Anda di halaman 1dari 37

JURNAL

PENGATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL TERKAIT


DENGAN PENYEBARAN INFORMASI PALSU MENURUT HUKUM
INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL
(STUDI KASUS : FRANTINUS NIRIGI TERKAIT BOMB JOKES PADA
PESAWAT LION AIR TAHUN 2018)

Oleh :

JENY SONYA PUTRI


1310112079

PROGRAM KEKHUSUSAN : HUKUM INTERNASIONAL (PK VI)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2020

1
ABSTRAK

Pesawat sebagai alat transportasi dengan teknologi tinggi menjadikan setiap jarak
bukan suatu kendala lagi untuk ditempuh. Namun, tidak berbanding lurus dengan
pengaturannya. Pelanggaran hukum penerbangan akibat dari kurangnya kesadaran
dalam mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyebaran
informasi palsu tentang bom merupakan salah satu dari kasus tindakan yang
sering terjadi yang penyelesaian kasusnya berakhir dengan cara musyawarah atau
sekedar memberikan surat peringatan kepada pelaku. Fenomena itu tentu
merupakan kemunduran hukum, dimana hukum dianggap sesuatu yang
menyulitkan dan memilih menempuh cara mudah yang tidak menimbulkan efek
jera kepada pelakunya. Untuk itu penulis mengemukakan beberapa rumusan
masalah, yakni: (1) Bagaimana pengaturan keselamatan penerbangan sipil berupa
penyebaran informasi palsu menurut hukum internasional dan hukum nasional?
(2) Bagaimana pengawasan dan penyelesaian kasus penyebaran informasi palsu
Bomb Jokes yang dilakukan penumpang di dalam pesawat udara ? Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif,
yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan kepustakaan. Dari hasil penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa (1) Konvensi Chicago 1944, konvensi Tokyo 1963,
konvensi the Hague 1970, konvensi Montreal 1971 dan Undang-undang nomor 1
tahun 2009 tentang penerbangan merupakan instrument hukum internasional dan
nasional yang menjadi menjadi pedoman dalam penyelenggaraan keamanan
penerbangan sipil. (2) pengawasan dan penyelesain kasus Frantinus Nirigi terkait
informasi palsu Bomb Jokes dilaksanakan sesuai dengan Undang-undang nomor 1
tahun 2009 tentang penerbangan.

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan

wilayah udara, pesawat udara, Bandar udara, angkutan udara, navigasi udara

penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas

penunjang dan fasilitas umum lainnya.1 Pesawat udara adalah setiap mesin atau

alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi

bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk

penerbangan.2

Keselamatan menjadi syarat utama dalam perkembangan transportasi

udara yaitu pesawat. Keselamatan penerbangan adalah suatu keadaan

terpenuhinya persyaratan keselamatan dalam pemanfaatan wilayah udara, pesawat

udara, Bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, serta fasilitas

penunjang dan fasilitas umum lainnya.

Kebutuhan akan keselamatan penerbangan, maka terbentuk Convention

On International Civil Aviation yan biasa disebut ICAO merupakan organisasi

penerbangan sipil internasional yang didirikan pada tanggal 4 April 1947. ICAO

mempunyai aturan-aturan penerbangan yang disebut Annex. Jaminan keselamatan

secara internasional diatur secara ketat oleh ICAO didalam Annex 1 s/d Annex 18

yang secara universal pula diatur oleh setiap negara. Aturan keamanan

penerbangan terdapat di Annex 17 Security-Safeguarding International Civil


1
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
2
Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan

1
Aviation Against Acts of Unlawfun Interference. Dalam annex tersebut diatur

tentang AVSEC atau Aviation Security. AVSEC adalah petugas keamanan yang

bertugas menjaga dan menjamin keselamatan pengguna jasa penerbangan.

Indonesia sebagai negara yang mengakui tunduk dengan aturan

inteernasional mengambil langkah yang lebih serius demi mewujudkan

keselamatan dan keamanan dalam dunia penerbangan di Indonesia dengan pada

tanggal 31 Maret 1976 telah meratifikasi tiga konvensi, yaitu Konvensi Tokyo

1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971, seperti yang telah

diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1976 (LNRI Nomor 18

Tahun 1976). Kemudian pada tanggal 27 April 1976 telah melengkapi Undang-

Undang Pidananya dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 (LNRI Nomor

26 Tahun 1976).3

Perkembangan terknologi dalam bidang penerbangan diikuti dengan

berbagai pelanggaran hukum yang saat ini marak terjadi adalah penyebaran

informasi palsu. Penyebaran informasi palsu adalah upaya mempengaruhi orang

lain dalam hal ini penumpang pesawat udara dengan memberikan informasi yang

belum jelas kebenarannya, dengan tujuan sebagai bahan candaan atau sebagai

upaya menimbulkan kekacauan. Salah satu kasus penyebaran informasi palsu di

dalam pesawat udara yang saat ini sering terjadi adalah Bomb Jokes.

Bomb Jokes atau candaan bom yang dilakukan di pesawat merupakan

tindakan yang dilakukan seseorang dengan mengakui bahwa orang tersebut

membawa benda yang dapat membahayakan keselamatan orang lain padahal tidak
3
Handar Subhandi Bachtiar, “Hukum Pembajakan Pesawat Udara di Indonesia”, diakses dari
http://handarsubhandi.co.id/2017/03/hukum-pembajakan-pesawat-udara-di.html?=1 pada tanggal
28 November 2017 pukul 19.30.

2
demikian adanya. Dalam pasal 437 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2009

Tentang Penerbangan, disebutkan

“ Setiap orang yang menyampaikan informasi palsu yang membahayakan


keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 344 huruf e
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1(satu) tahun.”

Isi pasal tersebut jelas menyebutkan bahwa menyampaikan informasi

palsu merupakan kejahatan yang dapat membahayakan tidak hanya bagi

penumpang, namun awak kabin, fasilitas pesawat udara, bahkan lingkungan

bandara.

Data Kementerian Perhubungan sepanjang tahun 2015 ada 15 laporan

terkait candaan bom di atas pesawat.4 Bahkan, di tahun 2016 sedikitnya ada 14

candaan soal bom mulai tanggal 1 hingga 28 Januari 2016 yang artinya dalam dua

hari sekali telah terjadi bomb jokes di kawasan bandara Indonesia.5 Dan hingga

tahun 2017 jumlah total candaan bom di pesawat sebanyak 54 kasus, sementara

itu, sepanjang Mei 2018 telah terjadi 10 kasus candaan bom di pesawat dan

ditahun 2019 setidaknya terdapat 2 (dua) kasus candaan bom.

Salah satu kasus bomb jokes yang dibawa ke pengadilan adalah kasus

Frantinus Nirigi yang merupakan penumpang maskapai Lion Air dengan nomor

penerbangan JT 687 Pontianak-Jakarta. Frantinus menimbulkan kepanikan di

dalam pesawat karena mengatakan bahwa dia mengatakan didalam tasnya terdapat

4
Adiatmaputra Fajar Pratama, “Ada 15 Kali Ancaman Bom di Pesawat Sepanjang 2015, ini
daftarnya”, diakses dari
https://www.google.com/amp/s/m.tribunnews.com/amp/nasional/2016/01/04/ada-15-kali-
ancaman-bom-di-pesawat-sepanjang-2015-ini-daftarnya , pada tanggal 24 Januari 2020 Pukul
19.30 WIB
5
Rina Atriana, “ Sepanjang Januari 2016 Ada Candaan Soal Bom di Bandara Tiap 2 Hari Sekali”,
pada https://m.detik.com/news/berita/d-3129058/sepanjang-januari-2016-ada-candaan-soal-bom-
di-bandara-tiap-2-hari-sekali , diakses pada 24 Januari Pukul 19.40 WIB

3
bom pada saat awak kabin memberitahukan bahwa barang bagasinya harus

diletakkan di kompartement. ucapan Frantinus langsung direspon oleh awak kabin

dengan mengatakan bahwa bomb jokes tidak diizinkan didalam pesawat namun

Frantinus hanya tersenyum dan duduk dikursinya kembali. Akibat tindakan yang

dilakukan. pesawat mengalami keterlambatan dan beberapa penumpang

mengalami luka-luka karena berupaya keluar dari pesawat udara.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk melihat lebih

jauh seberapa besar pengaturan hukum internasional dapat berpengaruh dalam

penyelesaian suatu kasus bomb jokes serta bagaimana penyelesaian kasusnya

apakah sudah sesuai dengan hukum nasional Indonesia atau masih ada

ketidaksesuaian dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian kasusnya. Untuk

itu penulis mengangkat judul skripsi ini adalah: “PENGATURAN

KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL TERKAIT DENGAN

PENYEBARAN INFORMASI PALSU MENURUT HUKUM

INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL (STUDI KASUS :

FRANTINUS NIRIGI TERKAIT BOMB JOKES PADA PESAWAT LION

AIR TAHUN 2018)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengemukakan perumusan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan keselamatan penerbangan sipil berupa

penyebaran informasi palsu menurut Hukum Internasional dan

Hukum Nasional ?

4
2. Bagaimana pengawasan dan penyelesaian kasus penyebaran

informasi palsu Bomb Jokes yang dilakukan penumpang didalam

pesawat udara sipil?

5
BAB II

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan tentang Keselamatan Penerbangan Sipil terkait

Penyebaran Informasi Palsu menurut Hukum Internasional dan Hukum

Nasional

1. Pengaturan tentang Larangan Perbuatan yang Membahayakan

Keselamatan Penerbangan Berupa Penyebaran Informasi Palsu di dalam

Pesawat Udara Menurut Hukum Internasional

Penyebaran informasi palsu dalam penerbangan dapat dikategorikan

sebagai perbuatan yang membahayakan keselamatan penerbangan karena tidak

hanya menjadi suatu ancaman tetapi dapat menimbulkan kepanikan. Dapat

dibayangkan jika dalam suatu penerbangan terdapat seseorang yang penyebarkan

informasi palsu terkait isu bom ataupun terorisme serta ancaman lain yang dapat

menimbulkan kepanikan di atas pesawat udara.

a) Annex 17 : Security : Safeguarding International Civil Aviation Against

Acts of Unlawful Interference from International Civil Aviation

Organization (ICAO)

Pembentukan ICAO dilator belakangi oleh salah satu pasal yang ada di

dalam konvensi Chicago 1944. Konvensi Chicago merupakan konvensi yang

mengatur tentang hal-hal mengenai penerbangan sipil internasional. Konvensi ini

mengatur tentang bagaimana kedaulatan penuh negara anggota terhadap ruang

6
udara diatas wilayahnya. Pembentukan ICAO terdapat pada pasal 43 Konvensi

Chicago 1944 yang menyebutkan:

An organization to be named the International Civil Aviation Organization


is formed by the Convention. It is made up of an Assembly, a Council, and
such other bodies as may be necessary.
Pasal 43 mengatur tentang ICAO yang menyatakan organisasi yang

dinamai organisasi penerbangan sipil internasional dibentuk oleh konvensi, yang

terdiri dari Majelis, Dewas, dan badan-badan lain yang mungkin diperlukan.

ICAO merupakan badan khusus PBB yang dibentuk oleh Konvensi Chicago 1944.

Pengaturan tentang larangan perbuatan yang membahayakan keselamatan

penerbangan sipil diatur dalam ICAO Annex-17:Security : Safeguarding

International Civil Aviation Against Acts of Unlawful Interference. Merupakan

ketentuan mengenai perlindungan keamanan penerbangan sipil internasional dari

tindakan  melawan hukum. Dalam Bab I Annex 17 menyebutkan bahwa tindakan

yang dilakukan untuk membahayakan keselamatan penerbangan sipil salah

satunya, yaitu:

“ communication of false information such as to jeopardize the safety of an


aircraft in flight or on the ground, of passangers, crew, ground personnel
or the general public, at an airport or on the promises of a civil aviation
facility”.
Dalam poin ke 7 bab I Annex 17 tersebut secara jelas disebutkan bahwa

mengkomunikasikan suatu informasi yang salah dimana dapat membahayakan

keselamatan pesawat baik dalam keadaan terbang di udara atau di daratan,

membahayakan keselamatan penumpang lainnya, kru pesawat, petugas darat dan

7
masyarakat umum dan merusak fasilitas penerbangan sipil merupakan tindakan

melawan hukum yang membahayakan keselamatan penerbangan.

b) Konvensi Tokyo 1963

Convention On Offences And Certain Other Acts Committed On

Board Aircraft atau Konveksi Tokyo 1963 menyebutkan, untuk dapat dikatakan

sebagai perbuatan yang membahayakan keselamatan penerbangan dalam pasal 1

Konvensi Tokyo 1963, harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

“This Convention shall apply in respect of: (a) offences against penal law;
(b) acts which, whether or not they are offences, may or do jeopardize the
safety of the aircraft or of persons or property therein or which jeopardize
good order and discipline on board.”

Berdasarkan isi pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap

pelanggaran hukum harus memenuhi unsur yaitu terdapat pelanggaran terhadap

hukum pidana, tindakan pidana dilakukan didalam penerbangan, tindakan pidana

yang dilakukan dapat membahayakan keselamatan pesawat atau orang atau

properti di dalamnya atau dapat membahayakan ketertiban dan kedisiplinan di

pesawat;

Negara yang berhak melaksanakan yurisdiksinya menurut Pasal 3

Konvensi Tokyo 1963 menyebutkan bahwa:

1. The State of registration of the aircraft is competent to exercise


jurisdiction over offences and acts committed on board.
2. Each Contracting State shall take such measures as may be
necessary to establish its jurisdiction as the State of registration
over offences committed on board aircraft registered in such State.
3. This Convention does not exclude any criminal jurisdiction
exercised in accordance with national law.”

8
Berdasarkan pasal diatas, negara yang berhak melaksanakan yurisdiksi

terhadap tindak pidana ditetapkan pada negara di tempat pesawat udara tersebut

didaftarkan.

Pada pasal 4 disebutkan bahwa untuk negara yang tidak mendaftarkan diri

tidak dapat mengganggu pesawat yang sedang terbang untuk menerapkan

yurisdiksi tindak pidananya apabila terjadi pelanggaran di dalam pesawat udara,

kecuali dalam kasus-kasus berikut:

(a) the offence has effect on the territory of such State;


(b) the offence has been committed by or against a national or
permanent resident of such State;
(c) the offence is against the security of such State;
(d) the offence consists of a breach of any rules or regulations
relating to the flight or manoeuvre of aircraft in force in such
State;
(e) the exercise of jurisdiction is necessary to ensure the observance
of any obligation of such State under a multilateral
internationalagreement.

Berdasarkan pasal diatas, negara yang bukan peserta konvensi tidak dapat

menerapkan yurisdiksinya kecuali pelanggaran berdampak pada wilayah negara

tersebut, pelanggaran telah dilakukan oleh atau terhadap penduduk nasional dari

negara tersebut, pelanggarannya adalah terhadap keamanan negara tersebut,

pelanggaran terdiri dari pelanggaran peraturan atau ketentuan yang berkaitan

dengan penerbangan atau maneuver pesawat yang berlaku di negara tersebut,

pelaksanaan yurisdiksi diperlukan untuk memastikan kepatuhan terhadap

kewajiban apapun dari negara tersebut berdasarkan perjanjian internasional

multilateral.

c) Konvensi The Hague 1970

9
Convention for The Supression of unlawful seizure of Aircraft atau yang

biasa disebut dengan Konvensi The Hague tahun 1970 menitikberatkan pada

upaya tindakan melanggar hukum dimana tindakan tersebut dapat membahayakan

keselamatan penerbangan.

Pada pasal 1 konvensi The Hague 1970 menyebutkan:

(a) unlawfully, by force or threat thereof, or by any other form of


intimidation, seizes, or exercises control of, that aircraft, or
attempts to perform any such act, or
(b) is an accomplice of a person who performs or attempts to perform
any such act commits an offence (hereinafter referred to as "the
offence").

Berdasarkan pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa segala tindakan atau

perbuatan yang dilakukan siapapun yang berada dalam penerbangan pesawat

apabila dilakukan secara melawan hukum, dengan kekerasan atau ancaman atau

dengan cara mengintimidasi, merebut atau mempengaruhi atau mencoba

melakukan tindakan yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan

selanjutnya disebut sebagai “pelanggaran”.

Pasal 2 menyebutkan:

Each Contracting State undertakes to make the offence punishable by


severe penalties.

Berdasarkan pasal tersebut, setiap negara yang terlibat dalam perjanjian

telah berjanji untuk membuat hukuman yang berat atas terjadinya suatu

pelanggaran. Yang artinya setiap negara peserta diberikan kewenangan yang

seadil-adilnya untuk memutuskan hukuman seberat-beratnya apabila terjadi suatu

pelanggaran hukum dalam penerbangan. Selanjutnya pada pasal 6 ayat (3)

menyebutkan bahwa:

10
Any person in custody pursuant to paragraph 1 of this Article shall
be assisted in communicating immediately with the nearest appropriate
representative of the State of which he is a national.

Kesimpulan dari isi pasal tersebut, Setiap orang yang ditahan sesuai

dengan ayat 1 diatas harus dibantu dalam berkomunikasi segera dengan pihak

terdekat yang sesuai perwakilan dari Negara di mana ia menjadi warga negara..

Penahanan dan tindakan itu dilakukan sesuai dengan hukum negara yang

bersangkutan dengan ketentuan hanya boleh dilanjutkan sampai pada waktu yang

diperlukan untuk memungkinkan proses penuntutan atau ekstradisi. Penanganan

kasus menurut Pasal 11 Konvensi The Hague 1970 ini menetapkan bahwa:

Each Contracting State shall in accordance with its national law


report to the Council of the International Civil Aviation Organization as
promptly as possible any relevant information in its possession
concerning:
(a) the circumstances of the offence;
(b) the action taken pursuant to Article 9;
(c) the measures taken in relation to the offender or the alleged offender,
and, in particular, the results of any extradition proceedings or other legal
proceedings.

Berdasarkan isi pasal diatas, dapat disimpulkan bahwa etiap negara peserta

sesuai dengan undang-undang nasionalnya secepat mungkin melaporkan kepada

Perwakilan (Council) dari Organisasi Penerbangan Sipil Internasional

(International Civil Avation Organization), setiap keterangan yang dimilikinya

yang bersangkutan dengan kejahatan atau tindak pidana, tindakan yang telah

diambil terhadap penumpang dan pesawat udara yang menjadi sasaran kejahatan

pembajakan, tindakan yang telah diambil terhadap tersangka dan proses-proses

hukum yang telah dilakukan.

11
d) Konvensi Montreal 1971

Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against The Safety of

Civil Aviation atau yang biasa disebut Konvensi Montreal 1971 merupakan

konvensi internasional yang mengatur tentang pemberantasan tindakan-tindakan

melawan hukum yang mengancam keselamatan penerbangan sipil. Pasal 1

konvensi Montreal 1971 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan

pelanggaran yang merupakan tindakan yang membahayakan keselamatan

penerbangan sipil jika dia bermaksud secara sah dan meyakinkan:

(a) performs an act of violence against a person on board an aircraft in


flight if that act is likely to endanger the safety of that aircraft; or
(b) destroys an aircraft in service or causes damage to such an aircraft
which renders it incapable of flight or which is likely to endanger
its safety in flight; or
(c) places or causes to be placed on an aircraft in service, by any means
whatsoever, a device or substance which is likely to destroy that
aircraft, or to cause damage to it which renders it incapable of
flight, or to cause damage to it which is likely to endanger its
safety in flight; or
(d) destroys or damages air navigation facilities or interferes with their
operation, if any such act is likely to endanger the safety of aircraft
in flight; or
(e) communicates information which he knows to be false, thereby
endangering the safety of an aircraft in flight

Berdasarkan pasal 1 diatas, disimpulkan bahwa setiap orang dinyatakan

secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran apabila melakukan tindakan

kekerasan terhadap seseorang di atas pesawat dalam penerbangan,

menghancurkan atau melakukan pengrusakan yang dapat menyebabkan pesawat

kehilangan kemampuan untuk terbang, meletakkan alat atau bahan yang

berkemungkinan akan menghancurkan pesawat sehingga menimbulkan kerusakan

yang dapat membahayakan keselamatan dalam penerbangan, melakukan

12
pengrusakan atau penghancuran fasilitas navigasi udara sehingga mengganggu

pengoperasian pesawat udara, mengkomunikasikan informasi yang dia tahu salah,

sehingga membahayakan keamanan pesawat terbang dalam penerbangan, menjadi

kaki tangan atau orang yang membantu pelaku pelanggaran hukum dalam hal

melakukan tindakan yang membahayakan keselamatan penerbangan.

Selanjutnya pada Pasal 3 konvensi menyebutkan:

“Each Contracting State undertakes to make the offences mentioned in


Article 1 punishable by severe penalties.”

Pasal 3 berarti bahwa setiap negara peserta berjanji untuk memberikan

hukuman yang berat kepada pelaku pelanggaran. Yang artinya bahwa setiaap

negara anggota konvensi memiliki wewenang dan berjanji untuk menjatuhkan

hukuman seberat-beratnya atas pelaku pelanggaran yang melakukan tindakan

yang membahayakan keselamatan penerbangan sipil.

Selain itu, pada pasal 4 ayat (1) konvensi ini disebutkan bahwa:

“This Convention shall not apply to aircraft used in military, customs or


police services”

Pasal 4 ayat (1) berarti bahwa konvensi ini tidak berlaku untuk pesawat

yang digunakan dalam militer, layanan bea cukai atau polisi, yang berarti bahwa

setiap aturan yang ada di dalam konvensi ini hanya mengatur tentang penerbangan

sipil yang berkaitan dengan tindakan yang membahayakan keselamatan

penerbangan yang dapat membahayakan keselamatan penumpang, kru pesawat,

petugas bandara, masyarakat umum dan merusak fasilitas umum bandara.

Selanjutnya, pada pasal 4 ayat (2) menyebutkan bahwa:

1. In the cases contemplated in subparagraphs (a), (b), (c) and (e) of


paragraph 1 of Article 1, this Convention shall apply, irrespective of

13
whether the air craft is engaged in an international or domestic flight,
only if:
2. the place of take-off or landing, actual or intended, of the aircraft is
situated outside the territory of the State of registration of that aircraft; or
(b) the offence is committed in the territory of a State other than the State
of registration of the aircraft.
3. Notwithstanding paragraph 2 of this Article, in the cases contemplated in
subparagraphs (a), (b), (c) and (e) of paragraph 1 of Article 1, this
Convention shall also apply if the offender or the alleged offender is found
in the territory of a State other than the State of registration of the
aircraft.
4. With respect to the States mentioned in Article 9 and in the cases
mentioned in subparagraphs (a), (b), (c) and (e) of paragraph 1 of Article
1, this Convention shall not apply if the places referred to in
subparagraph (a) of paragraph 2 of this Article are situated within the
territory of the same State where that State is one of those referred to in
Article 9, unless the offence is committed or the offender or alleged
offender is found in the territory of a State other than that State.
5. In the cases contemplated in subparagraph (d) of paragraph 1 of Article
1, this Convention shall apply only if the air navigation facilities are used
in interna tional air navigation.
6. The provisions of paragraphs 2, 3, 4 and 5 of this Article shall also apply
in the cases contemplated in paragraph 2 of Article 1.

Berdasarkan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa Sehubungan dengan

negara peserta konvensi, dalam kasus-kasus yang disebutkan dalam pasal 1 yang

telah dijabarkan diatas, konvensi ini berlaku apabila:

1. landasan atau tempat mendarat dari pesawat terletak di luar


wilayah negara pendaftaran pesawat;
2. pelanggaran dilakukan di wilayah suatu negara selain negara
pendaftaran pesawat;
3. dalam kasus pasal 1 tentang tindakan kekerasan, penghancuran
atau pengrusakan pesawat, penempatan alat atau bahan pengrusak
pesawat, dan menyampaian informasi palsu dalam penerbangan,
konvensi ini wajib juga berlaku jika pelaku atau tersangka pelaku
ditemukan diwilayah suatu negara selain negara bagian pendaftaran
pesawat;
4. dalam kasus pengrusakan navigasi udara pada pasal 1, konvensi ini
hanya berlaku jika fasilitas navigasi udara digunakan di dalam
negeri atau navigasi udara nasional.

14
2. Pengaturan tentang Larangan Perbuatan yang Membahayakan

Keselamatan Penerbangan sipil Berupa Penyebaran Informasi Palsu di

dalam pesawat udara menurut Hukum Nasional

a. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun

1945

Indonesia sebagai negara hukum tentu memiliki landasan yuridis sebagai

jaminan perlindungan warga negara. Dalam upaya menjamin perlindungan

keselamatan kepada setiap warga negara, pasal 28A Undang-undang Dasar

1945 menyatakan bahwa:

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup


dan kehidupannya”
Berdasarkan pasal 28A UUD 1945 jelas disebutkan bahwa setiap warga

negara memiliki hak untuk hidup dan memperoleh rasa aman untuk bias

mempertahankan hidupnya.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia

Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah peraturan perundang-

undangan yang menjadi dasar hukum pidana di Indonesia. KUHP mengatur

berbagai macam hal terkait dengan tindakan pelanggaran hukum pidana

termasuk tentang penyebaran informasi palsu dalam penerbangan. Pasal 479p

Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyatakan bahwa:

’Barangsiapa memberikan keterangan yang diketahuinya adalah


palsu dan karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara
dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya
lima belas tahun.’

15
Berdasarkan pasal 479p KUHP diatas, penyebaran informasi palsu dalam

penerbangan merupakan pelanggaran hukum berat yang benar-benar serius

karna tidak hanya dapat merugikan pelaku tetapi juga merugikan penumpang

lain yang berada dalam pesawat dan bahkan dapat menimbulkan kerugian

kepada pihak maskapai pesawat udara.

c. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang penerbangan

Undang-undang nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan telah disahkan

dalam rapat paripurna DPR-RI pada tanggal 17 Desember 2008 dan ditanda

tangani pada tanggal12 Januari 2009. UU No.1/2009. Pasal 344 Undang-

undang nomor 1 tahun 2009 menyatakan bahwa:

”setiap orang dilarang melakukan tindakan melawan hukum (acts


of unlawful interference) yang membahayakan keselamatan penerbangan
dan angkutan udara berupa:
a. menguasai secara tidak sah pesawat udara yang sedang terbang
atau yang sedang di darat;
b. menyandera orang di dalam pesawat udara atau di Bandar udara;
c. masuk ke dalam pesawat udara, daerah keamanan terbatas Bandar
udara, aatau wilayah fasilitas aeronautika secara tidak sah;
d. membawa senjata, barang dan peralatan berbahaya, atau bom ke
dalam pesawat udara atau baandar udara tanpa izin; dan
e. menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan
penerbangan.”

Berdasarkan pasal 344 UU No.1/2009 diatas, pada huruf e jelas disebutkan

bahwa penyebaran informasi palsu adalah tindakan melawan hukum yang dapat

membahayakan keselamatan penerbangan dan angkutan udara. Penyebaran

informasi palsu kerap digunakan pelaku sebagai ancaman sebagai upaya untuk

menguasai pesawat udara atau hanya sekedar menjadi bahan bercanda seperti

penyebaran informasi palsu tentang bom.

16
Mengenai tindakan yang membahayakan keselamatan penerbangan

tentang penyebaran informasi palsu, aturan hukumnya tercantum dalam UU No. 1

Tahun 2009 pada pasal 437 yang menyebutkan bahwa:

(1) Setiap orang yang menyampaikan informasi palsu yang


membahayakan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 344 huruf e dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kecelakaan atau kerugian harta benda, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 ( lima belas) tahun.

Berdasarkan pasal 437 diatas dapat disimpulkan bahwa penyebaran

informasi palsu merupakan perbuatan melawan hukum yang berat yang tidak

hanya dapat merugikan pelaku, bahkan dapat menyebabkan luka pada

penumpang lain hingga menyebabkan kematian, dan juga menimbulkan

kerugian harta benda yang tidak sedikit.

d. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 140 Tahun 2015 tentang

Program Penanggulangan Keadaan Darurat Keamanan Penerbangan

Nasional

Pasal 1 angka 6 Permenhub 140 tahun 2015 menjelaskan mengenai

definisi dari ancaman bom yaitu:

“ Ancaman Bom adalah suatu ancaman lisan atau tulisan dari


seseorang yang tidak diketahui atau sebaliknya, yang menyarankan atau
menyatakan, apakah benar atau tidak, bahwa keselamatan dari sebuah
pesawat udara yang dalam penerbangan atau di darat, atau Bandar udara
atau fasilitas penerbangan, atau seseorang mungkin dalam bahaya karena
suatu bahan peledak.”

17
Berdasarkan isi pasal diatas, tentu dapat kita simpulkan bahwa segala

bentuk ancaman adalah suatu tindakan yang sangat tidak diperbolrhkan karna

berdampak besar terhadap stabilitas keamanan penerbangan sipil Indonesia.

Secara lebih luas, Permenhub nomor 140 tahun 2015 dalam pasal 1 angka

5 huruf g, menjelaskan bahwa tindakan melawan hukum ( acts of unlawful

interference) adalah tindakan-tindakan atau percobaan yang membahayakan

keselamatan penerbangan dan angkutan udara, berupa:

“ memberikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan


pesawat udara dalam penerbangan maupun di darat, penumpang awak
pesawat udara, personel darat atau masyarakat umum pada Bandar udara
atau tempat-tempat fasilitas penerbangan lainnya.”

Berdasarkan isi pasal diatas, dapat dipahami bahwa penyebaran informasi

palsu dapat juga membahayakan masyarakat umu pada Bandar udara dan lebih

paranya dapat merusak tempat-tempat fasilitas penerbangan.

e. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 80 Tahun 2017 Tentang

Program Keamanan Penerbangan Nasional

Berdasarkan BAB II Ketentuan Umum nomor 10, Tindakan Melawan

Hukum (Acts f Unlawful Interference) adalah tindakan-tindakan atau percobaan

yang membahayakan keselamatan penerbangan dan angkutan udara, berupa:

a. menguasai pesawat udara secara melawan hukum;


b. melakukan pengrusakan/penghancuran pesawat udara di darat (in Service);
c. menyandera orang di dalam pesawat udara atau di bandar udara; d. masuk ke
dalam pesawat udara, bandar udara atau tempat-tempat aeronautika secara
paksa; e. membawa senjata, peralatan berbahaya atau bahan-bahan yang dapat
digunakan untuk tindakan melawan hukum secara tidak sah;
b. menggunakan pesawat udara di darat (in Service) untuk tindakan yang
menyebabkan mati, cederanya seseorang, rusaknya harta benda atau
lingkungan sekitar; dan
c. memberikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan pesawat udara
dalam penerbangan maupun di darat, penumpang, awak pesawat udara,

18
personel darat atau masyarakat umum pada bandar udara atau tempat-tempat
fasilitas penerbangan lainnya

Personel di bidang penerbangan adalah orang-orang yang memiliki

kewenangan dalam menjamin keamanan dan keselamatan penerbangan. Menurut

BAB VIII PM 80 tahun 2017, personel di bidang keamanan penerbangan terdiri

dari:

a. personel keamanan penerbangan;


b. personel fasilitas keamanan penerbangan;
c. inspektur keamanan penerbangan;
d. manager keamanan penerbangan; dan
e. instruktur keamanan penerbangan.

B. Pengawasan dan Penyelesaian Kasus Penyebaran Informasi Palsu

Bomb Jokes yang dilakukan di dalam Pesawat Udara

1. Pengawasan Kasus Penyebaran Informasi Palsu dalam rangka

mewujudkan Keselamatan Penerbangan

a) Annex 17 : Security : Safeguarding International Civil Aviation Against

Acts of Unlawful Interference International Civil Aviation Organization

( ICAO)

Annex 17 : Security : Safeguarding International Civil Aviation

Against Acts of Unlawful Interference, merupakan ketentuan mengenai

perlindungan keamanan penerbangan sipil internasional dari tindakan

melawan hukum.

ICAO menjelaskan didalam Annex 17-Security Foreword 3/8/17 (viii)

Guidance material tentang perannya dalam mengawasi dan memastikan

keselamatan penerbangan berjalan sebagaimana mestinya. Salah satunya:

19
“The Aviation Security Manual (Doc 8973-Resticted) provides detailed
procedure and guidance on aspects of aviation
Security and is intended to assist States in the implementation of their
respective national civil aviation security programmes
Required by the specification in the Annexes to the Convention on
International Civil Aviation.”

Dalam keamanan penerbangan manual, ICAO menyediakan prosedur dan

panduan rinci tentang aspek penerbangan. Keamanan yang dimaksud adalah

untuk membantu negara-negara dalam pelaksanaan program keamanan

penerbangan sipil nasional mereka masing-masing.

Foreword Annex 17-Security (xii) 3/8/17 mengatur tentang AVSECP

(Aviation Security Panel) yaitu panel keamanan penerbangan, yang mencakup

hal-hal penyebaran peralatan keamanan; penyedia layanan keamanan lalu

lintas udara; program pelatihan dari system sertifikasi instruktur; langkah-

langkah keamanan acak dan tak terduga; penyediaan rangkaian keamanan;

keamanan untuk semua operasi kargo; ancaman cyber, dan ketentuan. Petugas

yang bertugas menjamin keamanan penerbangan dan hal-hal lain diatas adalah

AVSEC (Aviation Security). Aviation Security merupakan petugas keamanan

yang bertugas menjaga dan menjamin keselamatan pengguna jasa

penerbangan.

b) Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Indonesia sebagai negara yang berdulat telah mengatur tentang pihak yang

memiliki wewenang dalam hal penyelenggaraan keamanan penerbangan sipil.

Pasal 6 Undang-undang nomor 1 tahun 2009 mengatakan bahwa:

“ dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara


Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan

20
wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan
penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara,
social budaya, serta lingkungan udara.”
Sesuai isi pasal tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pemerintah

yang dalam hal ini menteri diberikan kewenangan dalam hal menjalankan

wewenang dan tanggung jawab mengenai pengaturan ruang udara.

c) Personil Keamanan Penerbangan

Petugas pengamanan bandara atau biasa disebut dengan Aviation

Security (AVSEC) merupakan petugas keamanan yang bertugas menjaga

dan menjamin keselamatan pengguna jasa bandara.

AVSEC berbeda dengan satpam atau security pada umumnya.

Petugas avsec wajib memiliki lisensi atau Surat Tanda Kecakapan Tugas

(STKP) dalam melaksanakan tugasnya. Personil Keamanan Penerbangan

yang telah (wajib) memiliki lisensi atau Surat Tanda Kecakapan Petugas

(STKP) yang diberi tugas dan tanggung jawab di bidang keamanan

penerbangan yang bertujuan :6

1. Memberikan Pengetahuan tentang Peraturan-peraturan Keamanan


Penerbangan Sipil,
2. Pengenalan Bandar Udara (working at the airport) dan Pelayanan
Prima,
3. Pengenalan Barang Dilarang (Prohibited Item),
4. Pengenalan Barang Berbahaya (Dangerous Goods),
5. Pengenalan Fasilitas Keamanan Penerbangan,
6. Pengenalan Identifikasi Perilaku (Behavior Recognition and
Profiling),
7. Pengendalian Orang dan Barang,
8. Pengawasan Pintu Masuk dan Pemeriksaan Orang,
9. Pengawasan Pintu Masuk dan Pemeriksaan Kendaraan,

6
POLTEKBANG MEDAN, “ Sejarah Singkat Aviation Security), pada https://www.atkpm
edan.oc.id/aviation-security/ diakses pada tanggal 24 Januari 2020 Pukul 23.00 WIB

21
10. Pengendalian Jalan Masuk Ke dan Dari Daerah Keamanan
Terbatas Pada Area Penanganan Bagasi Tercatat (Access Control
To Security Restricted Areas Where Hold Baggage Is Handled),
11. Perlindungan Terhadap Bagasi Tercatat Yang Telah Diperiksa
(Protection of Screened Hold Baggage), Rekonsiliasi Penumpang
aan Bagasi (Passenger and Baggage Reconciliation),
12. Pemeriksaan Penumpang,
13. Pemeriksaan Penumpang Khusus (Special Categories of
Passengers),
14. Pemeriksaan Manual Bagasi/Barang Bawaan,
15. Pemeriksaan Kargo dan Pos,
16. Penyisiran dan Pengamanan Daerah Steril,
17. Patroli dan Penjagaan,
18. Pemeriksaan dan Perlindungan Keamanan Pesawat Udara,
19. Pemeriksaan Keamanan Katering Pesawat Udara,
20. Pencegahan Kebakaran,
21. Program Keamanan Bandar Udara dan Program Penanggulangan
Keadaan Darurat Keamanan Penerbangan Nasional (National
Contingency Programme),
22. Aviation English for Aviation Security.

2. Penyelesaian Kasus Penyebaran Infoemasi Palsu Bomb Jokes yang

Dilakukan di dalam Pesawat Udara

a) Penyelesaian Kasus Bomb Jokes menurut Hukum Internasional

International Civil Aviation Organization (ICAO) merupaakan organisasi

yang berdiri berdasarkan pasal 43 Konvensi Chicago 1944, yaitu:

An organization to be named the International Civil Aviation


Organization is formed by the Convention. It is made up of an
Assembly, a Council, and such other bodies as may be necessary.
Pasal tersebut menjelaskan bahwa ICAO merupakan Suatu organisasi

yang diberi nama Organisasi Penerbangan Sipil Internasional yang dibentuk

oleh Konvensi Chicago 1944 yangterdiri dari Majelis, Dewan, dan badan-

badan lain yang mungkin diperlukan.

22
Berdasarkan Chapter 2 General Principles dari Annex 17 Security-

Safeguarding International Civil Aviation Againts Acts of Unlawful

Interference ( ketentuan mengenai perlindungan keamanan penerbangan sipil

internasional dari tindakan melawan hukum) menyatakan bahwa:

2.1.1 Primary objective of each contracting state is safe guarding its


passengers, ground personnel, crew as well as the general public
against any acts of unlawful interference.
2.1.2 Taking into account safety, regularity and efficiency of flights
each contracting state should have an organization that's responsible
for organizing its practices, procedures and the development and
implementation of regulations to safe guard against unlawful
interference.
2.1.3 Contracting states shall ensure the organization that is
responsible for their regulations, practices and procedures does the
following;
a) Protects the safety of its crew both on the ground and in the air as
well as safeguards the general public as well from acts of unlawful
interference.
b) Able to respond quickly to any increases in security threat.
Berdasarkan isi bab diatas, dapat disimpulkan bahwa ICAO menyatakan

mewajibkan negara peserta untuk memiliki tujuan utama yaitu keselamatan

penumpang, setiap negara peserta wajib membentuk organisasi dan

mengembangkan serta menerapkan peraturan, praktik, danprosedur untuk

melindungi penerbangan sipil terhadap tindakan campur tangan yang melanggar

hukum dengan mempertimbangkan keamanan, keteraturan, dan efisiensi

penerbangan.

Sebuah kasus Bomb Jokes pernah terjadi di 2018 yang dilakukan oleh Hsu

Chun Meng, dimana kasusnya terjadi dalam penerbangan dari Singapura ke Hat

23
Yai, Thailand dengan pesawat Flyscoot A320 Singapore Airlines. pada bulan

April 2018. Hsu mengatakan kepada pramugari bahwa ia memiliki bom di dalam

tas bawaannya. Ketika mencoba memasukkan barang-barangnya ke loker

overhead seorang pramugari memberi tahu Hsu bahwa perlengkapannya perlu

diperiksa. Boo Joe We sang nyonya rumah bertanya kepada Hsu apakah didalam

tasnya adalah sesuatu hal yang penting seperti paspor atau telepon, tetapi

tanggapan Hsu “Nothing, only a bomb” dimana dia mengatakan hal itu hanya

bercanda. Dan pada akhirnya pramugari melaporkan ancaman bom tersebut

kepada kapten yang padahal posisi pesawat sudah terbang. Penerbangan harus

dialihkan kembali ke Singapura, dan pada akhirnya penerbangan tertunda selama

5 jam. Akhirnya Hsu diberikan hukuman denda oleh maskapai, yaitu denda S $

4.500 ($ 3.200) setelah secara salah mengklaim bahwa dia membawa bom.

b) Penyelesaian Kasus Bomb Jokes oleh Aviation Security

Bomb Jokes dapat dikategorikan sebagai ancaman bom dan

penanganannya serius dengan waktu yang tidak singkat dan biaya yang tidak

murah. Tidak dapat dipungkiri hanya sedikit kasus yang sampai kepengadilan.

Beberapa kasus bahkan hanya sampai ke musyawarah, damai dimana hukum tidak

berjalan sebagai mana mestinya.

Jika ancaman bom dalam pesawat yang masih berada di darat, maka

langkah-langkah yang dilakukan yakni:7

1. semua penumpang dan bagasi dalam pesawat diturunkan;

7
Hadi Maulana, “ Sanksi Berat, Masyarakat Mesti Cegah Candaan Bom di Penerbangan”, pada
https://google.com/amp/s/amp.kompas.com/ekonomi/read/2018/06/11/180332426/sanksi-berat-
masyarakat-mesti-cegah-candaan-bom-di-penerbangan , diakses pada 24 Januari 2020 Pukul 23.30
WIB

24
2. kemudian, setiap penumpang dan bagasi mesti menjalani
pemeriksaan keamanan ulang;
3. petugas melakukan penyisiran keamanan pesawat udara (aircraft
security search)
Menurut bapak Tafsirsyam, anggota AVSEC bandara Internasional Hang

Nadim Batam terkait kasus Bomb Jokes yang belakangan ini marah terjadi,

penanganan yang dilakukan pihak bandara meliputi:

1. ketika ditemukan adanya ancaman bom atau Bomb Jokes di


pesawat udara yang mana pesawat masih berada di daratan,
pramugari akan memberitahu kapten perihal adanya informasi
seseorang mengatakan bahwa dirinya membawa bom;
2. setelah mendapat laporan, kapten akan melaporkan ke pihak
keamanan bandara yaitu AVSEC;
3. AVSEC akan melakukan pengamanan terhadap terduga pelaku
dengan cara menurunkannya dari pesawat beserta barang
bawaannya dengan pengamanan ketat;
4. Pramugari akan mengarahkan penumpang lainnya untuk turun ke
ruang tunggu dengan menurunkan seluruh barang bagasi
penumpang sebagai standar operasional dalam penanganan kasus
ancaman bom;
5. Terhadap barang bawaan penumpang, avsec akan melakukan
pengecekan ulang (aircraft security search) demi menjamin bahwa
tidak ada bahan peledak atau benda berbahaya lainnya;
6. Penundaan penerbangan sangat berkemungkinan terjadi karena
banyaknya prosedur yang harus di lalui demi menjamin
keselamatan danv kenyaman semua pihak;
7. Terhadap terduga pelaku, AVSEC akan mencari data identitas dan
latar belakang pelaku melalui kartu identitas, sidik jari dan
pengakuan dari pelaku;
8. Penerbangan terduga pelaku dibatalkan dan tiket pesawatnya
dianggap telah hangus;
9. Saat diamankan, pelaku akan melalui beberapa pemeriksaan seperti
body checking, pemeriksaan barang bawaan, pemeriksaan
kesehatan dan pemeriksaan kesadaran;
10. Apabila tidak ditemukan bom atau bahan peledak lainnya sepeti
yang dikatakan pelaku, maka selanjutnya
11. Pelaku diberikan surat pernyataan tidak mengulangi perbuatannya
lagi, dengan ditanda tangani diataas materai 5000.
12. Surat pernyataan beserta identitas lengkap pelaku akan disimpan
oleh pihak bandara sebagai bukti dan jaminan tidak akan
melakukan tindakan yang membahayakan keselamatan
penerbangan bomb jokes lagi.

25
Selain itu, adanya ancaman bom atau sekedar bomb jokes akan berdampak

sebagai berikut:

1. tertundanya jadwal penerbangan;


2. terganggunya jadwal penerbangan pada rute lain;
3. potensi adanya kerusakan pada bagian pesawat udara
4. potensi adanya penumpang yang terluka;
5. kerugian biaya operasional airline yang besar;
6. membuat suasana gaduh di Bandar udara;

c) Penyelesaian Kasus Bomb Jokes yang dilakukan Frantinus Nirigi menurut

Hukum Nasional

Salah satu yang diatur oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan adalah tentang larangan penyebaran informasi palsu yang

membahayakan keselamatan penerbangan. Sesuai dengan isi pasal 344 huruf e

undang-undang nomor 1 tahun 2009, menyebutkan bahwa setiap orang dilarang

melakukan tindakan melawan hukum (acts of unlawful interference) yang

membahayakan keselamatan penerbangan dan angkutan udara berupa:

“menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan


penerbangan”

Kasus penyebaran informasi palsu yang sampai ke persidangan adalah

kasus FRANTINUS NIRIGI. Berdasarkan Putusan dengan Nomor

321/Pid.B/2018/PN Mpw, bahwa FN selaku terdakwa diajukan kepersidangan

oleh Penuntut Umum didakwa telah melakukan perbuatan yang membahayakan

keselamatan penerbangan. Berdasarkan isi surat dakwaan, dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut:

a. FN mengatakan “ awas di tas ada bom “ pada saat saksi Cindi


merapikan tas FN yang berada di kompartemen pesawat;

26
b. saksi Cindi merespon ucapan FN dengan kalimat “ tidak boleh
berkata seperti itu diatas pesawat” namun FN hanya senyum dan
tertawa lalu pergi menuju tempat duduknya;
c. saksi CIndi menghubungi Avsec untuk mengamankan pelaku;
d. FN diperiksa setelah ada laporan awak kabin kepada petugas
keamanan bandara, dan tidak ditemukan bom seperti yang dia
katakan di dalam tasnya;
e. sesuai prosedur keselamatan, saksi Citra melakukan tindakan
dengan mengumumkan kepada penumpang untuk keluar dan
kembali ke ruang tunggu;
f. pengumuman saksi Citra tidak direspon oleh penumpang hingga
pengumuman yang ketiga kali ternyata para penumpang
mendengar dari salah satu penumpang bahwa ada yang membawa
bom;
g. para penumpang takut dan panik hingga menyebabkan beberapa
penumpang mengalami luka-luka karena berusaha keluar dari
jendela darurat hingga ada yang mencoba turun dari sayap pesawat;
h. akibat peristiwa ini, Lion Air mengalami kerugian sebesar Rp.
68.293.312;
Setelah menjalani serangkaian persidangan, Pengadilan Negeri Menpawah

memberikan Putusan dengan Nomor 321/Pid.B/2018/PN.Mpw pada Selasa

tanggal 23 Oktober 2018, memutuskan dan menyatakan bahwa Frantinus Nirigi

telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “

menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan”

berdasarkan pasal 344 huruf e UU nomor 1 tahun 2009 dan menjatuhkan pidana

kepada FN dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dan 10 hari. Putusan

yang diberikan ternyata lebih ringan dari yang diatur di dalam UU nomor 1 tahun

2009 tentang Penerbangan.

Hukuman penjara dan denda yang ringan pada Undang-undang nomor 1

tahun 2009 mengakibatkan masih saja ada kejadian kejadian serupa kembali

terjadi meski tidak dibawa hingga ke pengadilan. Kasus FN yang terjadi pada 28

Mei 2018 memang merupakan kasus penutup di tahun tersebut, karna hingga

akhir tahun hanya terjadi 10 kasus bomb jokes di tahun 2018. Namun ternyata di

27
tahun 2019 masih ada kasus bomb jokes yang terjadi, yaitu seorang penumpang

pesawat AirAsia tujuan Yogyakarta-Denpasar diamankan pihak Avsec karena

melontarkan candaan bom dengan tujuan menakut-nakuti pramugari.8 Atas

perbuatannya tidak hanya menimbulkan kegaduhan tetapi juga membuat

penerbangan mengalami penundaan.

8
David Oliver Purba, “ Bercanda Bawa Bom, Penumpang AirAsia di Bandara Adisutjipto
Diamankan, Penerbangan Terlambat”, diakses dari
https://google.com/amp.kompas.com/yogyakarta/reaad/2019/12/06/180 90751/bercanda-bawa-
bom-penumpsng-airasia-di-bandara-sdidutjipto-diamankan , pada tanggal 25 Januari Pukul 01.05
WIB

28
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan rumusan masalah, hasil penelitian dan pembahasan penulis,

maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengaturan keselamatan penerbangan menurut hukum Internasional

disesuaikan dengan dimana, kapan tindakan yang membahayakan itu

dilakukan dan dimana pesawat didaftarkan. ICAO berperan aktif dalam

mewujudkan aturan hukum penerbangan yang sesuai dengan kadiah

yang berlaku.Sedangkan menurut hukum nasional, Indonesia memiliki

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2019 tentang Penerbangan yang selalu

digunakan dalam setiap menangani kasus pelanggaran hukum

penerbangan.

2. Pengawasan penerbangan secara internasional diatur didalam ICAO.

Pengawasan penerbangan secara nasional dilakukan oleh Pemerintah

yang dalam ini adalah Menteri Perhubungan dengan di keluarkannnya

PM Nomor 127 tahun 2015 Tentang Program Keamanan Penerbangan

Nasional. Tugas pengamanan penerbangan diberikan kepada Aviation

Security (AVSEC). Penyelesaian kasus bomb jokes melalui hukum

internasional adalah pemberlakuan hukum negara dimana pesawat

tersebut terdaftar ( diatur dalam ICAO) yang memberi wewenang penuh

kepada negara peserta untuk menangani kasus yang berlandaskan

29
dengan ketentuan internasional. Secara nasional dalam kasus Frantinus

Nirigi, UU nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan merupakan

landasan hukum dalam penyelesaian kasus dimana undang-undang ini

mengatur bahwa setiap tindakan ancaman dan penyebaaran informasi

palsu diatur sedemikian rupa. Penyelesaian kasus Frantinus Nirigi

tentang Bomb Jokes di Pesawat Udara diserahkan kepada AVSEC

dengan prosedur keamanan yang sesuai dengan hukum yang berlaku..

A. Saran

1. Konvensi-konvensi Hukum Internasional dalam bidang penerbangan

selalu dijadikan patokan dalam membentuk aturan perundang-

undangan dalam suatu negara. Namun, penyelesaian kasus yang

terlihat tidak kuat karena belum ada konvensi Internasional yang

benar-benar membahas bagaimana suatu tindakan penyebaran

informasi palsu di pesawat yang dilakkukan penumpang pesawat udara

dan belum ada penanganan yang kuat. Jika ada Konvensi Internasional

yang benar-benar fokus dalam menghadapi kasus penyebaran

informasi palsu di pesawat tentu akan menjadi awalan yang baik dalam

penyelesaian konflik internasional dalam bidang penerbangan yang

mungkin akan terjadi dikemudian hari.

2. Peraturan perundang-undangan Indonesia telah memiliki kekuatan

hukum tetap dan selalu disesuaikan dengan perkembangan hukum saat

ini. Namun beragam peraturan perundang-undangan tidak diikuti

dengan implementasinya dalam menyelesaikan konflik. Namun, UU

30
nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan belum lengkap memberikan

pemahaman tentang bagaimana pengaturan tidak pidana penyebaran

informasi palsu di pesawat, sehingga banyak yang kasusnya berakhir

damai atau sekedar diberikan teguran tanpa sanksi pidana. Harus ada

aturan hukum khusus yang memang khusus berfokus pada pelanggaran

penyebaran informasi palsu di pesawat agar menjadi landasan hukum

yang semakin kuat dalam menghukum pelaku tindak pidana

penyebaran informasi palsu di pesawat udara.

3. Pemberlakuan UU nomor 1 tahun 2009 sering sekali dikesampingkan

karena dianggap terlalu menyulitkan dan merepotkan berbagai pihak.

Diperlukan kesadaran hukum oleh setiap warga negara untuk patuh

dan taat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

31
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Achmad Moegandi, 1996, Mengenal dunia Penerbangan Sipil, Pustaka Sinar


Harapan,Jakarta.

Bambang Sunggono, 2010, Metode Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada,


Jakarta.

Burhan Ashshofa, 2010, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.

Boer Mauna, 2015, Hukum Internasional, P. T. Alumni, bandung.

E. Suherman, 1979, Hukum Udara Indonesia & Internasional, P. T. Alumni,


Bandung.

, 1984, Wilayah Udara Dan Wilayah Dirgantara, P. T. Alumni, Bandung.

H.K. Martono, 2007, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, PT


RajaGrafindo Persada, Jakarta

H.K. Martono, Amad Sudiro, 2012, Hukum Udara Nasional dan Internasional
Publik (Public International And National Air Law), Edisi 1, Cetakan ke-
1, Raja Grafindo, Jakarta.

H.K. Martono, Agus Pramono, 2016, Hukum Udara PerdataInternasional &


Nasional, Edisi 1, Cetakan ke-1. , Rajawali Pers, Jakarta.

IG. P. Mastra, 2016, Sistem Angkutan Udara, Mitra Wacana Media. Jakarta.

I Made Pasek Diantha, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Prenada


Media Group, Jakarta

Iriana Djajaatmadja, Pengantar Hukum Internasional 2, Edisi ke-10, Sinar


Grafika, Jakarta.

J. G. Starke, 1989, Introduction to International Law, Diterjemahkan Bambang


Mangai Natarajan, 2015, Kejahatan Dan Pengadilan Internasional, Nusa
Media, Bandung.

32
Rachmat Trijono, 2016, Kamus Hukum, Pustaka Kemang, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 2011, Penelitian Hukum Normatif, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta.

2012, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia UI


Press), Jakarta.

Suwardi, 1994, Penulisan Karya ilmiah tentang penentuan tanggung jawab


pengangkut yang terikat dalam kerjasama pengangkutan udara
Internasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman, Jakarta.

Soerjono Soekanto , Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta


: Rajawali Pers

Wagiman, Anasthasya Saartje Mandagi, 2016, Terminologi Hukum Internasional,


Cetakan ke-1, Sinar Grafika, Jakarta.

Yaddy Supriadi, 2012, Keselamatan Penerbangan Teori & Problematika, Telaga


Ilmu  Indonesia, Tanggerang.

Yudi Wibowo Sukinto, 2013, Tindak Pidana Penyelundupan di Indonesia, Sinar


Grafika, Jakarta.

Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

JURNAL

Febilita Wulan Sari, 1944, “Ketentuan Annex XIV Konvensi Chicago 1944
Mengenai Standar Internasional Bandar Udara Bagi Keselamatan
Penerbangan dan Implementasinya dalam Hukum Udara Nasional”,
IlmiahUNIKOM.

Jessika A Amin, 2013, “Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Di Dalam Pesawat
Udara Selama Penerbangan”, Ilmiah UNSRAT.

Ni Made Ratih Laksmi, Idin Fasisaka, dan Bagus Surya, “Implementasi Aviation
Safety Improvementoleh Pemerintah Indonesia-Australia melalui

33
Kerjasama Air Transport Section”. Jurnal Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Udayana.
Yuana Sisilia, “Implementasi Sistem manajemen Keselamatan sebagai Standar
Keselamatan Peleayanan Lalu Lintas Udara”. Bisnis dan Birokrasi, Jurnal
Ilmu Administrasi dan Organisasi .

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN HUKUM

INTERNASIONAL

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.


Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 20 tahun 2009 tentang
Sistem manajemen Keselamatan (Safety Management System).

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 140 Tahun 2015 tentang Program


Penanggulangan Keadaan Darurat Keamanan Penerbangan Nasional
Laporan Kementrian Perhubungan tahun 2014.

Peraturan Menteri Nomor PM 127 Tahun 2015 tentang Program Keamanan


Penerbangan Nasional.

Konvensi Tokyo 1963 tentang Tindak Pidana dan Perbuatan-Perbuatan tertentu


yang Dilakukan di dalam pesawat Udara (Convention on Offences and
Certain Other acts Comitted on Board Aircraft).

Konvensi The Hague 1970, tentang Pemberantasan Penguasaan Pesawat Udara


Secara Melawan Hukum (Convention for the Supresssion of Lawful
Seizure of Aircraft).

Konvensi Montreal 1971 tentang Pemberantasan Tindakan-Tindakan Melawan


Hukum yang mengancam Keamanan Penerbangan Sipil (The Supression
an Unlawful Acts Againts The Safety Of Civil Aviatin.

WEBSITE

34
Anonim, “tindak pidana penerbangan”, diakses dari https://beritatrans.com/2
016/01/04/sepanjang-2015-kemenhub-temukan-20-kasus-tindakpidana
-penerbangan pada tanggal 14 September 2016 Pukul 13.00 WIB

Republika, “ jangan bercanda bawa bom di bandara”, http://www.m.


republika.co.id/berita/koran/urbana/15/12/17/nzhyga4-jangan-bercanda-
bawa- bom--di-bandara, diakses pada tanggal 21 September 2016 Pukul
10.00 WIB

Hukum Online, “Pidana bagi Penyebar Informasi Palsu Adanya Bom di


Pesawat”, pada https://hukumonline.com.klinik/detail/ulasan/lt5b0f63475
101b/pidana- bagi-penyebar-informasi-palsu-adanya-bom-di-pesawat/ ,
diakses pada 16 Desember 2019 Pukul 21.00 WIB

Arena Hukum, “Petunjuk Penulisan Jurnal Arena Hukum”, pada


https://arenahukum.ub.ac.id/ index.php/arena/article/download/345/260 ,
diakses pada 16 Desember 2019 Pukul 22.00 WIB

Kompas, “Jalan Panjang Kasus Frantinus Nirigi(1), pada https://


amp.kompas.com/regional/read/2018/10/26/10382471/jalan-panjang-
kasus-frantinus-nirigi-1, diakses pada 16 Desember 2019 Pukul 22.30
WIB

KAMUS

K. Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, 2007, PT. Rajagrafindo


persada, Jakarta.

Echols M. John dan Hassan Shadily, 2003, Kamus Inggris Indonesia, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

35

Anda mungkin juga menyukai