Anda di halaman 1dari 5

Nama : Azkah Apriani

NIM : 21909
Mata Kuliah : Hukum Pengangkutan
Dosen : Ruth Hanna Simatupang
Tugas : Pertemuan 1 tanggal 6 Juni 2020

Konvensi Internasional

1. Konvensi Warsawa (Warsaw Convention) 1929;


Sejarah :
Pada 17 Agustus 1923, pemerintah Prancis mengusulkan diadakannya konferensi
diplomatik pada bulan November 1923 dengan tujuan untuk mengakhiri konvensi yang
berkaitan dengan pertanggungjawaban dalam pengangkutan internasional melalui udara.
Konferensi ini secara resmi ditangguhkan pada dua kesempatan karena perilaku enggan
pemerintah dari berbagai negara untuk bertindak dengan pemberitahuan sesingkat itu
tanpa sepengetahuan konvensi yang diusulkan. Akhirnya, antara 27 Oktober dan 6
November, konferensi pertama bertemu di Paris untuk mempelajari rancangan konvensi.
Karena sebagian besar peserta adalah diplomat yang terakreditasi untuk pemerintah
Prancis dan bukan profesional, disepakati dengan suara bulat bahwa badan teknis, ahli
hukum akan dibentuk untuk mempelajari rancangan konvensi sebelum diserahkan ke
konferensi diplomatik untuk persetujuan. Oleh karena itu, Komite Teknis Internasional
dari Pakar Hukum Pertanyaan Udara ( Comite International Technique d'Experts
Juridiques Aériens , CITEJA) dibentuk pada tahun 1925. Pada tahun 1927–28 CITEJA
mempelajari dan mengembangkan rancangan konvensi yang diusulkan dan
mengembangkannya ke dalam paket unifikasi yang diajukan dan mengembangkannya ke
dalam paket unifikasi yang sekarang. hukum dan disajikan di Konferensi Warsawa, di
mana ia disetujui antara 4 dan 12 Oktober 1929. Ini menyatukan sektor penting hukum
udara pribadi.
Konvensi ini aslinya ditulis dalam bahasa Prancis dan dokumen aslinya disimpan
di arsip Kementerian Luar Negeri Polandia . Setelah mulai berlaku pada 13 Februari
1933, ia menyelesaikan beberapa konflik hukum dan yurisdiksi.
Antara 1948-1951 dipelajari lebih lanjut oleh komite hukum yang dibentuk oleh
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) dan pada tahun 1952 sebuah
rancangan baru disiapkan untuk menggantikan konvensi. Namun itu ditolak dan
diputuskan bahwa konvensi tersebut diamandemen daripada diganti pada tahun 1953.
Pekerjaan yang dilakukan oleh komite hukum pada Sesi Kesembilan disampaikan ke
Konferensi Internasional tentang Hukum Udara yang diselenggarakan oleh Dewan ICAO
dan bertemu di Den Haag dari 6 hingga 28 September 1955. Konferensi Den Haag
mengadopsi Protokol ( Protokol Den Haag ) untuk amandemen Konvensi Warsawa. Di
antara pihak-pihak Protokol, disepakati bahwa Konvensi Warsawa 1929 dan Protokol
Den Haag 1955 harus dibaca dan ditafsirkan bersama sebagai satu instrumen tunggal
yang dikenal sebagai Konvensi Warsawa yang diamandemen di Den Haag pada tahun
1955. Ini bukan amandemen konvensi tetapi lebih merupakan penciptaan instrumen
hukum baru dan terpisah yang hanya mengikat antara para pihak. Jika satu negara
merupakan pihak pada Konvensi Warsawa dan yang lain untuk Protokol Den Haag, tidak
satu pun negara memiliki instrumen yang sama dan oleh karena itu tidak ada dasar
bersama internasional untuk litigasi.

Konvensi Warsawa 1929 tentang Pengangkutan Udara Internasional


Konvensi Warsawa 1929 atau konvensi untuk unifikasi ketentuan-ketentuan tertentu
sehubungan dengan pengangkutan udara internasional (Convention for the Unification of
Certain Rules Relating to Internasional Carriage by Air) ditandatangani di Warsawa
pada tanggal 12 Oktober 1929 dan mulai berlaku sejak tanggal 13 Februari 1933.
Konvensi ini merupakan perjanjian pertama dibidang hukum udara perdata dan
merupakan salah satu perjanjian yang paling tua dan paling berhasil dalam
menyeragamkan suatu bidang tertentu dalam hukum perdata.
Konvensi Warsawa 1929. Actual carrier adalah orang selain pengangkut yang,
berdasarkan kuasa dari pengangkut yang membuat perjanjian, melakukan seluruh atau
sebagian pengangkutan, tetapi yang tidak termasuk bagian pengangkutan berturut-turut
sebagaimana dimaksudkan dalam Konvensi Warsawa 1929.

- H.K. Martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional, Rajawali Pers,
Jakarta, 2013 hlm. 78
2. Konvensi Jenewa (Geneva Convention);
Dapat dilihat pada Annex 7 Konvensi Chicago 1944 yang dimodifikasi Tahun 1967 harus
dilengkapi dengan dengan batasan yang diterima dalam Konvensi Jenewa 1948 pasal
XVI : . . . aircraft shall include the airframe, engines, propellers, radio aparatus, and all
others articles intended for use in the aircraft wheter installed therein or temporarily
separated therefrom . . . Makna dari ketentuan Annex di atas adalah yang dimaksud
dengan pesawat termasuk badan pesawat, mesin, baling – baling, perangkat radio dan
perangkat lainnya yang digunakan dalam pesawat atau yang secara sementara terpisah
dari sana. Dengan pasal di atas Negara-Negara pembuat Konvensi Jenewa 1948
bermaksud untuk, sesuai dengan tujuan konvensi tersebut, membatasi pengertian pesawat
udara pada pesawat udara yang digunakan untuk angkutan udara sipil atau Civiele
Luchtverkeer. Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan Defenisi
pesawat terbang terbagi kembali dari umum ke khusus seperti halnya yang tercantum
dalam ketentuan umum yang menyebutkan “Pesawat Udara adalah setiap mesin atau alat
yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena
reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan.”
Hal ini pula yang memperjelas defenisi daripada pesawat udara sebagai objek daripada
hukum udara itu sendiri agar jelas sejauh mana batasan mengenai pesawat udara dan
sejauh mana defenisi daripada pesawat udara sipil seperti halnya yang akan dibahas lebih
lanjut dalam penilitian ini sebagaimana yang kita ketahui maskapai Air Asia merupakan
maskapai penerbangan sipil yang terdaftar di Indonesia

3. Konvensi Roma (Rome Convention) 1952;


Konvensi Roma 1952 yang berjudul Convention on Damaged Caused by Fireign Aircraft
to The Third Parties on the Surface mengatur prinsip tanggung jawab hukum (legal
liability principle), lingkup tanggung jawab hukum, pengamanan tanggung jawab,
prosedur dan tata cara pengajuan gugatan, ketentuan umum dan penutup. Konvensi ini
hanya berlaku terhadap pesawat udara asing yang mengalami kecelakaan di negara
anggota dan kerugian tersebut terjadi di permukaan bumi. Prinsip tanggung jawab yang
digunakan dalam konvensi roma 1952 adalah tanggung jawab hukum tanpa bersalah
(Liability without fault atau absolute liability atau strict liability.
Lingkup tanggung jawab. Konvensi Roma 1952 hanya berlaku terhadap pesawat udara
asing yang mengalami kecelakaan di Negara anggota dan kerugian tersebut terjadi
dipermukaan bumi, artinya dapat di darat, laut, sungai, danau, maupun tempat-tempat
lain, tetapi tidak berlaku apabila kecelakaan atau kerugian tersebut terjadi di udara.
Apabila kecelakaan itu terjadi di udara akan brlaku konsep tanggung jawab atas dasar
kesalahan (based on fault liability).
Pengamanan tanggung jawab
Konvensi Roma 1952 juga mengatur pengamanan tanggung jawab hukum. Setiap
perusahaan penerbangan yang akan melakukan penerbangan internasional, wajib
mengasuransikan tanggung jawabnya untuk menjamin bahwa tanggung jawab hukum
dapat dipenuhi.

4. Protocol The Hague 1955;


Protocol The Hague 1955 merupakan perubahan konvensi warsawa 1929 yang pertama.
Perubahan tersebut meliputi jumlah ganti kerugian dari 125.000 gold francs menurut
konvensi warsawa 1929 menjadi 250.000 gold francs menurut protocol the hague 1955.
Perubahan berikutnya mengenai tiket penumpang (passengers ticket) lebih
disederhanakan.
Tiket penumpang harus berisikan indikasi Bandar udara keberangkatan dan Bandar udara
tujuan; apabila Bandar udara keberangkatan dan atau Bandar udara tujuan berada dalam
satu Negara anggota dengan satu atau lebih pendaratan antara (intermediate landing) di
Negara anggota lainnya, indikasi tersebut paling tidak satu pendaratan antara
(intermediate landing); pemberitahuan apabila perjalanan penumpang berhenti pada
Negara selain Negara keberangkatan dan tiket bagasi (baggage claim tag) prima facie
sebagai bukti adanya perjanjian transportasi udara. The Hague Protocol of 1955 masih
tetap menggunakan konsep tanggung jawab praduga bersalah (presumption of liability).
Perubahan yang signifikan hanyalah mengenai batas tanggung jawab hukum bagi yang
meninggal dunia.
5. Konvensi Guadalajara 1961;
Konvensi Guadalajara 1961, Dalam Konvensi Guandalajara 1961, ada dua macam
pengangkut, masing-masing pengangkut yang membuat perjanjian (contracting carier)
dan pengangkut yang benar-benar mengangkut (actual carrier). Contracting Carrier
adalah orang yang membuat perjanjian untuk transportasi dengan penumpang atau
pengirim atau seorang yang bertindak sebagai penumpang atau pengirim barang yang
diatur oleh Konvensi Warsawa 1929. Actual carrier adalah orang selain pengangkut
yang, berdasarkan kuasa dari pengangkut yang membuat perjanjian, melakukan seluruh
atau sebagian pengangkutan, tetapi yang tidak termasuk bagian pengangkutan berturut-
turut sebagaimana dimaksudkan dalam Konvensi Warsawa 1929.

6. Protokol Guatemala.
Protokol Guatemala City 1971 mengubah Konvensi Warsawa 1929 yang telah diubah
oleh Protokol The Hague 1955. Perubahan tersebut mengenai penyederhanaan dokumen
transportasi baik individu maupun kolektif. Dokumen tersebut harus memuat indikasi
Bandar udara keberangkatan dan indikasi Bandar udara tujuan. Indikasi tersebut dapat
digunakan dengan cara apapun, namun tanpa adanya indikasi demikian bukan berarti
tidak ada perjanjian transportasi yang bermaksud mengurangi batas tanggung jawab.
Protocol Guatemala City 1971 menerapkan konsep tanggung jawab hukum tanpa
bersalah (liability without fault atau strict liability atau absolute liability atau strict
liability) terhadap penumpang yang meninggal dunia, luka dan bagasi yang hilang atau
rusak tanpa memperhatikan kesalahan, pengangkut hanya dapat mengurangi beban
tanggung jawab apabila ternyata penumpang atau pengirim barang ikut bersalah.

Anda mungkin juga menyukai