Anda di halaman 1dari 12

TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN TERHADAP

KERUGIAN KONSUMEN SELAKU PENUMPANG ATAS


KEHILANGAN DAN KERUSAKAN BARANG BAGASI
TERCATAT ( STUDI KASUS QATAR AIRWAYS)

Mata Kuliah : Proposal Penulisan Ilmiah

Tema : Hukum Transportasi

Disusun oleh:

Nama : Federico Octaviano B

NIM : 205140218

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS TARUMANAGARA

2020
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Transportasi udara di Indonesia belakangan ini mengalami

perkembangan yang sangat pesat mengingat struktur geografis indonesia

merupakan negara kepulauan dan negara yang sedang berkembang dalam

menjalin hubungan antar negara lain, dengan demikian transportasi udara di

indonesia sangat dibutuhkan untuk menghubungkan dari satu pulau ke pulau

lainnya dan juga dari negara Indonesia ke negara lainnya. Dengan demikian

prasarana utama yang menangani pergerakan transportasi udara ialah bandar

udara, bandar udara di Indonesia menjadi prasarana transportasi yang

memiliki perkembangan sangat cepat. Permintaan dari para calon penumpang

semakin meningkat seiring dengan meningkatnya mobilitas manusia.

Permintaan yang tinggi tersebut berpengaruh secara langsung terhadap

permintaan jadwal terbang bagi suatu maskapai penerbangan. Terlebih saat ini

terdapat beberapa maskapai penerbangan yang menerapkan sistem low cost


carrier (LCC) yang ciri utamanya ialah harga tiket terjangkau dan layanan

terbang minimalis. Maka tak heran jika bandar udara di beberapa wilayah di

Indonesia mengalami kenaikan tingkat kepadatan baik pada sisi udara maupun

sisi daratnya.

Salah satu bandar udara internasional di Indonesia yang memiliki

jumlah penumpang dan pergerakan pesawat terbanyak tiap tahunnya ialah

Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. Pada tahun 2015, jumlah

keberangkatan pesawat sebanyak 191.182 dan jumlah kedatangan pesawat di

Bandara Udara Internasional Soekarno-Hatta sebanyak 195.4331.

Jumlah penumpang dan pergerakan pesawat terbang pada Bandar

Udara Internasional Soekarno-Hatta yang diperkirakan akan terus meningkat

itu berdampak langsung pada kemampuan bandar udara dalam melayani

penumpang dan pergerakan pesawat. Hal tersebut biasanya dihubungkan

dengan kapasitas suatu bandar udara. Kapasitas bandar udara dianggap

sebagai jumlah operasi maksimum yang dapat ditampung oleh fasilitas bandar

udara dalam satuan waktu. Dalam mendapatkan kapasitas maksimum dari

suatu fasilitas bandar udara, biasanya terdapat permintaan secara

berkelanjutan. Dalam bidang penerbangan, tingkat permintaan yang melebihi

kapasitas suatu komponen bandar udara akan menyebabkan penundaan

(delay). Penundaan tersebut berupa penambahan waktu yang dibutuhkan

1
Website Kementrian Perhubungan Republik Indonesia http://hubud.dephub.go.id/?
id/llu/index/filter:category,0 yang diakses pada tanggal 25 September 2017
untuk melakukan operasi, baik untuk take off, landing, maupun proses naik

dan turunnya penumpang.

Semakin bertambahnya maskapai penerbangan dalam kurun waktu

kurang lebih 15 (lima belas) tahun terakhir ini di satu sisi memberikan

dampak positif bagi masyarakat pengguna jasa transportasi udara, yaitu

banyak pilihan penerbangan dengan berbagai ragam pelayanannya, dengan

semakin banyaknya maskapai penerbangan telah menciptakan kompetisi

antara maskapai penerbangan yang satu dengan maskapai penerbangan

lainnya. Namun setiap maskapai yang sedang berkompetisi tetap diharapkan

dapat memberikan jasa sebaik mungkin sesuai dengan fungsinya, yaitu

memindahkan barang maupun orang dari satu tempat ke tempat lain dengan

maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai.2

Secara historis, dasar hukum tuntutan ke maskapai bila terjadi

kecelakaan ialah Konvensi Chicago 1944, yang merupakan hasil

penggabungan Konvensi Paris 1919 (Convention Relating to the Regulation

of Aerial Navigation) yang ditandatangani 27 negara, Konvensi Pan Amerika

1927 yang berlaku di negara-negara bagian Amerika, dan Konvensi Liberia

Amerika 1929 yang merupakan perjanjian penerbangan di negara-negara

Amerika Latin. Ketentuan hukum penerbangan lain yang tidak kalah

pentingnya ialah Konvensi Warsawa 1929, yang mengatur pertanggung

2
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1991 ),
halaman 1
jawaban maskapai dalam penerbangan Internasional. Konvensi Warsawa ini

menjadi tonggak sejarah munculnya prinsip presumption of liability dan

limitation of liability. Kedua prinsip itu pada intinya menyatakan bahwa

pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita penumpang,

kecuali jika pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian (kecelakaan)

tersebut bukan karena kesalahan dari pihak pengangkut. Bila tidak, maskapai

harus memberikan ganti rugi dengan sejumlah uang pengganti. Meskipun

barang bawaan penumpang bukan termasuk dalam obyek suatu perjanjian

pengangkutan orang dengan pihak pengangkut, tetapi pada kenyataannya

banyak penumpang yang membawa barang angkutan, baik yang dibawa

sendiri (kabin) ataupun yang dimasukkan dalam bagasi pesawat, yang

kemudian menjadi suatu permasalahan. Tanggung jawab pengangkut udara

diatur dalam beberapa pasal di Ordonansi Pesawat Udara Stb.1939-100 yaitu

yang secara khusus mengatur tentang kegiatan penerbangan komersial

domistik adalah Luchtvervoer ordonantie (Stbl. 1939:100) atau ordonansi

1939 yang biasa disingkat OPU 1939.

Secara teoritis perjanjian pengangkutan merupakan suatu perikatan

dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau

barang dari suatu tempat ke tempat lain sedangkan pihak lainnya,

menyanggupi untuk membayar ongkosnya.3 Kewajiban penumpang adalah

membayar ongkos pengangkutan yang telah ditetapkan besarnya, dan menjaga


3
R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT Citra Aditya, 1995), halaman 69
barang-barang yang berada dibawah pengawasannya, melaporkan jenis-jenis

barang yang dibawa terutama barang-barang yang berkategori berbahaya.

Ketentuan tersebut juga berlaku di dalam kegiatan pengangkutan atau

transportasi udara, dalam hal ini pengangkut atau maskapai penerbangan

berkewajiban untuk mengangkut penumpang dengan aman dan selamat

sampai di tempat tujuan secara tepat waktu, dan sebagai konpensasi dari

pelaksanaan kewajibannya tersebut maka perusahaan penerbangan

mendapatkan bayaran sebagai ongkos penyelenggaran pengangkutan dari

penumpang.

Perjanjian pengangkutan berfungsi untuk melindungi hak dan

kewajiban dari masing- masing pihak, dan menurut Pasal 1320 KUH Perdata

untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu:

i. Adanya kesepakatan kedua belah pihak.

ii. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.

iii. Adanya obyek tertentu.

iv. Adanya kausa yang halal.

Pesawat udara memiliki fasilitas yang dapat digunakan oleh

penumpang untuk menyimpan barangnya selama perjalanan, agar tidak

memenuhi kabin pesawat udara, sehingga penumpang dapat duduk dengan

nyaman selama perjalanan, tujuan pemberian fasilitas tersebut untuk


memberikan rasa nyaman dan aman terhadap barang bawaan penumpang.

Fasilitas tersebut dinamakan bagasi pesawat udara.

Pengertian bagasi itu sendiri telah diatur didalam peraturan perundang-

undangan di indonesia. Bagasi pesawat udara dapat dibedakan menjadi dua

macam yaitu bagasi tercatat dan bagasi kabin. Pembedaan bagasi menjadi dua

golongan tersebut berdasarkan pada batasan tanggung jawab maskapai

penerbangan atas barang-barang penumpang yang masuk kedalam bagasi

pesawat udara. Menurut Pasal 1 Ayat 24 Undang-undang Nomor 1 Tahun

2009 tentang Penerbangan juncto Pasal 1 Ayat 8 Peraturan Mentri

Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut

Angkatan Udara, Bagasi Tercatat adalah barang penumpang yang diserahkan

oleh penumpang kepada pengangkut untuk diangkut dengan pesawat udara

yang sama. Sedangkan Bagasi Kabin adalah barang yang dibawa oleh

penumpang dan berada dalam pengawasan penumpang sendiri.4

Pada dasarnya semua barang dapat masuk kedalam bagasi pesawat

udara namun beberapa maskapai memberikan batasan mengenai barang yang

dapat diangkut kedalam pesawat udara demi kenyamanan dan keamanan para

penumpang. Barang yang dilarang untuk diangkut didalam bagasi tercatat

adalah barang-barang berharga seperti uang, perhiasan, surat-surat dan

dokumen penting dan lain-lain. Adapun barang-barang yang dilarang karena

4
Pasal 1 Ayat 24 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
berbahaya untuk keamanan menurut Pasal 136 Ayat 4 Undang-undang Nomor

1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yaitu

i. bahan peledak (explosives);

ii. gas yang dimampatkan, dicairkan, atau dilarutkan dengan

tekanan (compressed gases, liquified or dissolved under

pressure);

iii. cairan mudah menyala atau terbakar (flammable liquids);

iv. bahan atau barang padat mudah menyala atau terbakar

(flammable solids);

v. bahan atau barang pengoksidasi (oxidizing substances);

vi. bahan atau barang beracun dan mudah menular (toxic and

infectious substances);

vii. bahan atau barang radioaktif (radioactive material);

viii. bahan atau barang perusak (corrosive substances);

ix. cairan, aerosol, dan jelly (liquids, aerosols, and gels) dalam

jumlah tertentu; atau

x. bahan atau zat berbahaya lainnya (miscellaneous dangerous

substances).
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis mengangkat

permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana perlindungan hukum bagi pihak pengangkut apabila

terjadinya kehilangan barang didalam kabin pesawat ( Contoh kasus Qatar

Airways dengan Leo Mualdy Christoffel)?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab pokok

permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu untuk mengetahui

Bagaimana perlindungan hukum bagi pihak pengangkut apabila terjadinya

kehilangan barang didalam kabin pesawat.

2. Kegunaan Penelitian

a. Segi Teoritis

Peneliti ingin menambah wawasan terhadap piahak pengangkut yang

mengalami kehilangan barang bawaan didalam kabin pesawatnya.

b. Segi Praktis

1) Untuk Pembaca
Penelitian ini diharapkan dapat membuat para pembaca mengetahui

bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap pihak pengangkut

bila terjadinya kehilangan barang penumpang di kabin.

2) Untuk Masyarakat

Penelitian ini diharapkan agar masyarakat dapat mengetahui bahwa

barang dikabin tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak

pengangkut.

3) Untuk Pemerintah

Agar pemerintah memberikan kepastian hukum terhadap pihak

pengangkutan apabila terjadinya suatu kehilangan didalam kabin

pesawat.

D. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-

doktrin di dalam ilmu hukum, sehingga menemukan ide-ide yang melahirkan

pengertian-pengertian hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu

yang dihadapi5

5
Peter Mahmud Marzuki, Metode Penelitian Hukum, cetakan ke-4, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 95.
Hukum Transportasi

Hukum Pengangkutan darat Hukum pengangkutan laut

Hukum Pengangkutan udara

Undang – Undang No. 1 Tahun 2009

Konsep Tanggung Jawab Hukum Tanggung jawab atas dasar kesalahan

Tanggung jawab atas dasar praduga bersalah

Tanggung jawab atas dasar tanpa bersalah

Barang Bawaan

Barang Bagasi Barang bawaan Kabin

?
E. Kerangka Teoritis

Untuk menghindari penafsiran yang berbeda tentang istilah yang digunakan

dalam karya ilmiah ini, maka akan diberikan pembatasan terhadap definisi

dari istilah-istilah yang digunakan tersebut, yaitu:

Hukum transpotasi yaitu

Hukum transportasi udara yaitu hukum dan regulasi yang mengatur

penggunaan ruang udara yang manfaat bagi penerbangan, kepentingan umum

dan bangsa-bangsa didunia6

6
Prof. Dr. H.K Martono, S.H., LLM. Dan Dr. Agus Pramono, S.H., M.Hum, Hukum Udara Perdata
Internasional dan Nasional , ( Depok: RajaGrafindo Persada, 2013) hal.4.

Anda mungkin juga menyukai