungan internasional oleh para simpatisan mereka, sehingga penumpang, harta benda maupun
keselamatan penerbangan terancam.

Teroris yang berbentuk pembajakan udara, sebagaimana disebutkan di atas, diawali pada saat
pertentangan bangsa-bangsa Arab dengan Israel pada Tahun 1968. Sebuah pesawat udara milik
perusahaan penerbangan EL AL dibajak oleh PFLP. Pembajakan meningkat terus dengan kulminasi pada
tanggal 6 Sepember 1969. Pada saat itu dalam waktu satu hari PFLP membajak 5 pesawat udara masing-
masing milik TWA, Swiss Air, BOAC, Pan An dan EL AL. Pembajakan serupa terjadi dalam tahun 1981, di
mana dalam waktu satu hari 3 pesawat udara masing-masing milik Aviana Airlines dibajak oleh Badera
Roja di Venezuela. Sebenarnya teroris pada umumnya telah dimulai sejak 63 Masehi, dilakukan oleh
organisasi Sicarii di Palestina. Mereka melakukan teror dengan menggunakan pedang pendek dan
bermotif agama. Setelah revolusi Perancis berakhir, motif berkembang sifatnya separatis, nasionalis dan
rasialis dan meningkat terus sampai PD I dan PD II. Perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan serta
kesadaran hukum masyarakat mendorong peningkatan teroris baik kualitas maupun kuantitas yang sangat
33
Terorisme yang dimaksudkan adalah (1) tanggal 12 Desember 1969 di Italia, dilakukan oleh The Avanguardia Nationale (Neofasis
Italia) yang mengebom Bank Pertanian Milan dengan menewaskan 16 orang dan luka-luka 90 orang; (2) Tanggal 2-6 September 1972,
kelompok Black September menyandera dan membunuh tim Israel pada Olimpiade Muenchen di Jerman Barat; (3) Tanggal 1 Maret 1973
Kelompok Black September, membunuh Duta Besar Amerika Serikat dan Diplomat Belgia di Khartoun, Sudan; (4) Tanggal 18 April
1983, kelompok Jihad Islam menyerang dengan menggunakan bom bunuh diri di kedutaan Besar Amerika Serikat di Beirut yang
menewaskan 49 orang; (5) Tanggal 23 Oktober 1983, kelompok Jihad Islam menyerang basis sementara Angkatan Udara Amerika
Serikat dengan menggunakan truk bunuh diri yang menewaskan 241orang; (6) Tanggal 20 September 1984 kedutaan Besar Amerika
Serikat di Beirut di bom yang menewaskan 16 orang; (7) Tabggal 16 Nopember 1989 Gerilyawan Kiri, El Salvador menyerang
Universitas Jose Simeon Canas yang mnewaskan 6 pendeta; (8) Tanggal 17 Maret 1992 kelompok Jihad Islam meledakkan Kedutaan
Besar Israel dengan menggunakan bom bunuh diri yang menewaskan 20 orang dan lebih dari 200 orang luka-luka; (9) Tanggal 18 Juli
1994 oleh empat mantan diplomat Iran di Argentina meledakkan markas organisasi Yahudi di Boines Aires yang menewaskan 95 orang,
10 orang hilang dan 250 orang cidera; (10) Tanggal 19 April 1995 Timothy Mc Veigh meledakkan gedung pemerintah di Oklahoma City
Amerika Serikat dengan meledakkan truk besi yang menewaskan 168 orang dan ratusan luka-luka; (11) Tanggal 20 Maret 1995, sekte
Aum Shinri, menyebarkan gas beracun di setasiun di bawah tanah Kodenmacho Jepang yang menewasakan 12 orang dan 5.500 cidera;
(12) Tanggal 13 Nopember 1995 minoritas sesat Arab Saudi, menyerang pusat latihan Pengawal Nasional Arab Saudi di Riyad
menewaskan 6 orang dan 60 orang cidera; (13) Bulan Juni 1996, markas tentara Amerika Serikat di Dhahran Arab Saudi diserang yang
menewaskan 19 orang tewas; (14) Tanggal 8 Agustus 1998 Kedutaan Bear Amerika Serikat di Nairobi (Kenya) dan Dar Es Salaam
(Yanzania) di serang yang menewaskan 80 orang dan 1.000 orang cidera, termasuk Duta Besar Amerika Serikat. Dalam kasus ini
Amerika Serikat meuduh Osama Bin Laden yang melakukan peledakan; (15) Tanggal 12 Oktoeber 2000 pelabuhan Yemeni diserang
yang menewaskan 4 orang pelaut dan 31 luka-luka. Dalam kasus ini Amerika Serikat menuduh lagi Osama Bin Laden.

34
Terorisme yang dimaksudkan adalah (1) tanggal 5 September 1988 Ahmad Jibril (Komandon Jenderal Front Pembegasan Paletina)
meledakkan Boeing 747 milik Pan Amerikan Airways yang menewaskan 269 orang beserta 11 awak pesawat udara; (2) Pembajakan
udara pesawat udara Pan Nam di bandara udara Karachi, Pakistan yang menwaskan 20 orang.
pesat pada abad ke-20. Tersedianya transportasi udara yang bersifat cepat tanpa memperhatikan batas
wilayah suatu negara, ditunjang oleh idealisme politik yang ingin dicapai, merangsang peningkatan teroris
internasional yang dewasa ini sangat memprihatinkan. 35 Usaha pemberantasan dan pencegahan teroris
internasional dilakukan dengan menciptakan konvensi internasional, resolusi PBB, ICAO dan IFALPA.

Kelompok teroris Red Army Jepang pernah menyusup ke Philippina, sehingga jadwal Konperensi
Tingkat Tinggi negara-negara anggota ASEAN terpaksa dipersingkat mengingat tingkat keamannya
diragukan. Pada umumnya setiap Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) atau kunjungan kepala negara
adikuasa memerlukan pengamanan yang berlebihan. KTT negara-negara persekemuran di Vancouver,
Canada telah menelan biaya extra jutaan dollar untuk pengamanan. Kunjungan Presiden Reagan ke Bali
beberapa tahun yang lalu juga dikawal secara ketat yang dilengkapi dengan peralatan canggih.
Rombongan Presiden Reagan di samping dilengkapi dengan peralatan canggih juga dilengkapi pasukan
katak.Demikian pula halnya pada saat KTT 7 negara-negara industri di Italia dan KTT di Tokyo bulan
Mei 1986 juga dijaga ketat dengan mengerahkan polisi tidak kurang dari 30.000 personel.

Sebagaimana disebutkan di atas, terorisme juga telah terjadi di Indonesia seperti peledakan
penyerangan yang terjadi di bebagai kawasan seperti pos Brigade Mobil di Lokki, Piru, Seram di Maluku;
penembakan di Villa Ambon; kapal Lai-lai; penyelundupan detonator beserta sumber peledaknya;
peledakan yang terjadi di Cimanggis yang menurut Brigjen Adityawarman kelompok tersebut mempunyai
jaringan sangat luas; demikian pula pernyataan Duta Besar AS, Robert Geldbard terorisme internasional
sudah beroperasi di Indonesia. Peristiwa peledakan bom Bali pertama Tahun 2000, disusul bom Bali I
Tahun 2002, Bom Bali II Tahun 2005, peledakan di Bursa Efek Jakarta, Hotel Marriot Jakarta, di depan
kedutaan besar Australia, Palu, di Gereja pada hari Natal 2000, Poso meninggalkan trauma yang
mendalam, bahkan ada indikasi jaringan teroris nasional maupun internasional, semuanya membuktikan
bahwa di Indonesia sangat rawan terhadap keamanan.36

5. Karakteristik Terorisme

Berdasarkan uraian di atas, belum ada kata sepakat definisi atau pengertian atau batasan mengenai
terorisme, namun demikian dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan ada tiga macam karakteristik
terorisme masing yang dikemukakan oleh Franz Fanon, Oemar Senoadji dan Letnan Jenderal (Purn.)
Hasnan Habib.37 Menurut Franz Fenon karakteristik terorisme adalah membenarkan penggunaan
kekerasan, penolakan terhadap adanya moralisme artinya tanpa memperhatikan moral, penolakan terhadap
berlakunya proses politik, meningkatkan totaliterisme dan mengabaikan masyarakat beradap untuk
mempertahankan diri, sedangkan menurut Oemar Senoadji karakteristik terorisme adalah tindakan
ditujukan kepada soal-soal yang bersifat mengerikan, menakutkan, membuat orang gugup, traumatik
terhadap orang-orang yang tidak bersalah (innocent) yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan tujuan
yang dikehendaki oleh teroris sendiri, membuat suatu keadaan yang tidak ada kepastian yang ditujukan
kepada para pejabat yang bertanggung jawab dengan cara menempatkan bom di tempat-tempat pejabat
yang berposisi politik. Menurut Letnan Jenderal (Purn.) Hasnan Habib terorisme mempunyai karakteristik
pengeksploitasian terror sebagai salah satu kelemahan manusia secara sistimatis, penggunaan atau
penggunaan ancaman kekeraan secara pisik, penggunaan unsur dadakan atau kejutan, perencanaan setiap
aksi terror, mempunyai tujuan-tujuan politik tertentu, pada umumnya sasarannya bukan kombatan.

35
Martono K.,Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional. Bandung : Penerbit Madar Maju, 1995,
hlm.162

36
Martono K., & Amad Sudiro.,Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public International and National Air Law).Jakarta :
Rajagrafindo, 2012.hlm.294

37
Bintatar Sianaga, Kejahatan Terorisme. Jurnal Keadilan, Vol.1, Nomor 4 Oktober 2001.
6. Kategori Terorisme

Menurut The Task Force,38 terorisme dapat dikategorikan menjadi 6 (enam) macam masing-masing
suatu bentuk kekerasan yang berkaitan dengan perdamaian, keamanan dan fungsi-fungsi umum dari suatu
masyarakat; terorisme yang bersifat politik yang merupakan perilaku atau tindakan kejahatan dengan
kekerasan yang ditujukan untuk menumbuhkan rasa ketakutan yang berkesinambungan dalam masyarakat
atau suatu masyarakat untuk tujuan-tujuan yang bersifat politik; terorisme yang tidak ditujukan untuk
maksud-maksud politik, tetapi dengan pembentukan atau penciptaan perasaan takut dan ketakutan tersebut
pada tingkat semaksimal mungkin dengan maksud untuk mencapai tujuan yang dipaksakan yang akhirnya
untuk kemenangan atau kepuasan pribadi (individual purposes) atau kolektif; teroris kuasi (semu) adalah
kegiatan kejahatan kekerasan yang sewaktu-waktu dilakukan, seolah-olah melakukan kegiatan teroris
yang sebenarnya dengan cara dan metode yang sama dengan perbuatan teroris, namun demikian tidak
cukup disebut sebagai teroris, tujuan utama dari teroris kuasi (semu) adalah menggunakan teknik, cara,
akibat serta reaksi yang timbul seolah-oleh seperti teroris yang sebenarnya. Mereka melakukan kejahatan
dengan cepat dan menyandera. Cara atau metodenya sama dengan teroris yang sebenarnya, tetapi
tujuannya sangat berbeda dengan teroris. Bentuk teroris demikian banyak dialami di Amerika Serikat;
teroris yang bersifat politik terbatas yang ditandai dengan pendekatan revolusioner, tetapi sifatnya terbatas
dan tidak merupakan bagian dari suatu usaha untuk mencegah atau menghindari dari pengawasan
pemerintah atau Negara; dan teroris yang dilakukan oleh pejabat atau negara. Teroris demikian dilakukan
terhadap bangsa-bangsa yang diperintah untuk menciptakan ketakutan dan tekanan-tekanan sehingga
perbuatan itu seimbang atau sama dengan perbuatan yang sama dengan perbuatan teroris.

7. Pelaku Terorisme

Mengingat definisi atau pengertian atau batasan mengenai terorisme tidak jelas atau belum ada kata
sepakat yang memuaskan semua pihak, maka pelaku terorisme juga tidak secara jelas mana pelaku
terorisme, namun demikian sebagai ancer-ancer dapat diklasifikasikan ada 6 (enam) kelompok teroris,
masing-masing orang sekit jiwa (mentally disturb people). Mereka melakukan tindakan sangat kejam
karena tekanan jiwa, kadang-kadang dengan tujuan politik seperti pembunuhan Presiden Gerald Fort dan
Presiden J.F.Kennedy, tetapi juga tidak jelas tujuannya seperti pembajakan pesawat udara Merpati
Nusantara Airlines di Yogyakarta tahun 1972 dan banyak pembajakan udara yang dilakukan oleh orang-
orang tidak waras (mentally disturb people); orang perbatasan (border crossing community) suatu negara
sering melakukan tindakan kekerasan karena merasa tidak ada jaminan keselamatan atau mungkin
dipengaruhi oleh kekacauan di dalam negeri atau tidak jelas status kewarga negaraannya. Hal ini terjadi di
perbatasan Uganda pada saat pemerintahan Idi Amin, demikian pula di Lebanon; atas perintah teror yang
dilakukan oleh suatu kelompok atas perintah penguasa negara yang berwenang, terutama sekali pada
perang dunia kedua, sebagai contoh tindakan kejam dan biadab adalah peristiwa pembunuhan terhadap
Trotsky di Mexico dan peledakan kapal Green Peace di Selandia Baru oleh anggota militer Perancis
karena Green Peace berusaha menentang percobaan peledakan nuklir di salah satu pulau yang dikuasai
oleh Perancis di Lautan Pasifik; kelompok tertekan melakukan terorisme, karena tidak dapat menghadapi
lawan, maka mereka terpaksa melakukan kekejaman dan kekerasan. Hal ini dilakukan oleh Black
September movement 2-6 September 1972 yang membunuh tim Israel di Muenchen, Jerman Barat,
Kelompok Jihad Islam yang dilakukan tanggal 23 Oktober 1983 dan 17 Maret 1992 yang menewaskan
tidak kurang dari 261 orang di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Beirut dan Kedutaan Besar Israel di
Boines Aires Argentina, demikian juga di Brazil. Polisi membunuh para recidivist secara misterius;
revolusioner sering melakukan tindakan kekerasan tidak saja ditujukan kepada pemerintah, tetapi juga
kepada siapa saja yang mereka anggap sebagai musuh, termasuk juga ke dalam organisasinya sendiri
dengan alasan untuk menegakkan disiplin, mencegah perembesan agen pemerintah dengan menghukum
anggotanya sendiri yang dianggap berkhianat atau menyeleweng dari tujuan organisasi dan dinyatakan
bersalah dan dihukum dengan peradilan rakyat (Kangeroo court), kemudian dieksekusi secara kejam,

38
The Task Force adalah suatu badan pekerja untuk menanggulangi ketidak tertiban dan terorisme.
cepat dan disaksikan oleh anggotanya; dan penjahat yang melakukan terror semata-mata untuk
kepentingan pribadi dari sipelaku. Berbagai pembajakan udara telah terjadi dengan merampas harta benda
penumpang, mereka mengancam akan meledakkan pesawat udara bilamana tuntutannya tidak dikabulkan.
Demikian pula sering terjadi penculikan yang minta tebusan dengan ancaman kekejaman bilamana tidak
dikabulkan permintaannya. Teror semacam ini sering terjadi di Italia, Amerika Serikat dan juga di
Indonesia terhadap penculikan anak-anak.

8. Jenis terorisme

Ada berbagai jenis terorisme, tetapi dapat digolongkan menjadi 4 (empat) jenis terorisme masing-
masing teror negara (state terrorism) yang merupakan kegiatan terror disponsori oleh negara seperti
pembajakan udara terhadap Pakistan International Airways (PIA) disponsori oleh Afghanistan karena
Afghanistan bermusuhan dengan Pakistan. Contoh lain Jerman mensponsori terror pada saat pemerintahan
Nazi, demikian pula pada saat Revolusi Perancis, berbagai tindakan terror yang dituduhkan kepada Libya
sebagai penyandang dana terror; teror agama (religious terrorism) adalah terror yang di dasarkan atas
doktrin-doktrin keagamaan seperti perang suci (belum justum), perang jihad dan lain-lain ajaran
(doctrine); teror pemberontakan (rebellions terrorism) yang sering terjadi dilakukan oleh pemberontak
dengan maksud untuk merusak sarana-sarana pemerintah yang bersifat vital. Tindakan-tindakan tersebut
dilakukan selain untuk melemahkan kedudukan pemerintah, juga dimaksudkan agar pemerintah mau
berunding dengan pihak pemberontak; terror pribadi (individual terrorism) suatu terror yang merupakan
kegiatan yang dilakukan secara sendiri oleh seseorang tanpa terkait kepada suatu kelompok, organisasi
maupun negara.

9. Pencegahan dan Pemberantasannya

Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindakan terorisme di udara, telah dilakukan usaha-
usaha pencegahan baik secara organisasi nasional maupun internasional 39 dengan mengesahkan konvensi
internasional maupun secara teknis operasional di bandar udara. Di bidang organisasi internasional
dilakukan oleh International Federation Airlines Pilot Association (IFALPA). Dalam rangka pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana terorisme mereka selalu aktif memberi masukan dalam rangka
penyusunan konvensi internasional maupun teknis pemeriksaan di Bandar udara karena mereka sering
menghadapi tindak pidana terorisme tersebut.

Demikian pula International Police Crime Organization (INTERPOL) juga mempunyai peran yang
sangat penting dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme internasional.
INTERPOL selalu melakukan pendidikan dan latihan bagi petugas keamanan penerbangan (aviation
security) untuk mencegah atau memperkecil korban dalam penyerbuan para pembajak bilamana terpaksa
dilakukan, sedangkan Internasional Air Transport Association (IATA) dalam rangka pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana terorisme IATA dapat memberi masukan yang sangat diperlukan oleh ICAO
dan yang lebih penting lagi adalah peran dari ICAO yang mempunyai fungsi menjamin keamanan dan
keselamatan penerbangan internasional. Dalam kapasitasnya sebagai organisasi yang utama, maka ICAO
telah mengeluarkan berbagai konvensi internasional di samping mengeluarkan panduan teknis dan
operasional di Bandar dengan mengesahkan Annex 17 Konvensi Chicago 1944 beserta manualnya.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mempunyai peran yang sangat penting untuk melakukan
pencegahan dan pemberantasan tindakan terorisme, khususnya di bidang penerbangan, Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengesahkan berbagai resolusi yang bermaksud untuk mencegah dan
memberantas pembajakan udaras. Resolusi-resolusi tersebut antara lain UNGA Res.251 (XXIV), 12 th
December 1967; UNGA Res.264 (XXV) 25th November 1970; UNGA Res.32/8 November 3 rd 1977;
39
Organisasi internasional yang dimaksudkan adalah International Civil Aviation Organization (ICAO), United Nations Organiazation
(UNO), International Air Transport Association (IATA), International Federation Airlines Pilot Association (IFALPA), International Air
Traffic Control Association (IFATCA), Interantioan Police Crime Organization ( INTERPOL).
sedangkan Dewan Keamanan (Security Council) juga mengesahkan Security Council 286 (1970)
September 9th 1970; Security Council June 20th 1972;

Di samping PBB, Sidang Umum (General Assembly) ICAO juga mengeluarkan berbagai resolusi
untuk mencegah dan memberantas tindakan terorisme di bidang penerbangan. Resolusi-resolusi tersebut
antara lain ICAO Assembly Res.A-1810 July 7th 1971; ICAO- Assembly Res.A20-1 August 30th 1973;
ICAO Assembly Res. A-20-2 September 23rd 1973, di samping mengesahkan konvensi internasional yang
berkenaan dengan tindakan teroris seperti Konvensi Tokyo 1963 tentang Convention on Offences and
Certain Other Acts Committed on Board Aircraft, signed at Tokyo on 14 September 1963; Konvensi The
Hague 1970 tentang Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft, signed at The Hague
on 16 December 1970; Konvensi Montreal 1971 tentang Convention for the Suppression of Unlawful Acts
Against the Safety of Civil Aviation, signed at Montreal on 23 September 1971; Protokol Montreal 1988
tentang Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airport Serving International Civil
Aviation, Supplementary to the Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of
Civil Aviation, signed at Montreal on 23 September 1971, signed at Montreal on 24 February 1988;
Konvensi Montreal 1991 tentang Convention on the Marking of Plastic Explosive for the Purpose of
Detection, signed at Montreal on 1 March 1991.

Pada tataran hukum nasional, Amerika Serikat telah berperan dalam rangka pemberantasan dan
pencegahan tindakan terorisme. Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme
Amerika Serikat telah melakukan berbagai cara seperti mengadakan penelitian secara psychologis
berdasarkan perilaku/perangai teroris, mengadakan peralatan elektronika yang canggih guna
menemukenali benda-benda logam yang biasanya digunakan untuk melakukan kejahatan, mengadakan
pemeriksaan badan setiap penumpang, menempatkan satuan keamanan untuk mengawal penerbangan (air
marshall), mengadakan berbagai seminar tentang keamanan penerbangan (aviation security seminar)40
untuk saling memberikan informasi mengenai tindak pidana terorisme penerbangan, membuat berbagai
perjanjian ekstradisi dengan negara lain, menyerukan ke berbagai negara untuk secara bersama-sama
mengutuk setiap kejahatan yang dilakukan oleh pembajak apapun motifnya serta mengajak untuk
mengancam dengan hukuman yang berat terhadap pelaku yang tertangkap, menanda tangani Bonn
Declaration41 untuk mengutuk dan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan. Usaha Amerika Serikat
yang begitu sungguh-sungguh tersebut dapat dimengerti karena jumlah transportasi paling banyak
didunia.42

Seperti halnya Amerika Serikat, pada tataran nasional Indonesia juga, dalam rangka pemberantasan
dan pencegahan terorisme, telah mengeluarkan undang-undang tindak pidana untuk menghukum para
pelaku tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.73

40
Pada tanggal 20-22 Juli 1982 Department of Transport. FAA USA mengadakan The Third Internationasl Civil Aviation Security
Conference. Dari seminar tersebut dapat diketahui terdapat berbagai kelompok teroris internasional.

41
Bonn Declaration adalah suatu kesepakatan yang ditanda tangani oleh 7 negara masing-masing Amerika Serikat, Canada, Inggris, Italia,
Jepang, Perancis dan Jerman Barat. Kesepakatan tersebut menyatakan bahwa mereka akan mengekstradisikan pembajak yang terdapat di
wilayahnya. Bilamana negara anggota tersebut melanggar kesepakatan, maka semua penerbangan dari/atau ke negara tersebut akan
dihentikan. Lihat Schwenk, W.,The Bonn Declaartion on Hijacking, dalam Matte N.M.,Ed.,Annal of Air and Space Law. Vol. IV The
Carswell Company Limited. Toronto : Canada pages 308-322 (1978).

42
Sebagai gambaran betapa besarnya transportasi udara di Amerika Serikat, dalam tahun 1980 jumlah transportasi udara Amerika Serikat
mencapai 38 persen, Uni Soviet 14 persen, sisanya 48 persen dibagi oleh 180 negara.
Tahun 1958,43 Perpu No.16 Tahun 1960,44 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1976,45 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1976,46 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor
15 Tahun 1992, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, Undang-Undang Anti Terorisme, Perpu Nomor 1
Tahun 2002,47 beserta peraturan pelaksanaannya pada tataran peraturan pemerintah 48 maupun peraturan
Menteri KM 295/U/1970,49 KM 14 Tahun 1989,50 SKEP/275/XII/1998,51 SKEP/40/II/95,52
SKEP/275/XII/ 1998.53 Di samping itu, Indonesia juga telah membentuk National Civil Aviaiton Security
yang beranggotakan berbagai instansi yang berkaitan dengan keamanan penerbangan sipil serta
melengkapi berbagai peralatan keamanan untuk mencegah dan memberantas tindakan terorisme.

Dalam rangka mencegah dan memberantas teroris internasional, ICAO telah mengesahkan
Konvensi Tokyo 1963.54 Lahirnya Konvensi Tokyo 1963 ternyata belum mampu menanggulangi secara
tuntas teroris internaional, karena itu disempurnakan dengan Konvensi The Hague 1970, 55 dengan
lahirnya kedua konvensi tersebut yang secara bersama-sama disebut konveni tentang pembajakan udara.
Dengan adanya kedua konvensi tersebut target kejahatan dialihkan pada sasaran sarana dan prasarana
penerbangan, karena itu dikeluarkan Konvensi Montreal 1971.56 Dari 1973 sampai dengan 1985 terdapat
234 kejahatan internasional. Kenyataanny masih terdapat 36 jenis dari 234 kejahatan internasional
tersebut yang bersifat teroris tidak dapat diancam berdasarkan ketiga konvensi tersebut. Ke-36 teroris
tersebut antara lain pembantaian penumpang di bandar udara, penyerangan kantor perusahaan penerbangn,
penempatan bom waktu di tempat titipan (locker) dan berbagai tindak kekerasan yang dilakukan di bandar
udara.

Menyadari kelemahan ketiga konvensi internasional tersebut, Komite Hukum ICAO dalam
sidangnya di Montreal pada tanggal 2 April-13 Mei 1987 lalu, telah merumuskan protokol baru untuk
menyempurnakan Konvensi Montreal 1971 yang telah disahkan dalam sidang yang dihadiri oleh 199
peserta, 69 negara anggota ICAO dan 4 organisasi internasional’ Protokol tersebut antara lain
mengatakan bahwa seorang yang melakukan pelanggaran (offences) bilamana dengan sengaja dan

43
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang pernyataan berlakunya undang-undang nomor 1 Tahun 1946 tentang Berlakunya Hukum
Pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana

44
Perpu Nomor 16 Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

45
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1976 tentang Ratifikasi Konvensi Tokyo 1963, Konvensi Den Haag 1970 dan Konvensi Montreal 1971

46
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang …………………………….

47
Perpu Nomor 1 Tahun 2001 tentangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
telah disahkan dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tetang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor
1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-undang.

48
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan,

49
KM 295/U/1970 tentang Penertiban Penumpang Pesawat udara,

50
KM 14 Tahun 1989 tentang Penertiban Penumpang, Barang, dan Pos yang diangkut dengan Pesawat Udara,

51
SKEP/275/XII/1998 tentang Pengangkutan Barang-Barang Berbahaya dengan Pesawat Udara,

52
SKEP/12/I/1995 tentang Surat Tanda Kecakapan Operator Peralatan Sekuriti

53
SKEP/275/XII/1998 tentang Pengangkutan Barang Berbahaya Dengan Pesawat Udara
54
Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Arcraft, signed at Tokyo on 14 September 1963.

55
Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft, signed at The Hague on 16 December 1970

56
Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation, signed at Montreal on 23 September 1971
melawan hukum, menggunakan setiap alat (upaya atau akal) atau zat atau senjata untuk melakukan
tindakan kekerasan terhadap orang lain di bandar udara yang melayani penerbangan internsional dan
menyebabkan atau sepertinya menyebabkan luka parah atau meninggal dunia. Demikian pula setiap orang
bilamana dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan setiap alat (upaya atau akal) atau zat atau
senjata untuk menghancurkan atau merusak fasilitas yang membahayakan bandar udara yang melayani
penerbangan sipil internasional atau pesawat udara yang tidak beroperasi berada di bandar udara bilamana
tindakan tersebut membahayakan atau sepertinya membahayakan keselamatan dan keamanan di bandar
udara. Di samping itu, setiap usaha percobaan melakukan pelenggaran tersebut di atas juga diancam
hukuman berdasarkan protokol tersebut. Dengan tambahan protokol tersebut Konvensi Montreal 1971,
semua kejahatan penerbangan (termasuk teroris internasional) di bandar udara diharapkan dapat diancam
hukuman berdasarkan Konvensi Montreal 1971.

Di samping PBB dan ICAO yang mengupayakan pencegahan dan pemberantasan teroris
internasional, Internationl Federation Airline Pilot Association (IFALPA) juga mendukung pencegahan
dan pemberantasan yang dilakukan oleh PBB maupun ICAO. Presiden IFALPA Reg.Smith juga
menyerukan anggotanya untuk memboikot negara-negara yang membantu teroris internasional. Dalam
seruannya, IFALPA yang beranggotakan tidak kurang dari 60.000 penerbang tersebut menyatakan agar
anggotanya secepatnya memboikot negara-negara yang membantu teroris internasional tanpa konsultasi
lebih dahulu sampai negara tersebut memperbaiki dirinya, karena para penerbang merasa bingung oleh
ketidak mampuan negara yang bersangkutan dalam penjagaan bandar udara dan merajalelanya
pembajakan udara yang dilakukan oleh teroris internasional.

Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan terorisme, Indonsia juga telah membuat perjanjian
extradisi pembajak. Saat ini mempunyai 4 perjanjian ekstradisi dengan Thailand, Malaysia, Philipina dan
Australia, satu–satunya diantara pernjanjian ekstradisi tersebut mengatur ekstradisi pembajak udara adalah
perjanjian dengan Philipina. Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan terorisme internasional, setiap
perjanjian angkutan udara internasional timbal balik yang ditanda tangani oleh Indonesia juga memuat
klausula tentang keamanan penerbangan.

10. Undang-Undang Terorisme di Indonesia

Peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 Tahun 2002, 57 telah disahkan menjadi
Undang-undang Nomor 15 Tahun 200358 menjadi undang-undang, terdiri dari 8 Bab dan 47 Pasal. Bab I
yang terdiri dari 2 pasal mengatur ketentuan umum yang berisi pengertian tentang tindak pidana
terorisme, orang, korporasi, kekerasan, ancaman, pemerintah, perwakilan negara asing, organisasi
internasional, harta kekayaan, obyek vital, fasilitas public dan bahan peledak. Menurut Pasal 1 angka 12
yang dimaksudkan dengan bahan peledak adalah semua bahan yang dapat meledak, semua jenis mesiu,
bom, bom pembakar, ranjau, granat tangan atau semua bahan peledak dari bahan kimia atau bahan lain
yang digunakan untuk menimbulkan ledakan. Berdasarkan Pasal tersebut bom plastik sebagaimana
dimaksudkan dalam Konvensi Montreal 1991 telah termasuk dapat diancam hukum oleh undang-undang
Nomor 15 Tahun 2003.

Dalam Pasal 2 dikatakan bahwa undang-undang terebut merupakan tindakan strategis untuk
memperkuat ketertiban masyarakat dan keselamatan masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi hukum
dan hak-hak asasi manusia tidak bersifat diskriminatif baik berdasarkan suku, agama, ras maupun antar
golongan. Bab terdiri dari 3 Pasal mengenai lingkup berlakunya peraturan pemerintah pengganti undang-

57
Perpu Nomor 1 Tahun 2001 tentangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
telah disahkan dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tetang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor
1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-undang.

58
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tetang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-undang
undang. Dikatakan bahwa peraturan pemerintah pengganti undang-undang berlaku terhadap setiap orang
yang akan melakukan tindak pidana terorisme di wilayah Republik Indonesia maupun negara lain yang
mempunyai yurisdiksi, berlaku terhadap warga dan fasilitas negara Indonersia yang berada di luar negeri,
kekerasan atau ancaman untuk melakukan atau tidak melakukan pemerintah Republik Indonesia, untuk
memaksa atau tidak memaksa organisasi interrnaional di Indonesia, tindak pidana di atas kapal atau
pesawat udara berbendera Indonesia, terhadap setiap orang yang tidak memiliki kewarga negaraan tetapi
bertempat tinggal di Indonesia. Berdasarkan ketentuan tersebut konsep yurisdiksi yang diterapkan dalam
peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini adalah territorial jurisdiction principles yang
dikembangkan pada active national jurisdiction principle dan passive national jurisdiction principles.

Bab 3 yang terdiri atas pasal 6 sampai dengan 19 mengatur tindak pidana terorisme. Menurut Bab
tersebut yang termasuk tindak pidana terorisme adalah setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan atau menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas atau menimbulkan korban yang besifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap
obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional,
menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan pengamanan lalu lintas udara
atau menggagalkan pengamanan bangunan lalu lintas udara, memindahkan, mengambil, merusak alat
pengamanan penerbangan atau memasang tanda atau alat yang keliru, kealpaan yang menyebabkan yang
menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil, atau pindah atau
yang menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, membuat pesawat udara
tidak dapat dipakai seluruh maupun sebagian kepunyaan orang lain, mencelakakan, menghancurkan,
membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara, menguntungkan diri sendiri atau orang lain
dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi, menimbulkan kebakaran, ledakan, kecelakaan
pesawat udara yang dipertanggungkan, menguasai atau mengendalikan pesawat udara secara melawan
hukum, permufakatan jahat yang mengakibatkan kerusakan pesawat udara dst .

Bedasarkan ketentuan pidana terorisme tersebut dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 19, semua
ketentuan mengatur perbuatan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan tindakan melawan
hukum, namun demikian dalam undang-undang tersebut tidak terdapat ketentuan untuk memeliki,
menyimpan, mengedarkan, memproduksi, mengexport, mengimport mengangkut, membuat, menyerahkan
dll bahan peledak tanpa diberi tanda yang mungkin akan digunakan sebagai sarana melakukan tindak
pidana terorisme.

Bab 4 terdiri dari Pasal 20 sampai dengan Pasal 24 mengatur tidak pidana lain yang berkaitan
dengan tindak pidana terorisme yang antara lain setiap orang yang dengan menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan atau dengan mengintimidasi penyidik, penuntut umum, penasehat hukum dan atau
hakim, termasuk petugas pengadilan yang menangani proses tindak pidana terorisme, memberi kesaksian,
bukti, barang bukti palsu, mempengaruhi saksi secara melawan hukum, merintangi atau menggagalkan
secara langsung maupun tidak langsung dst. Bab 5 mengatur penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan, sedangkan Bab 6 mengatur kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.Bab 7 dan 8
mengatur kerja sama internasional dan ketentuan penutup.

Sepanjang menyangkut tindak pidana terorisme yang berkenaan dengan penandaan bahan peledak,
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2002 yang telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 sepenuhnya berlaku pada Undang-Undang Ratifikasi Konvensi Montreal 1991, khususnya
mengenai ancaman hukumannya.

Dalam kaitannya dengan tindak pidana terorisme baik nasional maupun internasional, Indonesia
telah mempunyai Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme.59 Secara teoritis, undang-undang pidana terorisme harus mempunyai landas-pacu filosofis,
yuridis maupun sosiologis yang dapat diterima oleh masyarakat nasional maupun internasional. Dari
aspek filosofis maupun yuridis Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme telah mempunyai landas-pacu hukum yang kuat. Landas-pacu hukum tersebut secara
tegas terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 antara lain dikatakan (a) memelihara kehidupan
yang aman, damai, dan sejahtera serta ikut secara aktif memelihara perdamaian dunia; (b) memelihara
dan menegakkan kedaulatan, melindungi setiap warga negara Indonesia dari setiap ancaman dan tindakan
kekerasan maupun terorisme baik dari dalam maupun luar negeri; sedangkan pertimbangan sosiologis
antara lain (a) bahwa terorisme merupakan kejahatan yang sangat merugikan masyarakat nasional maupun
internasional, bahkan sekaligus merupakan perkosaan hak-hak asasi manusia, terutama hak hidup (the
right to life), hak kebebasan dari rasa takut; (b) bahwa karakteristik masyarakat Indonesia yang bersifat
multi etnik dan agamis yang terdiri dari ratusan ribu kepulauan, terletak di antara dua benua Asia dan
Australia yang merupakan sasaran yang sangat strategis kegiatan terorisme; (c) bahwa pemberantasan
terorisme bukan semata-mata merupakan masalah hukum dan penegakan hukum melainkan melibatkan
masalah sosial, budaya, ekonomi, ketahanan bangsa Indonesia untuk memelihara keseimbangan dalam
menjalankan kewajibannya untuk melindungi kedaulatan Negara, hak asasi korban, para saksi serta hak
asasi terdakwa; (d) bahwa terorisme merupakan suatu kejahatan yang dapat menimbulkan suasana teror
atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan
kesehatan, mengacaukan kehidupan, keamanan, kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang
strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik baik nasional maupun internasional dalam masyarakat; (e)
bahwa terorisme merupakan kejahatan yang dapat merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa orang
yang tidak bersalah, harta benda orang lain maupun milik pemerintah, menghancurkan lingkungan
hidup; .(f) bahwa konflik-konflik yang terjadi di Indonesia sangat merugikan kehidupan berbangsa dan
bernegara serta merupakan kemunduran peradaban dan dapat dijadikan tempat yang subur
berkembangnya tindak pidana terorisme.

Terorisme juga merupakan kejahatan luar biasa (extraordinatry crime) yang mengancam
perdamaian dunia dan keamanan internasional, sekaligus merupakan kejahatan terhadap peradaban umat
manusia sebagaimana dikemukakan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan60.
Beliau pernah mengatakan bahwa terorisme merupakan suatu kejahatan luar biasa (extraordinary) yang
bersifat lintas batas, dapat megancam hak-hak asasi manusia terutama hak hidup (the right to life), bebas
dari rasa takut, targetnya bersifat “random” atau “indiscriminate” yang cenderung terhadap orang-orang
tidak bersalah, dapat kerja sama antara organisasi national dengan organisasi internasional,
membahayakan perdamaian dunia maupun keamanan internasional, merugikan kesejahteraan masyarakat
nasional maupun internasional, mempunyai dampak yang sangat luas kehidupan sosial, ekonomi, budaya
yang juga berkaitan dengan ketahanan bangsa dan bersifat global

Dari aspek sosiologi, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 telah mengatur perlindungan terhadap
masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 6, 7 dan 10 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003. Dalam
Pasal 6 dikatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan
korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau harta benda orang lain atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan
hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional akan dikenakan ancaman hukuman yang berat,

59
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-undang.
60
Terrorism is global threat effects …… its consequences affect every aspect of the UN agenda – from development to peace to human
rights and the rules of law ….. By its very nature, terrorism is an assault of the fundamental principles of law, order, human right, and
peaceful settlement of disputes upon which the UN is established.
sedangkan di dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 dikatakan bahwa setiap orang yang
dengan sengaja menggunakan kekerasan yang menimbulkan hilangnya nyawa orang diancam dengan
hukuman yang berat. Perlindungan terhadap masyarakat juga terdapat dalam Pasal 10 Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2003. Di dalam Pasal tersebut dikatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme, radio aktif atau komponennya
sehingga menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban
yang bersifat massal, membahayakan kesehatan, mengacaukan kehidupan, keamanan dan hak-hak orang
atau terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas
publik atau fasilitas internasional dikenakan ancaman hukuman penjara selama 20 (dua puluh) tahun.
Berdasarkan Pasal-pasal tersebut di atas, sebagai landas-pacu hukum, penegak hukum dapat menangkap,
menahan, menyidik, menuntut dan mengadili tindak pidana terorisme baik nasional maupun internasional
untuk melindungi masyarakat.

Di samping landas-pacu filosofis, yuridis maupun sosiologis sebagaimana diuraikan di atas, secara
teoritis undang-undang pidana terorisme juga harus menampung asas-asas hukum internasional yang telah
lama dikenal seperti asas legalitas, asas lex locus delecti, asas teritorial (territorial jurisdiction principles)
asas nasionalitas (active national jurisdiction principles) maupun (passive national jurisdiction principles)
baik bagi pelaku maupun korban, asas teritorial yang diperluas (extra territorial jurisdiction principles), di
samping asas-asas hukum internasional yang baru seperti ”safe guarding rules” untuk melindungan
tersangka, asas sunshine principles yang menjamin transparensi dan sunset principle yang membatasi
waktu sehingga dapat menghindari penyalah gunaan yang berwenang, asas keseimbangan antara korban
dengan terdakwa (due process of law).

Di dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 pada umumnya telah menampung asas-asas
tersebut. Asas teritorial (territorial jurisdiction principle) atau asas perluasan extrateritorial
(extraterritorial jurisdiction principles) telah ditampung dalam Pasal 3, 4 dan 16. Menurut Pasal 4
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, dikatakan bahwa undang-undang ini berlaku terhadap tindak
pidana terorisme di wilayah negara Republik Indonesia (territorial jurisdiction principles) dan atau
negara lain (territorial jurisdiction principles) juga mempunyai yurisdiksi dan menyatakan maksudnya
untuk melakukan penuntutan, sedangkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dikatakan
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 berlaku terhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan (a)
warga negara Republik Indonesia (active national jurisdiction principles), fasilitas termasuk tempat
kediaman pejabat diplomatik, konsuler, ancaman kekerasan terhadap pemerintah untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu, tindak pidana di dalam pesawat udara, tindak pidana yang dilakukan oleh orang
yang tidak mempunyai kewarga negaraan semuanya dilakukan di luar negara atau di luar wilayah
Republik Indonesia. Asas perluasan teritorial (extra territorial jurisdiction principles) juga dapat ditemui
dalam Pasal 16 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003. Menurut Pasal tersebut setiap orang di luar
wilayah Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana atau keterangan untuk
melakukan tindak pidana terorisme juga dikenakan ancaman hukum sebagai tindak tindak pidana
terorisme.

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 ini tidak mengakui adanya kejahatan politik. 61 Ketentuan
tersebut dimaksudkan agar tindak pidana terorisme tidak berlindung di balik latar belakang atau motif dan
tujuan politik untuk menghindarkan diri dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan
dan penghukuman terhadap pelakunya. Di samping itu, ketentuan tersebut juga untuk meningkatkan
efisiensi dan efektifitas perjanjian ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik dalam salah tindak pidana

61
Pasal 5 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 berbunyi “Tindak pidana toririsme yang diatur dalam peraturan pemerintah pengganti
undang-undang ini dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindakan politik, tindaka pidana dengan
motif politik dan tindak pidana dengan tujuan politik yang menghambat proses ekstrasi.
antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara lain. Dalam praktik sering suatu negara
tidak mau mengextradisikan teroris dengan alasan kejahatan politik.62

Asas teritorial yang diperluas (extra territorial jurisdiction principles) juga terdapat dalam Undang-
undang Nomor 15 Tahun 2003. Menurut Pasal 8 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 berlaku terhadap
setiap orang yang (a) dalam pesawat udara dengan perbuatan melawan hukum, merampas atau
mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan, (b) dalam pesawat udara
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau
mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan, (c)
melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, dilakukan dengan direncanakan lebih
dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga
dapat membahayakannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan
merampas kemerdekaan seseorang, (d) dengan sengaja dan melawan hukum perbuatan kekerasan terhadap
seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan
keselamatan pesawat udara, (e) di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan.

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 juga telah mengakomodasi Konvensi Internasional Tahun
1973 tentang Internationally Protected Persons Convention of 1973. Menurut konvensi tersebut
kewajiban negara anggota untuk melindungi orang-orang yang menjalankan tugas negara mereka seperti
duta besar, anggota diplomatik, konsulat maupun staf mereka termasuk pekarangan rumah tangganya.
Perlindungan tersebut tampak jelas diatur dalam Pasal 3 Ayat (2) huruf d. Menurut Pasal tersebut tindak
terorisme tersebut berlaku juga terhadap kejahatan dilakukan terhadap suatu negara atau fasilitas
pemerintahan negara tersebut di luar negeri termasuk perwakilan negara asing atau tempat kediaman
pejabat diplomatik atau konsuler dari negara yang bersangkutan, demikian pula Undang-undang Nomor
15 Tahun 2003 juga telah menampung aspirasi konvensi internasional Tahun 1999 tentang Pendanaan
Terorisme. Menurut Pasal 11 dikatakan setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau
mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau
seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme diancam dengan hukuman.

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 relatif maju dan modern karena di samping telah
menampung asas-asas hukum internasional yang lama, juga telah menampung asas-asas hukum yang baru
bahkan telah mengatur keseimbangan antara terdakwa dengan korban, kerja sama internasional, jangka
waktu penahanan, norma bahwa mengenai alat bukti. Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003
telah diperkenalkan alat bukti elektronika. Menurut Pasal 27 di samping alat bukti sebagaimana diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata, rekaman secara elektronika berupa tulisan, suara atu
gambar, huruf, tanda, angka, simbol atu perforasi dapat digunakan sebagai alat bukti.

Di samping itu, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 juga dapat (a) merupakan ketentuan payung
(umbrella act), (b) koordinatif yang memperkuat peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan
dengan terorisme internasional, (c) hakim dapat melakukan legal audit atas laporan intelijen sebagaimana
diatur dalam Pasal 20, (d) menerapkan ”sunset principle” mengenai batas waktu peangkapan dan
penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Ayat 2 juncto Pasal 28) serta proses pemeriksaan di sidang
pengadilan, (e) mengecualikan sebagai pidana politik sebagaimana diatur dalam Pasal 5.

Berdasarkan uraian tersebut, Indonesia telah mempunyai Undang-undang tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Terorisme yang memadai walaupun Konvensi Montreal 1991 tentang Convention on the
Marking of Plastic Explosive for the Purpose of Detection tidak mengatur tindak pidana terorisme.
Konvensi tersebut memerintahkan kepada negara anggotanya untuk mengambil langkah-langkah yang
62
Kejahatan politik biasanya dilakukan oleh suatu organisasi tertentu yang bermaksud untuk merubah strutkru pemerintahan yang sah
dengan struktur pemerintahan yang baru.
diperlukan untuk melarang dan mencegah bahan peledak plastik yang tidak ditandai di wilayah negara
anggota. Sebagai negara yang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang secara tegas
diwajibkan (a) memelihara kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera serta ikut secara aktif memelihara
perdamaian dunia, (b) memelihara dan menegakkan kedaulatan dan melindungi setiap warga negara
Indonesia dari setiap ancaman dan tindakan kekerasan maupun terorisme baik dari dalam maupun luar
negeri, apa lagi Insdonesia telah menjadi salah satu target terorisme, Indonesia perlu mertifikasi Konvensi
Montreal 1991 sebagai salah satu realisasi kepedulian terhadap terorisme internaisonal.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 terdapat berbagai ketentuan pidana pelanggaran
maupun pidana kejahatan yang berlaku juga terhadap kejahatan yang dilakukan oleh teroris. Ketentuan
pidana tersebut meliputi pelanggaran wilayah udara, produksi pesawat udara, pendaftaran pesawat udara,
perubahan tanda pendaftaran, pengoperasian pesawat udara, sertifikat operator pesawat udara untuk
angkutan udara niaga, sertifikat operator pesawat udara bukan niaga, larangan perawatan pesawat udara,
larangan pendaratan, larangan terbang di luar jalur, tindak pidana selama penerbangan, lisensi dan
sertifikat kompetensi, pengoperasian pesawat udara asing, pesawat udara asing tidak memenuhi
kelaikudaraan, angkutan udara niaga tanpa izin Menteri Perhubungan, izin ankutan udara tidak berjadwal,
persetujuan terbang tidak berjadwal luar negeri, transportasi barang khusus dan atau berbahaya, kewajiban
pemilik, pengirim bahan dan.atau barang berbahaya, penghalang (obstacles), pengoperasian bandar udara,
personel bandar udara tanpa lisensi latau kompetensi, tanggung jawab hukum, tanggung jawab badan
usaha bandar udara, pembangunan bandar udara, bandar udara khusus dan untuk umum, sertifikat
pelayanan navigasi penerbangan, sertifikat personel navigasi penerbangan, penggunaan prekuensi radio,
izin masuk daerah terbatas, penempatan personel keamanan, pengoperasian pesawat udara kategori
transpor, tindakan melawan hukum, tindak pidana dengan menggunakan senjata, informasi palsu, pemberi
tahuan kepada pemandu lalu lintas udara,personel lalu lintas penerbangan dan penghilangan alat bukti
sebagai berikut.

Dalan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, pelanggaran wilayah diatur dalam Pasal 401 dan 402.
Menurut Pasal 401 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, setiap orang yang mengoperasikan pesawat
udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara terlarang dipidana dengan
pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah), sedangkan menurut Pasal 402 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 orang yang mengoperasikan
pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara yang hanya dapat
digunakan untuk penerbangan pesawat udara negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 8
(delapan) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Tindak pidana selama penerbangan diatur dalam Pasal 412 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009.
Menurut Pasal tersebut setiap orang di dalam pesawat udara sejak saat semua pintu luar pesawat udara
ditutup setelah naiknya penumpang (embarkasi) sampai saat pintu dibuka untuk penurunan penumpang
(debarkasi) di bandar udara tujuan melakukan (a) melakukan perbuatan yang dapat membahayakan
keamanan dan keselamatan penerbangan, (b) melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib dalam
penerbangan, (c) melakukan pengambilan atau pengrusakan peralatan pesawat udara yang dapat
membahayakan keselamatan, (d) melakukan perbuatan yang mengganggu ketenteraman; (e) melakukan
pengoperasian peralatan elektronika yang mengganggu navigasi penerbangan, masing-masing diancam
hukuman pidana (a) penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah), (b) penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah), (c) penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah), (d) penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah), (e) penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).

Dalam hal tindak pidana melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan
keselamatan penerbangan, melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib dalam penerbangan,
melakukan pengambilan atau pengrusakan peralatan pesawat udara yang dapat membahayakan
keselamatan, melakukan perbuatan yang mengganggu ketenteraman, melakukan pengoperasian peralatan
elektronika yang mengganggu navigasi penerbangan yang mengakibatkan kerusakan atau kecelakaan
pesawat dan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Dalam hal tindak pidana melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan
keselamatan penerbangan, melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib dalam penerbangan,
melakukan pengambilan atau pengrusakan peralatan pesawat udara yang dapat membahayakan
keselamatan, melakukan perbuatan yang mengganggu ketenteraman, melakukan pengoperasian peralatan
elektronika yang mengganggu navigasi penerbangan yang mengakibatkan cacat tetap atau matinya
orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

(1). Memasuki Daerah Terbatas

Menurut Pasal 334 Undsang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, orang perseorangan, kendaraan, kargo,
dan pos yang akan memasuki daerah keamanan terbatas wajib memiliki izin masuk daerah terbatas atau
tiket pesawat udara bagi penumpang pesawat udara, dan dilakukan pemeriksaan keamanan.Pemeriksaan
keamanan tersebut dilakukan oleh personel yang berkompeten di bidang keamanan penerbangan, karena
itu berdasarkan Pasal 432 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, orang yang akan memasuki daerah
keamanan terbatas tanpa memiliki izin masuk daerah terbatas atau tiket pesawat udara dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).

(2).Penempatan Personel Keamanan

Menurut Pasal 341 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, penempatan petugas keamanan dalam
penerbangan pada pesawat udara niaga berjadwal asing dari dan ke wilayah Republik Indonesia hanya
dapat dilaksanakan berdasarkan perjanjian bilateral, karena itu berdasarkan Pasal 433 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009, orang yang menempatkan petugas keamanan dalam penerbangan pada pesawat
udara niaga berjadwal asing dari dan ke wilayah Republik Indonesia tanpa adanya perjanjian bilateral
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(3). Tindakan Melawan Hukum

Menurut Pasal 344 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, setiap orang dilarang melakukan
tindakan melawan hukum (acts of unlawful interference) yang membahayakan keselamatan penerbangan
dan angkutan udara berupa menguasai secara tidak sah pesawat udara yang sedang terbang atau yang
sedang di darat, menyandera orang di dalam pesawat udara atau di bandar udara, masuk ke dalam pesawat
udara, daerah keamanan terbatas bandar udara, atau wilayah fasilitas aeronautika secara tidak sah,
membawa senjata, barang dan peralatan berbahaya, atau bom ke dalam pesawat udara atau bandar udara
tanpa izin, dan menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan, karena itu
berdasarkan Pasal 435 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, orang yang masuk ke dalam pesawat
udara, daerah keamanan terbatas bandar udara, atau wilayah radar dan menara pengatur lalu lintas
penerbangan secara tidak sah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(4). Penggunaan Senjata

Berdasarkan Pasal 344 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, setiap orang
dilarang melakukan tindakan melawan hukum (acts of unlawful interference) yang membahayakan
keselamatan penerbangan dan angkutan udara berupa membawa senjata, barang dan peralatan berbahaya,
atau bom ke dalam pesawat udara atau bandar udara tanpa izin, karena itu berdasarkan Pasal 436 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2009 orang yang membawa senjata tanpa izin dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun. Menurut ayat (2) Pasal yang sama dalam hal tindak pidana tersebut
mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun,
sedangkan menurut ayat (3) pasal yang sama dalam hal tindak pidana tersebut mengakibatkan matinya
orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

11. Konvensi Internasional

Dalam rangka mencegah dan memberantas teroris internasional telah disahkan paling tidak terdapat
3 (tiga) konvensi internasional yang telah disahkan, yang menyangkut teroris internasionalyang bersifat
multilateral masing-masing konvensi Jenewa 1937,63 Konvensi Washington 1977,64 dan European
Convention on the Suppression of Terrorism of 1977.

12. Resolusi PBB

Dalam rangka mencegah dan memberantas teroris internasional, PBB maupun ICAO telah
mengesahkan beberapa resolusi. PBB telah mengesahkan resolusi UNGA Res.2551 (XXIV), UNGA
Res.2645 (XXV), UNGA Res,3034 (XXVII), UNGA Res.31/102 Tahun 1976, UNGA Res.31/103 Tahun
1976, UNGA Res.32/8 Tahun 1977 dan UNGA Res.32/147 Tahun 1977. Dalam UNGA Res.2551
(XXIV), PBB mendukung sepenuhnya langkah yang diambil oleh ICA untuk menyiapkan konvensi baru
agar penguasaan pesawat udara secara melawan hukum lainnya baik terhadap penerbangan dalam negeri
maupun penerbangan internasional yang ditujukan kepada penumpang, awak pesawat udar dan fasitas
penerbangan lainnya. Di samping itu, PBB juga menyerukan negara yang belum meratifikasi Konvensi
Tokyo 1963 dan The Hague 1970 untuk segera meratifikasi.

Dalam UNGA Res.3034 (XXVII), PBB juga menyadari semakin meningkatnya pembunuhan
penumpang yang melakukan perjalanan dan perlu adanya jaminan keselamatan mereka, karena itu PBB
menyerukan kerja sama di antara negara anggota untuk mengambil langkah pengamanan penumpang.
Dalam Res. Tersebut juga ditetapkan pembentukan Ad Hoc Terroris Internasional, sedangkan dalam
Res.32/8 Tahun 1977, PBB juga menyerukan agar negara anggota meningkatkan pengamanan di bandar
udara tanpa mengurangi hak kedaulatan negara maupun integritasnya.

Dalam tahun 1985 IFALPA juga menilai Flight Information Region (FIR) Ujung Pandang
termasuk “Black Star” lihat Aart Van Wijk dalam Matte N.M.,Annals of Air and Space Law. Vol. X
Annals of Air and Space Law 486-496(1985).

REFERENSI

BUKU
Martono K., & Amad Sudiro., Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public International and
National Air Law). Jakarta: Rajagrafindo, 2012.
Martono K.,Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional. Bandung :
Penerbit Madar Maju, 1995.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisik Kedua. Jakarta : Balai Pustaka, 1992
Peter Salim, The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Eddisi Pertama. Jakarta : Modern English
Press, 1985.
W.J.S Purwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesi. Jakarta : PN Balai Pustaka, 1982.
63
Konvensi Jenewa 1937 tentang Convention for the Prevention and Punishment of Terorism.

64
Konvensi Washington tentang Convention to prevent and Punish the Acts of Terrorism Taking the Form of Crimes Against Persons and
Related Extortion that Are of International Significance.
ARTIKEL
Bintatar Sinaga, Kejahatan Terorisme, dalam Jurnal Keadilan, Vol.1 Nomor 4 Oktober 2001, halaman 18.
Schwenk, W.,The Bonn Declaartion on Hijacking, dalam Matte N.M.,Ed.,Annal of Air and Space Law.
Vol. IV The Carswell Company Limited. Toronto: Canada pages 308-322 (1978).

DOKUMEN
ICAO Doc.8364, Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft, signed at
Tokyo on 14 September 1963.
ICAO Doc.,8920, Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft, signed at the Hague on
16 December 1970.
ICAO Doc.,8966, Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation,
signed at Montreal on 23 September 1971.
ICAO Doc.,9518,.Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airport Serving
International Civil Aviation, Supplementary to the Convention for the Suppression of
Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation, done at Montreal on 23 September 1971,
signed at Montreal 24 February 1988.
ICAO Doc.,9571,Convention on the Marking of Plastic Explosive for the Purpose of Detection, signed at
Montreal on 1 March 1991.
Konvensi Jenewa 1937, Convention of 1937 Convention for the Prevention and Punishment of Terrorism
Konvensi-konvensi tersebut antara lain Traktat Mexico City 1902, Konvensi Buenes Aires 1920,
Perjanjian Quito 1935, Konvensi Jenewa 1935, Konvensi Washington D.C. 1971 dan
Konvensi Washington D.C. 1977.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang pernyataan berlakunya undang-undang nomor 1 Tahun
1946 tentang Berlakunya Hukum Pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan
mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Perpu Nomor 16 Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP).
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1976 tentang Ratifikasi Konvensi Tokyo 1963, Konvensi Den Haag
1970 dan Konvensi Montreal 1971
Undang-undang tentang Penerbangan (UURI No.1 Tahun 2009). Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956.
Annex 17 Konvensi Chicago 1944 tentang Security
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 2002 Nomor 106, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indoneia nomor 4232.
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada
Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002, menjadi Undang-undang,
Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 2003 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indoneia Nomor 4285.
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan.
KM 295/U/1970 tentang Penertiban Penumpang Pesawat udara.
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 1989 tentang Penertiban Penumpang, Barang, dan Pos
yang diangkut dengan Pesawat Udara.
SKEP/40/II/95 tentang Pelaksanaan KM 14 Tahun 1989 tentang Penertiban Penumpang, Barang dan Pos
Yang Diangkut Dengan Pesawat Udara.
SKEP/12/I /1995 tentang Surat Tanda Kecakapan Operator Peralatan Sekuriti
SKEP/275/XII/1998 tentang Pengangkutan Barang-Barang Berbahaya dengan Pesawat Udara,
JURNAL
Dempsey P.S.Ed.,Annals of Air and Space Law, (2005), Vol. XXX-Part I. Toronto, Canada: the Carswell
Company, Ltd, 2005.
Jurnal Keadilan Vol.I Nomor 4, Oktober 2001.
Matte N.M.,Ed., Annal of Air and Space Law. Vol. IV The Carswell Company Limited. Toronto : Canada
pages 308-322 (1978).

LAIN-LAIN
Dikutip oleh Menko Polkam dari Murray’s Oxford English Dictionary yang dipresentasikan dalam
Seminar di Universitas Nasional Jakarta 16 Januari 1990
Pada tanggal 20-22 Juli 1982 Department of Transport. FAA USA mengadakan The Third Internationasl
Civil Aviation Security Conference. Dari seminar tersebut dapat diketahui terdapat berbagai
kelompok teroris internasional.
Tayangan TV-One tanggal 15 Agustus 2015 (running news).

Anda mungkin juga menyukai