Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

Hukum Udara Dan Ruang Lingkupnya


“Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum
Internasional”

Dosen Pengampu: Reni Suryani S.H.,M.H.

Disusun oleh:
Safwan Badhra Yaqzan-(221010201221)
Desta Andarwulan-(221010201239)
1.Pengertian Hukum Udara dan Hukum Antariksa

Hukum udara dan ruang angkasa merupakan dua aspek dalam domain hukum
internasional yang mencakup dua bidang hukum, yaitu "Hukum Udara" dan "Hukum
Ruang Angkasa" atau "Hukum Luar Angkasa"1. Hukum udara adalah kerangka hukum
yang berlaku untuk ruang udara di atas wilayah daratan atau perairan sebuah
negara. Ini mengatur berbagai kegiatan manusia dan entitas hukum lainnya yang
terjadi di ruang udara, termasuk ruang udara dan atmosfer2.

Hukum udara adalah kumpulan peraturan, baik pada tingkat nasional maupun
internasional, yang mengatur aspek-aspek terkait pesawat, navigasi udara,
pengangkutan udara komersial, serta semua aspek hukum, baik hukum publik
maupun perdata, yang muncul sehubungan dengan penerbangan domestik dan
internasional. Definisi lain menjelaskan bahwa hukum udara merujuk pada
serangkaian peraturan yang mengatur penggunaan ruang udara dan cara
pemanfaatannya dalam konteks penerbangan, kepentingan umum, serta
hubungannya dengan negara-negara di seluruh dunia.

Verschoor memberikan definisi yang serupa dengan menggambarkan hukum udara


sebagai kerangka hukum dan regulasi yang mengatur penggunaan ruang udara
dengan tujuan mendukung operasi penerbangan, kepentingan umum, dan
kepentingan internasional. Secara internasional, hukum udara ini menjadi dasar
utama yang mengatur operasi penerbangan baik militer maupun sipil serta bertujuan
untuk memastikan keselamatan dan efisiensi penggunaan ruang udara.

2.Sejarah Hukum Udara

Penyelidikan dan eksperimen manusia dalam meraih kemampuan terbang telah


dikenal sejak zaman kuno. Khayalan untuk menguasai udara seperti burung telah
terwujud dalam mitos dan dongeng Yunani kuno, seperti kisah Deadalus dan
anaknya Icarus, yang menciptakan sayap dari bulu burung yang melekat pada bingkai
dengan lilin. Dongeng ini telah menjadi legenda klasik tentang keinginan manusia
untuk terbang.
Namun, penerbangan pertama oleh manusia yang tercatat dalam sejarah dilakukan
oleh Ibnu Firnas, seorang ilmuwan asal Spanyol, pada masa pemerintahan Khalifah
Abdul Rahman II pada tahun 852 Masehi. Ibnu Firnas bukan hanya seorang ilmuwan
yang berpengaruh di berbagai bidang, tetapi juga seorang humanis, penemu musik,
ahli ilmu alam, penulis puisi Arab, dan seorang teknologiwan. Dia melakukan
eksperimen penerbangan dengan menggunakan sayap yang dibuat dari jubah yang
disangga oleh kayu. Meskipun penerbangan pertamanya berakhir dengan cedera
akibat pendaratan, Ibnu Firnas telah membuktikan bahwa manusia dapat terbang di
udara.

1
E Saefullah Wiradipraja, 2014, Pengantar Hukum Udara dan Ruang Angkasa, P.T Alumni, Bandung, hlm 1
2
Ibid hlm 5
Pada tahun 857 M, Ibnu Firnas mengambil langkah lebih jauh dalam penerbangan.
Dia merancang dan membuat sebuah mesin terbang dari sutra dan bulu elang, yang
dapat dianggap sebagai prototipe pesawat layang. Ibnu Firnas meluncurkan
penemuannya di Jabal Al-Arus, dan meskipun pendaratannya tidak sempurna, ini
adalah pencapaian besar dalam sejarah penerbangan manusia.

Keinginan manusia untuk terbang yang tercermin dalam eksperimen Ibnu Firnas
akhirnya mewujud dalam perkembangan pesawat udara modern. Penerbangan
pertama oleh manusia yang menggunakan pesawat terbang yang lebih berat dari
udara adalah prestasi Wright bersaudara pada tahun 1903. Mereka adalah ahli
mesin, ahli aerodinamika, dan pilot yang berhasil menciptakan pesawat terbang
bertenaga mesin yang berhasil terbang dan mendarat dengan kontrol penuh.
Penerbangan mereka pada tanggal 17 Desember 1903 di Kill Devil Hill, Kitty Hawk,
North Carolina, Amerika Serikat, dianggap sebagai tonggak sejarah dalam
penerbangan.

Kesuksesan Wright bersaudara mendorong perkembangan penerbangan, dan


pesawat terbang menjadi alat utama untuk mobilitas manusia dan transportasi
kargo. Penerbangan menjadi semakin penting dalam kehidupan modern, dan sebagai
akibatnya, regulasi dan hukum penerbangan juga berkembang. Konferensi
Internasional Hukum Udara pertama diadakan pada tahun 1910 setelah sejumlah
balon udara Jerman melintasi wilayah udara di atas Perancis, mengakibatkan
ketegangan. Konferensi tersebut berlangsung di Paris dengan partisipasi dari 19
negara.

Kesepakatan utama yang dihasilkan dari konferensi tersebut adalah Konvensi Paris
1919. Prinsipnya adalah bahwa negara memiliki kedaulatan terhadap ruang udara di
atas wilayahnya, dan konvensi ini bertujuan untuk mengatur penggunaan ruang
udara dalam kaitannya dengan kedaulatan negara. Konvensi ini menggarisbawahi hak
negara untuk mengontrol dan mengatur wilayah udaranya sendiri. Ini adalah langkah
awal dalam menciptakan kerangka hukum untuk penerbangan dan penggunaan
ruang udara.

3.Dasar Yuridis Pengaturan Hukum Udara

Sebelum Konvensi Montreal 1999 diberlakukan, tidak ada perjanjian internasional


yang mengatur tanggung jawab pengangkut udara terkait kerugian yang dialami
penumpang, bagasi, kargo, atau surat yang terjadi dalam penerbangan. Ini juga tidak
mewajibkan asuransi. Dalam Konvensi Montreal 1999, pasal 50 mengharuskan
negara-negara peserta untuk meminta pengangkut mereka untuk memiliki asuransi
yang mencakup tanggung jawab mereka berdasarkan konvensi ini. Pengangkut
mungkin diminta oleh negara tempat mereka beroperasi untuk memberikan bukti
bahwa mereka memiliki asuransi yang mencukupi.

Asuransi penerbangan mencakup pesawat udara, penumpang, bagasi, kargo, dan


awak pesawat. Ini melibatkan:
Perlindungan keselamatan penumpang dan bagasi.
Perlindungan kargo yang diangkut.
Perlindungan terhadap pesawat itu sendiri (bagian-bagian fisik).
Perlindungan untuk awak pesawat.
Konvensi Montreal 1999 menghadirkan perubahan signifikan dan lebih modern
dalam sistem hukum dibandingkan dengan Konvensi Warsawa 1929. Ini sangat
penting mengingat kemajuan teknologi penerbangan saat ini, terutama dalam hal
pertanggungjawaban.

Dalam hal terjadi kematian penumpang pesawat udara, ganti rugi yang diberikan
adalah sebesar 100.000 SDR untuk setiap penumpang. Perusahaan penerbangan
tidak dapat menghindari tanggung jawab ini, kecuali jika mereka dapat membuktikan
bahwa kematian itu bukan kesalahan mereka, pegawai mereka, agen mereka, atau
perwakilan mereka.

Ratifikasi Konvensi Montreal 1999 oleh pemerintah Indonesia mengakibatkan


perubahan dalam peraturan hukum penerbangan di Indonesia, terutama terkait
pertanggungjawaban dalam kasus kecelakaan pesawat udara. Dalam peraturan
hukum udara Indonesia, pasal 141 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang
Penerbangan menjamin perlindungan dan pertanggungjawaban terhadap kerugian
akibat kecelakaan dalam penerbangan. Ini mencakup ketentuan-ketentuan
mengenai jenis pertanggungjawaban pengangkut dan jumlah ganti rugi yang terkait
dengan kecelakaan penerbangan.

Sebelum Konvensi Montreal 1999 diterapkan dalam hukum Indonesia, peraturan


hukum masih mengacu pada Konvensi Warsawa 1929. Sampai sekarang, belum ada
peraturan baru setelah ratifikasi Konvensi Montreal 1999. Hal ini berdampak
langsung pada regulasi penerbangan di Indonesia, terutama terkait perlindungan
konsumen dalam penerbangan nasional dan internasional, serta perlindungan yang
wajar dan pantas berdasarkan prinsip pemulihan dan kerugian.

Oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk membuat aturan baru tentang
kompensasi ganti rugi bagi penumpang angkutan udara, terutama setelah terjadinya
kasus kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 di perairan Karawang, Jawa Barat pada
tahun 2018. Kasus ini masih menjadi kontroversi karena jumlah ganti rugi yang
diberikan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Montreal 1999 yang telah
diratifikasi oleh Indonesia. Selain itu, hasil investigasi oleh Komite Nasional
Keselamatan Transportasi (KNKT) pada tahun 2019 mengungkapkan bahwa ada
sembilan faktor yang menyebabkan kecelakaan, termasuk masalah mekanik, desain
pesawat, dan kurangnya dokumentasi tentang sistem pesawat. Faktor teknis juga
termasuk sensor penting yang salah dikalibrasi oleh bengkel pesawat di Florida, yang
merupakan komponen penting dalam sistem anti-stall B737 MAX (MCAS).

4.Ruang Lingkup Hukum Udara Dan Hukum Angkasa

Anda mungkin juga menyukai