Disusun oleh:
Safwan Badhra Yaqzan-(221010201221)
Desta Andarwulan-(221010201239)
1.Pengertian Hukum Udara dan Hukum Antariksa
Hukum udara dan ruang angkasa merupakan dua aspek dalam domain hukum
internasional yang mencakup dua bidang hukum, yaitu "Hukum Udara" dan "Hukum
Ruang Angkasa" atau "Hukum Luar Angkasa"1. Hukum udara adalah kerangka hukum
yang berlaku untuk ruang udara di atas wilayah daratan atau perairan sebuah
negara. Ini mengatur berbagai kegiatan manusia dan entitas hukum lainnya yang
terjadi di ruang udara, termasuk ruang udara dan atmosfer2.
Hukum udara adalah kumpulan peraturan, baik pada tingkat nasional maupun
internasional, yang mengatur aspek-aspek terkait pesawat, navigasi udara,
pengangkutan udara komersial, serta semua aspek hukum, baik hukum publik
maupun perdata, yang muncul sehubungan dengan penerbangan domestik dan
internasional. Definisi lain menjelaskan bahwa hukum udara merujuk pada
serangkaian peraturan yang mengatur penggunaan ruang udara dan cara
pemanfaatannya dalam konteks penerbangan, kepentingan umum, serta
hubungannya dengan negara-negara di seluruh dunia.
1
E Saefullah Wiradipraja, 2014, Pengantar Hukum Udara dan Ruang Angkasa, P.T Alumni, Bandung, hlm 1
2
Ibid hlm 5
Pada tahun 857 M, Ibnu Firnas mengambil langkah lebih jauh dalam penerbangan.
Dia merancang dan membuat sebuah mesin terbang dari sutra dan bulu elang, yang
dapat dianggap sebagai prototipe pesawat layang. Ibnu Firnas meluncurkan
penemuannya di Jabal Al-Arus, dan meskipun pendaratannya tidak sempurna, ini
adalah pencapaian besar dalam sejarah penerbangan manusia.
Keinginan manusia untuk terbang yang tercermin dalam eksperimen Ibnu Firnas
akhirnya mewujud dalam perkembangan pesawat udara modern. Penerbangan
pertama oleh manusia yang menggunakan pesawat terbang yang lebih berat dari
udara adalah prestasi Wright bersaudara pada tahun 1903. Mereka adalah ahli
mesin, ahli aerodinamika, dan pilot yang berhasil menciptakan pesawat terbang
bertenaga mesin yang berhasil terbang dan mendarat dengan kontrol penuh.
Penerbangan mereka pada tanggal 17 Desember 1903 di Kill Devil Hill, Kitty Hawk,
North Carolina, Amerika Serikat, dianggap sebagai tonggak sejarah dalam
penerbangan.
Kesepakatan utama yang dihasilkan dari konferensi tersebut adalah Konvensi Paris
1919. Prinsipnya adalah bahwa negara memiliki kedaulatan terhadap ruang udara di
atas wilayahnya, dan konvensi ini bertujuan untuk mengatur penggunaan ruang
udara dalam kaitannya dengan kedaulatan negara. Konvensi ini menggarisbawahi hak
negara untuk mengontrol dan mengatur wilayah udaranya sendiri. Ini adalah langkah
awal dalam menciptakan kerangka hukum untuk penerbangan dan penggunaan
ruang udara.
Dalam hal terjadi kematian penumpang pesawat udara, ganti rugi yang diberikan
adalah sebesar 100.000 SDR untuk setiap penumpang. Perusahaan penerbangan
tidak dapat menghindari tanggung jawab ini, kecuali jika mereka dapat membuktikan
bahwa kematian itu bukan kesalahan mereka, pegawai mereka, agen mereka, atau
perwakilan mereka.
Oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk membuat aturan baru tentang
kompensasi ganti rugi bagi penumpang angkutan udara, terutama setelah terjadinya
kasus kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 di perairan Karawang, Jawa Barat pada
tahun 2018. Kasus ini masih menjadi kontroversi karena jumlah ganti rugi yang
diberikan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Montreal 1999 yang telah
diratifikasi oleh Indonesia. Selain itu, hasil investigasi oleh Komite Nasional
Keselamatan Transportasi (KNKT) pada tahun 2019 mengungkapkan bahwa ada
sembilan faktor yang menyebabkan kecelakaan, termasuk masalah mekanik, desain
pesawat, dan kurangnya dokumentasi tentang sistem pesawat. Faktor teknis juga
termasuk sensor penting yang salah dikalibrasi oleh bengkel pesawat di Florida, yang
merupakan komponen penting dalam sistem anti-stall B737 MAX (MCAS).