Anda di halaman 1dari 14

PENDAFTARAN PESAWAT UDARA

Pasal 1 Konvensi Paris 1919 menentukan bahwa negara mempunyai kedaulatan yang lengkap
dan eksklusif di atas wilayahnya (termasuk dengan wilayah perairannya).
Kedaulatan negara juga mencakup pula terhadap ruang udara yang berada di atas wilayah
kedaulatannya. Pengaturan tentang kedaulatan negara di ruang udara di dalam Konvensi Paris
1919 belum mampu menentukan tentang batas dan ketinggian wilayah udara suatu negara.
Namun, yang disepakati di dalam konvensi ini adalah mengenai ada nya kedaulatan masing-
masing negara atas wilayah udaranya
Dalil Hukum Romawi yang berbunyi, “Cuius est solom, eius usgue ad coelum et ad
inferos” melandasi dibentuknya Konvensi Paris 1919, berarti: “Barangsiapa memiliki sebidang
tanah dengan demikian juga memiliki segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah
tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah tersebut”.
Pesawat udara yang pada awalnya hanya dimiliki negara dan hanya dipakai untuk
kepentingan militer saja, kemudian mulai menjadi suatu sarana perhubungan komersial yang
umum.
Dan pemilikannya bukan lagi sebatas oleh negara saja, melainkan telah pula dimiliki oleh
perusahaan-perusahaan swasta. Hal ini terjadi ketika pada tahun 1919 perusahaan penerbangan
pertama memulai pengoperasian penerbangan berjadwal (scheduled) pertama antara kota London
dan Paris.
Ketentuan dasar yang mengatur tanggung jawab untuk kerugian dalam Hukum Udara
kemudian dimuat dalam perjanjian-perjanjian internasional yang sebelumnya belum disepakati
dalam Protokol Paris 1929 ini.

Perjanjian-perjanjian internasional itu kemudian mengalami berbagai perkembangan, yang


secara kronologis dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by
Air (sering disebut dengan Konvensi Warsawa 1929).
b. Pada tahun 1955 konvensi ini telah ditambah dengan The Hague Protocol, dan
c. kemudian oleh Guadalajara Convention (1961),
d. Guatemala Protocol (1971) dan
e. Montreal Protocol (1975), sebagai tambahan:
f. Montreal Protocol (1966) dan
g. Malta Agreement (1976).
h. Convention on Damage Caused by Foreign Aircraft to Third Parties on The Surface
(sering disebut dengan Konvensi Roma (1952), yang menggantikan Konvensi Roma
(1933) mengenai pokok masalah yang sama), dan
i. protokol yang ditambahkan kepada Konvensi Roma (1952), yaitu Montreal Protocol
(1978).
Pengertian Pesawat Udara .
Menurut Konvensi Chicago 1944 tentang penerbangan internasional sipil; Pesawat udara
sipil (komersial) dan tidak termasuk pesawat udara negara, baik pesawat udara militer maupun
yang lain tercakup dlam pengertian state aircraft .
Pesawat penumpang sipil (Inggris: airliner) adalah pesawat terbang atau pesawat udara
yang digunakan untuk mengangkut penumpang sipil beserta bagasi dan kargo (dengan kapasitas
tertentu).
Syarat-syarat mengenai pengangkutan sipil diatur dalam undang-undang, baik
pemerintah maupun internasional melalui lembaga PBB bernama ICAO (International Civil
Aviation organization).
Batasan ini mulai digunakan sejak Konvensi Paris 1919, yang menggambarkan pesawat
udara sebagai a machine which can derive support in the atmosphere from the reactions of the
air . Batasan terakhir ini juga diterima dalam konvensi Chicago 1944 sebelum diadakan
modifikasi pada tahun 1967. Batasan pesawat udara (aircraft) dalam arti luas mencakup segala
macam pesawat seperti pesawat terbang, kapal terbang, helicopter, pesawat terbang laying, balon
udara yang bebas dan dapat dikendalikan seperti yang digunakan untuk bidang meterologi.

Bersamaan dengan batasan di atas harus diperhatikan pula pengelompokan pesawat udara
dalam Annex 7 ICAO khususnya kelompok power driven heavier than air aircraft. Batasan
yang tertera dalam Annex 7 Konvensi Chicago 1944 yang dimodifikasi 1967 harus dilengkapi
dengan batasan yang diterima dalam Konvensi Jenewa 1948 Pasal XVI;
Aircraft shall include the aircraft, engines, propellers, radio apartus and all other
articles intended for use in the aircraft whether installed therein or temporarily
separated therefrom.
Menurut pasal di atas; Negara-negara pembuat Konvensi 1948 bermaksud untuk, sesuai
dengan tujuan konvensi tersebut, membatasi pengertian pesawat udara yang digunakan untuk
angkutan udara sipil atau civiele iuchtverkeer
Pengertian di atas, mengecualikan balon kabel, balon bebas dan pesawat layang, kapal
terbang. Helikopter dan juga pesawat udara lain yang tujuan penggunaanya adalah untuk usaha
yang bersifat militer, bea cukai dan polisi (Pasal XIII). Maksud dari konvensi Jenewa 1948
adalah untuk mengatur hak-hak yang melekat maupun diletakkan pada pesawat udara yang
dipergunakan untuk angkutan udara sipil internasional.
Perlu dicatat bahwa tidak semua ahli Hukum Internasional menerima secara bulat batasan
yang tertera dalam Konvensi Jenewa 1948.
Seperti Rijks, dalam Het Verdrag Van Geneve (1952) berpendapat bahwa batasan di atas
sangat dipengaruhi oleh cara ahli hukum Amerika Serikat mendefenisikan suatu pengertian
hukum yang lazim berisikan perincian dari unsur-unsur yang harus dimiliki suatu pengertian
tertentu. Cara ini dipengaruhi oleh cara berpikir Casuistisch, dan menurut Rijks cara ini tidak
menjawab pertanyaan bagaimana menjelaskan sebaik mungkin dan selengkap mungkin suatu
pengertian hukum. Keberatannya adalah bahwa dengan merinci bagian-bagian tertentu dari suatu
pesawat udara tetap tidak nampak apa yang sesungguhnya diartikan dengan benda itu sendiri.

Pesawat terbang adalah sebuah alat yang dibuat dan dalam penggunaannya menggunakan
media udara. Pengertian pesawat terbang juga dapat diartikan sebagai benda-benda yang dapat
terbang,
Pesawat terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, bersayap tetap, dan
dapat terbang dengan tenaga sendiri, Secara umum istilah pesawat terbang sering juga disebut
dengan pesawat udara atau kapal terbang atau cukup pesawat dengan tujuan pendefenisian
yang sama sebagai kendaraan yang mampu terbang di atmosfer atau udara. Namun dalam
dunia penerbangan, istilah pesawat terbang berbeda dengan pesawat udara, istilah pesawat
udara jauh lebih luas pengertiannya karena telah mencakup pesawat terbang dan helikopter.
A. Status Hukum Pesawat Udara
Masalah pengawasan dan keamanan lalu lintas udara dan pengamanan atas pesawat-
pesawat udara merupakan apek penting dalam pengaturan-pengaturan hukum yang di buat oleh
negara-negara. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan ruang udara
beserta sumber daya didalamnya adalah masalah yurisdiksi. Prinsip-prinsip dalam yurisdiksi
adalah prinsip teritorial, nasional, personalitas pasif, perlindungan atau keamanan, universalitas,
dan kejahatan menurut kriteria hukum yang berlaku. Dalam hubungan dengan yurisdiksi negara
di ruang udara, sangat erat hubungannya dengan penegakkan hukum di ruang udara tersebut.
Besarnya kedaulatan negara atas ruang udara juga dibuktikan dengan keberadaan Pasal 9
Konvensi Chicago 1944 yang menyatakan bahwa setiap negara (sebagai wujud dari
kedaulatannya) berhak menetapkan wilayah-wilayah yang dinyatakan terlarang untuk
penerbangan baik karena alasan kebutuhan militer maupun keselamatan publik. Implementasi
dari kewenangan yang diberikan Pasal 9 ini diterapkan oleh Uni Eropa Juli 2007 dengan
melarang perusahaan penerbangan Indonesia untuk terbang ke eropa dan melarang warga Uni
Eropa untuk terbang dengan menggunakan pesawat dari perusahaan penerbangan Indonesia
karena banyaknya kasus kecelakaan pesawat udara yang melibatkan pesawat Indonesia di tahun
itu.
Kedaulatan suatu negara di ruang udara di atas wilayah teritorialnya bersifat utuh dan
penuh (complete and exclusive sovereignty). Ketentuan ini merupakan salah satu tiang pokok
hukum internasional yang mengatur ruang udara. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam
pemanfaatan ruang udara beserta sumber daya didalamnya adalah masalah yurisdiksi. Prinsip-
prinsip dalam yurisdiksi adalah :
a. Prinsip territorial, yaitu prinsip yang lahir dari pendapat bahwa sebuah negara
memiliki kewenangan absolut terhadap orang, benda dan kejadiankejadian di dalam
wilayahnya sehingga dapat menjalankan yurisdiksinya terhadap siapa saja dalam semua jenis
kasus hukum (kecuali dalam hal adanya kekebalan yurisdiksi seperti yang berlakukepada para
diplomat asing).
b. Prinsip nasional disebut juga “hubungan fundamental antara individu dengan
negaranya”.
c. Asas Personalitas Pasif, yaitu prinsip yang memberikan hak pelaksanaan
yurisdiksi kepada sebuah negara untuk menghukum kejahatan yang ilakukan di luar
wilayahnya, oleh pelaku dari warga negara asing, yang korbannya adalah warga negara
dari negara tersebut.
d. Asas Protektif atau biasa juga disebut sebagai yurisdiksi yang timbul berdasarkan
adanya kepentingan keamanan sebuah negara. e. Asas Universal, ini berbeda universal tidak
membutuhkan hubungan seperti itu.

Status Hukum Pesawat Udara sebagai objek hukum dalam lingkup baik hukum nasional
maupun hukum internasional, atau lebih tepat pesawat udara sebagai objek hukum dari hukum
nasional yang diakui dalam hukum internasional, perlu diawali dengan mengutip pandangan
seorang ahli hukum angkasa ternama yaitu, J.C. Cooper yang berpendapat bahwa pembahasan
tentang status hukum suatu pesawat udara, dapat ditinjau dari segi;

1. Status hukum pesawat udara dalam hukum public,


2. Status hukum pesawat udara dalam hukum perdata.
Menurut J.C. Cooper, hal pertama akan mempermasalahkan hubungan hukum antara
suatu pesawat udara dengan suatu negara tertentu, sedangkan hal kedua akan mempermasalahkan
hubungan hukum pesawat udara sebagai objek hukum dengan pesawat udara lainnya dan
hubungan hukum pesawat udara dengan subjek hukum/perorangan tertentu.

Menyangkut aspek pemberian status hukum menurut klasifikasi hukum keperdatan


(hukum kebendaan) yang dianut di mayoritas Negara yang selanjutnya akan berpengaruh pada
penetapan aturan-aturan hukum keperdataan yang menguasai pesawat udara sebagai objek
hukum nasional tertentu, serta pengaturan hukum yang menguasai pesawat tersebut apabila
timbul elemen asing dalam hubungan hukum/peristiwa hukum yang menyangkut pesawat udara
tersebut .

Status hukum pesawat udara dalam hukum public, yang berkaitan dengan pemberian
tanda nasionalitas dan tanda registrasi pesawat udara adalah amat penting. Hal ini akan
menentukan hukum nasional mana yang menguasai pesawat udara dalam hubungan hukum
public, yang diakui pula oleh hukum internasional, serta kewajiban-kewajiban dan hak-hak
negara yang berlaku terhadap pesawat udara itu baik dalam lingkup hukum nasional maupun
dalam hubungan Negara yang bersangkutan dengan negara-negara lain..
Persyaratanh-persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu pesawat udara dapat
memperoleh perlindungan dan pengawasan dari negara yang bersangkutan.
Pentingnya status hukum pesawat udara dalam bidang hukum publik dengan pemberian
suatu nasionalitas pada pesawat udara tersebut, dan berlakunya satu hukum nasional tertentu bagi
suatu pesawat udara terlihat pula dalam hubungan hukum perdata internasional.
Selain itu, dalam hubungannya dengan permasalahan pengakuan internasional pada suatu
hak kebendaan yang melekat/dipasang pada suatu pesawat, Konvensi Jenewa 1948 mengatur
dalam Pasal 1, bahwa hak-hak kebendaan dan hak-hak sebangun yang diperinci dalam pasal
tersebut akan diakui oleh negara-negara peserta Konvensi .
Cara untuk mendapatkan nasionalitas pesawat udara adalah dengan mendaftarkan pesawat
pada suatu negara tertentu.
B. Aspek Hukum Pendaftaran Pesawat Udara .

1. Pengertian Pendaftaran Pesawat Udara .


Registrasi pesawat terbang / aircraft registration) adalah suatu tindakan   yang
mengidentifikasi pesawat terbang sipil, sebagaimana plat nomor pada kendaraan bermotor.
Sesuai Convention on International Civil Aviation semua pesawat terbang harus didaftarkan
pada otoritas penerbangan sipil suatu negara dan harus membawa bukti registrasi dalam bentuk
dokumen resmi bernama Certificate of Registration setiap saat beroperasi.
Kebanyakan negara juga mempersyaratkan registrasi pesawat terbang untuk dicetak pada
suatu plat tahan api permanen yang dipasang pada fuselage untuk tujuan penyelidikan jika ada
kecelakaan pesawat jatuh atau terbakar..
Karena pesawat terbang dengan sayap tetap umumnya memasang nomor registrasinya di
bagian aft fuselage sedikit di depan ekor (tidak jarang pada ekor itu sendiri, pada masa lampau)
registrasi itu sering dirujuk sebagai "nomor ekor" ("tail number"). Meskipun setiap registrasi
pesawat terbang bersifat unik, sejumlah negara mengizinkan nomor itu digunakan kembali jika
pesawat terbang itu dijual, dihancurkan atau dipensiunkan.
Misalnya, N3794N diberikan kepada sebuah Mooney M20F. Sebelumnya pernah diberikan untuk
sebuah Beechcraft Bonanza (tepatnya pesawat naas yang menewaskan penyanyi kondang Buddy
Holly). Juga suatu pesawat terbang dapat mempunyai nomor registrasi yang berbeda selama
pemakaiannya, misalnya karena pergantian pemilik, yurisdiksi pendaftaran atau karena alasan
tidak jelas lainnya.

Selama ini belum ada persyaratan spesifik berdasarkan peraturan hukum internasional
untuk mendaftarkan pesawat udara. Konvensi Penerbangan Sipil Internasional (Chicago, 1944),
hanya menyatakan bahwa pesawat udara akan memiliki nasionalitas negara dimana pesawat
tersebut didaftarkan.(Pasal 17 Konvensi Chicago)
Namun demikian, perlu dicatat bahwa Asosiasi Hukum Internasional (ILA) dalam
konferensi yang diselenggarakan di Helsinki pada tahun 1966 menyatakan bahwa: setiap
pesawat, agar bisa beroperasi pada penerbangan internasional sesuai dengan aturan Konvensi
Chicago harus terdaftar.
Pasal 18 Konvensi Chicago menyatakan bahwa sebuah pesawat udara tidak bisa terdaftar
secara sah di lebih dari satu negara, tetapi pendaftaran nasionalitasnya bisa diubah dari satu
negara ke negara yang lain. Meskipun ketentuan ini bisa dianggap sebagai pelarangan atas ‘joint
registration” (Resolusi ICAO, Tanggal 14 Desember 1967).
Konferensi ILA di Helsinki menyatakan:
Pendaftaran pesawat udara di dua atau lebih negara: “pesawat didaftarkan pada lebih dari
satu negara”, dilarang oleh pasal 18 Konvensi… Tetapi hal yang berbeda berlaku untuk
‘joint registration’ dimana dua atau lebih negara melakukan pendaftaran bersama (joint
register). Pesawat udara yang didaftarkan dengan pendaftaran bersama bisa memiliki lebih
dari satu nasionalitas tetapi dalam hal ini, negara-negara yang mendaftarkan pesawat secara
bersama tersebut tentunya telah mengambil langkah-langkah untuk menghindarkan segala
kemungkinan konflik hukum yang bisa terjadi.
Pasal 77 Konvensi Chicago menegaskan bahwa Dewan organisasi penerbangan sipil
internasional ICAO menentukan bagaimana ketentuan-ketentuan Konvensi yang terkait dengan
nasionalitas negara atas suatu pesawat udara akan diaplikasikan pada pesawat yang dioperasikan
oleh perusahaan penerbangan internasional.
Jika Negara merasa perlu untuk menambah persyaratan atau memberi pengecualian
terkait pemilikan lokasi bisnis dan lokasi perusahaan dengan pertimbangan alasan keamanan
nasional, ataupun alasan strategis dan komersial lainnya, maka negara tersebut harus
mendasarkannya pada negosiasi bilateral atau multilateral, sebagaimana seharusnya.
Rekomendasi dari Panel Pengaturan Transportasi Udara ICAO ini menggambarkan
keuntungan dari mendaftarkan pesawat udara pada suatu negara. Ada beberapa alasan untuk
mendaftarkan pesawat pada suatu negara, salah satunya adalah adanya keinginan untuk
mendapatkan nasionalitas atas suatu pesawat udara. Oleh sebab itu, prosedur pendaftaran itu
hanya untuk pemenuhan syarat hukum untuk mendapatkan hak-hak tertentu yang hanya bisa
diberikan oleh negara pada pesawat udara yang terdaftar di negara tersebut.
Jika sebuah pesawat udara didaftarkan pada suatu negara, wajar jika kemudian ada timbal
balik dari proses pendaftaran tersebut. Salah satunya adalah adanya hak untuk mengklaim bahwa
pesawat memiliki nasionalitas negara dimana pesawat tersebut terdaftar dan mendapatkan
perlindungan dalam hukum internasional.
Alasan yang sangat penting bagi perusahaan pesawat terbang untuk mendaftarkan
pesawatnya pada suatu negara tertentu adalah bahwa pendaftaran tersebut secara efektif
menghindarkan kemungkinan adanya pihak ketiga yang akan mengakui kepemilikan atas
pesawat udara tersebut.
Dengan kata lain, pendaftaran pesawat memberikan bukti yang sangat jelas (prima facie)
atas kepemilikan pesawat tersebut. Pendaftaran pesawat juga penting dalam kaitannya dengan
benda hipotek. Hal ini diadopsi dari tradisi dalam hukum laut yang mensyaratkan bahwa kapal
laut harus didaftarkan sesuai dengan hukum dimana kapal laut itu didaftarkan. Hukum negara ini
juga yang akan menilai nilai hipotek kapal laut tersebut, segala efek yang ditimbulkan terkait
dengan pihak ketiga, dan segala prosedur yang berkaitan dengan penegakan peraturan hukum
hipotek. (Konvensi Internasional tentang Gadai dan Hipotek, 1993, pasal 1(a).
2. Peran Negara Pendaftar Pesawat Udara Dalam Keselamatan Penerbangan.
Pasal 20 menyatakan bahwa setiap pesawat udara yang beroperasi dalam penerbangan
internasional harus memiliki nasionalitas dan tanda pandaftaran. Hal tersebut lebih lengkap
dijelaskan dalam annex 7 pada Konvensi Chicago yang mengharuskan tanda nasionalitas dan
pendaftaran itu untuk dicatkan pada badan pesawat atau ditempelkan dengan cara apapun
asalkan bersifat permanen. Standar ini juga mengharuskan agar tanda tersebut dijaga
kebersihannya sehingga tetap terlihat oleh operator sepanjang waktu (Lihat annex 7 pada
Convention on International Civil Aviation).
Pasal 21 mengharuskan agar setiap negara yang memberikan nasionalitas kepada suatu
pesawat saat diminta bisa memberikan keterangan pada ICAO atau negara lain yang meminta
informasi mengenai pendaftaran dan kepemilikan pesawat apapun yang didaftarkan dinegara
tersebut (Konvensi Chicago, 2 pasal 21).
Pasal 24 mengenai pabean menyebutkan antara lain bahwa pesawat udara yang dalam
penerbangan dari dan ke atau melewati batas wilayah negara lain maka pesawat tersebut harus
diijinkan masuk dengan bebas pabean sementara, tetapi terikat dengan aturan pabean negara
tersebut. Pasal ini juga menyebutkan bahwa suku cadang dan peralatan yang diimpor ke dalam
batas wilayah suatu negara untuk perusahaan penerbangan atau untuk dipasang pada sebuah
pesawat udara milik negara lain yang beroperasi dalam penerbangan internasional harus diijinkan
masuk dengan bebas pabean.
Pasal 29 pada Konvensi Chicago mengharuskan setiap pesawat udara terdaftar untuk
membawa antara lain, sertifikat pendaftaran. Peraturan ini secara implisit menunjukkan bahwa
dibawah hukum internasional, status legal atas suatu pesawat dapat ditentukan oleh
pendaftarannya dan afiliasinya, dengan tujuan jurisdiksi, dan terkait dengan negara dimana
pesawat tersebut didaftarkan.
Pasal 33 dari Konvensi Chicago mengharuskan negara untuk dapat mengenali kevalidan
sertifikat keselamatan pesawat, sertifikat kapabilitas pesawat, dan ijin yang dikeluarkan oleh
negara dimana pesawat tersebut didaftarkan. Kevalidan tersebut mengacu pada standar minimum
yang sudah digariskan oleh Konvensi Chicago (Dempsey, 2008:236).
Salah satu ketetapan yang penting dalam Konvensi Chicago adalah pasal 12 yang
mengatur mengenai udara, yakni dengan mengharuskan negara pendaftar pesawat untuk
menetapkan aturan-aturan yang dianggap perlu untuk memastikan bahwa setiap pesawat udara
yang terbang diatas batas wilayah negaranya untuk membawa tanda nasionalitasnya, dimanapun
pesawat tersebut terbang, dan untuk memastikan bahwa pesawat tersebut mematuhi segala
peraturan yang terkait dengan penerbangan pesawat dalam batas wilayahnya. Pasal ini juga
menyatakan bahwa negara tersebut juga memastikan bahwa aturan-aturan yang mereka buat
sedapat mungkin sejalan atau sama dengan aturan-aturan yang ditetapkan dalam Konvensi
Chicago.
Pasal 12 selanjutnya menyatakan bahwa diatas laut bebas, aturan yang berlaku adalah
aturan yang ditetapkan dalam Konvensi Chicago, dan setiap negara harus memastikan untuk
menuntut/ menghukum siapapun yang melanggar aturan tersebut.
Pasal 30 Konvensi Chicago, yang merupakan ketetapan lain yang mengatur mengenai
pendaftaran pesawat, menyatakan bahwa pesawat udara yang terdaftar di suatu negara dan
melakukan penerbangan dalam batas wilayah negara lain diperbolehkan untuk membawa
peralatan radio pemancar hanya jika ijin untuk menginstall dan mengoperasikan peralatan
tersebut telah diberikan oleh petugas yang berwajib dimana pesawat tersebut didaftarkan.
Penggunaan peralatan radio pemancar di wilayah negara dimana pesawat tersebut terbang
harus sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh negara tersebut.
Ketentuan selanjutnya adalah Pasal 31 yang menyatakan bahwa setiap pesawat udara
yang beroperasi dalam penerbangan internasional harus dilengkapi dengan dengan sertifikat
keselamatan penerbangan yang dikeluarkan secara valid oleh negara dimana pesawat tersebut
didaftarkan.
Pasal 32 (a) tentang kru pesawat udara menyatakan bahwa pilot pada setiap pesawat
udara berikut semua kru nya yang beroperasi dalam penerbangan internasional harus memiliki
sertifikat kecakapan dan ijin kerja yang dikeluarkan oleh negara dimana pesawat tersebut
didaftarkan. Semua ketentuan yang disebutkan diatas menggambarkan peran penting yang
dimiliki oleh negara pendaftar untuk memastikan keselamatan penerbangan. Kondisi tersebut
menggambarkan betapa serius terkait dengan pendaftaran pesawat yaitu flags of convenience.
Dalam dunia penerbangan istilah “flags of convenience” belum pernah diartikan secara
khusus dalam istilah penerbangan internasional. Namun demikian, istilah ini jelas berasal dari
industri maritim dan istilah ini jelas digunakan untuk mengacu pada pendaftaran terbuka yang
dilakukan oleh negara dengan menawarkan keuntungan yang berbeda bagi para pemilik kapal
yang mencari cara untuk menghindari pendaftaran nasionalitas yang tradisional.
Istilah ini sebenarnya menyesatkan jika digunakan dalam konteks penerbangan karena
pesawat udara tidak menerbangkan bendera, tetapi ia hanya membawa nasionalitas negara
dimana ia didaftarkan.
Flags of Convenience yang terkait dengan pendaftaran pesawat dapat benarbenar berarti
manakala pendaftaran pesawat dikaitkan dengan keselamatan penerbangan. Ketika sebuah
pesawat jarang kembali ke negara dimana ia didaftarkan, pengawasan keselamatan
penerbangannya menjadi persoalan tersendiri manakala tidak ada persetujuan pengawasan
keselamatan penerbangan antara negara pendaftar dengan negara operator.
Terdapat dua kategori pesawat dengan pendaftaran asing yang bisa beroperasi melalui
flags of convenience:
-= yang pertama yaitu yang dilakukan demi tujuan fiskal; dan
=yang kedua yang di lakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan
dari sistem dengan sedikit pengawasan ekonomis dan tehnis, atau yang bahkan tanpa
pengawasan.
Pesawat dengan kategori yang pertama mungkin tidak akan menemui masalah yang
serius jika pengaturan dibuat antara negara-negara yang terlibat dengan tujuan untuk memastikan
pengawasan yang layak, misalnya melalui persetujuan bilateral sesuai dengan Pasal 83bis
Konvensi Chicago, yang mengijinkan negara untuk mengalihkan sebagian atau keseluruhan
tanggung jawab pengawasan keselamatan penerbangan. Namun demikian, praktek ini pada
kenyataannya masih jauh dari memuaskan dalam artian hanya sedikit perjanjian bilateral yang
menerapkan pasal 83bis yang diketahui oleh ICAO dan banyak sekali pesawat udara dari
berbagai tipe di berbagai negara yang masih tergantung pada tanggung jawab pengawasan yang
terpisah.
Kelompok pesawat pada kategori kedua lah yang menimbulkan masalah keselamatan
yang utama yang perlu untuk dibahas. Sistem pengawasan ICAO difokuskan pada aturan-aturan
yang bisa diambil untuk memperbaiki kekurangan yang ditemukan pada saat proses audit. Salah
satu kekurangan tersebut adalah perilaku yang menyimpang dengan mendaftarkan pesawat
dibeberapa negara, yang akan menimbulkan masalah manakala pesawat tersebut bisa terdaftar di
suatu negara tetapi tidak memenuhi standar keselamatan minimum yang ditetapkan oleh negara
lain. Proses ini bisa dilakukan menurut Pasal 83bis dari Konvensi Chicago yang mengatur
tentang pendaftaran pesawat, yang antara lain menyebutkan bahwa, diluar ketetapan-ketetapan
dalam pasal 12, 30, 31, dan 32 a, ketika sebuah pesawat yang didaftarkan pada suatu negara
dioperasikan dengan persetujuan untuk disewa, dicarter, atau saling ditukar dengan pesawat lain
atau dengan persetujuan lain yang serupa oleh pengoperator/pengguna pesawat yang memiliki
lokasi bisnis utama dinegara tersebut, atau yang tidak memiliki lokasi bisnis di negara tersebut,
dan menjadi warga negara permanen di negara lain, melalui persetujuan dengan negara lain
tersebut, negara pendaftar boleh mengalihkan sebagian atau seluruh fungsi tugas dan tanggung
jawabnya terkait pesawat terdaftar tersebut kepada negara lain.
Negara pendaftar akan dibebaskan dari tanggung jawab fungsinya terkait pesawat udara
tersebut. Konvensi Chicago menyatakan bahwa pesawat yang memiliki Sertifikat Keselamatan
Penerbangan yang valid yang dikeluarkan oleh suatu negara didaftarkan lagi ke negara lain,
maka negara pendaftar yang baru saat mengeluarkan sertifikat keselamatan penerbangan harus
mempertimbangkan bahwa berdasarkan sertifikat keselamatan penerbangan yang sebelumnya,
pesawat tersebut, baik sebagian atau secara keseluruhan, memenuhi standar ICAO.(Annex 8
pada Convention on International Civil Aviation, Airwothiness of aircraft, Tenth edition: April
2005, Standard 3.2.4. [Annex 8]).
Telah disebutkan sebelumnya bahwa tujuan untuk meningkatkan keselamatan dengan
cara mengalihkan fungsi dan tugas pengawasan sebagaimana disebut dalam pasal 83bis bisa
mengakibatkan munculnya flags of convenience. Alasan utama yang mendukung pendapat ini
adalah, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan finansial, negara dapat mendapatkan
keuntungan finansial dengan cara mendaftarkan pesawat yang sudah terdaftar di negara lain ke
negara tersebut, tetapi tidak bisa melakukan fungsi dan tugas pengawasan yang diharuskan untuk
memastikan pesawat tersebut dijaga sesuai dengan standar keselamatan yang diharuskan.
Hal lain yang berkaitan dengan keselamatan penerbangan adalah pengoperasian pesawat
yang melibatkan kru asing dalam penerbangan pada kru yang berlisensi asing. Misalnya,
penyewaan pesawat kosongan (dry lease – yakni penyewaan pesawat tanpa menyertakan kru
nya) menimbulkan masalah mengenai validasi lisensi kru asing oleh negara pendaftar. Masalah
ini menjadi lebih kompleks manakala aturan dan persyaratan untuk memberikan lisensi di negara
pendaftar berbeda dengan aturan dan persyaratan untuk mendapatkan lisensi di negara awal
lisensi itu diberikan.
Perbedaan antara hukum dan aturan aturan di negara pendaftar dan aturan-aturan di
negara pengguna/pengoperator, mungkin juga ditemukan dalam kasus penyewaan pesawat
beserta kru nya (wet lease). Dalam hal ini, pemilik pesawat biasanya hanya menjadi
pengoperator resmi dari pesawat tersebut, sedangkan penyewa pesawat sebelumnya telah
mengoperasikan pesawat dengan tipe yang sama dengan berbekal Sertifikat Operator
Penerbangan yang ia miliki.
Dengan demikian, pesawat yang disewa bisa jadi dioperasikan dengan menggunakan
Sertifikat Operator Penerbangan yang dimiliki oleh penyewa, sehingga negara penyewa
kemudian bisa menjadi negara operator resmi dari pesawat tersebut. Pada kasus seperti itu,
pengawasan yang tepat terhadap para kru pesawat menjadi sulit dilakukan. Masalahnya bisa
menjadi lebih komplek jika kru nya merupakan kru gabungan (misalnya kru kabin berasal dari
negara penyewa, sedangkan kru kokpit berasal dari negara yang menyewakan pesawat).
c. Hukum Indonesia tentang Registrasi dan Nasionalisasi Pesawat Udara.
Perkembangan konsep nasionalitas dalam Hukum Udara Internasional, telah menunjuk
pada diterimanya prinsip bahwa suatu pesawat udara harus memiliki nasionalitas dari Negara di
mana pesawat udara tersebut didaftarkan. (Pasal 17 Konvensi Chicago 1944)
Juga ditetapkan dalam Konvensi Chicago 1944 (Pasal 19) tentang kewajiban Negara
anggota untuk mengatur prihal pendaftaran dan pemindahan pendaftaran dari Register (public)
Pesawat Udara.
Konvensi Chicago 1944 beserta Annexes-nya juga memuat ketentuan-ketentuan yang luas
mengenai kewenangan negara pendaftar pesawat udara (State of Registration) untuk melakukan
effective control atas pesawat udara serta udaha pengoperasian pesawat udara serta usaha
pengoperasian pesawat udara yang melakat pada pesawat udara terdaftar cukup luas,

Negara-negara anggota Konvensi Chicago 1944 yang dewasa ini berjumlah 157 negara,
telah menetapkan ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari pokok-pokok yang diatur dalam
Konvensi Chicago di atas, baik dalam bentuk undang-undag maupun peraturan nasional lainnya.
Perundang-undangan nasional Indonesia yang berjudul Undang-Undang No. 83 tahun 1958
tentang Penerbangan, memuat dalam bab III Pasal 2, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12
Ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Kewajiban bagi pesawat udara sipil yang digunakan di dalam dan diatas wilayah
Republik Indonesia untuk memiliki tanda kebangsan dan tanda pendaftaran Pasal 9 ayat
(1)
b. Disediakan suatu buku daftar pesawat udara (register of civil Aircraft), Dirjen
Perhubungan Udara untuk keperluan pendaftaran pesawat udara sipil tersebut, Pasal 10
juncto Pasal 1.1.0.0 butir (a) CASR)
c. Pendaftaran untuk pesawat udara militer selanjutnya diatur oleh Menteri
Pertahanan secara terpisah dan harus diusahakan agar tanda-tanda pesawat udara sipil
tidak mudah dianggap sebagai pesawat udara militer Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 ayat (2),
(3) ;
d. Pesawat udara yang sudah didaftarkan dalam Buku daftar pesawat udara akan
memperoleh kebangsaan Indonesia Pasal 11 ayat (1). UndangUndang ini juga
memberikan pengakuan pada tanda pendaftaran yang diperoleh suatu pesawat udara di
luar negeri Pasal 1 ayat (2)
e. Pesawat udara milik bangsa asing tidak dapat didaftarkan lagi di Indonesia Pasal
12 ayat (1) yang berarti bahwa Indonesia tidak mengakui pendaftaran ganda atau
dwinasionalitas/kebangsaan.

**************

Anda mungkin juga menyukai